Surah Al-Isra, yang juga dikenal sebagai Bani Israil, adalah surah Makkiyah yang kaya akan panduan moral dan etika dasar dalam Islam. Inti dari surah ini mencakup tauhid, kewajiban berbakti kepada orang tua, larangan pembunuhan, dan yang tak kalah penting, pengaturan komprehensif mengenai harta benda, distribusi kekayaan, dan tata cara bermuamalah.
Dua ayat yang menjadi fokus utama kajian ini, yaitu ayat 26 dan 27, menyajikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi dalam pengelolaan kekayaan dan moralitas sosial: kewajiban memberi (distribusi positif) dan larangan menghambur-hamburkan (pencegahan negatif). Kedua perintah ini merupakan fondasi vital dalam membangun masyarakat yang adil, seimbang, dan bebas dari jurang pemisah sosial ekonomi yang ekstrem. Ayat-ayat ini tidak hanya berbicara tentang hukum, tetapi juga tentang pembentukan karakter individu yang bertanggung jawab secara finansial dan spiritual.
Ayat ini secara eksplisit memerintahkan umat Muslim untuk melaksanakan tiga kewajiban sosial ekonomi utama yang terkait dengan harta yang dimiliki. Perintah 'وَآتِ' (wa āti) yang berarti 'dan berikanlah' mengandung unsur penekanan yang kuat, mengindikasikan bahwa tindakan memberi ini bukan sekadar anjuran moral, melainkan sebuah hak yang harus dipenuhi oleh pemilik harta.
Penyebutan ‘dzul qurba’ (pemilik kekerabatan) di awal daftar menunjukkan prioritas utama dalam distribusi kekayaan. Islam menekankan bahwa kewajiban sosial pertama kali harus dimulai dari lingkaran terdekat, yaitu keluarga besar dan kerabat. Kewajiban ini mencakup silaturahmi, membantu mereka yang membutuhkan, dan memastikan kebutuhan dasar mereka terpenuhi. Para ulama tafsir, seperti Imam Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir, menjelaskan bahwa hak kerabat ini melampaui sekadar sedekah sunnah; ia merujuk pada kewajiban nafkah (bagi yang wajib dinafkahi) dan bantuan finansial yang memastikan kerabat tidak hidup dalam kemiskinan, terutama bagi mereka yang tidak termasuk ahli waris yang mendapatkan bagian warisan secara otomatis.
Beberapa mazhab fikih membahas secara mendalam tentang status hak kerabat. Apakah hak ini wajib (fardhu) atau sunnah muakkadah? Mayoritas ulama berpendapat bahwa membantu kerabat yang membutuhkan dan tidak mampu menafkahi diri sendiri adalah kewajiban yang mendahului kewajiban sosial lainnya, bahkan mendahului zakat dalam konteks prioritas penyaluran harta. Mengabaikan kerabat yang membutuhkan dapat dipandang sebagai pemutusan tali silaturahmi yang dilarang keras dalam Islam.
Setelah kerabat, perhatian diarahkan kepada al-miskin, yaitu mereka yang memiliki kebutuhan namun tidak mampu memenuhinya, atau mereka yang sama sekali tidak memiliki harta. Ini adalah pilar zakat dan sedekah umum. Ayat ini menekankan bahwa harta yang dimiliki seseorang mengandung hak bagi orang lain yang termarjinalkan. Konsep hak ini memastikan bahwa kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang kaya saja, sebuah prinsip ekonomi yang mendasar dalam Islam.
Kategori al-miskin ini sangat luas. Mereka adalah tulang punggung penerima bantuan sosial dan filantropi Islam. Dalam konteks modern, hal ini mencakup program pengentasan kemiskinan, bantuan pangan, dan penyediaan akses terhadap pendidikan dan kesehatan bagi kelompok rentan. Pemberian kepada miskin ini berfungsi sebagai katup pengaman sosial, meredakan ketegangan dan kecemburuan sosial yang timbul akibat disparitas kekayaan.
Ibn As-Sabil secara harfiah berarti "anak jalan", merujuk pada musafir atau orang yang sedang dalam perjalanan dan kehabisan bekal, meskipun di tanah airnya ia mungkin adalah orang yang berkecukupan. Kewajiban ini mencerminkan kosmopolitanisme dan solidaritas universal dalam Islam. Seorang musafir, yang terputus dari sumber dayanya, memiliki hak atas sebagian harta umat Islam untuk memungkinkannya melanjutkan perjalanan atau kembali ke rumahnya.
Penerapan kontemporer dari ‘Ibn As-Sabil’ bisa meluas mencakup pengungsi, imigran yang terdampar, atau bahkan pelajar yang sedang menuntut ilmu jauh dari rumah dan mengalami kesulitan finansial mendadak. Intinya adalah membantu mereka yang berada dalam kondisi ketidakberdayaan sementara akibat perpindahan atau perjalanan. Hak ini menegaskan prinsip bahwa di mana pun seorang Muslim berada, ia adalah bagian dari komunitas global yang saling menanggung beban.
Prioritas Kedermawanan (Dzul Qurba, Miskin, Ibn Sabil)
Perintah dalam Ayat 26 ini menegaskan bahwa distribusi harta bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Dalam sistem ekonomi Islam, kepemilikan harta bersifat dua dimensi: kepemilikan individu yang diakui dan fungsi sosial harta tersebut. Fungsi sosial inilah yang diaktifkan melalui zakat, infaq, dan sedekah wajib lainnya.
Para mufasir menekankan bahwa 'haknya' (haqqahu) menunjukkan bahwa penerima bantuan dalam ayat ini tidak sedang meminta belas kasihan, melainkan menuntut sesuatu yang memang telah ditetapkan oleh Allah sebagai bagian dari rezeki mereka yang tertahan pada tangan orang kaya. Harta yang diberikan bukan berkurang, melainkan merupakan penyucian harta yang tersisa. Implementasi penuh dari Ayat 26 menjamin stabilitas sosial dan menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang pro-keadilan ekonomi.
Diskusi tentang 'hak' dalam konteks ini juga memunculkan perdebatan tentang peran negara versus peran individu. Meskipun zakat adalah kewajiban yang diatur oleh negara (atau otoritas), kewajiban kepada kerabat dan musafir seringkali diserahkan kepada kesadaran moral dan spiritual individu. Ayat ini memperluas ruang lingkup kedermawanan pribadi melampaui kewajiban zakat formal, memastikan jaringan pengaman sosial yang menyeluruh.
Ayat 26 mengajarkan konsep Keadilan Relasional (Relational Justice). Keadilan ini menuntut kita untuk menyesuaikan level pertolongan berdasarkan kedekatan hubungan. Kerabat memiliki hak yang lebih tinggi dan lebih spesifik karena mereka adalah perpanjangan diri kita. Mengabaikan kerabat yang menderita sementara kita dermawan kepada orang asing dianggap sebagai kegagalan moral yang serius.
Keadilan Relasional ini juga mencakup aspek psikologis. Memberi kepada kerabat akan memperkuat ikatan keluarga (silaturahmi), yang secara kolektif memperkokoh struktur masyarakat. Masyarakat yang kuat adalah masyarakat yang unit keluarganya berfungsi dengan baik, saling mendukung, dan bertanggung jawab atas anggotanya.
Penting untuk dicatat bahwa Al-Qur'an menggunakan kata kerja ‘āti’ (berikanlah), sebuah kata perintah aktif yang menuntut inisiatif. Pemilik harta tidak boleh menunggu sampai kerabatnya datang meminta-minta; ia harus proaktif mencari tahu kondisi kerabatnya yang mungkin membutuhkan bantuan, menjaga martabat mereka dari keharusan meminta.
Ayat 27 datang segera setelah Ayat 26, berfungsi sebagai penyeimbang dan batas. Jika Ayat 26 memerintahkan distribusi, Ayat 27 melarang pemborosan. Kedua ayat ini mengajarkan manajemen harta yang seimbang: kita harus memberi tanpa berlebihan (tanpa menghabiskan semua harta untuk pemberian, yang juga bisa dianggap boros) dan kita harus menggunakan harta untuk diri sendiri tanpa mubazir.
Kata kunci dalam ayat ini adalah ‘al-mubadzdzirīn’ (orang-orang yang melakukan tabdzir). Secara bahasa, *tabdzir* berarti menyebarkan atau menyia-nyiakan. Dalam konteks syariat, *tabdzir* tidak sekadar berarti menghabiskan banyak uang, tetapi lebih spesifik: membelanjakan harta pada hal-hal yang tidak benar (maksiat atau sia-sia), atau membelanjakan secara berlebihan pada hal-hal yang benar (yang halal).
Imam Syafi’i dan mayoritas ulama Syafi’iyyah mendefinisikan *tabdzir* sebagai pengeluaran yang tidak sesuai dengan kebenaran (hak). Jika seseorang menghabiskan banyak uang untuk amal dan kebaikan, itu bukan *tabdzir*. Namun, jika seseorang menghabiskan sedikit uang untuk maksiat, itu adalah *tabdzir*. Definisi ini menyoroti aspek moral dan tujuan pengeluaran, bukan hanya kuantitasnya.
Sebaliknya, beberapa ulama lain (seperti madzhab Hanafi) juga memasukkan pemborosan berlebihan pada hal-hal halal—seperti membeli makanan mewah yang jauh melampaui kebutuhan—sebagai bentuk *tabdzir* jika dilakukan secara rutin hingga menyebabkan kerugian finansial atau ketidakmampuan untuk memenuhi kewajiban (seperti menafkahi keluarga atau membayar hutang).
Pernyataan paling keras dalam ayat ini adalah penyebutan pemboros sebagai 'saudara-saudara setan' (ikhwan as-syayatin). Metafora ini bukan sekadar ancaman, melainkan penegasan teologis tentang asal mula perilaku boros.
Ancaman ini menunjukkan betapa seriusnya Islam memandang pemborosan. Ini bukan sekadar masalah keuangan pribadi; ini adalah masalah spiritual yang menempatkan pelakunya dalam barisan yang sama dengan musuh utama manusia.
Ayat ini ditutup dengan kalimat, ‘dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.’ Penutupan ini memberikan alasan logis mengapa pemboros disamakan dengan setan. Setan mengingkari Tuhannya dengan menolak bersyukur dan taat. Pemboros mengingkari nikmat Tuhannya dengan menyia-nyiakan dan menggunakan nikmat tersebut tidak pada tempatnya. Inti dari *tabdzir* adalah kegagalan untuk menghargai sumber daya (nikmat) yang datang dari Allah SWT.
Prinsip Keseimbangan (Iqtisad) Melawan Pemborosan
Secara ekonomi, *tabdzir* menyebabkan kerugian individu dan masyarakat. Di tingkat individu, pemborosan dapat menghancurkan aset, menyebabkan utang, dan mengganggu stabilitas rumah tangga. Di tingkat masyarakat, jika *tabdzir* menjadi budaya, ia mengakibatkan alokasi sumber daya yang tidak efisien. Sumber daya yang seharusnya digunakan untuk investasi produktif, pendidikan, atau membantu yang membutuhkan malah dihamburkan untuk konsumsi mewah dan sia-sia.
Contoh klasik dari *tabdzir* meliputi: pemborosan air, makanan (membuang sisa makanan yang masih layak), pembelian barang-barang yang hanya didorong oleh tren atau pamer, serta penggunaan energi yang melampaui batas kebutuhan. Islam mengajarkan bahwa segala bentuk *israf* (berlebihan) dan *tabdzir* harus dihindari, bahkan saat berwudu sekalipun, yang merupakan ibadah.
Maka, ayat ini menjadi sebuah panggilan untuk menanamkan budaya *Iqtisad* (ekonomi yang adil, efisien, dan moderat). Seorang Muslim harus menjadi manajer harta yang bijak, yang mampu membedakan antara kebutuhan, keinginan, dan kesia-siaan.
Kekuatan etika finansial dalam Surah Al-Isra terletak pada penyajian dua perintah yang tampaknya kontradiktif namun sesungguhnya saling melengkapi. Ayat 26 memerintahkan pengeluaran, sementara Ayat 27 melarang pengeluaran. Keseimbangan inilah yang menciptakan jalan tengah atau Wasatiyyah dalam Islam, khususnya dalam hal ekonomi.
Ayat 26 dan 27 mengajarkan tiga dimensi utama dalam mengelola harta, yang harus dilaksanakan secara simultan:
Seorang Muslim ideal adalah seseorang yang mampu membelanjakan hartanya secara proporsional. Ia tidak menahan hak orang lain (pelit/kikir), namun juga tidak royal hingga melampaui batas (boros/mubazir). Keseimbangan ini telah dijelaskan pula dalam ayat lain di Surah yang sama, yaitu ayat 29:
Ayat 29 berfungsi sebagai ringkasan etika keuangan, memperkuat larangan ekstremisme: kikir adalah kegagalan memenuhi hak (melanggar Ayat 26), sedangkan boros adalah kegagalan manajemen (melanggar Ayat 27).
Kedua ayat ini merupakan instrumen pembentuk karakter. Seseorang yang mempraktikkan Ayat 26 mengembangkan empati, tanggung jawab sosial, dan kedermawanan. Seseorang yang mempraktikkan Ayat 27 mengembangkan disiplin diri, kesadaran lingkungan, dan rasa syukur atas nikmat yang terbatas.
Tanpa Ayat 26, masyarakat menjadi egois dan individualis. Tanpa Ayat 27, masyarakat menjadi konsumtif, tidak berkelanjutan, dan rentan terhadap krisis ekonomi. Oleh karena itu, ketaatan pada kedua ayat ini adalah prasyarat untuk menciptakan masyarakat Islam yang makmur secara material dan spiritual.
Untuk memahami kedalaman Ayat 27, penting untuk membedakan *tabdzir* dari istilah terkait:
Para ulama seperti Mujahid berpendapat bahwa *tabdzir* adalah puncak keburukan, karena ia mencakup pengeluaran yang sia-sia, haram, dan bahkan yang berlebihan hingga merusak diri. Ketika Al-Qur'an secara tegas menyamakan *al-mubadzdzirīn* dengan saudara setan, ini menggarisbawahi bahwa dosa *tabdzir* lebih parah daripada sekadar 'kebiasaan buruk'; ia adalah penyimpangan teologis dan etis.
Meskipun Surah Al-Isra adalah Makkiyah (turun sebelum Hijrah), perintah-perintah sosial ekonominya sangat relevan dengan situasi Mekah saat itu, di mana ketidaksetaraan sosial sangat mencolok. Kaum Quraisy yang kaya cenderung menimbun harta, mengadakan pesta mewah, dan mengabaikan kerabat yang membutuhkan. Ayat 26 dan 27 turun untuk mengikis budaya hedonisme, ketamakan, dan kesombongan yang menjadi ciri khas masyarakat pra-Islam.
Ayat ini menegaskan bahwa bahkan dalam kondisi sulit di Mekah (sebelum penetapan zakat yang sistematis di Madinah), kewajiban berbagi sudah menjadi keharusan moral yang mendasar. Larangan *tabdzir* pun menjadi relevan, mengajarkan kepada Muslim untuk hidup sederhana dan berfokus pada substansi, bukan penampilan lahiriah yang boros.
Dalam ekonomi Islam kontemporer, Ayat 26 dan 27 menjadi dasar bagi etika konsumsi dan investasi. Ayat 26 mendukung konsep CSR (Corporate Social Responsibility) dan program filantropi berbasis keluarga (Family Endowment Funds). Ayat 27 menjadi landasan untuk larangan spekulasi berlebihan, investasi pada industri yang merusak lingkungan (karena itu adalah pemborosan sumber daya alam), dan segala bentuk konsumerisme berlebihan yang didorong oleh kapitalisme yang tidak terkendali.
Jika Ayat 26 memastikan bahwa permintaan agregat (daya beli) di masyarakat terjaga melalui distribusi, Ayat 27 memastikan bahwa sumber daya (supply) tidak terbuang sia-sia. Kedua ayat ini mendorong ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economy) yang menghormati sumber daya alam dan manusia.
Kedermawanan yang diperintahkan dalam Ayat 26 adalah ibadah transenden. Ia membersihkan jiwa dari penyakit kikir (bukhl) dan menumbuhkan rasa syukur. Setiap kali seseorang memenuhi hak kerabat atau miskin, ia mengakui bahwa harta tersebut adalah amanah dari Allah.
Sebaliknya, *tabdzir* dalam Ayat 27 adalah manifestasi dari kegagalan spiritual. Orang yang boros adalah orang yang tidak memiliki kontrol diri (*nafs ammarah bis-su’*). Ia menjadikan hawa nafsunya sebagai pengatur pengeluaran, bukan akal sehat dan bimbingan agama. Keterikatan kepada setan dalam ayat ini adalah pengingat bahwa ketidakmampuan mengendalikan harta adalah bentuk pembukaan gerbang menuju dosa yang lebih besar.
Filosofi di balik kedua ayat ini adalah bahwa harta tidak diciptakan untuk kepuasan diri semata, melainkan sebagai alat untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi: ketaatan kepada Allah, keadilan sosial, dan pembentukan komunitas yang saling menopang.
Siapakah yang termasuk dalam kategori ‘dzul qurba’? Secara umum, ini mencakup semua kerabat dekat yang tidak wajib dinafkahi oleh hukum zakat secara langsung (seperti anak dan istri), namun memiliki hubungan darah. Prioritasnya adalah saudara, paman, bibi, dan keturunan mereka. Imam Ibnu Katsir menekankan bahwa amal terbaik adalah yang diberikan kepada kerabat dekat yang membutuhkan. Ini adalah bentuk sedekah ganda: sedekah dan silaturahmi.
Dalam pandangan fiqih, ketika kerabat berada dalam kondisi yang sangat miskin dan seseorang memiliki kelebihan harta, kewajiban untuk membantu mereka dapat berubah dari sunnah menjadi wajib (fardhu kifayah atau fardhu ‘ain, tergantung kondisi) demi menjaga martabat dan kelangsungan hidup mereka. Konsep ini menegaskan bahwa solidaritas keluarga adalah unit dasar yang harus dilindungi sebelum menyebar ke masyarakat luas.
Kewajiban memberi kepada kerabat tidak boleh ditunda dengan alasan menunggu waktu pembayaran zakat tahunan. Ayat 26 menuntut tindakan segera begitu kebutuhan kerabat diketahui. Hal ini memastikan bahwa sistem jaring pengaman keluarga bekerja secara efisien setiap saat, bukan hanya saat perhitungan tahunan.
Di masa Nabi Muhammad SAW, Ibn As-Sabil merujuk pada musafir yang bekalnya terputus. Namun, para fuqaha modern memperluas cakupan ini. Di era modern, mobilitas manusia sangat tinggi. Musafir zaman sekarang tidak hanya pedagang atau peziarah, tetapi juga mahasiswa asing, pekerja migran, atau korban konflik yang harus mengungsi.
Jika kita meninjau tujuan syariat (Maqasid Syariah), hak Ibn As-Sabil bertujuan melindungi jiwa, harta, dan kehormatan mereka yang tidak berdaya karena terasing dari basis dukungan mereka. Oleh karena itu, pengeluaran untuk lembaga-lembaga yang membantu pengungsi, memberikan bantuan hukum kepada pekerja migran yang terdampar, atau menyediakan shelter bagi mereka yang kehilangan tempat tinggal sementara, semuanya masuk dalam pelaksanaan Ayat 26.
Pemahaman praktis tentang *tabdzir* adalah kunci. Pemborosan tidak selalu melibatkan pembelian yacht atau jet pribadi. Ia dapat berupa tindakan yang sangat sederhana namun masif:
Ayat 27 menuntut kesadaran ekologis dan etika konsumsi yang mendalam. Muslim harus menjadi konsumen yang bertanggung jawab, mengingat bahwa setiap sumber daya yang digunakan tanpa manfaat atau disia-siakan adalah pengkhianatan terhadap amanah Allah.
Ayat 26 dan 27 tidak dapat dipisahkan. Mereka membentuk sistem ekonomi yang etis. Ayat 26 menciptakan aliran keluar wajib (kedermawanan), sementara Ayat 27 mencegah kebocoran yang sia-sia (pemborosan). Tanpa aliran keluar yang diatur, harta akan stagnan dan menimbulkan kesenjangan. Tanpa larangan pemborosan, harta yang didistribusikan maupun yang ditahan akan habis tanpa makna spiritual atau sosial.
Keseimbangan ini menghasilkan konsep *Barakah* (keberkahan). Harta yang dibelanjakan sesuai Ayat 26 akan mendatangkan keberkahan dan pahala. Harta yang dijaga dari *tabdzir* sesuai Ayat 27 akan bertahan lama dan bermanfaat bagi pemiliknya dan keturunannya. Sebaliknya, harta yang ditimbun (kikir) atau dihamburkan (boros) akan kehilangan keberkahannya.
Penyebutan ‘saudara-saudara setan’ adalah perangkat retorika yang sangat kuat dalam Al-Qur'an. Ini bukan hanya label, tetapi sebuah diagnosa spiritual. Setan digambarkan sebagai makhluk yang memiliki ciri-ciri utama:
Oleh karena itu, jika seseorang ingin menjauhi pengaruh setan, ia harus mulai dengan mengendalikan lidah dan tangannya—khususnya tangannya dalam pengeluaran. Ayat 27 adalah peringatan bahwa pertarungan melawan setan seringkali dimenangkan atau dikalahkan di pasar dan di meja makan, tempat keputusan pengeluaran dibuat.
Dalam konteks hak kerabat, Ayat 26 juga memiliki implikasi terhadap dukungan finansial untuk kerabat wanita. Dalam banyak budaya, wanita yang bercerai, janda, atau tidak memiliki pekerjaan seringkali menjadi sangat rentan. Ayat ini mewajibkan kerabat pria yang berkemampuan untuk mengambil tanggung jawab atas kebutuhan finansial mereka, memastikan bahwa kaum wanita dalam keluarga memiliki jaring pengaman yang kuat. Hal ini adalah demonstrasi keadilan gender dalam distribusi kekayaan, di mana perlindungan finansial melampaui pewarisan formal.
Walaupun *tabdzir* sering dilihat sebagai dosa individu, dampaknya kolektif. Ketika individu dan korporasi melakukan pemborosan sumber daya alam (misalnya, emisi karbon berlebihan), mereka merampas hak generasi mendatang. Ini adalah bentuk *tabdzir* skala besar.
Ayat 27, dengan demikian, mendorong Muslim untuk mendukung kebijakan publik yang mempromosikan efisiensi sumber daya, perlindungan lingkungan, dan praktik bisnis yang etis. Menjadi ‘saudara setan’ dalam konteks modern bisa berarti mendukung sistem ekonomi yang secara inheren merusak dan menghabiskan sumber daya bumi tanpa rasa tanggung jawab.
Surah Al-Isra Ayat 26 dan 27 adalah kurikulum mini tentang etika sosial ekonomi yang sempurna. Mereka menuntut umat Islam untuk aktif berperan dalam distribusi kekayaan sambil menunjukkan disiplin ketat dalam konsumsi. Siklus ini adalah siklus kebaikan:
Melalui kepatuhan pada perintah memberi dan larangan memboros, seorang Muslim mencapai puncak integritas spiritual dan moral, menegakkan keadilan di bumi, dan menjauhkan diri dari jalan yang ditempuh oleh setan.
Ayat 26 menjamin kasih sayang dan kepedulian sosial, sementara Ayat 27 menjamin keberlanjutan dan tanggung jawab. Kedua-duanya adalah prasyarat bagi kejayaan peradaban Islam yang dibangun di atas prinsip-prinsip keadilan dan moderasi yang kekal.
Penerapan ajaran ini secara holistik adalah manifestasi nyata dari ketakwaan. Ini adalah peta jalan menuju masyarakat yang sehat, di mana kebutuhan terpenuhi, hak-hak dihormati, dan sumber daya digunakan secara bijaksana, jauh dari cengkeraman hedonisme dan keserakahan, yang selalu didorong oleh bisikan-bisikan setan.
***
Kajian mendalam tentang dzul qurba tidak pernah berakhir. Ada penekanan kuat pada konsep shilah ar-rahm (menghubungkan tali kasih sayang/silaturahmi) yang mana dukungan finansial adalah komponen utamanya. Ketika kerabat jatuh miskin, mereka sering kali merasa malu untuk meminta bantuan kepada orang luar, bahkan kepada kerabatnya sendiri. Kegagalan kerabat yang kaya untuk menyadari dan bertindak atas kebutuhan ini dianggap sebagai dosa besar yang memutus ikatan darah.
Sejumlah hadis Nabi Muhammad SAW memperkuat prinsip ini, menyebutkan bahwa bersedekah kepada kerabat memiliki pahala dua kali lipat: pahala sedekah dan pahala silaturahmi. Ini menunjukkan bahwa Ayat 26 bertujuan ganda—bukan hanya mengatasi kemiskinan, tetapi juga menguatkan struktur sosial yang paling dasar, yaitu keluarga.
Implikasi praktisnya adalah bahwa sebelum seorang Muslim menyumbang untuk proyek-proyek besar atau jauh, ia harus terlebih dahulu memeriksa kondisi kerabatnya. Prioritas ini adalah ujian atas kejujuran niat dalam berderma. Kedermawanan yang hanya ditujukan kepada orang asing sementara kerabat dekat menderita menunjukkan kelemahan dalam pemahaman etika Islam.
Jika kita memperluas makna *tabdzir* ke arena modern, kita melihat bagaimana perilaku pemborosan kolektif menghasilkan bencana ekologis dan ekonomi. Penggunaan energi fosil berlebihan, produksi limbah plastik yang masif, dan konsumsi fashion cepat (*fast fashion*) adalah contoh *tabdzir* kontemporer. Semua praktik ini menyia-nyiakan sumber daya bumi yang terbatas, mengancam masa depan umat manusia, dan secara fundamental melanggar etika moderasi yang diajarkan oleh Ayat 27.
Orang yang melakukan *tabdzir* dalam konteks ini adalah ‘saudara setan’ yang mendorong kehancuran di bumi, sama seperti tujuan utama setan. Tugas Muslim modern, yang memahami Ayat 27, adalah menjadi advokat untuk konsumsi yang bertanggung jawab (*conscious consumption*) dan gaya hidup minimalis yang berfokus pada kebutuhan, bukan pada akumulasi tanpa batas.
Mengapa Allah menghubungkan *tabdzir* dengan sifat kafir (ingkar) setan? Karena kedermawanan adalah pengakuan bahwa harta berasal dari Allah (tauhid rububiyah), sementara pemborosan adalah klaim tak sadar bahwa harta itu sepenuhnya milik kita dan kita bebas menggunakannya tanpa pertanggungjawaban (syirik kecil dalam penguasaan harta).
Konsep *Iqtisad* (moderasi) yang didorong oleh kedua ayat ini juga mencakup aspek menabung dan investasi. Moderasi berarti tidak menghabiskan semua yang dimiliki (yang bisa melanggar Ayat 27 jika menyebabkan ketidakmampuan menanggung kebutuhan di masa depan), tetapi juga tidak menahan semua harta (yang melanggar Ayat 26). Pengelolaan harta yang ideal adalah alokasi yang proporsional antara: kewajiban memberi, pengeluaran konsumsi wajar, dan tabungan/investasi yang bertujuan untuk stabilitas dan pertumbuhan yang halal.
Ayat 26 mencegah penimbunan (karena hak orang lain harus dikeluarkan), sementara Ayat 27 mencegah likuidasi aset secara sembrono. Kedua ayat ini menciptakan sistem yang mendorong sirkulasi kekayaan, bukan penimbunan kekayaan di tangan segelintir orang. Ini adalah resep ilahi untuk ekonomi yang dinamis dan adil.
Akhir kata, kehidupan seorang Muslim haruslah mencerminkan jembatan antara dua perintah ini: ulurkan tanganmu untuk membantu mereka yang membutuhkan (Ayat 26), tetapi tarik kembali tanganmu dari membelanjakan untuk kesia-siaan (Ayat 27). Di antara dua kutub inilah terletak jalan keselamatan dan keberkahan hakiki.