Ilustrasi Etika Universal: Perintah Ilahi dan Kewajiban Filial.
Surah Al Isra ayat 23 merupakan salah satu fondasi etika Islam yang paling fundamental dan komprehensif. Ayat ini dikenal sebagai "Ayat Birrul Walidain" (Ayat Kewajiban Berbakti kepada Orang Tua), namun kedudukannya jauh lebih tinggi dari sekadar perintah etika sosial. Ia diletakkan langsung setelah perintah tauhid, menegaskan bahwa hubungan vertikal manusia dengan Pencipta harus diiringi oleh hubungan horizontal yang paling esensial: hubungan dengan kedua orang tua.
Keterkaitan antara dua perintah utama ini menunjukkan sebuah sistem nilai yang utuh, di mana spiritualitas murni tidak mungkin terwujud tanpa implementasi moral yang sempurna di dunia nyata. Analisis mendalam terhadap lafaz, konteks, dan implikasi hukum dari ayat ini membuka cakrawala pemahaman tentang bagaimana Islam membentuk karakter individu dan masyarakat yang beradab.
I. Teks dan Terjemahan Surah Al Isra Ayat 23
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik." (QS. Al Isra: 23)
A. Analisis Lafaz Kunci (Tafsir Lafdzi)
Setiap kata dalam ayat ini memiliki kedalaman makna syariat dan linguistik yang luar biasa, membentuk perintah yang padat dan mutlak:
- وَقَضَىٰ (Wa Qadaa): Lafaz ini biasanya diterjemahkan sebagai 'memerintahkan'. Namun, para ulama tafsir, seperti Imam Ath-Thabari, menjelaskan bahwa makna *Qada* di sini lebih tegas daripada sekadar perintah (أَمَرَ - *amara*). Ia mencakup arti menetapkan, mewajibkan, dan mengharuskan. Ini adalah ketetapan Ilahi yang bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat. Penggunaan *Qada* menunjukkan bahwa perintah ini memiliki prioritas tertinggi dan merupakan ketentuan baku (hukum) dalam syariat.
- أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ (Alla Ta’budu Illa Iyyah): Ini adalah esensi dari tauhid, yaitu larangan mutlak untuk menyembah selain Allah. Penekanan pada bentuk negasi ganda ('jangan menyembah' dan 'kecuali Dia') memberikan kekuatan penegasan yang tak tertandingi. Ini adalah perintah vertikal yang menjadi syarat sahnya semua amal perbuatan manusia. Tanpa tauhid yang murni, amalan baik, termasuk berbakti kepada orang tua, tidak akan memiliki bobot di sisi Allah.
- وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا (Wa Bil Walidaini Ihsana): Lafaz *Ihsan* berarti berbuat kebaikan yang paling sempurna, melebihi sekadar menunaikan kewajiban. Ia melibatkan keikhlasan, ketulusan, dan memberikan yang terbaik. Dalam konteks ini, *Ihsan* berarti menunaikan hak-hak orang tua dengan penuh kasih sayang, adab, dan penghormatan. Para ulama fiqh menekankan bahwa *Ihsan* di sini mencakup pemenuhan kebutuhan materi, spiritual, dan emosional mereka.
- فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ (Fala Taqul Lahuma Uff): Inilah puncak dari larangan dalam etika berbakti. Kata *Uff* (kadang diterjemahkan 'Ah' atau 'Cih') adalah ungkapan ketidaknyamanan, ketidaksenangan, atau keluhan yang paling ringan sekalipun. Larangan ini bukan hanya mengenai kata-kata kasar, tetapi melarang bahkan ekspresi hati yang menunjukkan penolakan atau keberatan terhadap permintaan atau keadaan orang tua. Jika ungkapan sekecil *Uff* saja dilarang, maka tindakan atau ucapan yang lebih menyakitkan tentu saja termasuk dosa besar (Durhaka/Uququl Walidain).
- وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (Wa Qul Lahuma Qaulan Karima): Ini adalah perintah positif yang menyeimbangkan larangan negatif sebelumnya. *Qaulan Karima* adalah ucapan yang mulia, penuh hormat, lembut, dan bijaksana. Imam Al-Qurtubi menafsirkan *Karim* sebagai ucapan yang membahagiakan hati, menghormati kedudukan, dan sesuai dengan adab yang tertinggi, seolah-olah kita sedang berbicara kepada seorang raja atau pemimpin yang sangat dihormati.
II. Pilar Utama: Keterkaitan Tauhid dan Birrul Walidain
Ayat 23 dari Surah Al Isra memulai daftar perintah etika sosial yang panjang (Ayat 23-39) yang dikenal sebagai sepuluh wasiat dasar dalam Islam, namun ia memisahkan perintah berbakti kepada orang tua dan meletakkannya langsung setelah perintah tauhid. Ini bukanlah kebetulan, melainkan penegasan filosofis dan teologis tentang urgensi Birrul Walidain.
A. Mengapa Keduanya Dipasangkan?
Para mufassir kontemporer dan klasik sepakat bahwa ada beberapa hikmah mendalam mengapa perintah vertikal (Tauhid) dan horizontal (Birrul Walidain) ini digandengkan:
- Analog Kausalitas Penciptaan: Allah adalah Pencipta mutlak yang wajib disembah. Orang tua, secara kausalitas duniawi, adalah sebab wujudnya kita di dunia. Dengan menyandingkan keduanya, Allah mengajarkan bahwa setelah pengakuan terhadap Pencipta, pengakuan dan penghormatan terbesar harus diberikan kepada perantara (orang tua) yang telah berjuang membesarkan kita. Kufur terhadap nikmat Allah seringkali berawal dari kufur terhadap nikmat yang diantarkan melalui manusia, terutama orang tua.
- Hak yang Paling Besar Setelah Hak Allah: Hak Allah (Haqqullah) adalah yang tertinggi, yaitu ibadah dan tauhid. Segera setelah itu, hak terbesar yang harus dipenuhi adalah Hak Orang Tua (Haqqul Walidain). Ini ditegaskan dalam banyak hadis, menunjukkan bahwa Birrul Walidain adalah jalan pintas menuju keridhaan Ilahi.
- Ujian Keikhlasan dan Kesabaran: Tauhid diuji melalui ketaatan spiritual, sementara Birrul Walidain menguji keikhlasan, kesabaran, dan pengendalian diri kita dalam interaksi sehari-hari, terutama ketika orang tua mencapai usia senja dan mungkin menjadi rewel atau merepotkan.
B. Konsekuensi Jika Birrul Walidain Diabaikan
Mengabaikan perintah berbakti kepada orang tua atau melakukan *Uququl Walidain* (durhaka) adalah dosa besar yang sering disandingkan dengan Syirik (menyekutukan Allah). Rasulullah ﷺ bersabda bahwa ada dosa-dosa yang Allah tangguhkan hukumannya hingga di Akhirat, kecuali durhaka kepada orang tua yang hukumannya bisa disegerakan di dunia.
Durhaka tidak hanya berupa tindakan fisik, tetapi juga mencakup:
- Mengabaikan mereka saat mereka membutuhkan perhatian.
- Membuat mereka sedih atau menangis tanpa alasan yang dibenarkan syariat.
- Lebih mengutamakan pasangan atau anak sendiri dalam hal finansial atau waktu, sementara orang tua terlantar.
- Berbicara dengan nada tinggi atau membentak (melanggar larangan *Laa tanharhuma*).
III. Penekanan Khusus pada Usia Lanjut (Masa Senja)
Ayat 23 secara spesifik menyoroti kondisi orang tua saat mereka mencapai usia lanjut: "Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu..."
A. Hikmah Pengkhususan Masa Tua
Fase usia lanjut adalah fase paling rentan dalam kehidupan orang tua. Pada masa ini, kondisi fisik, mental, dan emosional mereka mengalami kemunduran signifikan. Mereka mungkin menjadi sangat bergantung, mudah tersinggung, dan seringkali membutuhkan pengasuhan yang sama intensifnya dengan pengasuhan anak kecil.
Pengkhususan ini mengandung hikmah:
- Pembalasan Kebaikan: Saat mereka tua, kita diperintahkan membalas kebaikan masa kecil kita. Saat kecil, kita lemah dan mereka kuat; saat tua, mereka lemah dan kita kuat. Perintah ini menguji apakah kita mampu bersabar dan berkorban sebagaimana mereka bersabar saat kita bayi.
- Ujian Kesabaran Maksimal: Di usia tua, orang tua mungkin memiliki permintaan yang tidak masuk akal atau kebiasaan yang menjengkelkan. Di sinilah larangan mengucapkan *Uff* menjadi paling relevan. Kita dilarang menunjukkan rasa bosan atau jengkel, karena hal itu melukai martabat dan perasaan mereka.
- Fase Kunci Pengampunan Dosa: Melayani orang tua di usia senja, terutama saat mereka sakit atau lemah, dipandang sebagai salah satu amal paling utama yang dapat menghapus dosa dan menaikkan derajat seorang hamba, asalkan dilakukan dengan *Ihsan* dan tanpa keluhan.
B. Etika Berbicara (*Qaulan Karima*)
Perintah untuk mengucapkan *Qaulan Karima* (perkataan yang mulia) adalah kewajiban aktif. Ini bukan hanya tentang menghindari yang buruk, tetapi wajib melakukan yang terbaik.
Ucapan yang mulia meliputi:
- Panggilan yang hormat (menghindari memanggil nama mereka secara langsung tanpa gelar kehormatan).
- Nada suara yang lembut, merendahkan diri, dan penuh kasih sayang.
- Penggunaan bahasa yang santun dan menghindari dialek kasar atau bahasa gaul yang tidak sopan.
- Ucapan yang mengandung doa, seperti mendoakan kesehatan, kebahagiaan, dan keridhaan mereka.
- Memberikan kabar gembira dan menghindari penyampaian berita buruk atau hal yang membuat mereka khawatir, kecuali jika itu wajib.
Banyak mufassir menekankan bahwa *Qaulan Karima* harus keluar dari hati yang tulus. Bukan sekadar basa-basi lisan, tetapi refleksi dari kerendahan hati seorang anak di hadapan mereka yang telah berjuang demi eksistensinya.
IV. Tafsir Menurut Para Ulama Klasik dan Kontemporer
Kedalaman Surah Al Isra ayat 23 telah melahirkan interpretasi yang kaya dari berbagai mazhab tafsir sepanjang sejarah Islam.
A. Pandangan Imam At-Thabari (Tafsir Jami’ Al-Bayan)
Imam Muhammad bin Jarir At-Thabari menekankan aspek *Qada* (ketetapan). Menurut beliau, ketika Allah menggunakan kata *Qada*, ini menunjukkan bahwa perintah Tauhid dan Birrul Walidain adalah hukum wajib yang bersifat universal dan mendasar bagi setiap syariat. Beliau fokus pada penafsiran larangan *Uff*, menjelaskan bahwa ia mencakup segala macam ekspresi ketidaksukaan, baik berupa gerutuan lisan, desahan napas, atau bahkan tatapan mata yang menunjukkan kejengkelan. Bagi At-Thabari, pelanggaran *Uff* adalah pintu gerbang menuju durhaka yang lebih besar.
B. Pandangan Imam Ibn Katsir (Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim)
Ibn Katsir menghubungkan ayat ini dengan hadis-hadis yang menggarisbawahi keutamaan Birrul Walidain. Beliau mengutip riwayat yang menyatakan bahwa berbakti kepada orang tua adalah amal yang paling utama setelah salat tepat waktu. Ibn Katsir sangat detail dalam menjelaskan fase usia lanjut. Beliau menafsirkan bahwa pada saat itulah anak diuji, dan jika ia berhasil merawat orang tua dengan penuh *Ihsan* tanpa keluhan, ia telah mencapai derajat ketaatan yang luar biasa. Beliau juga mencatat bahwa *Qaulan Karima* haruslah ucapan yang lembut, sebagaimana seorang budak berbicara kepada tuannya.
C. Pandangan Sayyid Qutb (Tafsir Fi Zilalil Qur’an)
Sayyid Qutb melihat ayat ini dari perspektif keadilan sosial dan psikologi Islami. Menurutnya, pemasangan Tauhid dan Birrul Walidain adalah jaminan bahwa masyarakat Islam akan dibangun di atas dasar moralitas tertinggi. Qutb berpendapat bahwa larangan *Uff* berfungsi sebagai perlindungan psikologis bagi orang tua. Mereka adalah pihak yang paling rentan terhadap perasaan ditolak atau tidak diinginkan, dan larangan tersebut memastikan bahwa anak harus selalu memberikan rasa aman dan hormat, bahkan ketika menghadapi tantangan dalam merawat. *Ihsan* adalah praktik nyata Tauhid dalam kehidupan bermasyarakat.
D. Pandangan M. Quraish Shihab (Tafsir Al-Mishbah)
M. Quraish Shihab dalam tafsirnya menekankan konteks kalimat "dalam pemeliharaanmu" (*‘Indakal Kibar*). Ini menunjukkan bahwa kewajiban *Ihsan* menjadi semakin intens ketika orang tua berada dalam tanggung jawab finansial, fisik, atau emosional anak. Beliau menjelaskan bahwa *Ihsan* bukan sekadar memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga kebutuhan psikologis, yaitu memberikan perhatian penuh, senyuman, dan perasaan dihormati. Beliau juga menyoroti bahwa *Qaulan Karima* harus disampaikan dengan penuh tawadhu (rendah hati) dan menghindari nada superioritas meskipun si anak mungkin lebih kaya atau berpendidikan.
V. Implikasi Fiqh dan Hukum Praktis Birrul Walidain
Perintah dalam Surah Al Isra ayat 23 melahirkan berbagai hukum fiqh (fikih) yang mengatur interaksi anak dengan orang tua. Hukum-hukum ini bersifat wajib dan sunnah, semuanya bertujuan mencapai tingkat *Ihsan* tertinggi.
A. Prioritas Ketaatan
Prinsip fiqh menyatakan bahwa ketaatan kepada orang tua adalah wajib selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan perintah Allah SWT. Ayat 23 sendiri menetapkan batas ini dengan jelas: perintah Tauhid diletakkan di awal.
Jika orang tua memerintahkan anak untuk:
- Melakukan Syirik atau Maksiat: Anak wajib menolak perintah tersebut. Allah berfirman dalam Surah Luqman (31:15) bahwa meskipun orang tua berusaha memaksakan kemusyrikan, anak harus menolak ketaatan dalam hal itu, namun tetap wajib memperlakukan mereka di dunia dengan baik (*wa shohibhuma fiddunya ma’rufa*). Ini adalah contoh penyeimbangan antara Tauhid dan *Ihsan*.
- Meninggalkan Amalan Sunnah: Jika perintah orang tua bertentangan dengan amalan sunnah anak, para ulama umumnya memprioritaskan ketaatan kepada orang tua, karena berbakti kepada mereka adalah kewajiban yang berdampak langsung.
- Melakukan Amalan Wajib (Fardhu Ain): Jika orang tua melarang anak melakukan kewajiban individu (seperti salat, puasa Ramadhan, haji fardhu), larangan orang tua diabaikan karena hak Allah lebih didahulukan.
B. Kewajiban Nafkah dan Perawatan
Mayoritas ulama fiqh (termasuk Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Hanafiyyah) menetapkan bahwa nafkah orang tua yang miskin adalah kewajiban mutlak anak, setara dengan nafkah istri dan anak sendiri, dengan syarat anak tersebut mampu. Kewajiban ini termasuk penyediaan tempat tinggal, makanan, pakaian, dan biaya pengobatan.
Ayat 23 menekankan "pemeliharaanmu" (*‘Indakal Kibar*), yang menyiratkan tanggung jawab penuh ketika orang tua tidak mampu mandiri. Kewajiban merawat ini meluas ke perawatan fisik dan kehadiran emosional, memastikan mereka tidak merasa kesepian atau terabaikan.
C. Kewajiban Setelah Wafat
Kewajiban Birrul Walidain tidak berakhir dengan kematian mereka. Para ulama menegaskan bahwa seorang anak tetap dapat berbakti melalui empat cara utama, berdasarkan hadis sahih:
- Mendoakan ampunan dan rahmat bagi keduanya.
- Melunasi janji, hutang, atau wasiat yang belum terpenuhi (jika ada).
- Menyambung silaturahmi dengan kerabat dan teman-teman dekat orang tua.
- Memuliakan dan menjaga hubungan baik dengan saudara kandung yang dicintai orang tua.
VI. Dimensi Psikologis dan Sosiologis Ayat 23
Surah Al Isra ayat 23 bukan sekadar teks hukum, tetapi panduan psikologis yang luar biasa mengenai cara manusia menangani konflik emosional yang tak terhindarkan dalam hubungan orang tua-anak dewasa.
A. Pengendalian Diri dan Empati
Larangan *Uff* adalah latihan pengendalian diri tingkat tinggi. Ia mengajarkan bahwa respons instingif kita terhadap rasa frustrasi atau kelelahan harus ditundukkan demi penghormatan.
Dalam ilmu psikologi, *Ihsan* ini dapat diartikan sebagai pengembangan empati mendalam. Anak diminta untuk memahami bahwa kelemahan atau ketergantungan orang tua di masa tua adalah takdir Ilahi dan kondisi alami. Dengan tidak mengatakan *Uff*, anak dilatih untuk melihat dari sudut pandang orang tua yang mungkin merasa kehilangan kontrol atas hidup mereka dan sangat sensitif terhadap penolakan.
Tuntutan untuk *Qaulan Karima* memastikan bahwa komunikasi tidak hanya bebas dari kebencian, tetapi diisi dengan afirmasi positif, penguatan, dan penghargaan terhadap masa lalu dan keberadaan mereka saat ini. Ini menciptakan lingkungan yang memelihara kesehatan mental orang tua.
B. Peran Ayat dalam Struktur Keluarga Modern
Di tengah arus globalisasi dan individualisme yang cenderung meminggirkan generasi tua (fenomena "panti jompo" yang berbasis pada isolasi), Surah Al Isra ayat 23 menegaskan kembali prinsip keluarga inti dan luas sebagai unit perawatan utama. Ayat ini mewajibkan orang tua, terutama di usia senja, untuk tetap berada dalam pemeliharaan dan pengawasan anak-anak mereka.
Kewajiban ini berfungsi sebagai penahan terhadap kehancuran ikatan keluarga dan menjamin bahwa nilai-nilai spiritual dan etika Islam diwariskan melalui praktik nyata *Ihsan*. Keluarga yang mempraktikkan Birrul Walidain adalah keluarga yang sehat secara moral dan sosial, yang pada akhirnya akan membentuk masyarakat yang saling mengasihi dan menghormati.
C. Pelajaran dari Kisah Para Sahabat
Banyak kisah sahabat yang menunjukkan implementasi ekstrem dari ayat ini, seperti kisah Uwais Al-Qarni, yang menunda pertemuannya dengan Rasulullah ﷺ karena harus merawat ibunya yang sakit, menunjukkan bahwa Birrul Walidain kadang-kadang mengalahkan bahkan keinginan untuk melakukan ibadah sunnah yang sangat besar. Kisah-kisah ini menjadi contoh konkrit bahwa *Ihsan* kepada orang tua adalah jalan spiritual yang paling cepat menuju keridhaan Allah, sebagaimana tertuang dalam ketetapan awal Surah Al Isra: Tauhid diikuti oleh Birrul Walidain.
Ketaatan yang dituntut oleh ayat ini bersifat absolut dan tanpa pengecualian, kecuali dalam hal syirik. Hal ini menegaskan kembali bahwa dalam hierarki hubungan manusia, tidak ada hubungan yang dapat menggantikan atau menandingi pentingnya hubungan dengan orang tua biologis, yang menjadi manifestasi nyata dari kasih sayang dan kuasa Pencipta di bumi.
Dengan demikian, Surah Al Isra ayat 23 tidak hanya sekadar memerintahkan kebaikan, tetapi menetapkan sebuah standar moral universal. Ia adalah cetak biru abadi untuk membangun etika individual dan kolektif, memastikan bahwa setiap Muslim berdiri tegak di atas dua pilar utama: ketaatan mutlak kepada Allah dan penghormatan tulus serta pengorbanan tanpa batas kepada kedua orang tua, terutama di saat mereka paling membutuhkan.
Kewajiban ini terus bergulir, menjadi siklus kebajikan di mana generasi muda melihat bagaimana orang tua mereka merawat kakek nenek mereka, sehingga mereka sendiri termotivasi untuk melakukan hal yang sama di masa depan. *Ihsan* kepada orang tua adalah investasi spiritual jangka panjang, yang janji balasannya adalah surga dan keridhaan Ilahi.
Keseluruhan ayat ini menekankan bahwa spiritualitas sejati tidak dapat dipisahkan dari etika praktis. Jika seseorang mengaku mencintai Allah dan mengesakan-Nya, maka ujian pertama dari keimanan tersebut adalah perlakuan orang tersebut terhadap manusia terdekat yang paling berjasa dalam hidupnya. Kegagalan dalam Birrul Walidain adalah indikasi adanya cacat serius dalam pelaksanaan Tauhid, karena orang yang tidak bersyukur kepada perantara nikmat (orang tua) cenderung tidak bersyukur kepada Sumber Nikmat (Allah SWT).
Oleh karena itu, setiap Muslim diperintahkan untuk merenungkan makna mendalam dari larangan *Uff* dan tuntutan *Qaulan Karima*. Kedua perintah ini adalah barisan terdepan dalam jihad melawan ego dan hawa nafsu, menuntut penundukan diri total demi mencapai keridhaan abadi, yang telah ditetapkan sebagai satu paket kewajiban Ilahi sejak awal Surah Al Isra ayat 23 diwahyukan. Pelaksanaan penuh terhadap ayat ini adalah bukti kesempurnaan seorang Mukmin dalam menjalankan baik hak-hak Allah maupun hak-hak sesama manusia.