Menggali Makna Rabbana Hab Lana: Surah Al-Furqan Ayat 74

Keluarga Berdoa

Ilustrasi keluarga yang berdoa memohon ketenangan dan rahmat.

I. Pengantar Ayat dan Karakteristik Ibadurrahman

Surah Al-Furqan merupakan surah Makkiyah yang banyak menekankan pada tauhid, risalah kenabian, dan gambaran hari pembalasan. Pada bagian akhir surah, tepatnya dari ayat 63 hingga 77, Allah SWT menyajikan sebuah deskripsi agung mengenai ciri-ciri hamba-hamba pilihan-Nya yang disebut sebagai Ibadurrahman (hamba-hamba Yang Maha Pengasih).

Deskripsi ini bukan sekadar daftar sifat, melainkan sebuah kurikulum etika dan moralitas yang menyeluruh, mencakup hubungan vertikal (dengan Allah) dan hubungan horizontal (dengan sesama manusia dan lingkungan). Ciri-ciri tersebut dimulai dari tawadhu’ (kerendahan hati) dan kesabaran menghadapi orang-orang bodoh, ketekunan dalam ibadah malam, ketakutan terhadap siksa neraka, sikap moderat dalam berinfak, menjauhi dosa-dosa besar, hingga menjaga kesucian diri.

Setelah menjabarkan sifat-sifat fundamental yang bersifat individual dan sosial, Al-Qur’an kemudian menyajikan puncak dari segala permintaan seorang hamba yang telah mencapai derajat spiritual tersebut. Puncak permintaan itu tertuang dalam ayat ke-74, sebuah doa yang sangat populer, yang mengaitkan kesempurnaan ibadah personal dengan kesempurnaan kehidupan keluarga.

Ayat 74 menegaskan bahwa keberhasilan seorang mukmin sejati tidak hanya diukur dari ibadah ritualnya, melainkan juga dari kemampuan membangun fondasi keluarga yang kokoh, harmonis, dan menjadi teladan bagi masyarakat luas. Doa ini menunjukkan bahwa keluarga adalah medan utama perjuangan spiritual (jihad) yang harus dimenangkan oleh setiap hamba Allah.

II. Teks dan Makna Literal Surah Al-Furqan Ayat 74

Doa ini adalah permintaan yang mencakup kebahagiaan duniawi yang hakiki serta kemuliaan ukhrawi. Inilah teks mulia yang menjadi fokus pembahasan kita:

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Wal-lażīna yaqūlūna rabbanā hab lanā min azwājinā wa żurriyyātinā qurrata a‘yun, waj‘alnā lil-muttaqīna imāmā.

Terjemahan Standar:

"Dan orang-orang yang berkata, 'Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.'"

Analisis Kata Kunci (Tafsir Lafdziyah)

Untuk memahami kedalaman doa ini, kita perlu membedah setiap frasa yang digunakan, karena pilihan kata dalam Al-Qur’an selalu memiliki makna yang presisi dan mendalam:

III. Menggali Kedalaman Makna ‘Qurrata A’yun’ (Penyenang Hati)

Frasa *Qurrata A’yun* bukanlah sekadar permintaan agar anak-anak berhasil secara materi atau berwajah rupawan. Para mufassir sepakat bahwa makna sejati dari 'penyejuk mata' ini sangatlah spiritual dan mendalam. Ini adalah poros kebahagiaan yang diminta oleh *Ibadurrahman*.

Dimensi Spiritual Qurrata A’yun

Menurut mayoritas ulama tafsir, termasuk Ibnu Katsir dan Al-Qurtubi, penyejuk mata yang dimaksud adalah kebahagiaan yang berasal dari ketaatan pasangan dan keturunan kepada Allah. Ini mencakup tiga aspek:

1. Ketenangan dalam Ketaatan (Thuma’ninah)

Seorang mukmin akan mendapatkan ketenangan mata ketika melihat pasangan dan anak-anaknya teguh di atas jalan tauhid, menjauhi maksiat, menjalankan shalat, dan berakhlak mulia. Penyanyi mata bukanlah mereka yang kaya raya atau terkenal, melainkan mereka yang menjaga agamanya. Ketenangan ini bersifat abadi, tidak lekang oleh ujian duniawi.

Imam Mujahid pernah berkata, “Yang dimaksud dengan *Qurrata A’yun* adalah ketika anak-anak beriman dan masuk surga. Di situlah mata seorang hamba akan tenang dan sejuk.” Ini menggarisbawahi fokus ukhrawi dari doa ini; kebahagiaan sejati terletak pada keselamatan abadi keluarga.

2. Keseimbangan Emosional dan Psikologis

Dalam psikologi Islam, kegelisahan terbesar orang tua adalah kekhawatiran akan masa depan moral dan spiritual anak. Ketika anak berbuat maksiat, mata orang tua terasa panas oleh kepedihan dan kesedihan. Sebaliknya, ketika melihat anak-anak mereka menjadi hamba yang saleh, mata mereka menjadi sejuk, merefleksikan kedamaian batin dan terbebasnya beban pertanggungjawaban di akhirat.

Permintaan *Qurrata A’yun* mengajarkan orang tua untuk tidak hanya fokus pada pencapaian akademik atau karier anak, tetapi menjadikan keshalehan dan keimanan sebagai tolok ukur utama keberhasilan dalam mendidik.

3. Bukti Keberhasilan Tarbiyah (Pendidikan)

Permintaan ini secara implisit adalah sebuah doa yang diiringi dengan usaha maksimal. Seseorang yang berdoa meminta anak yang saleh, berarti ia juga berikrar untuk mendidik anak tersebut dengan sebaik-baiknya. *Qurrata A’yun* adalah hasil akhir dari Tarbiyah Islamiyah yang paripurna, di mana orang tua telah menunaikan kewajibannya dalam memberikan bekal agama, adab, dan ilmu pengetahuan kepada keturunannya.

Catatan Penting: Doa ini mencakup kebaikan pasangan (suami/istri) terlebih dahulu, sebelum keturunan. Ini menunjukkan bahwa keharmonisan rumah tangga (hubungan suami-istri) adalah prasyarat mutlak sebelum berharap mendapatkan keturunan yang menyejukkan mata. Keluarga yang retak mustahil melahirkan generasi yang kokoh.

IV. Tafsir Waj’alnā Lil-Muttaqīna Imāmā: Menjadi Teladan Kebajikan

Bagian kedua dari ayat 74 ini adalah permintaan yang jauh lebih besar dan kompleks dibandingkan permintaan pertama. Setelah meminta kebahagiaan internal dalam rumah tangga, *Ibadurrahman* kemudian meminta peran eksternal, yaitu menjadi pemimpin (Imam) bagi orang-orang yang bertakwa.

Bukan Sekadar Posisi, Tapi Kualitas

Kata Imām (pemimpin) di sini tidak hanya merujuk pada kepemimpinan politik atau jabatan formal. Dalam konteks ayat ini, kepemimpinan yang diminta adalah kepemimpinan moral dan spiritual. Ini adalah permintaan untuk diangkat menjadi:

Para ulama tafsir menekankan bahwa orang yang berdoa dengan doa ini sebenarnya meminta agar amal perbuatannya sesuai dengan perkataannya, sehingga orang-orang bertakwa lainnya merasa nyaman dan termotivasi untuk mengikuti jejaknya dalam kebaikan. Ini adalah permintaan untuk menjadi Imam bil Fi’l (pemimpin melalui perbuatan), bukan hanya Imam bil Qawl (pemimpin melalui ucapan).

Konsekuensi Permintaan 'Imama'

Meminta menjadi imam bagi orang bertakwa memiliki konsekuensi berat, yaitu:

1. Peningkatan Kualitas Diri (Tazkiyatun Nafs)

Seseorang tidak mungkin menjadi imam bagi kaum bertakwa tanpa memiliki tingkat ketakwaan yang lebih tinggi. Permintaan ini mewajibkan orang yang berdoa untuk terus meningkatkan ibadah, ilmu, dan akhlaknya secara konsisten. Ini adalah janji bahwa mereka akan terus berjuang mencapai derajat *Muhsinin* (orang-orang yang berbuat baik secara sempurna).

2. Pertanggungjawaban Sosial

Ketika seseorang menjadi teladan, setiap langkahnya diawasi. Permintaan ini menunjukkan bahwa *Ibadurrahman* tidak hanya peduli pada keselamatan pribadinya (Najat), tetapi juga pada keselamatan umat (Islah). Mereka ingin menjadi orang yang memberikan kontribusi positif, menunjukkan jalan, dan membimbing komunitas menuju keridaan Allah.

3. Integrasi Keluarga dan Umat

Keluarga yang telah mencapai *Qurrata A’yun* (ketenangan internal) kemudian diproyeksikan untuk menjadi sumber cahaya bagi masyarakat luas. Ayat ini menyatukan dua dimensi: kebahagiaan pribadi yang berujung pada kemanfaatan publik. Artinya, keluarga saleh tidak hidup eksklusif, melainkan menjadi mercusuar bagi umat.

Oleh karena itu, doa ini mengajarkan bahwa spiritualitas sejati tidak berakhir di pintu rumah atau mihrab shalat, melainkan harus meluas menjadi tanggung jawab kolektif untuk memimpin dan memperbaiki masyarakat.

V. Konteks Ayat dan Syarat Diterimanya Doa

Doa Rabbana Hab Lana tidak berdiri sendiri. Ia terletak di penghujung daftar panjang sifat-sifat *Ibadurrahman*. Ini memberikan isyarat penting: doa ini hanya relevan dan berpotensi dikabulkan oleh mereka yang telah memenuhi prasyarat karakter tersebut.

Hubungan dengan Sifat Ibadurrahman Sebelumnya

Sifat-sifat *Ibadurrahman* (Al-Furqan 63-73) adalah landasan amaliyah yang harus ada sebelum permintaan keluarga dan kepemimpinan diajukan. Sifat-sifat ini antara lain:

Jika seorang hamba telah berusaha mewujudkan sifat-sifat ini, barulah ia berada di posisi yang tepat untuk meminta anugerah tertinggi, yaitu keluarga yang menyejukkan dan kepemimpinan moral. Doa ini adalah penutup yang sempurna, sebuah harapan akan buah dari seluruh perjuangan spiritual yang telah dilakukan.

Doa dan Ikhtiar (Usaha)

Dalam Islam, doa adalah inti ibadah, tetapi ia harus dibarengi dengan ikhtiar. Permintaan untuk *Qurrata A’yun* memerlukan ikhtiar yang meliputi:

  1. Memilih Pasangan yang Saleh: Memastikan pasangan memiliki landasan agama yang kuat, karena ia adalah madrasah pertama bagi anak-anak.
  2. Tarbiyah Aulad yang Terstruktur: Pendidikan anak yang konsisten, berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah, baik dari segi akidah, ibadah, maupun adab.
  3. Menjadi Contoh Hidup: Orang tua harus menjadi *Qurrata A’yun* bagi pasangannya, dan menjadi *Imam* (teladan) di rumah sebelum menjadi imam di masyarakat.

Tanpa usaha sungguh-sungguh untuk mendidik dan mencontohi, doa ini hanyalah rangkaian kata-kata tanpa bobot spiritual. Doa ini adalah komitmen, bukan sekadar harapan kosong.

VI. Penerapan Praktis dalam Tarbiyah Keluarga

Bagaimana doa Rabbana Hab Lana diterjemahkan menjadi panduan praktis dalam mendidik generasi? Implementasi ayat 74 menuntut orang tua untuk merumuskan ulang tujuan pendidikan anak.

Fokus 1: Pendidikan Spiritual (Akidah dan Ibadah)

Jika tujuan utama adalah *Qurrata A’yun* (penenang hati karena keshalehan), maka prioritas pertama adalah akidah dan ibadah. Orang tua harus memastikan anak mengenal Allah dan Rasul-Nya dengan benar. Ini meliputi:

Pendidikan ini menuntut kesabaran ekstra, karena hasilnya tidak instan. Orang tua harus memahami bahwa ia sedang membangun fondasi bagi seorang *Imam* di masa depan.

Fokus 2: Pengembangan Karakter dan Akhlak

Seorang *Imam* bagi kaum bertakwa tidak hanya saleh secara ritual, tetapi juga berakhlak mulia secara sosial. Pendidikan karakter mencakup:

Adab Berinteraksi: Mengajarkan adab berbicara, adab meminta izin, adab kepada orang tua, dan adab bertamu. *Ibadurrahman* (Ayat 63) dicirikan dengan berjalan di bumi secara tawadhu’—karakter ini harus diajarkan di rumah.

Pengendalian Diri: Melatih anak untuk mengendalikan amarah dan hawa nafsu. Ini berkorelasi dengan ayat-ayat yang mengajarkan tentang sikap moderat dan menjauhi maksiat besar.

Fokus 3: Visi Jangka Panjang (Kepemimpinan Umat)

Pendidikan harus diarahkan agar anak memiliki visi keumatan. Anak-anak harus dididik bukan hanya untuk sukses secara pribadi, tetapi untuk bermanfaat bagi orang lain. Ini dapat dilakukan melalui:

  1. Melibatkan anak dalam kegiatan sosial dan amal.
  2. Mengenalkan konsep tanggung jawab sosial dan kepedulian terhadap lingkungan.
  3. Mendorong anak untuk menguasai ilmu pengetahuan (duniawi dan ukhrawi) sebagai alat untuk memimpin dan memperbaiki umat, bukan sekadar alat mencari kekayaan.

Inilah yang membedakan pendidikan Islami yang bertujuan menghasilkan *Qurrata A’yun* dan *Imam* dari pendidikan sekuler yang seringkali hanya berorientasi pada kesuksesan individual.

VII. Analisis Mendalam Implikasi Keluarga: Mawaddah dan Rahmah

Doa Rabbana Hab Lana adalah cerminan sempurna dari tujuan pernikahan dalam Islam, yaitu mencapai *Sakinah* (ketenangan), yang didukung oleh *Mawaddah* (cinta kasih) dan *Rahmah* (kasih sayang dan belas kasihan), sebagaimana disebutkan dalam Surah Ar-Rum ayat 21.

Hubungan Sakinah dan Qurrata A’yun

Ketenangan (Sakinah) dalam rumah tangga adalah fondasi untuk mendapatkan *Qurrata A’yun*. Ketenangan ini terwujud ketika suami dan istri saling melengkapi dalam ketaatan. Jika pasangan adalah penyejuk mata, artinya mereka telah menunaikan hak-hak pasangannya dan saling membantu dalam ketaatan.

Dalam konteks modern, hal ini berarti pasangan tersebut berkomitmen untuk:

Ketika pasangan telah mencapai derajat saling menyejukkan mata, energi positif ini secara alami akan mengalir dan memengaruhi kualitas pendidikan keturunan. Keturunan yang melihat harmoni dan ketaatan dalam rumah tangga akan cenderung meniru perilaku tersebut, sehingga mereka pun ikut menjadi penyejuk mata.

Mengatasi Krisis Rumah Tangga Modern

Ayat 74 menjadi solusi spiritual atas krisis keluarga kontemporer. Banyak keluarga yang sukses secara materi, namun gagal menghasilkan *Qurrata A’yun*. Sebabnya, orientasi mereka adalah dunia semata. Doa ini mengingatkan bahwa investasi terbesar bukanlah pada kekayaan yang diwariskan, melainkan pada keshalehan yang diwariskan.

Permintaan ini mendorong pasangan untuk menghadapi ujian pernikahan, bukan dengan mengakhiri hubungan, melainkan dengan memperbaiki diri (karena doa menggunakan kata *“Hab Lanā”*, meminta kepada kami). Artinya, perubahan dimulai dari diri pasangan suami dan istri itu sendiri, sebelum mengharapkan perubahan pada anak atau keadaan.

Setiap tantangan dalam pernikahan harus dilihat sebagai peluang untuk meningkatkan takwa, agar pasangan dapat semakin layak menjadi imam bagi kaum bertakwa, yang dimulai dari kepemimpinan di rumah tangga sendiri.

VIII. Integritas Imāmā: Hubungan Antara Kepemimpinan Publik dan Keluarga

Penting untuk dipahami bahwa dalam Islam, kepemimpinan (Imamah) dimulai dari unit terkecil: keluarga. Doa dalam ayat 74 ini menghubungkan keberhasilan domestik (Qurrata A’yun) dengan keberhasilan publik (Imama lil-Muttaqin) secara hierarkis.

Keluarga sebagai Laboratorium Kepemimpinan

Rumah tangga adalah tempat latihan di mana seseorang menguji integritas, kesabaran, dan keadilannya. Seorang yang gagal memimpin dirinya sendiri dan keluarganya dengan adil dan rahmat, hampir pasti akan gagal memimpin masyarakat luas.

Ketika seseorang berdoa, "Jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa," ia sedang berjanji untuk memastikan bahwa pasangannya dan keturunannya akan mendukung dan memfasilitasi upaya kepemimpinannya tersebut. Keluarga seorang pemimpin teladan harus menjadi cerminan dari nilai-nilai yang ia anut dan dakwahkan di luar rumah.

Tantangan Menjadi Imam

Permintaan untuk menjadi Imam mengandung ambisi yang mulia: Ambisi menjadi manusia terbaik di mata Allah dan manusia. Ambisi ini harus dijaga agar tidak tergelincir menjadi riya’ (pamer) atau kesombongan.

Para ulama salaf, ketika menafsirkan *Imama lil-Muttaqin*, sering mengingatkan bahwa seseorang tidak boleh meminta kepemimpinan dengan motivasi kekuasaan duniawi. Sebaliknya, ia harus meminta agar Allah menjadikannya sedemikian saleh sehingga orang-orang bertakwa lainnya secara sukarela menjadikannya rujukan, bukan karena paksaan, melainkan karena kagum pada kualitas ketakwaannya.

Kepemimpinan yang diminta adalah kepemimpinan dalam kebaikan; yaitu berada di depan ketika ada panggilan untuk berjuang, berkorban, dan beramal saleh. Kepemimpinan ini menuntut:

  1. Keberanian Moral: Berani menegakkan kebenaran meskipun berat.
  2. Rasa Belas Kasihan: Memimpin dengan rahmat dan tidak arogan (sesuai dengan sifat dasar *Ibadurrahman*).
  3. Kedalaman Ilmu: Memimpin dengan dasar pengetahuan agama yang kuat.

Jika keluarga adalah fondasi iman, maka masyarakat adalah manifestasi dari keberhasilan fondasi tersebut. Doa ini adalah jembatan yang menghubungkan kedua ranah penting tersebut.

IX. Kontemplasi Spiritual dan Filosofis Doa

Surah Al-Furqan Ayat 74 merupakan salah satu doa yang paling komprehensif dalam Al-Qur’an karena ia mencakup spektrum luas kehidupan manusia. Kontemplasi mendalam atas doa ini membuka wawasan baru tentang cara pandang seorang mukmin sejati terhadap dunia.

Hakikat Hibah Ilahi

Mengapa doa ini menggunakan kata *Hab* (anugerahkan/hibah), yang menunjukkan karunia tanpa imbalan? Hal ini mengajarkan kita bahwa keberadaan keluarga yang menyejukkan hati dan posisi sebagai teladan moral bukanlah sesuatu yang dapat kita klaim sebagai hasil usaha semata, meskipun kita telah berjuang keras.

Keberhasilan dalam pendidikan dan kepemimpinan pada akhirnya adalah Taufik (pertolongan) dari Allah. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Penggunaan kata *Hab* mengajarkan kerendahan hati: seberapa pun salehnya kita, keshalehan keturunan dan pengaruh positif kita pada orang lain tetaplah hadiah murni dari Sang Pencipta.

Penolakan Terhadap Kekalahan Moral

Permintaan untuk *Qurrata A’yun* adalah penolakan tegas terhadap narasi kekalahan moral. Dalam sejarah, banyak nabi dan orang saleh yang diuji dengan keturunan yang tidak taat (contohnya anak Nabi Nuh as.). Doa ini adalah upaya seorang mukmin untuk terus berjuang, memohon perlindungan dari ujian terbesar ini, yaitu kegagalan moral pada keturunan yang dapat menghancurkan ketenangan batin.

Ini adalah pengakuan bahwa meski kita hidup dalam masyarakat yang penuh fitnah (ujian), kita memiliki harapan dan kewajiban untuk melahirkan generasi yang lebih baik, yang tidak hanya selamat dari fitnah tersebut, tetapi juga mampu memimpin orang lain menuju keselamatan.

Peran Doa dalam Perencanaan Hidup

Doa Rabbana Hab Lana berfungsi sebagai kompas utama dalam merencanakan hidup. Setiap keputusan, mulai dari pemilihan tempat tinggal, pekerjaan, hingga gaya hidup, harus dipertimbangkan dari sudut pandang: Apakah ini akan membantu pasangan dan anak-anak saya menjadi *Qurrata A’yun*? Apakah ini akan memfasilitasi peran kami sebagai *Imam* bagi orang-orang yang bertakwa?

Tanpa kerangka berpikir ini, perencanaan hidup menjadi dangkal dan mudah terseret oleh ambisi duniawi yang fana. Doa ini mengalihkan fokus dari "Apa yang saya dapatkan dari hidup ini?" menjadi "Nilai abadi apa yang dapat saya tinggalkan untuk diri saya dan umat melalui keluarga saya?"

Kesinambungan makna ini, dari ketenangan domestik hingga kepemimpinan global, mencerminkan pandangan Islam yang holistik: ibadah personal harus berbuah manfaat sosial, dan kebahagiaan sejati harus berakar pada ketaatan kepada Allah.

Ketekunan dalam Membaca dan Mengamalkan Doa

Doa ini adalah salah satu doa *Rabbaniyyah* (doa yang diajarkan oleh Allah sendiri dalam Al-Qur’an) yang sangat dianjurkan untuk dibaca dan diresapi maknanya. Namun, keberkahan terbesar datang ketika doa ini diucapkan bukan hanya di lisan, tetapi diwujudkan dalam setiap tindakan mendidik dan memimpin. Keberlangsungan seorang hamba dalam berusaha dan berdoa adalah ciri hakiki dari *Ibadurrahman*.

Oleh karena itu, setiap kali seorang mukmin mengucapkan "Rabbana Hab Lana...", ia tidak hanya meminta, tetapi ia sedang memperbarui janji dan ikrarnya untuk hidup sesuai dengan standar luhur yang telah ditetapkan oleh Allah SWT bagi hamba-hamba pilihan-Nya.

X. Penutup: Warisan Abadi Ayat 74

Surah Al-Furqan ayat 74 adalah permata dalam Al-Qur’an yang menyimpulkan aspirasi tertinggi seorang mukmin. Ia mengajarkan bahwa keshalehan tidaklah lengkap tanpa keshalehan kolektif yang dimulai dari keluarga.

Doa ini adalah pengingat bahwa tujuan hidup seorang hamba adalah menciptakan warisan spiritual yang abadi. Warisan tersebut terdiri dari dua pilar utama:

Pertama, Keluarga yang Salehah (*Qurrata A’yun*): Keturunan yang menjadi investasi terbaik di dunia dan akhirat, yang kehadirannya di sisi kita adalah sumber kedamaian hakiki. Ketenangan ini berasal dari keyakinan bahwa kita telah berhasil dalam mendidik mereka untuk menjadi hamba Allah yang taat.

Kedua, Pengaruh Positif (*Imama lil-Muttaqin*): Menjadi mercusuar ketaatan dan teladan hidup bagi orang-orang bertakwa lainnya. Ini adalah permintaan untuk kemuliaan abadi di sisi Allah, di mana hamba tersebut diangkat derajatnya sebagai panutan kebajikan.

Keseluruhan pesan dari Surah Al-Furqan, dari ayat 63 hingga 77, adalah bahwa status *Ibadurrahman* diperoleh melalui perjuangan terus-menerus, dimulai dari pembenahan diri, dilanjutkan dengan pembenahan keluarga, dan diakhiri dengan kontribusi positif bagi masyarakat. Doa Rabbana Hab Lana adalah kunci yang membuka pintu gerbang menuju kesempurnaan tersebut, sebuah permintaan yang mencakup kebahagiaan duniawi yang bermakna dan kemuliaan ukhrawi yang kekal.

Semoga Allah SWT mengabulkan permohonan kita, menjadikan kita dan keturunan kita termasuk dalam golongan *Ibadurrahman* yang mendapatkan *Qurrata A’yun* dan layak menjadi *Imam* bagi orang-orang yang bertakwa.

🏠 Kembali ke Homepage