Surah An-Naml (Semut) adalah surah ke-27 dalam Al-Qur'an, terdiri dari 93 ayat. Ia dinamakan demikian karena memuat kisah ajaib tentang seekor semut yang berbicara, sebuah dialog yang didengar dan dipahami oleh Nabi Sulaiman 'Alaihissalam. Surah ini termasuk kategori Makkiyah, diturunkan pada periode kritis dakwah Rasulullah ﷺ di Mekah, ketika para musyrikin menuntut bukti nyata atas kenabian dan menolak kebenaran Hari Kebangkitan. Sebagai respons, An-Naml menyajikan serangkaian narasi kenabian yang sangat kuat, menegaskan kedaulatan Allah melalui demonstrasi kekuasaan yang melampaui logika materialistik manusia biasa.
Tujuan sentral Surah An-Naml adalah menegakkan tauhid, membuktikan keniscayaan Hari Akhir, dan menunjukkan bahwa Al-Qur'an adalah petunjuk bagi orang-orang beriman. Ia mencapai tujuan ini dengan menampilkan kontras yang dramatis antara kekuasaan temporer dan ilusi duniawi (yang diwakili oleh Ratu Balqis sebelum Islamnya) melawan kekuasaan sejati dan ilmu pengetahuan yang dianugerahkan oleh Allah (yang diwakili oleh Nabi Sulaiman).
Surah ini memiliki struktur yang unik. Berbeda dengan surah-surah Makkiyah lainnya yang mungkin lebih fokus pada ancaman azab, An-Naml menggunakan kisah-kisah historis yang diatur secara ritmis dan berurutan untuk memperkuat argumen kenabian:
Setelah rentetan kisah ini, surah beralih ke argumen kosmik, mengajukan serangkaian pertanyaan retoris yang kuat mengenai penciptaan alam semesta, yang dikenal sebagai ‘Ayat-ayat Uluhiyyah’ (Ayat 59–64), sebagai klimaks pembuktian tauhid.
Porsi terbesar dari An-Naml didedikasikan untuk Nabi Sulaiman, seorang nabi sekaligus raja yang dianugerahi kekuasaan yang tidak pernah diberikan kepada siapapun sebelum atau sesudahnya. Kisahnya bukan hanya dongeng kerajaan; ia adalah studi kasus tentang bagaimana kekayaan, kekuasaan, dan ilmu pengetahuan dapat menjadi sarana untuk bersyukur kepada Allah, bukan alat untuk kesombongan. Ini merupakan kontras tajam dengan para pemimpin Quraisy yang menyombongkan kekayaan mereka.
Allah memulai narasi Sulaiman dengan penekanan pada ‘Ilmu’ (pengetahuan): "وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ عِلْمًا ۖ وَقَالَا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي فَضَّلَنَا عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّنْ عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِينَ" (Dan sungguh, Kami telah menganugerahkan ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya berkata: “Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami atas kebanyakan hamba-hamba-Nya yang beriman”).
Ilmu yang dimaksud di sini sangat spesifik: pemahaman bahasa binatang dan kontrol atas kekuatan alam (angin, jin). Sulaiman memahami bahwa ilmu ini bukan hasil kecerdasannya semata, melainkan anugerah (fadhl), yang mendorongnya pada rasa syukur. Ini adalah pelajaran penting: kekuasaan tertinggi di dunia (menguasai tiga alam: manusia, jin, dan hewan) tidak membuat Sulaiman lupa diri, melainkan semakin tunduk.
Inti dari penamaan surah ini terletak pada peristiwa di Lembah Semut (Wadi an-Naml). Ketika rombongan Sulaiman yang sangat besar—terdiri dari manusia, jin, dan burung—mendekat, seekor semut, sebagai pemimpin kawanannya, memberi peringatan: "قَالَتْ نَمْلَةٌ يَا أَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوا مَسَاكِنَكُمْ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَانُ وَجُنُودُهُ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ" (Berkata seekor semut: “Wahai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kalian tidak terinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari”).
Ayat ini penuh dengan nuansa retorika dan etika:
Kisah semut ini menjadi pengingat bagi kaum Quraisy bahwa bahkan makhluk terkecil pun memiliki struktur, kepemimpinan, dan etika, menunjukkan betapa sempurnanya penciptaan Allah. Selain itu, ini adalah bukti nyata ilmu kenabian Sulaiman, yang jauh melampaui ilmu manusia biasa.
Sulaiman memiliki sistem pemerintahan yang sangat terorganisir. Ketika ia menginspeksi pasukannya, ia mendapati Burung Hud-Hud tidak hadir. Ketiadaan sekecil apapun dari satu prajurit di kerajaan semodern Sulaiman menunjukkan perhatiannya yang detail. Ancamannya untuk menghukum Hud-Hud (Ayat 21) menunjukkan disiplin keras, tetapi ia juga membuka ruang untuk "حُجَّةٍ مُّبِينَةٍ" (alasan yang jelas).
Hud-Hud kembali membawa berita yang mengubah fokus kerajaan dari urusan militer ke urusan dakwah. Ia menemukan Kerajaan Saba', sebuah peradaban yang kaya raya dan maju, dipimpin oleh seorang Ratu (Balqis) yang menyembah Matahari selain Allah. Di sini, ilmu pengetahuan Sulaiman yang bersifat fisik (menguasai elemen) bersatu dengan tugas kenabiannya (dakwah tauhid).
Ujian Surat dan Kebijaksanaan Balqis: Sulaiman mengirim surat singkat dan langsung, menuntut ketundukan total: "أَلَّا تَعْلُوا عَلَيَّ وَأْتُونِي مُسْلِمِينَ" (Janganlah kamu berlaku sombong terhadapku, dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri).
Reaksi Ratu Balqis adalah contoh kepemimpinan yang bijaksana. Ia berkonsultasi dengan para pembesarnya dan menunjukkan kehati-hatian yang luar biasa (Ayat 32). Ia tidak langsung berperang, melainkan mencoba menguji Sulaiman dengan mengirimkan hadiah mewah. Balqis memahami bahwa raja-raja besar ketika memasuki suatu negeri akan merusak dan menghinakan penduduknya (Ayat 34), sebuah kecerdasan politik yang diakui Al-Qur'an.
Ketika Sulaiman menolak hadiah tersebut dan menganggap hadiah materi sebagai hal yang remeh di hadapan anugerah Allah, Balqis sadar bahwa ia berhadapan dengan kekuatan yang melampaui kekuatan politik dan militer biasa. Ini adalah pertarungan antara ilusi kekayaan duniawi melawan kekuatan wahyu.
Untuk meyakinkan Balqis bahwa kekuasaan Sulaiman berasal dari sumber yang jauh lebih tinggi daripada yang bisa dicapai manusia, Sulaiman memerintahkan pemindahan singgasana Balqis dari Yaman ke istananya di Syam sebelum Balqis tiba.
Ayat ini menyajikan perbandingan kekuatan spiritual dan ilmu:
"قَالَ عِفْرِيتٌ مِّنَ الْجِنِّ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَن تَقُومَ مِن مَّقَامِكَ ۖ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ"
(Berkata ‘Ifrit dari golongan jin: “Aku akan membawanya kepadamu sebelum engkau berdiri dari tempat dudukmu; dan sungguh aku kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya.”)
"قَالَ الَّذِي عِندَهُ عِلْمٌ مِّنَ الْكِتَابِ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَن يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ ۚ فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِندَهُ قَالَ هَٰذَا مِن فَضْلِ رَبِّي..."
(Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Kitab: “Aku akan membawanya kepadamu sebelum matamu berkedip.” Maka ketika Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: “Ini adalah karunia Tuhanku...”).
Kontras antara Ifrit (kekuatan fisik) dan ‘orang yang memiliki ilmu dari Kitab’ (kekuatan spiritual/metafisik) sangat penting. Ifrit menjanjikan kecepatan yang luar biasa (dalam waktu duduk), tetapi orang yang berilmu menawarkan kecepatan yang tidak terbayangkan (sebelum mata berkedip).
Ketika Balqis tiba, ia dihadapkan pada singgasananya yang telah diubah sedikit rupanya (untuk menguji kecerdasannya), dan ia mengakui bahwa ia telah mengetahui kekuatan Sulaiman sebelum kedatangannya. Pertunjukan keajaiban ini mengakhiri kisah Balqis, yang akhirnya bersaksi: "رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي وَأَسْلَمْتُ مَعَ سُلَيْمَانَ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ" (Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku, dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam).
Setelah puncak demonstrasi kekuasaan melalui Sulaiman, surah ini beralih ke kisah-kisah yang lebih standar tentang para nabi lainnya—Musa, Salih, dan Lut—untuk menunjukkan bahwa mukjizat dan peringatan telah diberikan secara konsisten sepanjang sejarah. Fokus utamanya adalah pada penolakan umat, yang menolak kebenaran meskipun telah melihat tanda-tanda yang jelas.
Kisah Musa disajikan secara singkat, berfungsi sebagai pengingat akan pola kenabian yang sudah baku. Musa melihat api di lembah suci (Thuur), dan kemudian mendapatkan wahyu ilahi, di mana ia diperintahkan untuk menunjukkan dua mukjizat utama: tongkat yang menjadi ular dan tangan yang bersinar (Yadul Bayda’).
Namun, meskipun melihat tanda-tanda yang terang benderang, Firaun dan kaumnya menolaknya. Mereka disebut sebagai kaum yang menzalimi diri sendiri. Penolakan mereka tidak didasari oleh ketidakpercayaan, melainkan karena keangkuhan dan penolakan terhadap implikasi sosial dan politik dari tauhid:
"فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ آيَاتُنَا مُبْصِرَةً قَالُوا هَٰذَا سِحْرٌ مُّبِينٌ وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا"
(Maka ketika datang kepada mereka mukjizat-mukjizat Kami yang jelas, mereka berkata, “Ini adalah sihir yang nyata.” Dan mereka mengingkarinya, padahal hati mereka meyakini kebenarannya karena kezaliman dan kesombongan.)
Ayat ini sangat relevan bagi audiens Mekah. Sama seperti Firaun menolak Musa karena kesombongan, para pemimpin Quraisy menolak Muhammad ﷺ bukan karena mereka ragu akan moralitas atau kebenaran risalahnya, melainkan karena mereka enggan kehilangan kekuasaan dan status sosial mereka.
Kisah Nabi Salih di sini berbeda penekanannya dari surah lain. An-Naml fokus pada aspek persekongkolan dan plot jahat yang direncanakan oleh para pembesar kaum Tsamud. Salih diutus kepada kaumnya yang terpecah menjadi dua kelompok: yang beriman dan yang kafir.
Ketika Salih membawa unta mukjizat sebagai bukti, kaum yang kafir itu bersekutu. Mereka adalah sembilan orang pemimpin yang "يُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ وَلَا يُصْلِحُونَ" (berbuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan). Mereka bersumpah atas nama Allah untuk membunuh Salih dan keluarganya di malam hari dan kemudian berbohong kepada pewarisnya bahwa mereka tidak menyaksikan apapun.
Rencana mereka adalah plot yang sempurna dari sudut pandang manusia, menunjukkan betapa hati mereka telah dibutakan oleh kejahatan. Namun, Allah juga merencanakan kehancuran mereka—sebuah rencana yang mereka tidak sadari (Ayat 50). Azab datang dengan seketika, menghancurkan mereka bersama dengan rumah-rumah mereka. Ini adalah peringatan keras bahwa sebesar apapun konspirasi manusia, ia akan selalu gagal di hadapan kehendak Ilahi. Kisah ini menegaskan bahwa penolakan terhadap Nabi Muhammad ﷺ saat itu adalah bagian dari konspirasi yang pasti akan gagal.
Kisah Nabi Lut AS disajikan dengan fokus pada dosa moral kaumnya, yaitu homoseksual yang dilakukan secara terang-terangan dan keji. Lut AS menegur mereka atas perbuatan yang sangat keji: "أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ وَأَنتُمْ تُبْصِرُونَ" (Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji itu padahal kamu melihatnya?).
Kisah ini berakhir dengan penyelamatan Lut dan keluarganya, kecuali istrinya, dan azab yang dahsyat menimpa kaum Sodom. Uniknya, di akhir kisah ini, Surah An-Naml menekankan sisa-sisa bukti fisik dari kehancuran itu:
"وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِم مَّطَرًا ۖ فَسَاءَ مَطَرُ الْمُنذَرِينَ"
(Dan Kami hujani mereka dengan hujan (batu); maka amat buruklah hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu.)
Penyebutan sisa-sisa ini adalah penekanan bahwa kisah-kisah ini bukan mitos belaka, melainkan peristiwa sejarah yang jejaknya masih ada di bumi, berfungsi sebagai tanda (Ayat) bagi mereka yang merenung.
Simbol Semut: Kecerdasan dan Kedisiplinan Ciptaan Allah.
Setelah selesai dengan kisah-kisah kenabian, Surah An-Naml mencapai klimaks logisnya. Sejak Ayat 59 hingga 64, Al-Qur'an menyajikan serangkaian pertanyaan retoris yang bertujuan menantang para musyrikin untuk menjawab: Siapakah yang menciptakan dan mengatur semua ini? Pertanyaan-pertanyaan ini berfungsi sebagai jembatan dari kisah sejarah ke kebenaran kosmik yang tak terbantahkan.
Pola pertanyaan yang digunakan adalah: "أَإِلَٰهٌ مَّعَ اللَّهِ" (Apakah ada tuhan lain di samping Allah?). Ini adalah teknik Istifham Inkari (pertanyaan penolakan) yang mengandung jawaban tegas: tentu saja tidak ada.
Pertanyaan pertama fokus pada skala terbesar: penciptaan langit dan bumi, dan penurunan air hujan yang darinya Allah menumbuhkan kebun-kebun yang indah. Hanya Dia yang mampu menciptakan dan mengatur siklus hidrologi dan kehidupan. Jika tuhan yang mereka sembah tidak dapat menciptakan setetes air pun, bagaimana mungkin ia setara dengan Sang Pencipta?
Ayat berikutnya berfokus pada stabilitas bumi—menjadikannya tempat berdiam (qarar), mengalirkan sungai di sela-selanya, menancapkan gunung-gunung (rawasiya), dan memisahkan dua lautan (air tawar dan air asin). Semua ini dilakukan dengan ketelitian yang luar biasa, memastikan kehidupan manusia dapat berlangsung dengan stabil. Pertanyaan ini menuntut pengakuan atas Sang Pengatur Tata Kelola Bumi.
Ini adalah ayat yang sangat menyentuh hati manusia. Ketika seseorang berada dalam kesulitan yang parah, yang ia seru secara naluriah bukanlah berhala, melainkan kekuatan tertinggi yang tak terlihat. "أَمَّن يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ" (Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan, dan menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi?). Allah adalah satu-satunya tempat berlindung, dan pengakuan ini adalah fitrah yang terpatri dalam setiap manusia, bahkan kaum musyrikin Mekah.
Ayat-ayat penutup rangkaian ini merujuk pada petunjuk dalam kegelapan (bintang-bintang) dan pengiriman angin sebagai kabar gembira (membawa hujan). Akhirnya, pada Penciptaan Awal dan Kebangkitan (Ayat 64). Surah ini menuntut mereka mengakui bahwa Dia yang memulai penciptaan adalah juga Dia yang akan mengulanginya (membangkitkan kembali), yang secara langsung menyanggah keraguan mereka tentang Hari Kiamat.
Melalui rangkaian pertanyaan ini, An-Naml memaksa pendengar untuk melepaskan alasan-alasan dangkal mereka. Jika mereka mengakui kekuasaan kosmik Allah, maka penolakan mereka terhadap kenabian Muhammad dan kebangkitan adalah tindakan inkonsistensi logis dan moral yang fatal.
Simbol Singgasana: Kekuatan Duniawi di Bawah Kendali Ilahi.
Di bagian akhir, Surah An-Naml kembali ke tema fundamental yang ditolak mentah-mentah oleh kaum musyrikin Mekah: Hari Kebangkitan (Qiyamah) dan Hari Penghakiman (Hisab). Surah ini tidak hanya menegaskan bahwa Kiamat akan datang, tetapi juga memberikan rincian tentang bagaimana peristiwa itu akan terjadi dan apa yang akan terjadi pada orang-orang yang menolaknya.
Kaum kafir sering bertanya, "Kapan janji itu (Kiamat) akan datang, jika kamu orang yang benar?" (Ayat 71). Jawaban dari Al-Qur'an adalah bahwa ilmu tentang Kiamat hanya milik Allah (Ayat 65). Meskipun manusia tidak tahu kapan persisnya terjadi, tanda-tanda kecil dan besar telah diberikan. Allah mengetahui yang gaib di langit dan di bumi.
Titik fokus penting adalah "دَابَّةُ الْأَرْضِ" (Binatang Bumi) pada Ayat 82. Ayat ini menggambarkan salah satu tanda besar Kiamat yang akan datang dan berbicara kepada manusia, membuktikan bahwa manusia telah meremehkan ayat-ayat Allah. Para mufassir menafsirkan makhluk ini sebagai tanda yang sangat jelas yang muncul ketika pintu taubat telah ditutup, memaksa manusia yang keras kepala untuk mengakui kebenaran, meskipun sudah terlambat.
Surah ini memberikan gambaran yang dramatis tentang Hari Penghimpunan. "وَيَوْمَ يُنفَخُ فِي الصُّورِ فَفَزِعَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَمَن فِي الْأَرْضِ إِلَّا مَن شَاءَ اللَّهُ" (Dan (ingatlah) hari (ketika) ditiup sangkakala, maka terkejutlah siapa yang di langit dan siapa yang di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah...).
Ketika Sangkakala ditiup, gunung-gunung yang dianggap stabil akan bergerak seperti awan (Ayat 88). Ini adalah gambaran kehancuran total tatanan fisik dunia. Setelah kehancuran, akan ada penegakan keadilan yang mutlak (Ayat 90). Orang-orang yang berbuat kebaikan (membawa kebaikan) akan mendapatkan balasan yang lebih baik darinya, dan mereka akan aman dari ketakutan di Hari Itu. Sementara orang yang membawa kejahatan akan dilemparkan ke Neraka, tanpa dizalimi.
Penekanan berulang pada Surah An-Naml adalah bahwa keadilan Allah bersifat mutlak. Ketika Sulaiman melihat singgasananya dipindahkan, ia berkata: “Ini adalah karunia Tuhanku, untuk menguji aku, apakah aku bersyukur atau kufur.” (Ayat 40). Demikian pula, di Hari Kiamat, hasil dari setiap jiwa akan didasarkan pada ujian dunia: bersyukur dan beriman atau ingkar dan sombong. Allah tidak pernah menzalimi hamba-Nya; hamba-Nya lah yang menzalimi diri sendiri, seperti yang terjadi pada kaum Firaun dan kaum Tsamud.
Meskipun diturunkan pada abad ke-7 Masehi, pelajaran dari Surah An-Naml tetap sangat relevan bagi kehidupan modern, khususnya dalam isu kepemimpinan, ilmu pengetahuan, dan etika komunikasi.
Kisah Sulaiman mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan, sekecil apapun itu (seperti bahasa semut), dan sebesar apapun (seperti mengontrol jin), haruslah berujung pada peningkatan rasa syukur dan pelayanan terhadap tujuan Ilahi. Dalam konteks modern, ini adalah seruan untuk menggunakan teknologi dan penemuan (yang merupakan anugerah) untuk kemanusiaan dan bukan untuk kesombongan, penindasan, atau kerusakan (seperti yang dilakukan kaum Tsamud).
Ilmu yang sejati adalah yang menghasilkan kerendahan hati. Sulaiman, meskipun raja terkuat di dunia, segera menghubungkan setiap keajaiban dengan "فَضْلِ رَبِّي" (karunia Tuhanku). Ia menolak atribusi keberhasilan kepada dirinya sendiri. Ini adalah etos yang sangat dibutuhkan di era kemajuan teknologi yang seringkali memicu narsisme kolektif dan individual.
An-Naml menawarkan model kepemimpinan yang ideal dalam diri Sulaiman, yang ditandai oleh:
Sebaliknya, Surah ini juga menyajikan model kepemimpinan yang gagal (Firaun, kaum Tsamud) yang didasarkan pada keangkuhan, penindasan, dan persekongkolan rahasia, yang pada akhirnya membawa kehancuran total.
Dialog semut (Ayat 18) adalah pelajaran mikro dalam manajemen krisis dan komunikasi. Semut itu berhasil menyampaikan pesan kritis kepada komunitasnya dengan jelas, ringkas, dan etis (memberikan alasan yang membebaskan pihak lain). Ini menekankan nilai dari setiap elemen dalam komunitas, betapa pun kecilnya.
Kisah Firaun dan kaumnya (Ayat 14) merangkum fenomena 'kezaliman intelektual': mereka menolak kebenaran padahal "وَيَسْتَيْقَنَتْهَا أَنفُسُهُمْ" (hati mereka meyakini kebenarannya). Ini adalah penolakan yang paling berbahaya, yang tidak didasari oleh keraguan, melainkan oleh keangkuhan. Dalam kehidupan modern, ini tercermin pada orang-orang yang menolak bukti-bukti ilmiah atau kebenaran moral karena bertentangan dengan kepentingan atau ideologi mereka.
Ayat-ayat Allah: Tanda-tanda Kebesaran Ilahi di Langit dan Bumi.
Keindahan Surah An-Naml tidak hanya terletak pada narasi yang kaya, tetapi juga pada keunggulan linguistiknya (Balagha). Surah ini menggabungkan ritme cepat dan dialog dramatis dengan transisi yang halus ke pertanyaan filosofis tentang kosmos.
Surah An-Naml terkenal karena pembukaannya dengan dua huruf misterius (Huruf Muqatta’ah): "طس" (Tha Sin). Para ahli bahasa melihat dalam suara 'Ta' dan 'Sin' sebuah ritme yang lembut namun tegas, yang mencerminkan inti surah: kekuatan besar (Sulaiman) diiringi dengan kelembutan yang sangat halus (dialog semut).
Surah ini dibangun di atas kontras yang harmonis (Tobaq):
Kontras-kontras ini berfungsi untuk menajamkan pesan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada ukuran atau materi, melainkan pada sumbernya yang Ilahi.
Kata zhulum (kezaliman) muncul berulang kali di akhir kisah-kisah kenabian (Musa, Tsamud, Balqis). Ini bukan sekadar deskripsi, tetapi penegasan bahwa kegagalan untuk beriman adalah tindakan kezaliman terhadap diri sendiri (Ayat 44, 52). Balqis secara eksplisit mengakui: "إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي" (Sesungguhnya aku telah menzalimi diriku). Pengakuan ini adalah titik balik menuju iman yang sesungguhnya.
Dengan demikian, Surah An-Naml berdiri sebagai sebuah mahakarya sastra dan teologis yang menggabungkan sejarah, kosmologi, dan etika, semuanya berfungsi untuk membuktikan kebenaran Al-Qur'an dan keniscayaan Hari Kebangkitan. Ia adalah surah yang mengajarkan kita bahwa bahkan makhluk sekecil semut pun memiliki tempat penting dalam tatanan kekuasaan Allah, dan bahwa ilmu pengetahuan, ketika disandingkan dengan iman dan kerendahan hati, adalah anugerah terbesar yang dapat mengangkat seorang hamba ke derajat yang mulia, seperti Nabi Sulaiman.
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman Surah An-Naml, perlu dilakukan pembahasan yang lebih luas mengenai konteksnya saat diturunkan, khususnya bagaimana surah ini mengatasi skeptisisme Mekah dan menawarkan visi dunia yang kohesif.
An-Naml diturunkan pada fase di mana para musyrikin telah melancarkan perang psikologis dan verbal terhadap Nabi Muhammad ﷺ. Mereka menuntut mukjizat, menuduh Nabi sebagai penyihir (seperti yang dilakukan Firaun kepada Musa), dan meragukan kekuasaan Allah untuk menghidupkan kembali tulang belulang yang telah hancur. An-Naml merespons ini dengan menampilkan mukjizat yang tidak dapat ditiru (Sulaiman) dan juga kisah-kisah kehancuran yang tak terhindarkan (Tsamud dan Lut).
Surah ini berfungsi sebagai ‘pemberi harapan’ bagi minoritas Muslim yang tertindas. Pesannya adalah: jika Allah mampu memberikan kekuasaan yang tak terbayangkan kepada hamba-Nya (Sulaiman), maka Dia pasti mampu melindungi hamba-hamba-Nya yang lemah (kaum mukminin di Mekah) dan pada akhirnya menghukum para penindas.
Ayat 62 secara eksplisit menyebutkan bahwa Allah menjadikan manusia "خُلَفَاءَ الْأَرْضِ" (khalifah di bumi). Konsep ini terhubung langsung dengan kisah Sulaiman. Sulaiman adalah contoh utama dari seorang khalifah yang sukses dan adil, yang menggunakan kekuasaan, kekayaan, dan ilmu pengetahuannya untuk menegakkan Tauhid. Sebaliknya, Firaun dan kaum Tsamud adalah contoh khalifah yang gagal dan zalim, yang menggunakan sumber daya bumi untuk kerusakan dan kesombongan.
Bagi setiap Muslim, ini adalah tantangan: Apakah Anda akan meniru model Sulaiman, menggunakan sumber daya untuk syukur, ataukah model Firaun, yang menggunakan sumber daya untuk kezaliman?
Kisah Hud-Hud, meskipun singkat, sangat kaya makna. Hud-Hud tidak hanya menjalankan tugas, tetapi juga memiliki inisiatif pribadi yang melampaui perintah. Ia kembali dari Saba’ bukan hanya dengan berita geografis, tetapi dengan berita teologis yang serius (penyembahan matahari). Ini adalah model bagi setiap intelektual dan peneliti: menggunakan kemampuan observasi (yang merupakan anugerah) untuk mencari kebenaran yang lebih dalam daripada sekadar permukaan. Hud-Hud adalah mata yang melihat kesesatan dan melaporkannya kepada otoritas yang benar untuk diperbaiki.
Ayat-ayat tentang Tsamud dan Lut menunjukkan bahwa azab Allah datang sebagai respons yang proporsional terhadap kezaliman mereka:
Surah ini meyakinkan bahwa setiap kejahatan, baik yang bersifat tersembunyi (konspirasi) maupun yang bersifat terbuka (amoralitas), akan dihadapi dengan hukuman yang setimpal oleh Allah.
Setelah rentetan kisah yang menegaskan hukuman bagi kaum yang ingkar, Surah An-Naml ditutup dengan ayat-ayat yang menenangkan bagi Nabi Muhammad ﷺ dan kaum mukminin. Ayat 91–92 menegaskan bahwa Nabi diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri Mekah, yang mengharamkannya. Ini adalah penegasan terhadap status Mekah yang suci, di tengah penganiayaan yang dialami Nabi di sana. Nabi diperintahkan untuk membaca Al-Qur'an (sebagai petunjuk) dan menegaskan bahwa ia hanyalah seorang pemberi peringatan (Ayat 92).
Penutupan ini membawa fokus kembali kepada sumber kebenaran, yaitu Al-Qur'an, yang menjadi pembeda antara mereka yang diselamatkan dan mereka yang binasa. Surah An-Naml dengan demikian menyelesaikan misinya: membuktikan kebenaran risalah, keniscayaan kebangkitan, dan menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah rahmat dan petunjuk, terutama di masa-masa penuh ujian.
Kisah Sulaiman dalam An-Naml menggunakan tata bahasa yang sangat cermat untuk menekankan sifat ilahi dari kekuasaannya. Penggunaan kata kerja dan tata bahasa spesifik yang digunakan Surah ini adalah sebuah keajaiban linguistik.
Dalam konteks kisah Balqis, singgasana (Arsyi) menjadi titik sentral. Arsyi Balqis digambarkan sebagai "عَظِيمٌ" (agung), menunjukkan kekayaan dan kekuasaan material yang besar. Namun, ketika dipindahkan, Sulaiman tidak terkesima oleh keagungannya, melainkan segera mengaitkan pemindahannya dengan karunia Allah. Ini adalah perbandingan antara 'Arsyi dunia' (Balqis) yang meskipun agung, rentan dipindahkan secepat kedipan mata, dengan 'Arsy Allah' (kekuasaan sejati) yang kekal dan tak tertandingi. Sintaksis di sini menegaskan bahwa kekuasaan manusia, betapapun megahnya, hanyalah fatamorgana jika tidak didasarkan pada iman.
Ketika Ifrit dari Jin berbicara, ia menggunakan penegasan ganda: "وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ" (Dan sungguh aku kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya). Penggunaan partikel 'Inna' (sungguh) dan 'Laam' (pasti) menunjukkan keyakinan penuh Ifrit pada kekuatan fisiknya. Namun, keyakinan ini segera ditantang oleh 'orang berilmu', yang menjanjikan kecepatan yang jauh melebihi kekuatan fisik, menyoroti bahwa dimensi spiritual/ilmu adalah yang tertinggi.
Pilihan kata kerja semut sangat spesifik. Semut berkata: "لَا يَحْطِمَنَّكُمْ" (agar kalian tidak terinjak/hancur). Kata yahthimannakum berasal dari kata hatam, yang seringkali merujuk pada menghancurkan benda rapuh seperti gelas. Para ulama bahasa menafsirkan ini sebagai petunjuk adanya semacam zat keras (seperti kaca atau bahan dasar silikon) di tubuh semut, yang jika terinjak akan pecah. Terlepas dari tafsir ilmiah, penggunaan kata ini menunjukkan bahwa kata-kata yang digunakan oleh semut itu bersifat tepat dan teknis, bukan sekadar teriakan panik, sekali lagi menekankan kecerdasan ciptaan Allah.
Meskipun Surah An-Naml utamanya adalah teks teologis, beberapa ayatnya resonansi kuat dengan penemuan ilmiah modern, yang bagi banyak cendekiawan Muslim merupakan bukti kemukjizatan Al-Qur'an.
Ilmu entomologi modern telah mengonfirmasi bahwa semut tidak berkomunikasi secara verbal (dengan suara seperti manusia), tetapi melalui zat kimia kompleks yang disebut feromon. Namun, konsep bahwa semut memiliki sistem komunikasi sosial yang canggih untuk memberikan peringatan, mengatur lalu lintas, dan mengorganisasi komunitas mereka sepenuhnya sejalan dengan apa yang digambarkan dalam Surah An-Naml. Ayat 18 menggarisbawahi bahwa ada "bahasa" atau "sinyal" yang diterjemahkan menjadi pesan yang dapat dipahami oleh Sulaiman berkat karunia Allah. Kehadiran pemimpin yang mengorganisir komunitas dalam menghadapi ancaman luar adalah perilaku yang terbukti dalam koloni semut.
Ayat 88 menggambarkan bagaimana di Hari Kiamat, gunung-gunung akan bergerak seperti awan yang berjalan: "وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ" (Dan engkau lihat gunung-gunung itu, engkau kira dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan seperti jalannya awan).
Jika ayat ini ditafsirkan dalam konteks kehancuran Kiamat, itu menunjukkan pergerakan yang dahsyat. Namun, beberapa tafsir kontemporer melihatnya sebagai referensi tidak langsung terhadap pergerakan geologis bumi yang stabil saat ini (Tektonik Lempeng). Di permukaan, gunung tampak statis (jamidah), tetapi lempengan benua di bawahnya terus bergerak perlahan, ibarat awan yang berjalan. Meskipun tafsir ini bukan makna utama azab Kiamat, ia menunjukkan kesesuaian deskripsi Al-Qur'an dengan realitas geologis, baik dalam konteks Kiamat maupun dinamika bumi.
Rangkaian Ayat Uluhiyyah (Ayat 60) menanyakan tentang siapa yang menurunkan air dari langit, yang darinya Allah menumbuhkan kebun-kebun yang indah. Ini adalah pengakuan mendasar tentang peran sentral air (H2O) sebagai kunci kehidupan (kebun-kebun dan tanaman). Ilmu biologi dan ekologi modern menegaskan bahwa air adalah prasyarat mutlak bagi semua bentuk kehidupan di bumi, menempatkan air sebagai tanda utama kekuasaan Allah yang harus diakui oleh manusia.
Sebagai kesimpulan, Surah An-Naml adalah salah satu surah yang paling kaya dalam Al-Qur'an, menyajikan demonstrasi kekuasaan Ilahi yang tak tertandingi melalui narasi kenabian yang mendetail, diperkuat oleh pertanyaan kosmik yang memaksa akal untuk tunduk pada kebenaran Tauhid, dan diakhiri dengan janji keadilan yang mutlak pada Hari Perhitungan.