Dalam alunan gerakan sholat yang teratur dan khusyuk, terdapat satu momen transisi yang penuh makna, yaitu saat bangkit dari posisi ruku' menuju berdiri tegak. Momen ini dikenal sebagai I'tidal, dan di dalamnya terucap sebuah kalimat agung: "Sami'allahu liman hamidah". Kalimat ini, meski singkat, merupakan sebuah deklarasi fundamental dalam hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya. Ia bukan sekadar penanda pergantian gerakan, melainkan sebuah jembatan spiritual yang menghubungkan kerendahan dalam ruku' dengan puncak ketundukan dalam sujud.
Banyak di antara kita yang mengucapkannya secara rutin, lima kali sehari, namun mungkin belum sepenuhnya meresapi kedalaman makna yang terkandung di dalamnya. Artikel ini akan membawa kita menyelami samudra hikmah di balik frasa tersebut, membedah setiap katanya, memahami konteks teologisnya, meninjau dari perspektif fiqih, hingga merenungkan bagaimana esensinya dapat kita bawa dalam kehidupan sehari-hari. Memahami "Sami'allahu liman hamidah" adalah memahami esensi dari dialog, pujian, dan keyakinan akan respons ilahi dalam ibadah kita.
Membedah Makna Kata demi Kata
Untuk memahami sebuah kalimat secara utuh, langkah pertama adalah dengan mengurai setiap komponennya. Kalimat "Sami'allahu liman hamidah" terdiri dari empat kata kunci yang masing-masing membawa bobot makna yang sangat dalam.
1. Sami'a (سَمِعَ) - Maha Mendengar
Kata "Sami'a" berasal dari akar kata bahasa Arab yang berarti 'mendengar'. Namun, ketika disandarkan kepada Allah, 'pendengaran' ini memiliki dimensi yang jauh melampaui pendengaran makhluk. Pendengaran Allah bukanlah proses fisik yang membutuhkan organ seperti telinga. Ia adalah salah satu sifat kesempurnaan-Nya, yang tercermin dalam Asmaul Husna-Nya, As-Sami' (Maha Mendengar).
Pendengaran Allah bersifat mutlak dan tak terbatas. Ia mendengar segala sesuatu, dari gemuruh galaksi di alam semesta hingga bisikan terhalus dalam hati seorang hamba. Ia mendengar rintihan orang yang terzalimi, doa yang dipanjatkan dalam keheningan malam, dan bahkan pikiran yang belum terucap. Dalam konteks doa ini, "Sami'a" memiliki makna yang lebih spesifik, yaitu mendengar yang disertai dengan respons dan pengabulan. Ini bukan sekadar mendengar pasif, melainkan sebuah pendengaran yang aktif, penuh perhatian, dan siap untuk menjawab. Ketika kita mengucapkannya, kita sedang menegaskan keyakinan bahwa pujian kita tidak hilang di udara hampa, melainkan langsung diterima oleh Zat yang Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan.
2. Allah (اللَّهُ) - Nama Agung Sang Pencipta
Kata "Allah" adalah nama diri (ismul a'zam) bagi Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta alam semesta. Nama ini mencakup seluruh sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Menyebut nama "Allah" dalam kalimat ini menempatkan subjek dari pendengaran tersebut pada tingkat yang paling agung. Bukan sembarang entitas yang mendengar, melainkan Allah, Sang Penguasa segalanya. Ini memberikan bobot dan kepastian yang luar biasa pada kalimat tersebut. Kita tidak sedang berbicara kepada kekuatan alam atau entitas abstrak, kita sedang mendeklarasikan bahwa pujian kita didengar oleh Zat yang memiliki kekuasaan mutlak atas segala sesuatu.
3. Liman (لِمَنْ) - Bagi Siapa
Kata "Liman" adalah gabungan dari preposisi "li" (bagi/untuk) dan kata ganti "man" (siapa/orang yang). Secara harfiah, artinya "bagi siapa" atau "untuk orang yang". Kata ini berfungsi sebagai penghubung yang menunjukkan objek dari pendengaran Allah. Ia menciptakan sebuah hubungan sebab-akibat yang indah: pendengaran (Sami'a) Allah diberikan kepada siapa? Kepada "man" yang melakukan tindakan selanjutnya.
Penggunaan "Liman" ini menyiratkan sebuah janji dan sebuah kepastian. Allah tidak hanya mendengar secara umum, tetapi secara spesifik memberikan perhatian dan respons-Nya kepada golongan tertentu, yaitu mereka yang memuji-Nya. Ini adalah sebuah kabar gembira yang luar biasa bagi setiap Muslim yang sedang sholat.
4. Hamidah (حَمِدَهُ) - Memuji-Nya
Kata terakhir, "Hamidah," berasal dari akar kata "hamd" (حَمْد) yang berarti pujian. "Hamidah" adalah bentuk kata kerja yang berarti "dia (telah) memuji-Nya." Jadi, "liman hamidah" secara lengkap berarti "bagi orang yang memuji-Nya."
Apa itu Al-Hamd? Pujian ini berbeda dari Asy-Syukr (syukur). Syukur biasanya diucapkan sebagai respons atas nikmat yang diterima. Sementara Al-Hamd adalah pujian yang lebih luas, mencakup pujian atas Dzat Allah itu sendiri, atas sifat-sifat-Nya yang sempurna, dan atas segala perbuatan-Nya, baik yang kita pahami sebagai nikmat maupun yang belum kita pahami hikmahnya. Memuji Allah berarti mengakui keagungan, keindahan, dan kesempurnaan-Nya dalam segala aspek. Ketika kita mengucapkan "Sami'allahu liman hamidah," kita sedang menyatakan: "Allah Maha Mendengar dan merespons siapa saja yang mengakui keagungan-Nya dengan pujian."
Secara keseluruhan, kalimat "Sami'allahu liman hamidah" adalah sebuah proklamasi iman yang berarti: "Allah Maha Mendengar (dan mengabulkan) bagi siapa saja yang memuji-Nya."
Konteks Ibadah: Jembatan Antara Ketundukan dan Ketaatan
Posisi I'tidal, di mana kalimat ini diucapkan, bukanlah sekadar jeda. Ia memiliki fungsi teologis yang sangat penting. Sebelumnya, dalam posisi ruku', kita menundukkan tubuh seraya mengagungkan Allah dengan ucapan "Subhaana Rabbiyal 'Adziim" (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung). Ruku' adalah simbol ketundukan fisik dan pengakuan atas keagungan-Nya.
Ketika kita bangkit dari ruku' seraya mengucapkan "Sami'allahu liman hamidah", kita seolah-olah sedang melaporkan hasil dari ketundukan kita. Kita berkata, "Ya Allah, kami telah tunduk dan memuji-Mu, dan kami yakin Engkau mendengar pujian kami." Ini adalah momen afirmasi. Setelah pengakuan keagungan (ruku'), datanglah keyakinan akan pendengaran-Nya (i'tidal), yang kemudian akan membawa kita pada puncak ketundukan yang lebih tinggi, yaitu sujud.
I'tidal adalah masa transisi yang penuh kesadaran. Ia mengajarkan kita bahwa setiap bentuk ibadah kita, setiap pujian, setiap tasbih, tidaklah sia-sia. Semuanya didengar, dicatat, dan dihargai oleh Allah SWT. Ini memberikan energi spiritual yang luar biasa untuk melanjutkan ke rukun sholat berikutnya dengan penuh semangat dan keyakinan.
Perspektif Fiqih: Siapa yang Mengucapkan dan Apa Hukumnya?
Dalam praktik sholat, terdapat perbedaan pandangan di kalangan para ulama mazhab mengenai hukum mengucapkan "Sami'allahu liman hamidah" dan siapa yang wajib mengucapkannya. Memahami perbedaan ini akan memperkaya wawasan kita tentang keluasan khazanah fiqih Islam.
Hukum Mengucapkan "Sami'allahu liman hamidah"
Secara umum, para ulama sepakat bahwa ucapan ini adalah bagian dari sunnah sholat. Namun, terdapat perbedaan dalam tingkatan sunnah atau kewajibannya.
- Mazhab Syafi'i dan Maliki: Mayoritas ulama dari kedua mazhab ini berpendapat bahwa mengucapkan "Sami'allahu liman hamidah" saat bangkit dari ruku' adalah sunnah ab'adh, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan. Meninggalkannya tidak membatalkan sholat, namun dianjurkan untuk melakukan sujud sahwi jika terlupa.
- Mazhab Hanafi: Ulama Hanafi juga menganggapnya sebagai sunnah mu'akkadah (sunnah yang sangat ditekankan).
- Mazhab Hanbali: Pendapat yang paling kuat dalam mazhab Hanbali adalah bahwa mengucapkan kalimat ini hukumnya wajib. Meninggalkannya dengan sengaja dapat membatalkan sholat, dan jika terlupa, maka wajib melakukan sujud sahwi. Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan, "Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihatku sholat," dan Nabi selalu mengucapkannya.
Perbedaan antara Imam, Makmum, dan Munfarid (Sholat Sendiri)
Aturan mengenai siapa yang mengucapkan kalimat ini juga menjadi titik pembahasan di kalangan fuqaha (ahli fiqih).
- Bagi Imam dan Munfarid (orang yang sholat sendiri): Jumhur (mayoritas) ulama dari mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali sepakat bahwa seorang imam dan orang yang sholat sendirian mengucapkan "Sami'allahu liman hamidah" ketika bangkit dari ruku'. Setelah berdiri tegak, mereka kemudian melanjutkan dengan membaca doa i'tidal, "Rabbana wa lakal hamd."
- Bagi Makmum (pengikut sholat berjamaah): Di sinilah letak perbedaan yang paling sering ditemui.
- Pendapat Mayoritas (termasuk Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali): Makmum tidak mengucapkan "Sami'allahu liman hamidah." Sebaliknya, ketika imam mengucapkannya, makmum langsung menjawab dengan "Rabbana wa lakal hamd" (atau variasi lainnya). Mereka berdalil dengan hadits dari Abu Hurairah, di mana Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti... Dan apabila ia mengucapkan 'Sami'allahu liman hamidah', maka ucapkanlah 'Rabbana wa lakal hamd'." Hadits ini dipahami sebagai pembagian tugas: imam mengucapkan tasmi' (Sami'allahu...), dan makmum mengucapkan tahmid (Rabbana...).
- Pendapat Mazhab Syafi'i: Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa makmum juga dianjurkan (disunnahkan) untuk menggabungkan keduanya. Artinya, makmum mengucapkan "Sami'allahu liman hamidah" secara lirih saat bangkit bersama imam, dan kemudian mengucapkan "Rabbana wa lakal hamd" setelah berdiri tegak. Pendapat ini didasarkan pada keumuman perintah untuk meniru sholat Nabi.
Kedua pendapat ini memiliki dasar yang kuat dan dihormati dalam tradisi Islam. Memilih untuk mengikuti salah satunya adalah bagian dari kelapangan dalam beragama, selama didasari oleh ilmu dan niat untuk mengikuti sunnah Rasulullah SAW.
Jawaban Penuh Berkah: Rabbana wa Lakal Hamd
Kalimat "Sami'allahu liman hamidah" adalah sebuah pernyataan. Sebagaimana layaknya sebuah dialog, pernyataan ini membutuhkan jawaban. Jawaban tersebut adalah "Rabbana wa lakal hamd" (Wahai Tuhan kami, dan hanya bagi-Mu lah segala puji).
Jika "Sami'allahu..." adalah deklarasi dari sisi Allah (yang diucapkan oleh lisan hamba-Nya) bahwa Dia mendengar pujian, maka "Rabbana..." adalah respons langsung dari hamba yang dipenuhi rasa syukur. Ini adalah pengakuan balik: "Benar, ya Allah, kami memuji-Mu, dan sesungguhnya segala pujian itu memang hanya pantas untuk-Mu." Ini adalah puncak dari adab seorang hamba. Setelah diberi kabar gembira bahwa pujiannya didengar, ia tidak lantas diam, melainkan semakin deras melantunkan pujian.
Rabbanaa wa lakal hamd.
"Wahai Tuhan kami, dan bagi-Mu lah segala puji."
Variasi Bacaan Tahmid (Pujian)
Terdapat beberapa variasi bacaan tahmid yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, yang semuanya baik untuk diamalkan. Mengamalkannya secara bergantian dapat membantu meningkatkan kekhusyukan dan menghidupkan sunnah.
- Rabbana lakal hamd (رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ) - "Wahai Tuhan kami, bagi-Mu lah segala puji." (Tanpa 'wa')
- Rabbana wa lakal hamd (رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ) - "Wahai Tuhan kami, dan bagi-Mu lah segala puji." (Dengan 'wa')
- Allahumma Rabbana lakal hamd (اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ) - "Ya Allah, Tuhan kami, bagi-Mu lah segala puji."
- Allahumma Rabbana wa lakal hamd (اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ) - "Ya Allah, Tuhan kami, dan bagi-Mu lah segala puji."
Pujian yang Direbutkan oleh Para Malaikat
Ada sebuah tambahan pujian yang memiliki keutamaan luar biasa, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih. Suatu ketika, Rifa'ah bin Rafi' sholat di belakang Nabi SAW. Ketika Nabi bangkit dari ruku' dan mengucapkan "Sami'allahu liman hamidah," seorang laki-laki di belakangnya (Rifa'ah) mengucapkan:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ
"Rabbana wa lakal hamd, hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiih."
Artinya: "Wahai Tuhan kami, dan bagi-Mu lah segala puji, pujian yang banyak, yang baik, dan yang diberkahi di dalamnya."
Setelah selesai sholat, Rasulullah SAW bertanya, "Siapakah yang mengucapkan kalimat tadi?" Laki-laki itu menjawab, "Saya, wahai Rasulullah." Maka Rasulullah bersabda, "Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berebut, siapa di antara mereka yang akan mencatatnya pertama kali." (HR. Bukhari).
Hadits ini menunjukkan betapa dahsyatnya nilai pujian ini di sisi Allah. Mari kita bedah maknanya:
- Hamdan Katsiiran (حَمْدًا كَثِيرًا): Pujian yang banyak, tak terhingga, sebanyak jumlah ciptaan-Nya, seluas rahmat-Nya.
- Thayyiban (طَيِّبًا): Pujian yang baik, murni, tulus, ikhlas, dan bersih dari segala bentuk kesyirikan atau riya'.
- Mubaarakan Fiih (مُبَارَكًا فِيهِ): Pujian yang diberkahi, yang terus menerus mendatangkan kebaikan, yang diterima dan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah SWT.
I'tidal dan Tuma'ninah: Berdiri Tegak dengan Jiwa yang Tenang
Gerakan i'tidal itu sendiri, yaitu berdiri tegak lurus setelah ruku', adalah rukun sholat yang seringkali diabaikan kesempurnaannya. Banyak orang melakukannya dengan tergesa-gesa, sekadar formalitas sebelum langsung turun untuk sujud. Padahal, Rasulullah SAW sangat menekankan pentingnya tuma'ninah dalam setiap gerakan sholat, termasuk i'tidal.
Tuma'ninah berarti tenang dan diam sejenak dalam suatu posisi hingga seluruh tulang dan persendian kembali ke tempatnya semula. Dalam i'tidal, ini berarti berdiri tegak dengan sempurna, tenang, dan tidak terburu-buru. Waktu yang singkat ini adalah kesempatan emas untuk meresapi makna "Sami'allahu liman hamidah" dan "Rabbana wa lakal hamd."
Berdiri tegak dengan tuma'ninah adalah manifestasi fisik dari ketenangan jiwa. Saat tubuh kita lurus dan diam, hati kita pun diajak untuk fokus dan merenung. Kita baru saja memuji Allah dan meyakini pujian itu didengar. Sekarang, dalam ketenangan i'tidal, kita mengonfirmasi pujian itu dengan sepenuh hati. Inilah momen di mana dialog spiritual mencapai puncaknya sebelum kita merendahkan diri serendah-rendahnya dalam sujud sebagai bukti cinta dan ketaatan total.
Mengaplikasikan Semangat "Sami'allahu Liman Hamidah" dalam Kehidupan
Esensi dari kalimat agung ini tidak seharusnya berhenti di atas sajadah. Ia membawa pelajaran berharga yang dapat membentuk karakter dan pandangan hidup seorang Muslim.
1. Menumbuhkan Sifat Optimis dan Positif
Keyakinan bahwa Allah selalu mendengar setiap pujian dan doa akan menumbuhkan optimisme yang luar biasa. Seorang Muslim tidak pernah merasa sendirian atau putus asa. Ia tahu bahwa setiap kali ia bersyukur, setiap kali ia memuji kebesaran Allah, ada respons langsung dari langit. Ini menghilangkan rasa cemas dan menggantinya dengan ketenangan dan harapan.
2. Menjadi Pribadi yang Gemar Memuji dan Bersyukur
Kalimat ini secara eksplisit mengaitkan "pendengaran" Allah dengan "pujian" hamba. Ini adalah motivasi terbesar untuk menjadikan lidah kita basah dengan zikir, tahmid, dan tasbih. Jika Allah menjanjikan respons-Nya bagi orang yang memuji, maka tidak ada investasi yang lebih baik daripada memperbanyak pujian kepada-Nya. Ini akan membentuk kebiasaan untuk selalu melihat sisi baik dari setiap kejadian dan mensyukuri nikmat sekecil apapun.
3. Membangun Hubungan Dialogis dengan Allah
Sholat bukanlah monolog. Ia adalah dialog. "Sami'allahu liman hamidah" dan "Rabbana wa lakal hamd" adalah salah satu contoh dialog yang paling jelas dalam sholat. Kita memuji, dan kita yakin Dia mendengar dan menjawab. Membawa semangat ini ke luar sholat berarti kita akan senantiasa merasa dalam pengawasan dan kasih sayang Allah. Setiap doa menjadi lebih bermakna, karena kita tahu kita sedang berbicara dengan Zat yang Maha Mendengar.
Kesimpulan: Sebuah Deklarasi Abadi
"Sami'allahu liman hamidah" lebih dari sekadar rangkaian kata dalam sebuah ritual. Ia adalah pilar akidah, sebuah deklarasi keyakinan yang menggetarkan. Ia mengajarkan kita bahwa inti dari ibadah adalah pujian, dan buah dari pujian adalah respons ilahi. Ia adalah pengingat bahwa di tengah hiruk pikuk dunia, ada satu Zat yang senantiasa mendengar bisikan hati kita yang paling tulus.
Dari ruku' yang penuh ketundukan, kita bangkit dengan penuh harapan seraya mengucapkannya. Kita berdiri sejenak dalam i'tidal, membiarkan makna kalimat itu meresap ke dalam jiwa, lalu kita menjawabnya dengan pujian yang lebih melimpah. Siklus ini, yang kita ulangi belasan kali setiap hari, adalah latihan spiritual untuk membangun sebuah kesadaran abadi: bahwa kita tidak pernah sendirian. Allah senantiasa mendengar, terutama bagi mereka yang hati dan lisannya senantiasa memuji-Nya. Maka, biarlah setiap ucapan "Sami'allahu liman hamidah" kita menjadi lebih dari sekadar gerakan, melainkan sebuah getaran jiwa yang menghubungkan kita langsung dengan Arsy-Nya.