Surah Al-Hashr (Pengusiran) adalah surah ke-59 dalam Al-Qur'an, terdiri dari 24 ayat. Surah ini tergolong surah Madaniyyah, diturunkan setelah peristiwa penting dalam sejarah Islam, yaitu pengusiran suku Yahudi Banu Nadir dari Madinah. Dinamakan Al-Hashr karena menceritakan tentang 'pengumpulan' atau 'pengusiran' yang dilakukan oleh Allah SWT terhadap Banu Nadir sebagai akibat dari pengkhianatan dan konspirasi mereka terhadap perjanjian damai dengan kaum Muslimin.
Inti dari surah ini terbagi menjadi tiga fokus utama: penegasan kekuasaan mutlak Allah SWT atas seluruh alam semesta; penjelasan rinci mengenai hukum pembagian harta rampasan perang yang diperoleh tanpa pertempuran (*fai'*) dan penetapan model ideal masyarakat Muslim (Muhajirin dan Ansar); serta penutup yang luar biasa, memaparkan beberapa dari Asmaul Husna (Nama-nama Allah yang paling indah), menekankan bahwa pengetahuan dan kebijaksanaan Allah melingkupi segala sesuatu.
Kisah Banu Nadir menjadi pelajaran abadi bahwa kekuatan material atau benteng yang kokoh tidak akan mampu menandingi kehendak dan ketetapan Allah. Mereka menyangka benteng mereka akan melindungi mereka dari hukuman Allah, namun Allah mendatangkan azab dari arah yang tidak mereka duga, yaitu melalui tangan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Peristiwa ini bukan hanya narasi historis, tetapi juga penekanan teologis bahwa Allah adalah Pengatur Mutlak, dan semua makhluk di langit dan di bumi bertasbih memuji-Nya.
Surah Al-Hashr menawarkan dimensi spiritual dan legislatif yang sangat kaya. Tema-tema kuncinya meliputi:
Visualisasi Keseimbangan (Mizan) yang menunjukkan pentingnya Taqwa, sebagaimana diperintahkan dalam Surah Al-Hashr.
Artinya: Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi bertasbih kepada Allah; dan Dialah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.
Ayat pembuka ini, yang juga terdapat pada beberapa surah Madaniyyah lainnya, berfungsi sebagai proklamasi universal. Seluruh alam semesta, baik yang berakal maupun yang tidak, secara hakiki mengakui dan menyucikan keagungan Allah. 'Bertasbih' di sini tidak hanya berarti ucapan verbal, tetapi juga tunduknya semua hukum fisika dan eksistensi kepada kehendak-Nya. Ketika Allah hendak menghukum Banu Nadir, seluruh elemen alam semesta, termasuk hati dan kekuatan kaum Muslimin, tunduk kepada rencana Ilahi. Allah disebut Al-'Aziz (Maha Perkasa), menunjukkan bahwa hukuman-Nya tidak dapat dibantah, dan Al-Hakim (Maha Bijaksana), menandakan bahwa pengusiran dan hukum yang ditetapkan setelahnya penuh dengan hikmah dan keadilan yang mendalam.
Penegasan kedaulatan ini sangat penting karena surah ini membahas peristiwa geopolitik yang genting. Allah memulai dengan mengingatkan bahwa segala kemenangan dan kekalahan adalah manifestasi dari Kebijaksanaan dan Kekuatan-Nya, bukan semata-mata kecakapan strategi manusia.
Artinya: Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara Ahli Kitab dari kampung halaman mereka pada permulaan pengusiran (Al-Hashr)...
Ayat-ayat ini adalah jantung naratif historis surah. Banu Nadir adalah suku Yahudi yang tinggal di dekat Madinah dan memiliki perjanjian damai dengan Nabi Muhammad SAW. Setelah Pertempuran Uhud, mereka mulai merencanakan pengkhianatan, puncaknya adalah upaya pembunuhan Nabi. Sebagai respons, Nabi mengepung benteng mereka.
Allah menyatakan bahwa Banu Nadir menyangka benteng mereka akan melindungi mereka dari ketetapan Allah. Ini menunjukkan arogansi materialisme: mengandalkan kekuatan fisik daripada perlindungan Ilahi. Namun, Allah mendatangkan ketakutan ke dalam hati mereka (Qadzafa fi qulubihimul-ru'ba). Hukuman Allah datang dari arah yang tak terduga: mereka harus merusak rumah mereka sendiri dengan tangan mereka dan tangan kaum Mukminin sebelum diusir.
Pengusiran ini disebut 'pengusiran pertama' (*awwalul-hashr*). Sebagian mufassir menafsirkan bahwa pengusiran pertama merujuk pada pemindahan mereka dari Madinah ke Khaibar dan Syam, sementara 'pengusiran kedua' adalah pengumpulan mereka di hari Kiamat. Ini adalah demonstrasi nyata bahwa hukuman Allah di dunia ini adalah awal dari pembalasan yang lebih besar di akhirat.
Ayat 5 secara khusus membahas masalah etika perang, yaitu penebangan pohon kurma milik musuh. Pada masa itu, merusak tanaman adalah hal yang dilarang. Namun, Allah membolehkan Rasulullah SAW menebang atau membiarkan pohon kurma (seperti jenis *linah*) milik Banu Nadir untuk tujuan strategi pengepungan. Penebangan tersebut sah karena dilakukan dengan izin dan kehendak Allah, sebagai bagian dari hikmah penaklukan, dan ini menampik keraguan para sahabat atau musuh tentang keabsahan tindakan tersebut. Segala keputusan dalam kondisi darurat dan perang yang disahkan oleh Nabi adalah bagian dari kehendak Allah Yang Maha Perkasa dan Bijaksana.
Artinya: Dan harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari mereka, maka kamu tidak mengerahkan kuda atau unta untuk (mendapatkannya)...
Harta yang ditinggalkan Banu Nadir adalah fai', bukan ghanimah. Ghanimah adalah harta yang diperoleh melalui pertempuran dan pengerahan tenaga militer (kuda dan unta), yang kemudian dibagi dengan formula 4/5 untuk pasukan dan 1/5 untuk negara. Fai', sebaliknya, adalah harta yang diperoleh tanpa pertempuran besar, hanya melalui ancaman atau pengusiran. Oleh karena itu, hukum pembagiannya berbeda secara fundamental.
Ayat 7 menjelaskan bagaimana fai' didistribusikan. Allah menetapkannya sepenuhnya berada di bawah otoritas Rasulullah SAW untuk dialokasikan demi kepentingan umum dan kelompok-kelompok yang membutuhkan. Tujuannya sangat jelas:
Prinsip utama di balik pembagian ini adalah sosiologis dan ekonomis: (kay lā yakūna dūlatan bayna l-aghniyāʾi minkum) — “agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” Ini adalah fondasi ekonomi Islam yang menekankan redistribusi kekayaan, mencegah penumpukan modal di segelintir tangan, dan memastikan bahwa sumber daya negara digunakan untuk memberdayakan lapisan masyarakat yang lemah. Ayat ini menjadi dasar bagi banyak hukum fiskal dalam Islam dan menunjukkan visi keadilan sosial yang jauh melampaui masa itu.
Jika harta fai’ ini hanya diberikan kepada para prajurit yang sedikit jumlahnya, maka kesenjangan ekonomi akan melebar. Dengan mengalokasikannya kepada kebutuhan umum, Islam memastikan stabilitas dan keadilan komunal. Harta tersebut digunakan untuk membeli peralatan militer, mendukung keluarga miskin, dan mengembangkan infrastruktur yang bermanfaat bagi seluruh umat.
Ayat-ayat ini beralih dari hukum harta kepada deskripsi moral tentang tiga generasi ideal yang layak menerima keberkahan dan harta fai'.
Mereka adalah orang-orang fakir yang diusir dari kampung halaman dan harta benda mereka di Mekah. Tujuan utama mereka adalah mencari karunia dan keridhaan Allah, serta menolong agama-Nya. Ciri utama mereka adalah kejujuran (Ash-Shadiqūn). Mereka meninggalkan segalanya demi mempertahankan iman, menjadikannya standar tertinggi bagi keikhlasan spiritual. Kebutuhan materi mereka sangat mendesak, sehingga mereka berhak utama menerima fai'.
Penduduk Madinah yang menyambut dan memberikan tempat tinggal kepada Muhajirin. Ciri khas mereka adalah mencintai saudara-saudara seiman mereka dan tidak merasa iri atas apa yang diberikan kepada Muhajirin. Bahkan, mereka mendahulukan kebutuhan Muhajirin di atas kebutuhan mereka sendiri, meskipun mereka sendiri berada dalam kesulitan (wa yu’tsirūna ‘alā anfusihim wa law kāna bihim khashāshah). Sikap itsar (mendahulukan orang lain) ini adalah puncak akhlak yang jarang tertandingi dalam sejarah kemanusiaan. Allah memuji mereka yang terhindar dari kekikiran jiwa (wa may yūqa shuhha nafsihī fa-ulā’ika humul-muflihūn). Kekikiran jiwa adalah penyakit yang menghalangi keberkahan.
Kelompok ketiga yang berhak mendapat bagian dari fai' adalah mereka yang datang setelah Muhajirin dan Ansar (generasi Muslim selanjutnya hingga Hari Kiamat). Ciri mereka adalah doa: “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam keimanan, dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kedengkian terhadap orang-orang yang beriman.” Ayat ini menetapkan bahwa ikatan keimanan harus diwujudkan melalui doa tulus bagi para pendahulu, memupuk persatuan, dan membersihkan hati dari dendam atau iri hati.
Surah Al-Hashr, melalui ayat-ayat ini, mendefinisikan tiga pilar yang menopang komunitas Muslim yang sehat: pengorbanan (Muhajirin), kedermawanan (Ansar), dan kasih sayang serta persatuan (Generasi Penerus).
Artinya: Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara Ahli Kitab: “Sungguh, jika kamu diusir, niscaya kami pun akan keluar bersama kamu...”
Bagian tengah surah ini mengungkap kebusukan kaum munafik di Madinah, dipimpin oleh Abdullah bin Ubayy bin Salul. Ketika Nabi mengepung Banu Nadir, kaum munafik mengirim pesan kepada mereka, menjanjikan bantuan militer dan berjanji akan keluar dari Madinah jika Banu Nadir diusir. Janji ini palsu, didasarkan pada ketakutan dan kepentingan diri sendiri.
Ayat-ayat ini menelanjangi kepalsuan mereka. Allah bersumpah bahwa jika Banu Nadir diusir, kaum munafik tidak akan keluar bersama mereka. Jika Banu Nadir diperangi, kaum munafik tidak akan membantu. Jika mereka membantu, mereka akan segera mundur dan lari terbirit-birit, menunjukkan bahwa mereka adalah pengecut. Inti masalahnya adalah rasa takut. Mereka lebih takut kepada kaum Muslimin daripada kepada Allah, sebuah tanda paling nyata dari keimanan yang cacat. Dalam hati mereka, kaum Mukmininlah yang dianggap paling kuat, bukan Allah. Ini adalah paradoks yang mendefinisikan kemunafikan.
Rasa takut yang ditanamkan Allah di hati mereka (disebut dalam Ayat 2) adalah manifestasi keperkasaan Allah, yang memaksa orang-orang kafir dan munafik untuk tunduk meskipun secara lahiriah mereka enggan. Ironisnya, mereka yang menjanjikan pertolongan malah menjadi penyebab utama Banu Nadir enggan menyerah cepat, yang pada akhirnya mempercepat kehancuran mereka.
Ayat 14 menggambarkan kelemahan musuh-musuh Islam. Mereka tidak akan memerangi kaum Muslimin secara serempak kecuali dari balik benteng yang kokoh atau dari balik dinding. Meskipun terlihat kuat, permusuhan dan kebencian internal mereka sangatlah hebat. Mereka terlihat bersatu di mata orang lain, padahal hati mereka berpecah belah. Inilah akibat dari tidak adanya ikatan iman yang sejati.
Ayat ini membandingkan nasib Banu Nadir dengan kaum lain yang telah menerima hukuman serupa sebelumnya (seperti kaum yang dikalahkan di Badr atau di tempat lain). Mereka merasakan dampak buruk dari perbuatan mereka di dunia ini, dan azab yang pedih telah menanti mereka di akhirat. Hukuman duniawi (pengusiran) hanyalah permulaan.
Ini adalah salah satu perumpamaan terkuat dalam Al-Qur'an mengenai pengkhianatan. Perumpamaan ini adalah seperti setan ketika ia berkata kepada manusia, “Kafirlah kamu!” Ketika manusia itu benar-benar kafir, setan berkata, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam.”
Perumpamaan ini secara sempurna mencerminkan tingkah kaum munafik terhadap Banu Nadir: mereka mendorong Banu Nadir untuk melawan, menjanjikan bantuan, namun pada saat kritis, mereka meninggalkannya. Setan dan munafik sama-sama penjual janji palsu, yang meninggalkan korban mereka tepat pada saat azab tiba. Akibat akhir dari kedua belah pihak (yang ditipu dan penipu) adalah sama: keduanya kekal di dalam api neraka. Perumpamaan ini berfungsi sebagai peringatan keras bagi umat Muslim untuk tidak menjadi seperti setan, yang tidak hanya kufur, tetapi juga pengecut dalam menanggung konsekuensi keimanannya.
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.
Setelah membahas sejarah, hukum, dan karakter munafik, surah ini mencapai puncaknya dengan seruan universal kepada orang-orang beriman untuk berpegang teguh pada Taqwa (ketakutan yang penuh kesadaran akan Allah). Perintah untuk bertakwa diulang dua kali, menandakan urgensi dan kepentingannya. Antara dua perintah taqwa tersebut, terdapat perintah sentral untuk introspeksi: “wal-tanzur nafsun mā qaddamat li-ghad” (hendaklah setiap jiwa melihat apa yang telah ia siapkan untuk hari esok).
‘Hari esok’ (*li-ghad*) adalah kiasan untuk Hari Kiamat. Ayat ini memerintahkan setiap Muslim untuk melakukan muhasabah (introspeksi) secara rutin, menimbang amal perbuatan mereka, dan bertanya: Apakah amalku cukup? Sudahkah aku mempersiapkan bekal terbaik untuk pertemuan dengan Allah?
Ayat 19 memperingatkan agar tidak menjadi seperti orang-orang yang melupakan Allah. Ketika mereka melupakan Allah, Allah membuat mereka melupakan diri mereka sendiri—yaitu melupakan kepentingan hakiki mereka di akhirat. Mereka menjadi perusak diri sendiri tanpa menyadari dampaknya. Mereka inilah orang-orang fasik (pendurhaka).
Ayat 20 kemudian membandingkan secara tegas: tidak sama antara penghuni neraka dan penghuni surga. Penghuni surga (Ashabul Jannah) adalah orang-orang yang beruntung (Al-Fa'izun). Kemenangan sejati bukanlah pada rampasan perang duniawi, melainkan pada keselamatan abadi di sisi Allah.
Artinya: Sekiranya Kami turunkan Al-Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah...
Ayat ini berfungsi sebagai teguran tajam terhadap hati manusia yang keras dan lalai. Jika gunung yang kuat, mati, dan tidak memiliki akal saja dapat hancur karena menanggung keagungan firman Allah, betapa seharusnya hati manusia yang memiliki akal dan pilihan menjadi lebih tunduk dan takut.
Penggunaan perumpamaan ini dimaksudkan untuk menggugah kesadaran bahwa Al-Qur'an adalah petunjuk hidup yang membawa beban tanggung jawab yang sangat besar. Keagungan firman ini menuntut ketundukan total. Ini adalah seruan terakhir bagi Mukmin untuk menyadari betapa berharganya Al-Qur'an, yang telah mereka terima dengan mudah, namun seringkali mereka perlakukan dengan ringan.
Tiga ayat terakhir Surah Al-Hashr adalah salah satu kompilasi Asmaul Husna yang paling mendalam dalam Al-Qur'an. Ayat ini merangkum sifat-sifat Allah yang melengkapi konteks surah, dari pengusiran Banu Nadir hingga perintah takwa. Ini adalah pemahaman tertinggi tentang Siapa Dzat yang memberikan perintah, hukum, dan hukuman.
Visualisasi Asmaul Husna yang menutup Surah Al-Hashr, menunjukkan kekuasaan penuh Allah.
Artinya: Dialah Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata. Dialah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Ayat ini adalah fondasi Tauhid. Setelah menunjukkan bagaimana Allah mengusir musuh-Nya (Banu Nadir), Allah mengingatkan bahwa hanya Dialah satu-satunya Tuhan yang layak disembah. Keunikan sifat Allah ditekankan melalui dua dimensi ilmu:
Pengetahuan Allah meliputi seluruh spektrum eksistensi. Walaupun Dia Maha Perkasa dalam hukuman, Dia adalah Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang). Kasih sayang-Nya melingkupi segala sesuatu, bahkan dalam menetapkan hukum yang keras (seperti fai') atau menghukum kaum yang berkhianat (Banu Nadir), karena semua itu dilakukan demi menegakkan keadilan dan kemaslahatan umat manusia.
Artinya: Dialah Allah, yang tidak ada tuhan selain Dia. Raja, Yang Mahasuci, Yang Maha Sejahtera, Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara Keselamatan, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Kebesaran. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
Ayat ini mencantumkan delapan atribut mulia yang menekankan kedaulatan, kesempurnaan, dan kekuasaan absolut Allah:
Penutup ayat ini, “Subhānallāhi ‘ammā yushrikūn” (Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan), berfungsi sebagai penolakan total terhadap semua bentuk kesyirikan, mengakhiri perdebatan tentang keesaan-Nya setelah menyebutkan begitu banyak nama yang unik dan agung.
Artinya: Dialah Allah, Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, dan Yang Membentuk Rupa. Dia memiliki nama-nama yang indah. Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya. Dan Dialah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.
Ayat penutup ini berfokus pada peran Allah sebagai Pencipta, merangkum tiga tahap penciptaan, diikuti dengan penegasan universal tentang tasbih.
Ketiga nama ini menekankan bahwa semua yang ada—dari keberhasilan kaum Mukminin hingga kehancuran Banu Nadir—adalah hasil dari desain, pelaksanaan, dan pembentukan rupa yang unik dari Allah semata. Segala sesuatu tunduk pada Kehendak Sang Pencipta. Penutup surah diakhiri dengan pengulangan Ayat 1: “Yusabbihu lahu mā fi ssamāwāti wal-arḍi, wa huwal-‘azīzul-ḥakīm”, menciptakan bingkai simetris yang kuat, menegaskan kembali bahwa segala sesuatu di alam semesta bersaksi atas Keperkasaan dan Kebijaksanaan Allah.
Membaca seluruh Surah Al-Hashr memiliki banyak keutamaan, terutama karena mengandung ajaran tentang keadilan sosial, persaudaraan, dan yang terpenting, pengenalan mendalam terhadap sifat-sifat Allah SWT. Namun, keutamaan yang paling masyhur dan spesifik dalam hadis adalah mengenai tiga ayat terakhir (Ayat 22-24).
Menurut riwayat yang berasal dari Ma'qil bin Yasar, Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa membaca A’udzu billāhi samī'il ‘alīmi minasy-syaiṭānir rajīm (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk), kemudian membaca tiga ayat terakhir dari Surah Al-Hashr pada waktu pagi, Allah akan mewakilkan 70.000 malaikat untuk bershalawat (memintakan ampun) baginya hingga sore hari. Dan jika dia meninggal pada hari itu, dia meninggal sebagai syahid. Dan barangsiapa yang membacanya pada waktu sore, maka ia akan mendapatkan kedudukan yang sama (hingga pagi hari)."
Keutamaan ini menunjukkan betapa besar nilai spiritual yang terkandung dalam rangkaian nama-nama Allah tersebut. Membaca dan merenungkan Asmaul Husna adalah bentuk dzikir tertinggi, yang membawa pelakunya kepada pengampunan, perlindungan, dan jaminan mati dalam keadaan husnul khatimah (syahid) jika ajal menjemputnya pada hari itu.
Surah Al-Hashr bukan hanya tentang sejarah pengusiran, tetapi merupakan manual spiritual dan sosial:
Aspek hukum yang terkandung dalam Surah Al-Hashr, khususnya mengenai hukum harta fai', memiliki dampak jangka panjang terhadap legislasi Islam mengenai keuangan publik dan distribusi kekayaan. Ulama Fiqh menjadikan Ayat 7 sebagai teks kunci untuk memahami peran negara dalam mengatur sumber daya alam dan kekayaan yang diperoleh tanpa pengorbanan personal yang besar (non-ghanīmah).
Pemisahan antara fai' dan ghanīmah sangat penting. Ghanimah diperoleh melalui pertempuran dan risiko, sehingga pembagiannya berorientasi kepada prajurit (80% dibagi empat bagian untuk pasukan, dan 20% untuk Allah, Rasul, kerabat, yatim, miskin, dan ibnu sabil). Sementara fai' tidak melibatkan pengorbanan fisik yang besar. Oleh karena itu, seluruh fai' dialokasikan untuk kemaslahatan umum, memastikan bahwa sumber daya penting tidak hanya menguntungkan sekelompok kecil tentara tetapi memperkuat seluruh struktur masyarakat.
Konsep ini diterapkan dalam fiqh modern terhadap sumber daya alam yang melimpah seperti minyak, gas, atau mineral yang diperoleh negara tanpa peperangan. Berdasarkan semangat Ayat 7, pendapatan dari sumber daya ini harus diarahkan pada pemerataan kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial bagi kelompok rentan, sesuai dengan tujuan syariat untuk mencegah konsentrasi kekayaan.
Ayat 5, yang membolehkan penebangan pohon kurma milik Banu Nadir, menunjukkan bahwa dalam Islam, aturan perang tidak bersifat absolut tetapi tunduk pada kepentingan strategi yang lebih besar yang diizinkan oleh Allah. Namun, kebolehan ini adalah pengecualian. Prinsip dasarnya adalah melarang perusakan lingkungan atau properti secara sembarangan. Ini menunjukkan fleksibilitas hukum Islam dalam kondisi darurat, tetapi selalu di bawah otoritas Ilahi, bukan nafsu perusakan.
Surah Al-Hashr adalah bukti nyata dari janji Allah untuk menolong orang-orang beriman dan menghinakan mereka yang berkhianat. Kisah Banu Nadir mengingatkan kita bahwa benteng terbaik bukanlah tembok batu, melainkan ketakwaan dan keikhlasan hati. Kekuatan sejati terletak pada ketergantungan penuh kepada Allah, sebagaimana dicontohkan oleh kesiapan Muhajirin untuk berkorban dan kedermawanan Ansar untuk berbagi.
Pesan penutup surah ini adalah panggilan abadi: Taqwa. Introspeksi hari ini adalah investasi untuk hari esok. Membaca dan merenungkan Asmaul Husna yang menutup surah ini adalah cara terbaik untuk mewujudkan taqwa, karena dengan mengenal Allah, kita semakin takut untuk melanggar perintah-Nya dan semakin mencintai untuk melaksanakan sunnah Rasul-Nya. Surah Al-Hashr berdiri sebagai mercusuar spiritual yang menerangi jalan menuju kebahagiaan abadi, menekankan bahwa kekuasaan, penciptaan, dan keadilan hakiki hanya milik Allah, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Semua yang ada di langit dan di bumi bertasbih memuji Allah, dan manusia, sebagai makhluk yang diberikan akal, memiliki tanggung jawab terbesar untuk menyelaraskan kehidupannya dengan tasbih universal ini, yakni dengan mematuhi hukum-hukum-Nya dan meneladani sifat-sifat mulia yang dicontohkan dalam surah ini.
Untuk memahami kedalaman Surah Al-Hashr, kita harus kembali fokus pada implikasi dari setiap nama Allah dalam Ayat 23 dan 24. Setiap nama ini berfungsi sebagai lensa yang menjelaskan bagaimana Allah mengelola peristiwa pengusiran Banu Nadir dan mengapa hukum fai' ditetapkan sedemikian rupa.
Al-Malik, Sang Raja, adalah Dzat yang memiliki segala kekuasaan. Dalam konteks Banu Nadir, ini berarti bahwa meskipun Banu Nadir memiliki properti dan benteng, kepemilikan mereka hanyalah pinjaman. Ketika mereka melanggar perjanjian, Al-Malik mencabut hak pinjaman tersebut. Harta fai' adalah milik Raja, dan Raja berhak memutuskan bagaimana harta itu dibagikan. Ini menolak gagasan bahwa harta adalah hak mutlak individu tanpa intervensi hukum Ilahi. Kedaulatan Al-Malik adalah jaminan bahwa sistem pembagian harta dalam Islam adalah adil, karena didasarkan pada kehendak Penguasa Semesta, bukan keinginan manusia.
Al-Quddus berarti Allah Suci dari segala kesalahan dan sifat negatif. Hukuman yang menimpa Banu Nadir dan pengungkapan kemunafikan Abdullah bin Ubayy adalah tindakan penyucian terhadap komunitas Muslim di Madinah. Allah menyucikan lingkungan mereka dari elemen pengkhianat dan munafik, memungkinkan masyarakat yang baru untuk berkembang dalam kemurnian iman. Kebutuhan akan kesucian ini adalah alasan mengapa orang-orang beriman diperintahkan untuk bertaqwa; mereka harus berusaha meneladani kesucian ini dalam tindakan dan niat mereka, seperti yang dicontohkan oleh Muhajirin dan Ansar.
As-Salam adalah sumber kedamaian. Ironisnya, untuk mencapai kedamaian jangka panjang, terkadang dibutuhkan tindakan tegas, seperti mengusir sumber kekacauan dan pengkhianatan. Pengusiran Banu Nadir, meskipun tampak keras, pada akhirnya membawa kedamaian dan stabilitas bagi Madinah. Ini adalah pelajaran bahwa kedamaian sejati (Islam) tidak dapat berkompromi dengan pengkhianatan dan kemunafikan. As-Salam memastikan bahwa hanya ketaatan yang tulus yang membawa ketenangan sejati, baik di dunia maupun di akhirat.
Al-Mu’min adalah pemberi rasa aman dan keimanan. Allah menjamin keamanan bagi hamba-Nya yang taat. Bani Nadir, karena pengkhianatan mereka, kehilangan jaminan keamanan Ilahi, terlepas dari kuatnya benteng mereka. Sebaliknya, orang-orang beriman yang bertawakal kepada Allah, meskipun dalam pengepungan atau kekurangan harta (Muhajirin), mendapatkan jaminan perlindungan dari Al-Mu’min. Hal ini memberikan fondasi teologis bagi umat Islam: sumber keamanan kita bukanlah aliansi politik atau kekuatan militer, melainkan Dzat Al-Mu’min itu sendiri.
Sebagai Pengawas Mutlak, Al-Muhaimin menyaksikan setiap niat dan konspirasi yang tersembunyi. Pengawasan ini memastikan bahwa keadilan pasti akan ditegakkan. Allah tahu rencana jahat Banu Nadir sebelum mereka melaksanakannya, dan Dia tahu janji palsu kaum munafik sebelum mereka mengucapkannya. Ayat-ayat Surah Al-Hashr tentang munafik adalah bukti nyata bahwa tidak ada kebohongan yang luput dari Al-Muhaimin. Hal ini seharusnya menumbuhkan rasa tanggung jawab yang mendalam dalam diri setiap Muslim untuk selalu berbuat baik, karena setiap tindakan kita dicatat.
Dua nama ini, Al-'Aziz (Maha Perkasa) dan Al-Jabbar (Maha Kuasa), adalah penekanan ganda pada kekuatan Allah. Keperkasaan Allah memastikan bahwa hukuman terhadap Banu Nadir tidak dapat dihindari; mereka diusir meskipun mereka adalah Ahli Kitab dan memiliki benteng. Al-Jabbar menunjukkan bahwa Allah mampu memaksakan kehendak-Nya atas semua makhluk. Ketika Allah berkehendak, benteng-benteng yang kokoh pun menjadi rapuh. Dalam konteks spiritual, Al-Jabbar juga menunjukkan bahwa Allah memperbaiki dan menyembuhkan; Dia memperbaiki kerugian Muhajirin melalui harta fai' dan menyembuhkan hati kaum Ansar dari kekikiran, menjadikannya model itsar.
Hanya Allah yang layak memiliki kebesaran mutlak. Al-Mutakabbir adalah pengingat bahwa kesombongan adalah sifat yang hanya pantas bagi Sang Pencipta. Kerugian terbesar bagi Banu Nadir adalah kesombongan mereka—mereka merasa aman dengan benteng mereka. Kerendahan hati dan kepasrahan adalah respons yang tepat terhadap kebesaran Al-Mutakabbir, sebagaimana ditunjukkan dalam doa Muhajirin dan Ansar.
Tiga nama penciptaan ini menegaskan bahwa Allah adalah sumber segala bentuk, termasuk bentuk peradaban dan masyarakat. Allah yang merencanakan (*Al-Khaliq*) masyarakat Madinah yang baru, mewujudkannya (*Al-Bari'*) melalui hijrah dan hukum-hukum-Nya, dan memberikan bentuk akhir (*Al-Mushawwir*) melalui model Muhajirin, Ansar, dan Generasi Penerus. Jika manusia lalai dan ingkar, Allah, sebagai Pencipta, berhak merombak bentuk peradaban itu dan menggantinya dengan yang lebih baik. Surah Al-Hashr adalah bukti kekuasaan Allah untuk mendesain ulang tatanan sosial berdasarkan ketaatan dan keadilan.
Kesimpulannya, Surah Al-Hashr adalah kuliah teologis yang komprehensif. Dimulai dengan tasbih universal dan berakhir dengan tasbih yang sama, surah ini mengajarkan bahwa segala peristiwa di antara keduanya—kemenangan, kekalahan, hukum, dan etika—adalah manifestasi dari Sifat-sifat Ilahi yang tak terbatas. Keutamaan membacanya terletak pada kesempatan emas untuk merenungkan dan menghayati sifat-sifat Tuhan ini, yang merupakan kunci menuju taqwa dan keberuntungan abadi.