Surah Al-Baqarah Ayat 83 adalah salah satu ayat yang paling padat dan komprehensif dalam Al-Qur'an. Ia tidak hanya mengulas sejarah perjanjian Allah (Mitsaq) yang diambil dari Bani Israil—sebuah kaum yang menerima wahyu sebelum umat Islam—tetapi juga meletakkan fondasi etika dan moral universal yang relevan bagi seluruh umat manusia, hingga hari kiamat. Ayat ini merangkum delapan perintah fundamental yang mencakup hak Allah, hak individu, hak sosial, dan hak komunikasi. Pelanggaran terhadap perjanjian ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya konsistensi dalam menjalankan ajaran agama secara menyeluruh, tidak memilih-milih mana yang mudah dan meninggalkan mana yang dirasa berat.
Ayat ini dibuka dengan frasa: وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ (Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil). Kata *Mitsaq* (مِيثَاقَ) berarti janji yang kuat, sumpah yang mengikat, atau perjanjian yang sakral. Ini menunjukkan bahwa perintah-perintah yang disebutkan berikutnya bukanlah sekadar saran moral, melainkan kewajiban fundamental yang merupakan inti dari ketaatan mereka kepada Allah SWT.
Janji ini diulang-ulang dalam Al-Qur'an untuk Bani Israil sebagai pengingat akan tanggung jawab spiritual dan moral yang mereka emban. Pelajaran yang paling penting bagi umat Muhammad SAW adalah bahwa Allah menetapkan standar yang sama untuk semua umat; Tauhid (monoteisme) harus diikuti dengan perbuatan baik (akhlak) dan ibadah praktis (syariah). Tidak ada pemisahan antara aspek spiritual dan sosial.
Tafsir klasik, seperti Ibnu Katsir dan Ath-Thabari, memecah ayat ini menjadi delapan perintah utama yang menjadi inti perjanjian tersebut. Perintah ini disusun secara hierarkis, dimulai dari hak Allah, kemudian hak yang paling dekat (orang tua), hingga hak yang paling luas (seluruh manusia).
Perintah pertama adalah لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ (Janganlah kamu menyembah selain Allah). Ini adalah inti dari seluruh ajaran samawi. Sebelum menuntut amal perbuatan atau akhlak, Al-Qur'an menekankan kewajiban mutlak untuk mengesakan Allah SWT. Tauhid bukan hanya pengakuan lisan, tetapi juga implementasi dalam segala bentuk ibadah, niat, dan ketaatan.
Ibadah (*‘ibadah*) dalam konteks ini meliputi segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tersembunyi maupun yang nampak. Melarang penyembahan selain Allah berarti menolak segala bentuk syirik—syirik akbar (penyekutuan besar) maupun syirik asghar (penyekutuan kecil, seperti riya).
Mengapa Tauhid diletakkan sebagai syarat pertama? Karena semua amal sosial dan ibadah praktis (shalat, zakat) akan menjadi sia-sia jika fondasi tauhidnya rapuh. Jika hati tidak murni beribadah hanya kepada Allah, maka kedermawanan kepada yatim piatu atau shalat yang didirikan hanyalah formalitas tanpa substansi spiritual yang hakiki. Tauhid adalah sumber energi spiritual yang menggerakkan delapan pilar berikutnya.
Dalam sejarah Bani Israil, penyelewengan Tauhid sering terjadi, misalnya dengan menyembah patung anak sapi (Al-'Ijl) atau terlalu memuliakan para rabi mereka hingga melebihi batas yang diizinkan. Ini memberikan peringatan keras kepada umat Islam untuk selalu menjaga kemurnian akidah dari segala bentuk bid’ah dan khurafat yang dapat mengikis keesaan Allah.
Dalam konteks kontemporer, syirik modern bisa berupa: mempertuhankan harta, mengejar jabatan dengan mengorbankan prinsip agama, atau menaati undang-undang buatan manusia yang secara eksplisit bertentangan dengan syariat Allah. Ayat 83 mengingatkan bahwa janji utama kepada Allah adalah bahwa tidak ada prioritas yang melebihi hak-Nya untuk disembah dan ditaati.
Setelah hak Allah dipenuhi, ayat ini langsung beralih ke hak-hak yang paling mulia dalam interaksi antarmanusia. Urutan penempatan hak-hak ini menunjukkan betapa pentingnya tatanan sosial yang Islami, dimulai dari lingkaran terkecil (keluarga inti) hingga lingkaran terluar (masyarakat umum).
Frasa وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا (dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak) selalu mengikuti perintah Tauhid di banyak tempat dalam Al-Qur'an. Ini menunjukkan bahwa setelah kewajiban tertinggi kepada Allah, kewajiban tertinggi berikutnya adalah kepada orang tua, terutama ibu.
*Ihsaan* (إِحْسَانًا) berarti berbuat baik pada tingkat tertinggi, melampaui sekadar adil, dan mencakup perlakuan terbaik, perkataan lembut, pelayanan tulus, dan menahan diri dari segala bentuk perkataan atau perbuatan yang menyakiti hati mereka. Ini mencakup:
Kewajiban *Birrul Walidain* bersifat abadi, tidak gugur meskipun orang tua telah meninggal. Hal ini dilakukan melalui doa, memohon ampunan bagi mereka, dan menyambung silaturahmi dengan teman-teman dekat mereka.
Membahas secara mendalam, Ibnu Jarir Ath-Thabari menjelaskan bahwa ihsan kepada orang tua mencakup pengorbanan waktu, emosi, dan harta. Dalam fikih, hak orang tua didahulukan bahkan di atas hak jihad fardhu kifayah, menegaskan prioritas absolutnya dalam struktur kewajiban seorang Muslim. Bahkan jika orang tua non-Muslim, kewajiban berbuat baik dan menafkahi mereka tetap berlaku, meskipun ketaatan dalam hal keimanan tidak dibolehkan.
Setelah orang tua, datanglah kerabat dekat وَذِي الْقُرْبَىٰ (kerabat). Perintah ini menekankan *Silaturahmi* (menyambung tali persaudaraan). Kerabat memiliki hak khusus atas waktu, perhatian, dan sebagian harta kita. Kerabat yang dimaksud adalah mereka yang memiliki hubungan darah, baik dari jalur ibu maupun ayah.
Menjaga hubungan kekerabatan adalah penanda keimanan dan sebab dilapangkannya rezeki serta dipanjangkannya umur. Memutus silaturahmi (قَطْعُ الرَّحِمِ) adalah dosa besar yang dilarang keras dalam Islam, yang menunjukkan bahwa kerabat adalah benteng sosial pertama yang harus dijaga dari kehancuran.
Berikutnya, ayat ini memperluas kewajiban sosial kepada mereka yang paling rentan: وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ (anak-anak yatim, dan orang-orang miskin). Ini adalah transisi dari kewajiban berbasis darah (nasab) menuju kewajiban berbasis kebutuhan (haajah).
Anak yatim adalah mereka yang kehilangan ayah sebelum baligh. Dalam budaya yang patriarkis, hilangnya ayah seringkali berarti hilangnya perlindungan finansial dan sosial. Ayat ini mewajibkan umat Islam untuk menjaga harta mereka dan, yang lebih penting, memberikan pengasuhan emosional dan pendidikan yang baik. Menganiaya anak yatim, memakan harta mereka secara zalim, atau menelantarkan hak mereka adalah kejahatan besar dalam pandangan syariat.
Kewajiban terhadap anak yatim sering kali diulang dalam Al-Qur'an (seperti dalam Surah Adh-Dhuha dan Al-Ma'un), menunjukkan prioritas Islam dalam melindungi hak-hak mereka yang tidak berdaya.
*Al-Masakin* (orang-orang miskin) adalah mereka yang hidup dalam kesulitan, yang mungkin memiliki penghasilan tetapi tidak mencukupi kebutuhan dasar mereka. Kewajiban terhadap mereka adalah memastikan kesejahteraan ekonomi mereka terpenuhi, yang pada puncaknya diformalisasikan melalui institusi zakat (seperti yang akan dibahas kemudian).
Integrasi keempat perintah sosial ini (orang tua, kerabat, yatim, miskin) menunjukkan visi Islam tentang masyarakat yang saling menanggung. Ketaatan kepada Allah harus termanifestasi dalam kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama, dimulai dari rumah sendiri.
Pilar keenam adalah perintah unik yang menyentuh aspek komunikasi sehari-hari: وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا (serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia).
Kata *Husnan* (حُسْنًا) atau *Ma'ruf* (kebajikan) menunjukkan bahwa perkataan yang diucapkan haruslah indah, sopan, jujur, dan menenangkan. Perintah ini bersifat sangat luas (لِلنَّاسِ), mencakup semua orang, baik Muslim maupun non-Muslim, teman maupun lawan.
Tafsir mengenai ayat ini memiliki dua dimensi utama:
Al-Qur'an mengajarkan bahwa kata-kata adalah benih. Kata-kata yang baik dapat menumbuhkan kasih sayang dan mengurangi permusuhan. Sebaliknya, kata-kata yang buruk dapat merusak hubungan dan menciptakan konflik sosial, bahkan jika niat di baliknya baik.
Sebagian mufassir menyatakan bahwa *husnan* mencakup perintah untuk beramar ma'ruf dan nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) dengan cara yang santun. Ibnu Abbas RA menafsirkan *husnan* sebagai perintah untuk berbuat baik kepada semua orang, bahkan kepada musuh yang memerangi kita, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
Pentingnya etika berbicara ini diletakkan di tengah-tengah antara kewajiban sosial-keluarga dan kewajiban ibadah, menunjukkan bahwa kualitas komunikasi (lisan) adalah jembatan antara akhlak pribadi dan ketaatan ritual. Seseorang yang rajin shalat tetapi lisannya kotor dianggap gagal dalam mengamalkan salah satu pilar inti perjanjian Allah ini.
Dua pilar terakhir dari perjanjian ini adalah perintah-perintah ritual dan institusional yang mengukuhkan hubungan vertikal dengan Allah dan hubungan horizontal dengan masyarakat: وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ (dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat).
Shalat adalah tiang agama dan ritual ibadah yang paling penting setelah Tauhid. Perintah yang digunakan adalah *Iqamatus Shalah* (mendirikan shalat), bukan sekadar melaksanakan. Mendirikan berarti:
Bagi Bani Israil, sebagaimana bagi umat Islam, shalat merupakan penanda identitas dan ketaatan yang nyata. Shalat berfungsi sebagai pembersih jiwa harian, menjaga agar Tauhid tetap hidup dalam hati, dan memberikan kekuatan untuk menjalankan seluruh kewajiban sosial yang telah disebutkan sebelumnya.
Kewajiban shalat secara fisik mengharuskan seorang hamba untuk meninggalkan kesibukan duniawi sementara dan menghadap kepada Tuhannya. Ritual ini adalah pengingat berulang bahwa janji yang diambil (mitsaq) harus ditepati. Tanpa shalat yang didirikan dengan benar, seseorang mudah tergelincir kembali ke dalam kecintaan duniawi yang dapat merusak akhlak dan kewajiban sosial.
Para ulama sepakat bahwa mengabaikan shalat adalah indikasi terbesar dari pengabaian terhadap perjanjian Allah. Dalam konteks Bani Israil, salah satu bentuk pengabaian perjanjian mereka adalah seringnya mereka melalaikan waktu shalat atau menjadikannya sekadar ritual tanpa makna.
Seringkali, perintah shalat selalu disandingkan dengan zakat. Zakat adalah pilar Islam yang memastikan keadilan ekonomi dan menunaikan hak orang miskin yang disebutkan sebelumnya (Pilar 5).
*Ita'uz Zakah* (menunaikan zakat) berarti memberikan harta yang telah ditentukan kadarnya, kepada golongan yang berhak menerimanya (delapan *asnaf*). Zakat bukanlah sedekah sukarela, melainkan kewajiban finansial yang mengikat, berfungsi sebagai:
Bagi Bani Israil, kewajiban yang serupa dengan zakat sudah ada (seperti sedekah wajib dan perpuluhan). Namun, sering kali mereka enggan membayar atau mencoba mengakali ketentuan tersebut. Kegagalan menunaikan kewajiban finansial ini merupakan manifestasi nyata dari kegagalan menepati perjanjian, karena ini secara langsung menzalimi golongan yatim dan miskin.
Ayat 83 ditutup dengan kalimat yang memberikan peringatan tajam dan menjadi refleksi sejarah bagi setiap umat: ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِّنكُمْ وَأَنتُم مُّعْرِضُونَ (Kemudian kamu berpaling (mengingkari), kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kamu selalu enggan (menjalankannya)).
Kata *Tawallaytum* (تَوَلَّيْتُمْ) menunjukkan tindakan memunggungi atau berpaling secara total. Ini bukan sekadar kesalahan kecil, melainkan penolakan terhadap keseluruhan perjanjian yang mengikat. Bani Israil telah menerima janji ini di hadapan Allah (terutama pada masa Nabi Musa AS), namun mayoritas mereka memilih untuk mengingkari atau mengabaikan salah satu atau beberapa pilar dari delapan kewajiban tersebut.
Mufassir Qatadah menjelaskan bahwa Bani Israil suka mengambil sebagian ajaran yang mereka sukai (misalnya, beribadah di Baitul Maqdis) dan meninggalkan sebagian yang lain (misalnya, menahan diri dari membunuh sesama atau menunaikan hak orang miskin), yang merupakan bentuk inkonsistensi fatal yang merusak perjanjian.
Pengecualian إِلَّا قَلِيلًا مِّنكُمْ (kecuali sebagian kecil dari kamu) adalah catatan keadilan ilahi. Selalu ada sekelompok kecil dari setiap umat yang tetap teguh pada janji. Kelompok minoritas yang taat ini adalah pemegang obor kebenaran, terlepas dari meluasnya penyimpangan di kalangan mayoritas.
Ayat ini ditutup dengan kondisi abadi mereka: وَأَنتُم مُّعْرِضُونَ (dan kamu selalu enggan (menjalankannya)). Kata *Mu'ridhuna* (مُّعْرِضُونَ) menekankan sifat enggan, terus-menerus menolak, dan tidak mau kembali. Ini menunjukkan penyakit hati yang kronis, di mana kebenaran telah sampai namun ego dan kepentingan pribadi mencegah mereka untuk taat.
Penting untuk dipahami bahwa sifat enggan ini adalah akar dari kegagalan mereka menepati janji. Ini bukan sekadar kelemahan, tetapi penolakan aktif terhadap hukum Allah yang telah mereka ketahui.
Meskipun ayat ini secara langsung berbicara tentang Bani Israil, perintah-perintah di dalamnya adalah fundamental dan mengikat bagi umat Muhammad SAW. Ayat 83 berfungsi sebagai cermin dan peringatan:
Ayat ini mengajarkan bahwa Islam adalah sistem yang terintegrasi. Tauhid harus dibuktikan dengan Birrul Walidain, kasih sayang kepada yatim dan miskin, dan kualitas lisan yang baik. Ketaatan ritual (Shalat dan Zakat) adalah manifestasi fisik dari komitmen spiritual yang harus mengalir ke dalam interaksi sosial. Kegagalan dalam salah satu aspek akan merusak keutuhan ketaatan. Tidak ada gunanya shalat jika kita menzalimi orang tua atau berbicara kasar kepada orang lain.
Pelajaran terpenting dari Bani Israil adalah bahaya memilih-milih hukum (Tafriq Bainal Ahkam). Ketika suatu umat mulai merasa bahwa perintah yang berhubungan dengan ritual lebih penting daripada perintah yang berhubungan dengan etika sosial, atau sebaliknya, maka ia berada di jalur yang sama dengan umat-umat terdahulu yang gagal menepati perjanjian Allah.
Urutan delapan pilar memberikan panduan yang jelas tentang prioritas hak: Hak Allah > Hak Orang Tua > Hak Kerabat > Hak Masyarakat Rentan > Etika Umum > Ibadah Institusional. Struktur ini memastikan bahwa energi spiritual seorang Muslim diarahkan ke jalur yang benar, memelihara fondasi keluarga dan masyarakat.
Dalam konteks modern yang penuh dengan media sosial dan komunikasi digital, perintah وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا memiliki urgensi yang sangat tinggi. Perkataan yang baik kini mencakup tulisan yang baik. Ayat ini menuntut umat Islam untuk menjadi sumber kedamaian lisan dan digital, menjauhi ujaran kebencian, *hoax*, dan fitnah, bahkan ketika berinteraksi dengan lawan bicara yang berbeda pandangan.
Untuk memahami kedalaman janji ini, perlu dilakukan analisis mendalam terhadap implikasi hukum dari perintah untuk berbuat baik kepada anak yatim dan orang miskin, yang merupakan inti dari keadilan sosial dalam Islam.
Dalam ilmu Fiqih, perhatian terhadap anak yatim jauh melampaui sekadar memberi sedekah. Seorang wali yang mengelola harta anak yatim (disebut *washiy*) memiliki tanggung jawab hukum yang sangat berat. Surah An-Nisa (4:10) secara eksplisit mengancam dengan api neraka bagi mereka yang memakan harta anak yatim secara zalim. Ini menegaskan bahwa *ihsan* (kebajikan) kepada yatim harus berbentuk perlindungan hukum yang ketat.
Tafsir klasik menekankan bahwa kebaikan kepada anak yatim mencakup: 1) Perlindungan fisik dan emosional; 2) Pengelolaan harta mereka untuk pertumbuhan (investasi) dan bukan untuk konsumsi pribadi wali; dan 3) Mengembalikan harta tersebut secara utuh dan terawat ketika anak yatim mencapai usia baligh dan kematangan akal (رشيد).
Perintah berbuat baik kepada *Masakin* (orang miskin) dalam Ayat 83 mendahului perintah Zakat. Ini menunjukkan adanya dua lapisan kewajiban:
Kebaikan kepada orang miskin bukanlah opsional; ia adalah bagian integral dari perjanjian Tauhid. Masyarakat yang mengabaikan orang miskinnya berarti telah gagal dalam menunaikan hak Allah, karena Allah menjadikan harta sebagai ujian dan menetapkan hak bagi fakir miskin di dalamnya.
Para fuqaha (ahli fikih) membahas bahwa jika kebutuhan dasar orang miskin tidak terpenuhi oleh zakat, maka kewajiban finansial kolektif beralih kepada seluruh masyarakat (fardhu kifayah) untuk menutup defisit tersebut, memastikan bahwa tidak ada anggota masyarakat yang kelaparan atau telantar.
Mengapa Shalat dan Zakat selalu muncul bersamaan? Hubungan erat antara وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ adalah kunci pemahaman perjanjian ini.
Shalat meluruskan hubungan vertikal (antara hamba dan Khaliq). Ia memurnikan niat, menanamkan rasa takut (taqwa), dan menyediakan kekuatan batin. Shalat adalah ibadah yang bersifat individu, di mana setiap orang bertanggung jawab atas sah atau tidaknya shalatnya.
Zakat meluruskan hubungan horizontal (antara hamba dan sesama makhluk). Ia memurnikan harta, mendistribusikan berkah, dan membangun solidaritas sosial. Zakat adalah ibadah yang bersifat komunal dan institusional, menuntut adanya sistem dan pengelolaan yang adil.
Keduanya merupakan ekspresi ketaatan yang saling melengkapi. Shalat tanpa zakat adalah ibadah yang egois, fokus hanya pada keselamatan diri sendiri tanpa peduli kondisi sesama. Zakat tanpa shalat adalah kedermawanan tanpa akar spiritual, yang mudah goyah dan hilang niat keikhlasannya. Dalam perjanjian Allah, kedua pilar ini harus berdiri tegak bersama, memastikan bahwa keimanan adalah holistik: murni di hati, lurus dalam ibadah, dan adil dalam pergaulan sosial.
Kisah Bani Israil sering diwarnai dengan keengganan membayar kewajiban finansial. Sikap مُّعْرِضُونَ (enggan) mereka sangat terkait dengan kecintaan berlebihan terhadap harta. Ayat ini memperingatkan bahwa kecintaan duniawi (cinta harta, jabatan) adalah penyakit yang dapat merusak Tauhid dan Birrul Walidain, serta membuat seseorang enggan membayar Zakat, sehingga melanggar tiga pilar sekaligus. Pelajaran ini relevan bagi umat Islam yang modern, di mana menunaikan Zakat seringkali menjadi bagian perjanjian yang paling mudah diabaikan.
Surah Al-Baqarah Ayat 83 adalah cetak biru abadi untuk kehidupan yang seimbang dan penuh berkah. Ia mengungkapkan keadilan Allah yang menetapkan standar yang sama untuk umat-umat terdahulu dan umat terakhir. Kegagalan Bani Israil menepati janji ini, karena mereka memilih sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya, adalah peringatan yang bergema sepanjang sejarah.
Kunci keberhasilan dalam menepati perjanjian Allah adalah konsistensi (Istiqamah) dalam menjalankan semua delapan pilar: mengesakan Allah, menghormati orang tua, menjaga kerabat, melindungi yatim dan miskin, menjaga lisan, serta mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Hanya dengan memegang teguh seluruh rangkaian perintah ini, umat Islam dapat membuktikan diri sebagai umat yang memenuhi janji (mitsaq) mereka kepada Sang Pencipta, berbeda dengan kaum-kaum terdahulu yang berpaling dan enggan.
Perjanjian ini bukanlah sejarah mati, melainkan kontrak hidup yang diperbarui setiap hari melalui niat, tindakan, dan ibadah kita.
Kekuatan ayat 83 juga terletak pada struktur bahasanya. Ayat ini menggunakan bentuk verbal dan nominal yang sangat spesifik untuk menekankan kewajiban.
Perhatikan struktur: لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ (Janganlah kamu menyembah selain Allah) menggunakan bentuk negasi yang kuat (Laa) diikuti oleh kata kerja (Ta'buduun). Namun, pada perintah-perintah berikutnya (orang tua, kerabat, yatim, miskin), kata kerjanya dihilangkan (hazf), dan digantikan dengan bentuk masdar (kata benda yang menunjukkan perbuatan): وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا. Secara sintaksis, ini berarti "Berbuatlah ihsan kepada kedua orang tua," dan seterusnya.
Penyimpanan kata kerja ini memberikan penekanan yang luar biasa pada objek (orang tua, yatim, miskin) itu sendiri. Ketika kata kerja *ihsan* (kebajikan) diulang untuk lima objek berbeda, ini menunjukkan bahwa kewajiban berbuat baik kepada mereka adalah hal yang wajib dilakukan, setara dengan perintah Tauhid itu sendiri. Ini bukan sekadar anjuran, melainkan kewajiban yang mengikat dalam perjanjian tersebut.
Meskipun sering diterjemahkan serupa, penggunaan *Husnan* (حُسْنًا - kebaikan/keindahan) dalam konteks perkataan (وَقُولُوا) lebih merujuk pada kualitas etika dan estetika lisan—yakni perkataan yang menyenangkan hati, sopan, dan santun. Ini berbeda dengan *Ma'ruf* (kebajikan yang dikenal umum) yang sering digunakan untuk merujuk pada tindakan. Dalam komunikasi, Allah menuntut keindahan (husnan), menunjukkan bahwa bentuk dan cara penyampaian sama pentingnya dengan isi pesan.
Pengulangan janji (mitsaq) dalam Al-Qur'an terkait Bani Israil berfungsi sebagai teknik naratif untuk memperingatkan umat selanjutnya. Setiap kali perjanjian ini disebutkan, ia diikuti oleh daftar kewajiban dan catatan kegagalan mereka. Bagi pembaca, ini adalah penegasan bahwa kegagalan menunaikan kewajiban sosial dan ritual secara seimbang akan selalu berujung pada konsekuensi serius, apa pun nama umatnya.
Kata kunci yang mendominasi Ayat 83 dalam konteks sosial adalah *Ihsaan* (إِحْسَانًا), yang berarti melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya. Ihsan adalah tingkatan tertinggi dari keimanan, melampaui Islam (kepatuhan) dan Iman (keyakinan). Dalam konteks ayat ini, Ihsan harus diterapkan kepada lima golongan penerima:
1. Ihsan kepada Walidain (Orang Tua): Ihsan di sini berarti mendahulukan kebutuhan mereka di atas kebutuhan sendiri, berbicara dengan suara yang lebih rendah, dan tidak menolak permintaan mereka kecuali dalam perkara maksiat. Ibnu Mas'ud pernah ditanya amal apa yang paling dicintai Allah, dan beliau menjawab: Shalat pada waktunya, kemudian Birrul Walidain. Menempatkan Birrul Walidain setelah Shalat menunjukkan ia adalah ibadah utama yang tidak bisa dinegosiasikan.
2. Ihsan kepada Kerabat: Implementasi Ihsan kepada kerabat adalah dengan menjaga silaturahmi, menolong mereka saat membutuhkan, dan tidak memutus hubungan meskipun mereka telah memutuskannya terlebih dahulu. Ini adalah tingkat Ihsan yang menuntut pengorbanan emosional yang tinggi.
3. Ihsan kepada Yatim dan Miskin: Ihsan kepada yatim dan miskin menuntut keadilan. Ihsan tidak hanya memberi makanan, tetapi juga memberi martabat. Memberi sambil merendahkan penerima bukanlah Ihsan. Perintah ini menuntut umat Islam untuk menciptakan lingkungan yang ramah dan suportif bagi mereka yang kurang beruntung, menjadikan mereka anggota masyarakat yang terhormat, bukan sekadar objek amal.
Pengulangan penekanan pada hak-hak sosial ini, terutama terhadap kaum lemah, menunjukkan bahwa ujian terbesar ketaatan Bani Israil—dan oleh karenanya, umat Islam—bukanlah pada ritual yang terlihat publik, melainkan pada keadilan dan kasih sayang yang terwujud dalam muamalah sehari-hari.
Konsep Ihsan bahkan diterapkan pada dua perintah ritual terakhir:
Penutup ayat ini—bahwa mayoritas Bani Israil berpaling dan enggan—adalah peringatan abadi bagi Umat Muhammad. Bagaimana sikap 'berpaling' dan 'enggan' ini termanifestasi dalam kehidupan modern?
1. Berpaling dari Tauhid (Secara Halus): Mayoritas umat Islam modern mungkin tidak menyembah berhala batu, tetapi mereka bisa berpaling dari Tauhid dengan mendahulukan hukum atau filsafat sekuler di atas hukum Allah. Berpaling juga bisa berupa keyakinan tersembunyi bahwa rezeki datang dari pekerjaan semata, bukan dari Allah, yang mengikis konsep Tawakal.
2. Enggan dalam Akhlak Sosial: Manifestasi paling nyata dari sifat *Mu'ridhuna* adalah enggan melaksanakan perintah yang membutuhkan pengorbanan pribadi. Misalnya, sibuk dengan ibadah sunnah (seperti umrah berkali-kali) tetapi enggan menafkahi orang tua yang membutuhkan; rajin membaca Al-Qur'an tetapi enggan berbicara baik kepada tetangga yang berbeda pandangan; atau menunda-nunda zakat wajib.
Ayat 83 menuntut umat Islam untuk melakukan introspeksi mendalam: Apakah kita telah jatuh ke dalam pola sejarah yang sama? Apakah kita hanya menjadi "sebagian kecil" yang menepati janji, ataukah kita termasuk "mayoritas" yang enggan melaksanakan perintah secara utuh?
Inilah yang menjadi esensi dari pesan Al-Baqarah 83: Perjanjian Allah adalah paket yang utuh, dan kegagalan dalam satu aspek dapat melemahkan seluruh bangunan ketaatan. Konsistensi dalam menjaga hak Allah, hak keluarga, hak masyarakat, dan hak diri sendiri melalui ibadah yang berkualitas adalah jalan untuk menepati mitsaq ini hingga akhir hayat.
Delapan pilar ini bukan hanya sejarah Bani Israil, melainkan kurikulum moral dan spiritual bagi setiap jiwa yang mengaku beriman kepada Allah.
Para ulama fikih dan akhlak memberikan panduan sangat terperinci mengenai *Husn Al-Qawl*. Husn Al-Qawl terbagi menjadi tiga kategori penting yang harus diperhatikan dalam ucapan:
a. *Qawlan Sadidan* (Perkataan Benar): Ucapkan fakta dan kebenaran. Jauhi dusta, kesaksian palsu, atau pemalsuan informasi. Kewajiban ini sangat ditekankan dalam komunikasi publik, di mana menjaga kebenaran adalah menjaga keutuhan masyarakat.
b. *Qawlan Layyinan* (Perkataan Lembut): Gunakan nada suara yang santun dan bahasa yang tidak menyerang. Perintah ini harus diterapkan bahkan saat menyampaikan kritik atau nasehat. Contoh paling agung adalah perintah kepada Nabi Musa dan Harun untuk berbicara kepada Firaun dengan perkataan yang lembut (Surah Taha: 44), meskipun Firaun adalah tiran yang mengaku Tuhan.
c. *Qawlan Kariman* (Perkataan Mulia): Ini adalah level tertinggi dari Husn Al-Qawl, khususnya diterapkan kepada orang tua. Perkataan mulia berarti perkataan yang mengandung penghormatan, penghargaan, dan pengakuan atas jasa dan kedudukan mereka.
Ketika Ayat 83 mengatakan *Husnan* secara universal (لِلنَّاسِ), ia mencakup semua dimensi di atas. Keseluruhan delapan perintah ini menunjukkan bahwa Islam ingin membangun individu yang terintegrasi secara spiritual dan sosial. Kegagalan Bani Israil, dan potensi kegagalan umat Islam, terletak pada kemampuan menyeimbangkan tuntutan yang terlihat (ritual) dengan tuntutan yang tersembunyi (akhlak dan lisan).
Oleh karena itu, setiap Muslim harus secara rutin mengaudit dirinya: seberapa baik Tauhid saya? Seberapa baik saya melayani orang tua? Seberapa adil lisan saya? Seberapa konsisten Shalat dan Zakat saya? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menentukan apakah kita termasuk yang menepati mitsaq atau termasuk yang *Mu'ridhuna* (enggan dan berpaling).
Kajian mendalam Surah Al-Baqarah Ayat 83 tidak hanya membuka lembaran sejarah Bani Israil, tetapi juga memberikan peta jalan yang jelas bagi keselamatan spiritual dan kesuksesan sosial Umat Muhammad SAW.