Surah Al-Mursalat, surah ke-77 dalam susunan mushaf Al-Qur'an, merupakan salah satu surah Makkiyah yang diturunkan pada periode awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ. Surah ini diletakkan di antara Surah Al-Insan (atau Ad-Dahr) dan Surah An-Naba', menjadi bagian integral dari serangkaian surah pendek yang memiliki gaya bahasa yang sangat kuat, bertujuan utama untuk mengguncang hati para pendusta di Mekkah. Nama surah ini diambil dari ayat pertamanya, yang berarti "Demi Malaikat-malaikat (atau angin) yang diutus secara berurutan".
Pusat dari seluruh tema yang dibahas dalam Al-Mursalat adalah penetapan dan penegasan mutlak terhadap Hari Kiamat (Hari Kebangkitan). Surah ini menggunakan pendekatan yang sangat dramatis, memadukan sumpah kosmis yang dahsyat, deskripsi mengerikan tentang kehancuran alam semesta, bukti-bukti penciptaan yang tak terbantahkan, dan kontras tajam antara nasib para pendusta (al-mukadzdzibun) dan orang-orang yang bertakwa (al-muttaqun).
Al-Mursalat diturunkan pada fase Makkah awal atau pertengahan, ketika perlawanan dan pengingkaran kaum Quraisy terhadap konsep Hari Kebangkitan dan perhitungan amal mencapai puncaknya. Kaum musyrikin sering menantang Nabi ﷺ untuk menunjukkan tanda-tanda Kiamat. Surah ini datang sebagai jawaban yang tegas, tidak hanya menjelaskan bahwa Kiamat pasti terjadi, tetapi juga merincikan bagaimana proses kehancuran alam semesta akan berlangsung.
Salah satu ciri khas Surah Al-Mursalat adalah pengulangan retoris yang sangat memukul: "Celakalah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan!" (Wailun Yawma'idhin Lilmukadzdzibin). Frasa ini diulang sebanyak sepuluh kali, berfungsi sebagai penutup bagi setiap segmen argumen yang disajikan, memastikan bahwa pesan azab dan celaan tertanam kuat dalam benak pendengar. Pengulangan ini bukan sekadar penekanan, tetapi penanda struktural yang membagi surah menjadi sepuluh bagian tematik yang berbeda, masing-masing berdiri sebagai bukti independen atas keniscayaan Kiamat.
Secara keseluruhan, Surah Al-Mursalat menyajikan tiga kelompok argumen utama untuk membuktikan kebenaran Hari Kebangkitan dan perhitungan:
Allah memulai surah ini dengan lima sumpah yang menggetarkan. Para mufasir berbeda pendapat mengenai subjek sumpah ini: apakah merujuk pada kekuatan alam (angin) atau malaikat. Tafsir yang paling kuat menggabungkan keduanya, namun sering kali diinterpretasikan sebagai malaikat karena tugas-tugas yang disebutkan ('membedakan', 'menyampaikan wahyu').
Inti dari sumpah-sumpah ini adalah untuk menunjukkan bahwa ada kekuatan yang teratur, kuat, dan tunduk pada perintah Ilahi di alam semesta. Jika Allah mampu mengatur angin dan malaikat sedemikian rupa untuk menjalankan tugas-tugas kosmik dan profetik, maka Dia tentu mampu melaksanakan janji-Nya: Hari Kebangkitan. Ayat 7 adalah jawaban sumpah (jawab qasam), menegaskan: "Innamaa tuu'aduuna lawaaqi'un"—apa pun yang dijanjikan (kiamat, perhitungan, balasan) pasti akan terjadi.
Ayat 8 hingga 10 memberikan gambaran kosmik yang melenyapkan semua yang dikenal stabil. Bintang kehilangan cahaya (*thumishat*), langit robek dan terbuka (*furijat*), dan gunung, yang dianggap sebagai pasak bumi, dihempaskan dan dihancurkan menjadi debu (*nusifat*). Kehancuran ini berfungsi sebagai pengantar yang menegaskan bahwa segala sesuatu yang tampak kekal di dunia ini akan berakhir.
Ayat 11 memperkenalkan dimensi perhitungan: para rasul dikumpulkan (*uqqitat*). Ini adalah momen penting di mana para nabi akan menjadi saksi terhadap umat mereka. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan Kiamat bukan sekadar kehancuran, tetapi penegakan keadilan. Pengantar ini mencapai puncaknya pada ayat ke-15, pengulangan pertama dari "Wailun Yawma'idhin Lilmukadzdzibin". Celaan ini dialamatkan kepada mereka yang meragukan atau mendustakan deskripsi Kiamat yang baru saja disajikan.
Argumen kedua beralih ke sejarah. Allah mengingatkan kaum musyrikin Mekkah tentang nasib umat-umat yang mendahului mereka, seperti kaum 'Ad, Tsamud, dan kaum Firaun, yang semuanya dibinasakan karena kedurhakaan dan pendustaan mereka terhadap rasul-rasul. Intinya adalah: jika Allah mampu membinasakan seluruh generasi di masa lalu karena kejahatan mereka di dunia ini, Dia juga mampu membangkitkan dan menghukum mereka semua di akhirat.
Ayat 18 menegaskan sebuah hukum abadi: "Demikianlah Kami memperlakukan orang-orang yang berdosa." Ini adalah janji sekaligus ancaman. Jika mereka terus mendustakan dan berbuat dosa, nasib mereka tidak akan berbeda. Ini adalah Celaan Kedua bagi pendusta.
Argumen ketiga adalah argumen logis mengenai penciptaan manusia itu sendiri. Jika manusia, yang tercipta dari setetes air yang hina (*maa’in mahin*—sperma), bisa dibentuk menjadi makhluk yang sempurna, bagaimana mungkin pencipta itu tidak mampu membangkitkannya kembali setelah ia menjadi tulang belulang?
Ayat 21 menunjuk pada "tempat yang kokoh" (*qaraarin makin*), yaitu rahim. Hal ini menunjukkan presisi luar biasa dalam proses embriologi yang diatur oleh Allah. Penciptaan awal jauh lebih sulit dan menakjubkan daripada kebangkitan kembali. Mufasir klasik seperti Imam Ar-Razi menekankan bahwa air mani, yang begitu rapuh dan hina, diubah menjadi organisme yang kompleks, membuktikan kekuatan Allah yang tak terbatas. Hal ini menjadi Celaan Ketiga.
Argumen keempat fokus pada bumi. Allah menyebut bumi sebagai wadah (*kifatan*), yang menampung baik yang hidup (di permukaannya) maupun yang mati (di dalam perutnya). Konsep ini menyiratkan bahwa bumi adalah gudang penyimpanan yang sempurna, tempat di mana semua jasad akan kembali dan disimpan hingga hari kebangkitan. Ini menanggapi keraguan kaum musyrikin tentang bagaimana tubuh mereka yang telah hancur akan dikumpulkan kembali.
Selain itu, Allah menyebutkan manfaat gunung (*rawasi syamikhaat*) yang menstabilkan bumi dan air yang segar (*maa’an furaatan*) yang penting bagi kehidupan. Semua keajaiban ini, yang memungkinkan kehidupan berkelanjutan, adalah bukti-bukti yang mudah dilihat tentang kekuasaan Sang Pencipta. Jika Dia menciptakan sistem penunjang kehidupan yang rumit ini, mustahil Dia gagal dalam janji kebangkitan. Ini adalah Celaan Keempat.
Bagian ini beralih dari argumen pembuktian di dunia menjadi realitas perhitungan di akhirat. Para pendusta kini diperintahkan untuk memasuki azab yang dulunya mereka cemooh. Deskripsi neraka di sini sangat visual dan mengerikan, fokus pada asap (naungan) yang menipu.
Disebutkan naungan yang memiliki tiga cabang (*dzii tsalaatsi shu'ab*). Para mufasir menjelaskan ini sebagai asap neraka yang sangat tebal sehingga terbagi menjadi tiga arah. Poin utamanya adalah bahwa naungan ini, yang secara naluriah dicari manusia dari panas, sama sekali tidak memberikan kenyamanan; ia "tidak menaungi dan tidak pula melindungi dari kobaran api" (Ayat 31).
Lebih jauh lagi, api neraka digambarkan melepaskan bunga api yang sangat besar—sebesar istana (*bilik*) dan berwarna kuning seperti unta. Penggunaan metafora istana dan unta (dua objek yang besar dan akrab bagi bangsa Arab) menunjukkan skala dan intensitas api yang tidak terbayangkan. Ini adalah gambaran dari panas, asap, dan cahaya yang mengerikan secara bersamaan. Ini adalah Celaan Kelima.
Bagian keenam ini menyoroti keputusasaan total para pendusta di Hari Keputusan. Mereka tidak diberi kesempatan untuk berbicara atau membuat alasan. Di dunia, mereka bisa berdebat dan menantang. Di akhirat, segala keangkuhan dicabut; lidah mereka bungkam, dan izin untuk memohon maaf dicabut. Keheningan yang mematikan ini sendiri adalah bentuk azab.
Ayat 39 adalah tantangan yang sangat kuat. Setelah mengumpulkan semua generasi (*jama'naakum wal-awwaliin*), Allah menantang mereka, "Jika kamu mempunyai tipu daya, maka gunakanlah tipu dayamu itu terhadap-Ku." Di dunia, mereka menggunakan tipu daya dan strategi untuk menentang para Nabi. Di hadapan kekuatan Ilahi, semua strategi duniawi menjadi sia-sia. Ini adalah Celaan Keenam dan Ketujuh.
Untuk memberikan kontras yang sempurna, surah ini tiba-tiba beralih ke penggambaran ganjaran bagi kaum yang bertakwa (*al-muttaqun*). Setelah asap yang menyesakkan di neraka, surga digambarkan dengan naungan yang sejuk (*zilaal*), mata air (*'uyuun*), dan buah-buahan yang tak terbatas. Kontras ini berfungsi untuk memotivasi dan menunjukkan bahwa keadilan Ilahi mencakup balasan yang indah sebagaimana hukuman yang berat.
Yang terpenting, kenikmatan ini disertai dengan sambutan yang hangat: "Makan dan minumlah dengan nikmat disebabkan apa yang telah kamu kerjakan." Ini menekankan bahwa ganjaran ini adalah hasil langsung dari usaha dan ketakwaan mereka di dunia.
Setelah melihat balasan indah bagi orang-orang bertakwa, pengulangan celaan ini berfungsi sebagai sindiran yang tajam. Seolah-olah dikatakan, "Lihatlah apa yang kamu lewatkan karena kedustaanmu!" Celaan ini memperkuat kerugian yang tak terhingga bagi para pendusta karena memilih jalan penolakan. Ini adalah Celaan Kedelapan.
Surah ditutup dengan peringatan tajam. Orang-orang kafir disindir untuk menikmati sedikit kenikmatan duniawi yang mereka dapatkan. Kehidupan dunia mereka hanyalah kesenangan sesaat (*qaliilan*), yang tidak sebanding dengan azab yang menanti mereka. Ini adalah Celaan Kesembilan.
Ayat 48 menyingkap akar dari semua kejahatan mereka: penolakan untuk tunduk (*ruku'*). Rukuk melambangkan ketundukan total kepada perintah Allah. Ketika diperintahkan untuk tunduk (baik secara literal dalam shalat, atau secara metaforis dengan menerima kebenaran), mereka menolak. Inilah inti dari kekafiran mereka. Ini adalah Celaan Kesepuluh.
Ayat penutup, ayat 50, adalah pertanyaan retoris yang menggugah jiwa: "Maka, berita apakah setelah Al-Qur'an ini yang akan mereka imani?" (Fa bi-ayyi hadiithin ba'dahu yu'minuun). Jika mereka tidak mempercayai serangkaian argumen yang logis, historis, dan kosmik, yang disajikan dengan gaya bahasa yang tak tertandingi ini, lalu apa lagi yang bisa meyakinkan mereka? Ayat ini menandai bahwa Al-Qur'an adalah bukti tertinggi, dan tidak ada bukti lain yang lebih besar yang dapat diturunkan.
Gaya bahasa Surah Al-Mursalat adalah salah satu yang paling unik dan memukau dalam Al-Qur'an, menunjukkan puncak dari Balaghah (kefasihan). Surah ini menggabungkan intensitas sumpah di awal dengan deskripsi yang sangat visual mengenai Kiamat, menggunakan kontras untuk memaksimalkan dampak psikologis.
Pengulangan frasa "Celakalah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan!" adalah poros struktural surah. Dalam ilmu retorika Arab, pengulangan ini disebut takraar, yang berfungsi sebagai:
Surah ini menyajikan argumen secara bertahap, bergerak dari skala terbesar ke skala terkecil, dan kembali ke skala terbesar (Kiamat).
Dengan menyusun argumen ini, Surah Al-Mursalat secara komprehensif menutup semua jalan penolakan yang mungkin dilakukan oleh kaum musyrikin. Mereka tidak bisa mengelak dari bukti di alam, di sejarah, maupun di dalam diri mereka sendiri.
Kontras antara neraka (Bagian 6) dan surga (Bagian 8) disajikan secara dramatis melalui oposisi visual dan pengalaman.
| Neraka (Jahannam) | Surga (Jannah) |
|---|---|
| Naungan tiga cabang (asap) | Naungan sejati (sejuk) |
| Bunga api sebesar istana | Mata air yang mengalir |
| Tidak menaungi dari kobaran api | Buah-buahan yang diinginkan |
| Diperintahkan: "Pergilah kamu ke azab..." | Dipersilakan: "Makan dan minumlah dengan nikmat..." |
Kontras ini bukan hanya deskriptif, tetapi normatif. Ia menanamkan harapan bagi yang beriman dan ketakutan bagi yang ingkar, memastikan pilihan moral memiliki konsekuensi yang nyata.
Meskipun Al-Mursalat adalah surah Makkiyah yang fokus pada akidah (keimanan), terdapat beberapa implikasi teologis dan syariah yang mendalam:
Surah ini memperkuat dua sifat utama Allah: Kekuasaan (Qudrah) dan Keadilan ('Adl). Kekuasaan Allah terlihat jelas dalam lima sumpah kosmik dan deskripsi kehancuran Kiamat. Keadilan-Nya ditegaskan melalui penegasan Hari Keputusan (Yawm Al-Fasl) di mana setiap orang akan menerima balasan yang sesuai dengan amalnya.
“Penciptaan alam semesta dan semua makhluk hidup dari ketiadaan adalah bukti paling kuat atas kemampuan Allah untuk membangkitkan mereka kembali. Jika Dia sanggup menciptakan yang pertama, maka kebangkitan kembali tidaklah sulit, bahkan lebih mudah di mata logika Ilahi.” — Tafsir Kontemporer
Ayat 48, "Dan apabila dikatakan kepada mereka: 'Rukuklah,' mereka tidak mau rukuk," secara fundamental adalah kritik terhadap kesombongan spiritual. Dalam konteks syariat, rukuk adalah rukun utama dalam shalat. Penolakan terhadap rukuk dalam surah ini melambangkan penolakan terhadap seluruh sistem ketaatan dan ibadah. Ini mengajarkan bahwa esensi iman adalah kepatuhan total (Islam) kepada perintah Allah, tanpa pertanyaan atau keberatan.
Penekanan pada penciptaan manusia dari air yang hina memiliki makna ganda. Secara teologis, ini adalah pengingat akan asal-usul manusia yang rendah hati, mencegah kesombongan dan keangkuhan. Bagaimana mungkin makhluk yang berasal dari air yang begitu sederhana berani menentang Penciptanya yang mahakuasa? Ini berfungsi sebagai landasan psikologis untuk menghilangkan ego manusia di hadapan kekuasaan Ilahi.
Al-Mursalat dikenal karena rima ujung ayatnya yang ritmis dan kuat (fasilah), yang umumnya diakhiri dengan nun (ن) dan mim (م) berharakat (misalnya *nashran*, *urfan*, *mukadzdzibiin*, *yantiquun*). Ritme ini menciptakan resonansi yang mendalam dan intens, sangat efektif ketika dibacakan.
Sumpah pada ayat 1-5 adalah contoh isti'aaroh (metafora) yang kuat. Mengapa Allah bersumpah dengan fenomena alam atau malaikat yang melakukan tugas rutin? Karena objek sumpah tersebut memiliki empat karakteristik yang menopang argumen utama surah:
Sumpah ini secara linguistik mengaitkan fungsi kosmik di dunia dengan kepastian Hari Kiamat.
Ayat 25, "Alam naj’alil ardha kifaata?" (Bukankah Kami menjadikan bumi ini sebagai wadah?), menggunakan kata kifat (كِفَاتًا). Kata ini tidak hanya berarti wadah, tetapi juga mengandung makna *mengumpulkan* atau *menampung*.
Penggunaan kata ini sangat fasih karena merangkum fungsi ganda bumi sebagai tempat tinggal dan tempat peristirahatan akhir, yang pada akhirnya akan mengeluarkan kembali isinya pada Hari Kebangkitan. Bumi menyimpan semua "bahan baku" kehidupan dan kematian, menjadikannya bukti yang sempurna bahwa pengumpulan kembali jasad adalah hal yang wajar bagi Sang Pencipta.
Tadabbur Surah Al-Mursalat seharusnya menghasilkan perubahan mendalam dalam perilaku dan akidah seorang Muslim. Pelajaran utamanya mencakup:
Karena surah ini berulang kali menegaskan kepastian Kiamat, ia mendorong Muslim untuk hidup dalam keadaan waspada spiritual (muraqabah). Setiap kali kita mendapati diri kita mendustakan kebenaran atau menunda ketaatan, kita harus ingat sepuluh kali celaan: "Celakalah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan!"
Peringatan bahwa kita diciptakan dari "air yang hina" adalah obat mujarab bagi kesombongan. Mengingat asal-usul ini membantu menjaga kerendahan hati dan memicu rasa syukur yang mendalam atas transformasi yang diberikan oleh Allah dari setetes air menjadi makhluk yang dapat berpikir, beribadah, dan berkreasi.
Penolakan untuk rukuk menunjukkan bahwa keberanian dalam menentang Allah adalah penyebab utama azab. Seorang Muslim harus memastikan bahwa ia selalu dalam keadaan tunduk—tidak hanya dalam shalat ritual, tetapi juga dalam menerima setiap perintah dan larangan Allah. Ketundukan adalah kunci untuk menjadi bagian dari al-muttaqun (orang-orang yang bertakwa).
Ayat 46, "Makan dan bersenang-senanglah kamu di dunia ini sebentar," mengingatkan bahwa kenikmatan duniawi, betapapun besar atau lama, adalah sementara (*qaliilan*). Perbandingan antara kehidupan dunia yang singkat dan keabadian akhirat yang kontras (baik azab maupun nikmat) menempatkan prioritas hidup pada amal shaleh yang akan bertahan lama.
Surah Al-Mursalat, dengan ritmenya yang cepat dan argumennya yang tak terbantahkan, berfungsi sebagai palu godam akidah, menghancurkan fondasi keraguan terhadap Hari Kebangkitan. Surah ini meninggalkan pertanyaan yang paling penting di akhir: jika wahyu Allah ini, dengan segala bukti dan keindahannya, tidak dapat meyakinkan Anda, maka apa lagi yang tersisa untuk Anda percayai?
Ayat penutup, فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ (50), merupakan tantangan teologis pamungkas. Pertanyaan ini mengasumsikan bahwa Al-Qur'an adalah komunikasi yang paling sempurna dan final dari Yang Maha Benar.
Para ulama tafsir menekankan bahwa "Hadits" (berita/pembicaraan) di sini merujuk secara spesifik pada kebenaran tentang Kiamat, Tauhid, dan kenabian. Setelah Allah menggunakan segala cara—sumpah kosmik (angin, bintang), bukti biologis (penciptaan sperma), bukti historis (kehancuran umat terdahulu), dan deskripsi visual yang mengerikan tentang neraka dan surga—tidak ada lagi argumen yang tersisa.
Bagi pendusta di Mekkah, ayat ini adalah penutup pintu harapan. Tidak akan ada "kitab suci" lain, atau mukjizat baru, yang lebih besar dari Al-Qur'an itu sendiri. Jika hati mereka menolak kebenaran yang begitu jelas, penolakan itu adalah pilihan mereka yang final, yang akan berujung pada penyesalan abadi.
Di sisi lain, bagi orang yang beriman, ayat 50 berfungsi sebagai penguatan: kita telah menerima kebenaran yang paling murni dan paling kuat. Tugas kita adalah memegang teguh "Hadits" ini, mengamalkannya, dan tunduk (rukuk) kepadanya, agar kita dapat menjadi bagian dari mereka yang menikmati naungan abadi, mata air, dan buah-buahan yang tak pernah habis, sebagai balasan atas keimanan dan amal shaleh yang telah kita kerjakan di dunia ini.
Interpretasi mengenai Al-Mursalat, Al-Asifat, dan lainnya adalah kunci untuk memahami pesan awal Surah ini. Meskipun mayoritas ulama salaf, seperti Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas, cenderung menafsirkannya sebagai malaikat yang diutus, tafsir modern dan linguistik sering kali menyoroti makna alamiahnya, yaitu angin. Kedua penafsiran ini memiliki validitas yang kuat dan saling melengkapi.
Jika merujuk kepada malaikat, kelima sumpah tersebut mencerminkan hierarki dan fungsi malaikat dalam menjalankan perintah Ilahi, terutama yang berkaitan dengan wahyu dan penghukuman:
Dalam konteks ini, sumpah-sumpah tersebut menegaskan bahwa sistem metafisika dan spiritual diatur dengan keteraturan yang sama persis dengan sistem fisik. Kekuatan spiritual yang membawa wahyu (Kebenaran) berfungsi sebagai saksi bahwa janji Kiamat adalah Benar.
Jika merujuk kepada angin, surah ini menggunakan kekuatan alam sebagai bukti kekuasaan Allah:
Kesimpulan dari sumpah ini adalah bahwa jika kaum Quraisy dapat melihat dan merasakan kekuatan luar biasa dari angin—yang bisa membangun dan menghancurkan, membawa rahmat dan azab—maka mereka seharusnya tidak meragukan kekuatan yang jauh lebih besar yang mampu menghidupkan kembali mereka yang telah mati. Keteraturan alam adalah janji tentang kepastian Kiamat.
Istilah Yawm Al-Fasl (يَوْمُ الْفَصْلِ) diulang dua kali dalam surah ini (Ayat 13 dan 38). Kata Al-Fasl berarti memisahkan, memutuskan, atau menghakimi. Ini bukan sekadar hari kebangkitan; ini adalah hari pemisahan yang menentukan.
Pada hari itu, keputusan dibuat dalam tiga aspek utama:
Kengerian Hari Keputusan ini diperkuat oleh ayat 35-36, di mana para pendusta dibungkam. Tidak ada pengacara, tidak ada kesempatan banding, dan tidak ada alasan yang diterima. Keheningan di hadapan otoritas Ilahi adalah demonstrasi tertinggi dari ketidakberdayaan manusia di Hari itu.
Surah Al-Mursalat menggunakan perbandingan visual yang tajam (tasybih) untuk menggambarkan neraka, membuatnya nyata bagi pendengar di gurun Mekkah:
Tasybih 1: Bunga Api Sebesar Istana (Ayat 32)
Allah membandingkan percikan api neraka (*sharar*) dengan istana (*al-qasr*). Istana, di lingkungan yang didominasi oleh tenda dan rumah sederhana, mewakili struktur yang sangat besar, kokoh, dan megah. Perbandingan ini menyampaikan skala api neraka yang jauh melampaui kebakaran duniawi mana pun.
Tasybih 2: Bunga Api Seperti Unta Kuning (Ayat 33)
Bunga api yang besar itu juga dibandingkan dengan iringan unta yang kuning (*jimaalatun sufr*). Unta adalah kendaraan dan kekayaan utama bangsa Arab, dan warnanya yang kekuningan atau kehitaman (tergantung tafsir *sufr*) digunakan untuk menekankan warna dan jumlahnya. Tasybih ini tidak hanya menunjukkan ukuran, tetapi juga kepadatan dan kecepatan pergerakan bunga api yang seolah-olah beriringan.
Penggunaan perbandingan yang begitu kuat dan familiar bagi audiens pertama menunjukkan keahlian retoris Al-Qur'an untuk memastikan peringatan tersebut berdampak maksimal, bahkan pada orang-orang yang paling skeptis sekalipun.
Penolakan untuk rukuk (Ayat 48) adalah titik balik dalam karakterisasi para pendusta. Penolakan ini adalah hasil dari keengganan batin mereka untuk mengakui siapa yang seharusnya memiliki otoritas tertinggi.
Ketika perintah sederhana untuk tunduk (*irkau'*) diabaikan, itu mengungkap penyakit hati. Rukuk adalah tindakan kerendahan hati dan pengakuan akan kebesaran Allah. Ketika perintah ini datang kepada mereka, mereka menolaknya karena menganggap diri mereka lebih superior atau setara. Mereka ingin menikmati dunia (*kuloo wa tamatta'u qaliilan* - Ayat 46) tanpa kewajiban apa pun.
Al-Mursalat secara tegas menyatakan bahwa kebahagiaan sejati tidak mungkin dicapai tanpa kerendahan hati dan ketundukan. Kebahagiaan bagi kaum takwa (Ayat 41-44) adalah hasil dari pekerjaan yang dilakukan dengan ketundukan, sementara penderitaan bagi kaum pendusta adalah konsekuensi dari keangkuhan dan penolakan untuk berlutut.