Surah Al-Furqan, yang berarti 'Pembeda' atau 'Kriteria', adalah sebuah surah Makkiyah yang diturunkan pada fase sulit dakwah Rasulullah ﷺ. Surah ini menetapkan garis tegas antara kebenaran dan kepalsuan, antara iman dan kekafiran. Di tengah seruan untuk membedakan jalan yang lurus, Allah ﷻ memberikan sebuah deskripsi agung, sebuah manifesto spiritual dan etika, yang menjelaskan siapa sejatinya 'Ibādur Raḥmān—Hamba-hamba Yang Maha Penyayang.
Ayat 63 dari surah ini adalah pintu gerbang menuju pemahaman karakter utama yang harus dimiliki oleh seorang mukmin sejati. Ia tidak berbicara tentang ritual ibadah semata, melainkan tentang bagaimana seorang hamba berinteraksi dengan dunia, dengan sesama manusia, dan yang terpenting, bagaimana ia membawa dirinya sendiri di muka bumi. Ayat ini adalah fondasi etika sosial Islam.
Ayat ini memuat dua sifat hakiki yang saling melengkapi: **Kerendahan Hati (Hawnan)** yang bersifat internal dan **Kedamaian (Salāmā)** yang bersifat eksternal. Keduanya adalah manifestasi dari keimanan yang mendalam dan kesadaran akan hakikat kehambaan.
Nama surah ini adalah Al-Furqan, tetapi deskripsi para hamba ini dimulai dengan penyebutan Ar-Raḥmān (Yang Maha Penyayang). Ini adalah pilihan kata yang sangat signifikan. Allah ﷻ tidak menggunakan nama 'Al-Jabbār' (Yang Maha Perkasa) atau 'Al-Qahhār' (Yang Maha Memaksa), melainkan nama yang menekankan sifat kasih sayang yang luas dan melimpah.
Penyebutan *Raḥmān* menunjukkan bahwa sifat-sifat yang disebutkan dalam ayat ini—kerendahan hati, kesabaran, dan kedamaian—adalah cerminan dari Kasih Sayang Ilahi. Seorang hamba yang sejati adalah cerminan dari sifat-sifat Tuhannya. Jika Allah adalah Maha Penyayang, maka hamba-Nya harus menjadi agen penyebar kasih sayang, bukan keangkuhan atau konflik. Panggilan ini memberikan kehormatan tertinggi bagi seorang mukmin, menempatkannya di bawah naungan rahmat yang tak terbatas.
Ibādur Raḥmān adalah mereka yang telah membebaskan diri dari perbudakan ego, nafsu, dan duniawi, dan hanya mengikatkan diri pada Rahmat Ilahi. Kehambaan mereka adalah pilihan sadar yang didorong oleh cinta dan rasa syukur, bukan paksaan atau ketakutan belaka.
Ayat 63 dimulai dengan: الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا ("Orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati"). Kata kunci di sini adalah Hawnan.
Kata *Hawnan* (هَوْنًا) berasal dari akar kata yang mengandung makna ketenangan, kemuliaan tanpa kesombongan, kelembutan, dan langkah yang pelan. Ini bukan sekadar cara berjalan fisik; ini adalah metafora untuk gaya hidup dan sikap batiniah:
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa *Hawnan* adalah berjalan dengan tenang, santai, dan penuh kehormatan tanpa kesombongan. Ini adalah pertengahan antara dua ekstrem: bukan berjalan dengan lunglai atau malas, tetapi juga bukan berjalan dengan angkuh dan sombong.
Sikap *Hawnan* meluas jauh melampaui cara kita melangkahkan kaki. Ia meresap ke dalam setiap aspek interaksi:
Kerendahan hati ini adalah perisai. Kesombongan (*kibr*) adalah dosa yang menghalangi masuknya hidayah, sedangkan *Hawnan* membuka hati untuk menerima kebenaran. Seorang hamba Allah yang Maha Penyayang menyadari bahwa dirinya adalah debu; ia tidak memiliki hak untuk bersikap angkuh di hadapan sesama makhluk ciptaan Allah.
Untuk memahami *Hawnan*, kita harus memahami kebalikannya: kesombongan (*kibr*). Rasulullah ﷺ mendefinisikan kesombongan sebagai "menolak kebenaran dan meremehkan manusia." Sifat ini adalah ciri khas Iblis. Allah ﷻ menyebutkan dalam ayat lain bahwa bumi tidak layak diinjak oleh orang yang sombong: "Janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung." (Al-Isra: 37). Ayat 63 dari Al-Furqan adalah perintah positif untuk melakukan kebalikan dari larangan tersebut.
Bagian kedua ayat 63 berbunyi: وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا ("Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata keselamatan (kedamaian/salāmā).")
Penting untuk dicatat bahwa *Al-Jāhilūn* dalam konteks Qur'an seringkali tidak hanya berarti "orang yang tidak berpengetahuan" (bodoh secara akademis), tetapi lebih mengacu pada orang yang bertindak bodoh secara moral, etika, dan sosial. Mereka adalah orang-orang yang:
Ibādur Raḥmān diuji ketika menghadapi provokasi dari kelompok ini. Dalam masyarakat manapun, akan selalu ada orang yang berusaha menarik orang lain ke dalam konflik dan perdebatan yang sia-sia.
Respon Ibādur Raḥmān adalah mengucapkan Salāmā (kedamaian). Ini bisa diartikan dalam beberapa lapisan:
Para ulama tafsir menegaskan bahwa Salāmā di sini berarti sikap pasif yang bijaksana. Mereka tidak membalas penghinaan, tidak berdebat demi memenangkan ego, dan tidak menghabiskan energi untuk perselisihan yang tidak menghasilkan kebaikan. Ini adalah kesabaran tingkat tinggi yang lahir dari kekuatan internal, bukan kelemahan.
Dalam ilmu manajemen konflik, sikap "Salāmā" adalah penarikan diri yang bermartabat (tactical retreat). Ketika Anda berhadapan dengan orang yang marah atau tidak rasional, upaya untuk membela diri atau menjelaskan posisi hanya akan memperburuk situasi. Hamba Ar-Raḥmān tahu bahwa saat terbaik untuk memenangkan konflik adalah dengan tidak memasukinya sama sekali. Respon mereka adalah:
"Kami adalah hamba Allah yang menjaga Rahmat-Nya, dan kami tidak akan mencemari hati kami dengan balas dendam atau perdebatan yang rendah."
Ini adalah kesabaran yang luar biasa, sebab membalas keburukan dengan kebaikan atau setidaknya dengan diam adalah salah satu ujian terberat bagi jiwa manusia. Sifat ini hanya dapat diwujudkan oleh mereka yang telah menguasai ego mereka melalui kerendahan hati (*Hawnan*).
Kedua sifat yang disebutkan dalam ayat 63 ini tidak dapat dipisahkan. *Hawnan* adalah prasyarat bagi *Salāmā*.
Seseorang hanya bisa merespon provokasi dengan kedamaian jika ia telah membuang kesombongan dalam hatinya. Jika seseorang sombong, ketika dihina, egonya akan menuntut pembalasan segera. Namun, karena Hamba Ar-Raḥmān telah memilih berjalan dengan rendah hati (*Hawnan*), ia tidak merasa terhina secara pribadi ketika disapa oleh *Al-Jāhilūn*. Hatinya terlalu besar untuk dipersempit oleh kemarahan orang lain.
Ayat ini menggambarkan kepribadian yang terpadu:
Tanpa *Hawnan*, *Salāmā* hanya akan menjadi pura-pura atau kepura-puraan. Tanpa *Salāmā*, *Hawnan* berisiko menjadi pasif-agresif atau mudah diinjak-injak. Kombinasi keduanya menciptakan karakter yang kuat, bermartabat, dan resisten terhadap racun sosial.
Sifat-sifat ini juga penting dalam konteks dakwah. Ketika umat Islam menunjukkan kerendahan hati dalam kekuasaan dan kesabaran dalam menghadapi musuh, mereka menampilkan citra Rahmat Allah yang diembannya. Mereka menjadi saksi atas keindahan ajaran Islam, yang mengutamakan kedamaian, bahkan ketika diperangi.
Meskipun ayat ini diturunkan pada masa yang berbeda, relevansinya tetap kuat dalam konteks modern, terutama di era komunikasi digital dan media sosial.
Bentuk baru dari kesombongan adalah 'keangkuhan digital'—merasa superior karena memiliki akses informasi, kemampuan berargumen yang tajam, atau jumlah pengikut yang banyak. *Hawnan* dalam konteks ini berarti:
Jika seseorang sombong, ia akan merasa wajib untuk 'memenangkan' setiap perdebatan online. Jika seseorang memiliki *Hawnan*, ia menyadari bahwa nilai dirinya tidak ditentukan oleh pengakuan atau kemenangan di dunia maya.
Media sosial penuh dengan Al-Jāhilūn modern—yaitu para "troll" atau akun yang sengaja memprovokasi konflik. Respon "Qālū Salāmā" mengambil bentuk:
Waktu dan energi yang dihemat dari menghindari perdebatan sia-sia ini kemudian dapat dialihkan untuk melakukan perbuatan baik dan produktif. Ini adalah strategi manajemen diri yang sangat efektif, yang diajarkan oleh Al-Qur'an.
Untuk memahami kedalaman *Hawnan*, kita merujuk pada teladan terbaik, yaitu Nabi Muhammad ﷺ. Meskipun beliau adalah pemimpin negara, panglima perang, dan Nabi terakhir, kerendahan hatinya tidak tertandingi.
Dikisahkan bahwa Rasulullah ﷺ:
Cara beliau berjalan tidak pernah tergesa-gesa, tetapi juga tidak sombong. Beliau berjalan seolah-olah turun dari tempat yang tinggi, menunjukkan wibawa yang damai, mencerminkan persis makna *Hawnan*.
Contoh klasik dari Salāmā adalah ketika beliau dilempari batu di Thaif. Respon beliau bukan kemarahan atau kutukan, melainkan doa bagi kaum yang menolaknya, menunjukkan bahwa beliau tidak tertarik membalas kebodohan (kejahilan) mereka, melainkan mengharapkan hidayah untuk mereka. Sikap ini menyelamatkan energi untuk misi yang lebih besar dan menunjukkan betapa kuatnya kendali diri seorang Hamba Ar-Raḥmān.
Mengapa karakter ini ditempatkan di awal deskripsi Ibādur Raḥmān (sebelum deskripsi tentang ibadah malam dan pengorbanan harta yang ada di ayat-ayat selanjutnya)?
Sebab, etika sosial adalah fondasi yang harus dibangun sebelum etika ritual. Ibadah seseorang tidak akan sempurna tanpa akhlak yang mulia. Allah ﷻ ingin menunjukkan bahwa Hamba-Nya yang paling dicintai adalah mereka yang interaksinya dengan manusia lain dipenuhi kerendahan hati dan kedamaian. Ini adalah manifestasi nyata dari ketundukan kepada sifat *Ar-Raḥmān*. Jika hati dipenuhi kesombongan, bahkan ibadah malam yang panjang pun bisa sia-sia karena akan menghancurkan pahala melalui interaksi sosial yang buruk.
Seorang ulama pernah berkata, "Seorang hamba yang sombong saat shalat tidak akan merasakan kekhusyu'an yang hakiki, karena ia berdiri di hadapan Allah dalam postur kehambaan, sementara di hatinya ia merasa lebih mulia dari sesamanya." *Hawnan* adalah syarat penerimaan ibadah, karena hanya hati yang tunduk yang dapat mendekat kepada Yang Maha Tinggi.
Konsep *Jahl* dalam ayat ini adalah penting. Kebodohan yang dihadapi Hamba Ar-Raḥmān bukanlah kebodohan intelektual, melainkan kebodohan yang lahir dari hawa nafsu dan ketidakmampuan mengendalikan emosi. Ketika seseorang memilih untuk merespon dengan Salāmā, ia secara efektif memotong rantai reaksi negatif, menolak untuk menjadi cermin dari keburukan orang lain.
Keputusan untuk mengucapkan Salāmā menunjukkan bahwa prioritas Hamba Ar-Raḥmān adalah memelihara kedamaian jiwanya dan menjaga hubungannya dengan Allah, daripada memuaskan dorongan sesaat untuk membela ego atau memenangkan perdebatan yang sia-sia.
Prinsip *Hawnan* (kerendahan hati) adalah inti dari seluruh ajaran etika. Penerapannya harus meliputi setiap detik kehidupan. Kita akan memperdalam bagaimana *Hawnan* memengaruhi sudut pandang spiritual, psikologis, dan sosial.
Orang yang rendah hati adalah orang yang paling bersyukur. Ia menyadari bahwa semua nikmat—kesehatan, kekayaan, kecerdasan, dan iman—bukanlah hasil dari kehebatannya semata, melainkan anugerah murni dari Allah ﷻ. Kesadaran ini mematikan benih kesombongan sebelum ia tumbuh. Jika seseorang menganggap nikmat berasal dari dirinya, ia akan sombong; jika ia menganggapnya dari Allah, ia akan rendah hati.
Pencari ilmu yang sejati harus berjalan dengan *Hawnan*. Seorang yang sombong tidak akan pernah mengakui bahwa ia tidak tahu, sehingga ia berhenti belajar. Seorang yang rendah hati senantiasa haus akan ilmu, tidak peduli dari mana ilmu itu datang—bahkan jika ia harus belajar dari muridnya sendiri, dari orang yang lebih muda, atau dari orang yang dianggap remeh oleh masyarakat. Kerendahan hati adalah kunci utama pembuka pintu hikmah.
*Hawnan* sejati bukanlah sikap berpura-pura miskin atau merendahkan diri secara artifisial. Itu adalah keadaan batin yang jujur. Kerendahan hati yang palsu (pamer kerendahan hati) adalah bentuk kesombongan yang tersembunyi, di mana seseorang merendahkan diri agar dipuji sebagai orang yang rendah hati. *Hawnan* sejati adalah ketika seseorang tidak peduli apakah ia dipuji atau dicaci, karena fokus utamanya adalah ridha Allah, bukan pandangan manusia.
Ibādur Raḥmān, meskipun rendah hati, tidak pasif dalam menghadapi ketidakadilan. *Hawnan* bukan berarti kelemahan atau kepasrahan terhadap kezaliman. Sebaliknya, kerendahan hati yang sejati memberinya kekuatan moral untuk membela yang benar tanpa jatuh ke dalam arogansi atau kebencian pribadi. Ia berjuang untuk keadilan karena tanggung jawab, bukan karena keinginan untuk berkuasa atau menunjukkan kekuatan.
Konsep *Salāmā* (kedamaian) harus diterapkan bukan hanya dalam situasi konflik, tetapi sebagai sikap hidup permanen yang mencerminkan kedamaian internal.
Sikap *Qālū Salāmā* adalah puncak dari pengendalian amarah. Amarah adalah api yang dibakar oleh ego yang terluka. Ketika *Al-Jāhilūn* menyapa, mereka sedang berusaha menyulut api tersebut. Hamba Ar-Raḥmān merespon dengan 'Salāmā' sebagai air yang memadamkan api, sekaligus membangun penghalang non-reaktif di antara dirinya dan provokator.
Nabi ﷺ bersabda, "Bukanlah orang yang kuat itu yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika sedang marah." *Qālū Salāmā* adalah aplikasi praktis dari ajaran kenabian ini. Kekuatan sejati terletak pada kemampuan untuk tidak menggunakan kekuatan ketika diprovokasi.
Penerapan *Salāmā* sangat krusial dalam rumah tangga. Dalam lingkungan keluarga, kadang-kadang anggota keluarga kita sendiri, yang sedang berada di bawah tekanan atau kelelahan, dapat bertindak sebagai *Al-Jāhilūn* (bertindak tidak rasional). Reaksi yang didasarkan pada Salāmā berarti menahan diri dari membalas kekasaran dengan kekasaran, mencari solusi yang menenangkan, dan memprioritaskan harmoni daripada memenangkan argumen kecil.
Ini membutuhkan pelatihan jiwa yang konsisten, menyadari bahwa setiap respon buruk terhadap keburukan orang lain adalah kegagalan dalam menjadi Hamba Ar-Raḥmān yang dicita-citakan.
Dampak dari sikap *Qālū Salāmā* adalah transformasi sosial. Ketika seseorang memilih untuk mundur dari konflik, ia tidak hanya menyelamatkan dirinya, tetapi juga menciptakan preseden baru dalam interaksi sosial. Ia mengajarkan, tanpa harus berdebat, bahwa kedamaian adalah respons yang lebih mulia daripada pembalasan. Tindakan ini mematahkan siklus kebencian dan permusuhan yang seringkali diwariskan dari generasi ke generasi.
Ayat 63 adalah permulaan dari serangkaian deskripsi karakter Ibādur Raḥmān yang berlanjut hingga akhir Surah Al-Furqan. Kualitas kerendahan hati dan kedamaian harus dipahami sebagai fondasi spiritual yang memungkinkan semua kualitas berikutnya muncul.
Ayat berikutnya (64) berbicara tentang mereka yang menghabiskan malam untuk sujud dan berdiri di hadapan Tuhan mereka. Bagaimana ini berkaitan dengan Ayah 63?
Hanya hati yang telah dimurnikan dari kesombongan (*Hawnan*) dan dibebaskan dari kekeruhan konflik duniawi (*Salāmā*) yang mampu merasakan manisnya ibadah malam. Seseorang yang tidur dengan dendam atau kesombongan di hatinya akan sulit untuk berdiri di hadapan Allah dengan kekhusyu'an sejati. *Hawnan* dan *Salāmā* mempersiapkan jiwa untuk koneksi vertikal yang mendalam.
Ayat-ayat selanjutnya berbicara tentang keseimbangan dalam membelanjakan harta (tidak boros dan tidak kikir). Kerendahan hati (*Hawnan*) memastikan bahwa kekayaan tidak menjadi sumber kesombongan, dan membuat seorang hamba mudah berbagi. Sementara sikap damai (*Salāmā*) memastikan bahwa interaksi ekonomi dilakukan dengan etika dan tanpa penindasan.
Seluruh ayat-ayat Ibādur Raḥmān adalah satu kesatuan organik. Kualitas pertama, etika sosial, adalah jembatan yang menghubungkan batiniah (tauhid dan ibadah) dengan dunia nyata (interaksi dan moralitas).
Ada anggapan keliru bahwa kerendahan hati dan kedamaian adalah tanda kelemahan. Ayat 63 menghapus anggapan ini sepenuhnya. Justru sebaliknya, kemampuan untuk menahan amarah dan merespon provokasi dengan ketenangan membutuhkan kekuatan psikologis, spiritual, dan moral yang jauh lebih besar daripada sekadar membalas dengan kekerasan.
*Hawnan* memerlukan keberanian untuk melepaskan kebutuhan akan pengakuan manusia. *Salāmā* memerlukan keberanian untuk menahan dorongan instingtif untuk membela diri atau menyerang balik. Ini adalah bentuk keberanian spiritual yang melampaui keberanian fisik.
Perilaku Ibādur Raḥmān meninggalkan warisan abadi. Orang-orang yang berinteraksi dengan mereka tidak akan mengingat kata-kata tajam atau argumen yang mereka menangkan, melainkan ketenangan dan martabat yang mereka pancarkan. Inilah yang mengubah hati dan membuka jalan bagi hidayah, karena kebenaran paling efektif disampaikan melalui ketenangan, bukan teriakan.
Surah Al-Furqan Ayat 63 adalah sebuah peta jalan menuju kesempurnaan karakter. Ia menetapkan dua pilar universal yang wajib dipegang teguh oleh setiap orang yang mengaku sebagai Hamba Allah Yang Maha Penyayang. Ayat ini mengajarkan bahwa spiritualitas sejati tidak hanya terjadi di tempat ibadah, tetapi terutama di jalanan yang kita pijak dan dalam kata-kata yang kita ucapkan saat diprovokasi.
Menjadi Ibādur Raḥmān adalah perjalanan panjang penguasaan diri, di mana kita secara konsisten berlatih untuk mematikan ego yang sombong dan menggantinya dengan kerendahan hati yang damai. Ini adalah panggilan untuk menjadi mercusuar ketenangan di tengah lautan kekacauan, menjadi sumber rahmat di bumi, meneladani sifat Ar-Raḥmān sendiri. Kerendahan hati (*Hawnan*) dan Kedamaian (*Salāmā*) adalah tanda kemuliaan sejati, kunci menuju kehidupan yang bermakna di dunia dan keselamatan di akhirat.
Setiap langkah kaki kita di dunia harus mencerminkan kesadaran akan kehambaan (*Hawnan*), dan setiap interaksi kita, terutama yang sulit, harus ditutup dengan pilihan yang membawa kedamaian (*Salāmā*). Inilah hakikat menjadi Hamba Allah Yang Maha Penyayang.