Pendahuluan: Kedudukan Surah Al Anfal
Surah Al Anfal, surah ke-8 dalam susunan mushaf Al-Qur'an, adalah surah Madaniyyah, yang diturunkan setelah peristiwa penting dan krusial dalam sejarah awal Islam: Perang Badar Al-Kubra. Penamaan surah ini, “Al Anfal” (Harta Rampasan Perang), secara tegas mengindikasikan fokus utama diskursus awal surah, yakni tentang bagaimana harta yang diperoleh dari peperangan harus diatur, didistribusikan, dan yang terpenting, bagaimana memahami bahwa kepemilikan mutlak atas segala sesuatu, termasuk harta rampasan, hanyalah milik Allah dan Rasul-Nya. Konteks historisnya yang padat menjadikan surah ini bukan sekadar kumpulan hukum militer, tetapi juga sebuah pelajaran teologis mendalam mengenai ketaatan, kesabaran, dan hakikat pertolongan Ilahi.
Surah ini berfungsi sebagai kritik, koreksi, dan panduan. Kritik diarahkan pada perbedaan pendapat dan potensi keserakahan di antara kaum Muslimin pasca Badar, khususnya mengenai pembagian *ghanimah*. Koreksi ditujukan pada asumsi-asumsi manusiawi tentang kekuatan material, mengingatkan bahwa kemenangan sejati datang dari intervensi Ilahi. Sementara itu, panduan mencakup tatanan hukum perang, etika jihad, dan pembentukan masyarakat Madinah yang berlandaskan prinsip persaudaraan (antara Muhajirin dan Ansar) dan perjanjian (mu'ahadah) dengan pihak non-Muslim. Secara keseluruhan, Al Anfal adalah cetak biru untuk masyarakat yang baru lahir, yang harus menyeimbangkan kebutuhan duniawi (seperti pembagian harta) dengan tuntutan spiritual dan etika tertinggi.
Latar Belakang Historis: Perang Badar Al-Kubra
Untuk memahami Surah Al Anfal secara utuh, kita harus menengok pada peristiwa yang mendahuluinya, yaitu Perang Badar, yang terjadi pada tahun kedua Hijriyah. Badar bukanlah peperangan yang direncanakan oleh kaum Muslimin sebagai sebuah konfrontasi skala besar, melainkan awalnya adalah upaya untuk mencegat kafilah dagang Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan yang kembali dari Syam. Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat hanya bermaksud mengambil kembali sebagian harta mereka yang dirampas Quraisy di Mekah. Namun, rencana ini berubah drastis ketika Abu Sufyan berhasil mengirim utusan ke Mekah, memicu Quraisy mengirim pasukan besar yang lengkap berjumlah sekitar 1.000 orang.
Kaum Muslimin, yang hanya berjumlah sekitar 313 orang dengan perlengkapan seadanya, berada dalam dilema besar. Mereka dihadapkan pada dua pilihan: kafilah yang kaya atau pasukan musuh yang jauh lebih unggul dalam jumlah. Allah SWT, melalui wahyu-Nya, menenangkan hati kaum Muslimin dan menjanjikan salah satu dari dua kelompok tersebut (Badar 8:7). Perang Badar akhirnya terjadi pada tanggal 17 Ramadhan. Kemenangan luar biasa yang diraih Muslimin atas kekuatan Quraisy yang superior tidak hanya mengubah peta politik jazirah Arab, tetapi juga menegaskan kekuatan Islam sebagai kekuatan militer dan spiritual yang tidak dapat diabaikan.
Pasca kemenangan, masalah muncul. Ayat-ayat pertama surah ini secara langsung merespons sengketa di kalangan beberapa kelompok sahabat mengenai bagaimana harta rampasan yang melimpah (unta, senjata, pakaian) harus dibagi. Persoalan ini menjadi titik tolak bagi penetapan hukum Illahi yang melampaui kebiasaan-kebiasaan suku Arab tradisional, yang cenderung memberikan bagian terbesar kepada para penyerang garis depan atau pemimpin. Al Anfal datang untuk memastikan keadilan distributif yang diletakkan di bawah otoritas tunggal Allah dan Rasul-Nya.
Analisis Ayat 1-4: Prinsip Ghanimah dan Hakikat Mukmin Sejati
Surah Al Anfal dibuka dengan pertanyaan spesifik dari para sahabat dan respons yang tegas dari Allah SWT.
Definisi dan Kepemilikan Al Anfal (Ayat 1)
Ayat pertama menetapkan dua fondasi utama: kepemilikan dan etika. Ketika para sahabat bertanya tentang *Al Anfal* (secara literal berarti tambahan atau rampasan perang), Allah menjawab bahwa kepemilikan *Al Anfal* adalah mutlak bagi Allah dan Rasul-Nya. Ini adalah deklarasi kedaulatan Ilahi atas hasil upaya manusia. Dengan menetapkan kepemilikan kepada Allah dan Rasul, hukum pembagiannya tidak lagi didasarkan pada negosiasi manusiawi atau klaim individu, melainkan pada ketetapan syariat yang akan dijelaskan kemudian dalam ayat 41.
Imam Al-Qurtubi dan para mufassir lainnya menjelaskan bahwa penyerahan otoritas kepada Allah dan Rasul-Nya adalah cara untuk membersihkan hati para pejuang dari keserakahan duniawi, mengalihkan fokus dari keuntungan materi kepada tujuan spiritual jihad, yaitu meninggikan kalimat Allah. Segera setelah penetapan kepemilikan, Allah memberikan perintah etis: “Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian.” Ini menunjukkan bahwa persatuan internal umat lebih penting daripada pembagian harta. Konflik materi harus diselesaikan dengan ketakwaan, di mana takut kepada Allah menjadi pengendali utama sengketa.
Sifat-sifat Mukmin Sejati (Ayat 2-4)
Ayat-ayat berikutnya menyajikan kriteria fundamental untuk memverifikasi keimanan yang sesungguhnya. Jika seorang Muslim mengklaim dirinya mukmin, ia harus memenuhi empat kriteria utama, yang semuanya berpusat pada hubungan vertikal (dengan Allah) dan horizontal (dengan sesama Muslim) dan manifestasi ketaatan:
- Gemetar Hati Saat Disebut Nama Allah (Wajilat Qulubuhum): Ini adalah indikasi kepekaan spiritual dan kesadaran penuh akan keagungan Allah. Rasa takut ini bukan rasa takut akan kehancuran fisik, melainkan rasa hormat yang mendalam yang memicu ketaatan.
- Bertambahnya Iman Saat Dibacakan Ayat-Ayat-Nya: Keimanan harus dinamis dan responsif terhadap wahyu. Mendengar Al-Qur'an seharusnya menguatkan keyakinan, bukan hanya sekadar mendengarkan narasi.
- Bertawakkal Hanya Kepada Tuhan: Ketergantungan total pada Allah dalam segala urusan, termasuk dalam peperangan dan pembagian harta. Tawakkal adalah puncak dari tauhid.
- Mendirikan Shalat dan Menginfakkan Rezeki: Dua pilar ibadah praktis. Shalat adalah koneksi spiritual, dan infaq adalah kedermawanan material, menunjukkan bahwa harta (termasuk ghanimah) hanya alat untuk mencapai keridhaan Allah.
Penting untuk dicatat bahwa dalam tafsir Ibnu Katsir, korelasi antara penetapan hukum ghanimah (ayat 1) dan sifat mukmin sejati (ayat 2-4) sangatlah kuat. Allah mengingatkan bahwa jika mereka benar-benar mukmin, perselisihan tentang harta seharusnya tidak terjadi; ketaatan dan tawakal harus mendominasi di atas urusan duniawi, seberapa pun besar keuntungannya. Mereka yang memenuhi sifat-sifat ini, merekalah Al-Mu'minun Al-Haqqa (orang-orang mukmin yang sebenarnya), dan bagi mereka disediakan derajat mulia, ampunan, dan rezeki yang mulia (ayat 4).
Analisis Ayat 5-19: Ujian Badar dan Intervensi Ilahi
Bagian ini menceritakan kembali bagaimana Allah menuntun kaum Muslimin menuju Badar, meskipun sebagian dari mereka enggan atau merasa takut, menekankan bahwa keputusan Nabi Muhammad ﷺ untuk berperang adalah bimbingan langsung dari Allah, bukan sekadar strategi militer. Ayat ini menegaskan bahwa Allah adalah Perencana Agung.
Ketidakrelaan Sebagian Sahabat (Ayat 5-6)
Ketika Nabi ﷺ diperintahkan untuk maju berperang, sebagian sahabat merasa keberatan, seperti halnya ketika mereka berselisih tentang harta rampasan. Ayat 5 membandingkan keengganan ini dengan kondisi Bani Israil. Allah mengingatkan bahwa meskipun mereka maju dengan rasa tidak rela, hasil akhirnya (kemenangan di Badar) membuktikan bahwa perintah Allah adalah kebenaran, bahkan jika ia terasa sulit di awal.
Janji Kemenangan (Ayat 7-8)
Ayat 7 adalah jantung dari dilema Badar. Allah menjanjikan salah satu dari dua kelompok: kafilah (harta) atau pasukan (perang). Kaum Muslimin berharap pada kafilah yang tidak bersenjata, namun Allah menghendaki peperangan untuk membenarkan kebenaran (mengalahkan Quraisy) dan menghancurkan kebatilan, meskipun Muslimin tidak bersenjata lengkap. Ini mengajarkan bahwa kemenangan Islam tidak tergantung pada kekuatan logistik, melainkan pada kehendak Allah.
Bantuan Malaikat dan Rasa Aman (Ayat 9-14)
Ayat 9-10 menceritakan momen kritis di Badar ketika Nabi ﷺ memohon pertolongan. Allah merespons dengan janji bantuan 1.000 malaikat. Bantuan ini diberikan bukan sebagai jaminan mutlak, tetapi sebagai kabar gembira (bushra) dan peneguh hati. Kemenangan pada dasarnya berasal dari Allah. Selain bantuan fisik malaikat, Allah juga menurunkan rasa aman (Al-Amanah), di mana rasa kantuk melanda kaum Muslimin sebelum pertempuran (menghilangkan rasa takut) dan hujan turun (mensucikan mereka dari najis, memadatkan tanah berpasir, dan membasuh hati mereka dari waswas).
Secara teologis, intervensi Ilahi ini (malaikat, kantuk, hujan) berfungsi untuk menghilangkan unsur kebanggaan manusiawi pasca kemenangan. Mereka tidak bisa mengklaim kemenangan karena strategi atau jumlah mereka, karena Allah sendiri yang menyatakan: "Bukanlah kamu yang membunuh mereka, melainkan Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar." (Ayat 17). Ini adalah penegasan terhadap konsep kekuasaan mutlak Tuhan (Tauhidul Af'al).
Larangan Mundur dari Medan Perang (Ayat 15-16)
Ayat ini menetapkan hukum militer yang sangat ketat: larangan keras untuk melarikan diri dari musuh (Az-Zahfu). Mundur dari medan pertempuran adalah salah satu dari dosa-dosa besar (Al-Kaba'ir), kecuali dalam dua kondisi pengecualian yang diakui syariat: (a) taktik pergeseran posisi untuk menyerang lagi (mutaharrifan li qital), atau (b) bergabung dengan kelompok Muslim lain (mutahayyizan ila fi'ah). Sanksi bagi yang melarikan diri tanpa alasan syar'i adalah kemurkaan Allah dan tempat kembali di Jahannam.
Kepadatan hukum dan narasi dalam bagian ini menunjukkan betapa Surah Al Anfal menyatukan sejarah, hukum (fiqh), dan akidah dalam satu kesatuan teks yang tak terpisahkan.
Analisis Ayat 20-40: Kewajiban Ketaatan, Ujian, dan Pertarungan Kebenaran
Setelah membahas kemenangan fisik di Badar, surah ini beralih ke kemenangan spiritual. Allah SWT memerintahkan ketaatan total dan memperingatkan terhadap kebodohan spiritual dan fitnah.
Peringatan Ketaatan dan Larangan Mendustakan (Ayat 20-23)
Ayat 20 memerintahkan: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berpaling dari-Nya, sedang kalian mendengar (perintah-perintah-Nya).” Peringatan ini ditujukan kepada orang-orang yang mendengar Al-Qur'an dan sunnah Nabi, tetapi tidak mengaplikasikannya. Allah menyamakan orang yang tidak menggunakan akal mereka untuk memahami kebenaran (meskipun mereka mendengar) dengan binatang ternak, bahkan lebih sesat (Ayat 22). Ini adalah indikasi bahwa iman harus disertai dengan penggunaan akal (ta'aqqul) untuk memahami tujuan syariat.
Ibnu Katsir menafsirkan “mendengar” di sini bukan hanya mendengar suara, tetapi menerima dan tunduk secara spiritual. Jika Allah mengetahui adanya kebaikan pada diri mereka, niscaya Dia jadikan mereka mendengar (memahami), tetapi jika Dia jadikan mereka mendengar (secara fisik), mereka pasti akan berpaling dengan penolakan.
Pentingnya Respons Cepat (Ayat 24-28)
Ayat 24 adalah salah satu ayat paling fundamental tentang kehidupan spiritual: “Penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kalian.” Agama Islam, dalam konteks ini, disebut sebagai sumber ‘kehidupan’ (yuhyikum) karena ia menghidupkan hati dari kematian spiritual, memberikan tujuan, keadilan, dan keselamatan abadi, berbeda dengan kehidupan duniawi yang fana.
Ayat ini kemudian beralih ke peringatan tentang fitnah (ujian) yang tidak hanya menimpa pelaku dosa, tetapi juga orang saleh jika mereka berdiam diri dalam menghadapi kemungkaran (Ayat 25). Selanjutnya, peringatan keras disampaikan tentang pengkhianatan terhadap Allah, Rasul, dan amanah (Ayat 27). Amanah di sini mencakup kewajiban agama, kepercayaan sosial, dan juga keluarga (Ayat 28), yang kadang menjadi ujian harta dan anak-anak—semua itu hanyalah fitnah (ujian), dan pahala yang besar ada di sisi Allah.
Persekongkolan dan Tipu Daya Quraisy (Ayat 30-40)
Bagian akhir ini mengalihkan fokus kembali ke Mekah, menceritakan bagaimana kaum Quraisy, sebelum Badar, merencanakan persekongkolan untuk membunuh, mengusir, atau menawan Nabi Muhammad ﷺ (Peristiwa Darun Nadwah). Allah menyatakan bahwa mereka merencanakan tipu daya, tetapi Allah adalah sebaik-baik Perencana (Ayat 30).
Ayat 31-33 menjelaskan kesombongan Quraisy, yang mengklaim Al-Qur'an hanyalah dongeng orang terdahulu, dan meminta Allah menurunkan azab jika Muhammad benar. Respons Allah adalah bahwa azab tidak akan diturunkan selama Nabi ﷺ masih bersama mereka, dan selama masih ada orang yang memohon ampunan (istighfar) di antara mereka. Keberadaan Nabi dan istighfar berfungsi sebagai dua penangkal azab Ilahi. Mereka dihukum melalui kekalahan di Badar, bukan melalui pemusnahan total.
Analisis Ayat 41: Hukum Khumus (Seperlima Harta Rampasan)
Ayat 41 adalah ayat hukum utama dalam Surah Al Anfal, yang secara definitif menetapkan bagaimana ghanimah harus didistribusikan. Ini adalah inti hukum fiqh militer yang membedakan Islam dari tradisi perang pra-Islam.
Prinsip Pembagian Khumus
Allah menetapkan bahwa seperlima (Al-Khumus) dari seluruh harta rampasan (ghanimah) harus dipisahkan terlebih dahulu. Setelah Khumus dipisahkan, sisa empat perlima (4/5) dibagi kepada para pejuang yang ikut serta, dengan pembagian jatah yang ditetapkan (misalnya, jatah penunggang kuda dua kali lipat dari pejalan kaki).
Porsi Khumus (1/5) dibagi menjadi lima bagian (menurut pendapat jumhur ulama Syafi'i dan Hanafi, meskipun ada perbedaan pendapat historis mengenai porsi Rasulullah setelah wafatnya beliau):
- Bagian Allah dan Rasul: Digunakan untuk kemaslahatan umum Muslimin, Baitul Mal, dan kepentingan jihad.
- Bagian Kerabat Rasul (Dzi Al-Qurba): Khususnya Bani Hasyim dan Bani Mutthalib, sebagai ganti karena mereka dilarang menerima zakat.
- Bagian Anak Yatim (Al-Yatama): Anak-anak yang kehilangan ayah mereka.
- Bagian Orang Miskin (Al-Masakin): Orang yang membutuhkan.
- Bagian Musafir (Ibnu Sabil): Orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan.
Hukum ini memiliki implikasi sosial yang besar. Islam tidak mengizinkan harta kekayaan perang hanya beredar di kalangan pejuang elit. Khumus memastikan bahwa setiap kemenangan militer secara langsung menyejahterakan kelompok-kelompok paling rentan dalam masyarakat Islam, menekankan bahwa jihad memiliki dimensi keadilan sosial yang kuat.
Konteks Ayat 41
Ayat ini diturunkan untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi setelah Badar. Sebelum ayat ini turun, harta rampasan perang sepenuhnya dikembalikan kepada Rasulullah ﷺ untuk dibagi sesuai kebijakannya. Ayat ini memberikan kerangka hukum tetap. Disebutkan juga bahwa pembagian ini hanya berlaku "jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) pada Hari Furqan (Hari Pembeda), yaitu hari bertemunya dua pasukan (di Badar)." Dengan demikian, penetapan hukum ini dikaitkan erat dengan pembeda spiritual dan historis yang diwujudkan oleh kemenangan di Badar.
Tafsir linguistik mendalam pada kata *Ghanimtum* (kalian rampas/dapatkan) menunjukkan bahwa hukum ini berlaku untuk semua harta yang diperoleh melalui peperangan yang melibatkan unsur risiko dan pertempuran. Hal ini berbeda dengan *Fay'* (rampasan tanpa pertempuran) yang memiliki hukum pembagian yang sedikit berbeda, diatur dalam Surah Al-Hasyr, meskipun prinsipnya sama-sama di bawah otoritas Ilahi.
Analisis Ayat 42-64: Strategi, Kepastian, dan Kekuatan Tauhid
Bagian ini mengulas detail pertempuran Badar dari sudut pandang strategi dan psikologi, menunjukkan bahwa setiap gerakan dan kondisi alam diatur oleh Allah untuk menguji dan memenangkan orang-orang beriman.
Rencana Allah dalam Pertemuan Dua Pasukan (Ayat 42-44)
Ayat 42 menggambarkan posisi kedua belah pihak di Badar. Muslimin berada di tepi lembah yang terdekat (Al-'udwah Ad-Dunya), sedangkan Quraisy di tepi lembah yang terjauh (Al-'udwah Al-Quswa). Kafilah Abu Sufyan berada di bawah mereka di tepi laut. Pertemuan ini terjadi seolah tanpa rencana manusia yang sempurna, namun Allah telah merencanakannya. Bahkan jika Muslimin dan Quraisy telah bersepakat tentang waktu dan tempat, mereka pasti akan berbeda pendapat, tetapi Allah mempertemukan mereka sesuai kehendak-Nya untuk menetapkan perkara yang pasti terjadi.
Ayat 43-44 menjelaskan bagaimana Allah mengubah persepsi visual: Allah memperlihatkan musuh berjumlah sedikit di mata kaum Muslimin (untuk menguatkan semangat) dan memperlihatkan kaum Muslimin berjumlah sedikit di mata musuh (agar Quraisy tidak segera mundur). Semua ini adalah strategi psikologis Ilahi untuk memastikan pertarungan terjadi, sehingga mereka yang binasa binasa atas bukti yang jelas, dan mereka yang hidup hidup atas bukti yang jelas.
Prinsip Kestabilan dan Zikir (Ayat 45-47)
Tiga perintah kunci diberikan kepada Muslimin dalam menghadapi musuh:
- Teguh dan Stabil (Tsabat): Jangan goyah dalam menghadapi kekuatan musuh.
- Banyak Berzikir (Kasiradz Dzirkra): Mengingat Allah secara intensif adalah kunci kemenangan spiritual dan psikologis.
- Taat, Tidak Berselisih, dan Sabar (Ta'ah, Islah, Sabr): Ketaatan kepada Allah dan Rasul, menjaga persatuan, dan bersabar (Ayat 46). Perselisihan adalah penyebab kegagalan dan hilangnya kekuatan (*Rihakum*).
Sebaliknya, Allah memperingatkan kaum Muslimin untuk tidak menjadi seperti Quraisy yang keluar dari Mekah karena kesombongan, riya (pamer), dan menghalangi orang dari jalan Allah (Ayat 47).
Tipuan Setan (Ayat 48)
Ayat ini mengungkap peran Iblis/Setan. Sebelum Badar, Setan menampakkan diri dalam rupa Suraqah bin Malik kepada kaum musyrikin, menjanjikan bahwa tidak ada yang dapat mengalahkan mereka hari itu. Namun, ketika melihat malaikat turun membantu Muslimin, Setan melarikan diri sambil berkata: "Sesungguhnya aku berlepas diri dari kalian; sesungguhnya aku melihat apa yang kalian tidak lihat; sesungguhnya aku takut kepada Allah. Dan Allah sangat keras hukuman-Nya." Ini menggambarkan bahwa Setan hanya berani dalam tipuan, tetapi lari ketika menghadapi realitas kekuasaan Ilahi.
Ajakan Perdamaian (Ayat 61-64)
Meskipun Surah Al Anfal sangat fokus pada perang, bagian ini menyisipkan hukum penting tentang perdamaian. Jika musuh cenderung pada perdamaian (*salam*), maka Muslimin wajib cenderung padanya dan bertawakkal kepada Allah (Ayat 61). Ayat ini menunjukkan bahwa tujuan utama Islam bukanlah perang itu sendiri, melainkan terwujudnya kedamaian di bawah naungan kebenaran. Bahkan jika ada kekhawatiran bahwa musuh hanya berpura-pura damai untuk menipu (Ayat 62), perintahnya tetaplah menerima tawaran damai, karena cukuplah Allah sebagai pelindung.
Ayat 63-64 menekankan kembali bagaimana persatuan kaum Muslimin (Muhajirin dan Ansar) adalah mukjizat yang hanya bisa diwujudkan oleh Allah. Nabi Muhammad ﷺ dipuji karena berhasil menyatukan hati mereka, sebuah tugas yang mustahil dilakukan manusia meskipun ia menginfakkan seluruh kekayaan bumi.
Analisis Ayat 65-75: Hukum Tawanan, Motivasi Jihad, dan Prinsip Wala' (Persaudaraan)
Bagian penutup surah ini mengatur dua hal krusial bagi negara baru Madinah: regulasi moral dan militer (motivasi jihad dan hukum tawanan), serta regulasi sosial (persaudaraan dan hak waris).
Motivasi dan Rasio Kekuatan (Ayat 65-66)
Awalnya, Muslimin diperintahkan untuk memiliki rasio kekuatan tempur 1:10 (satu Muslim melawan sepuluh musuh) jika mereka sabar dan bertakwa (Ayat 65). Namun, karena Allah mengetahui adanya kelemahan (secara fisik dan mental) pada diri umat manusia di masa depan, rasio ini diringankan menjadi 1:2 (satu Muslim melawan dua musuh) (Ayat 66). Walaupun demikian, ayat ini menekankan bahwa sedikitnya jumlah yang sabar dapat mengalahkan jumlah yang banyak, karena kekuatan sejati ada pada iman, bukan pada materi.
Hukum Tawanan Perang dan Fidyah (Ayat 67-71)
Ayat 67 berbicara tentang kontroversi paling sensitif pasca Badar: nasib tawanan perang. Setelah Badar, beberapa sahabat berpendapat agar tawanan dibunuh sebagai tindakan pencegahan, sementara Umar bin Khattab ra. berpendapat agar mereka dihukum mati, tetapi Nabi ﷺ cenderung menerima tebusan (fidyah) dari mereka. Ayat ini mengkritik kecenderungan untuk mengambil tebusan (keuntungan duniawi) sebelum peperangan benar-benar selesai dan kekuasaan Islam kokoh:
Artinya: "Tidaklah pantas bagi seorang Nabi memiliki tawanan sebelum ia menumpas habis musuh di muka bumi (menguatkan kedudukannya)." Kritik ini bersifat peringatan, bukan pengharaman mutlak. Allah mengampuni mereka karena itu adalah ijtihad, tetapi menegaskan bahwa prioritas utama haruslah penegakan kekuatan dan keamanan Muslimin, bukan keuntungan finansial dari tebusan.
Ayat 70 memberikan harapan kepada para tawanan: jika Allah mengetahui adanya kebaikan di hati tawanan, Dia akan memberi mereka sesuatu yang lebih baik dari tebusan yang telah diambil dan mengampuni dosa-dosa mereka. Ayat ini menjadi dasar bagi hukum tawanan perang dalam Islam, di mana tawanan dapat dibebaskan dengan fidyah, dimerdekakan secara cuma-cuma, atau bahkan ditukar.
Prinsip Wala' (Persaudaraan dan Perwalian) (Ayat 72-75)
Ayat penutup mengukuhkan sistem persaudaraan baru di Madinah yang melampaui ikatan darah. Ini adalah bagian yang paling penting dalam mengatur struktur sosial dan politik negara Islam awal.
Ayat 72 memuji Muhajirin (yang meninggalkan rumah dan harta) dan Ansar (yang memberikan perlindungan dan bantuan), menegaskan bahwa mereka adalah pelindung satu sama lain (*Auliyau Ba'dhuhum li Ba'dh*). Ayat ini secara eksplisit mengecualikan Muslim yang tidak berhijrah. Selama Muslimin tersebut masih tinggal di wilayah kekuasaan musuh (Darul Kufur), mereka tidak memiliki hak wala' (perwalian) atas Muhajirin dan Ansar, meskipun mereka beriman. Ini adalah penekanan pada kewajiban hijrah demi persatuan dan keamanan komunitas.
Awalnya, persaudaraan di antara Muhajirin dan Ansar ini juga mencakup hak waris, menggantikan hak waris berdasarkan kekerabatan darah. Namun, Ayat 75 kemudian membatalkan hukum waris berbasis persaudaraan (wala') tersebut dan mengembalikannya kepada kerabat darah, meskipun tetap memuji persaudaraan yang telah terjalin.
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah.” Ini adalah penetapan final hukum waris, sementara ikatan *wala'* tetap berlaku untuk bantuan dan perwalian, tetapi tidak lagi untuk warisan harta.
Ajaran Teologis dan Implikasi Fiqh dalam Surah Al Anfal
Surah Al Anfal adalah teks multi-dimensi. Selain menguraikan sejarah Perang Badar, ia menanamkan ajaran fundamental tentang tauhid, ketaatan, dan keadilan dalam jihad. Keseluruhan surah ini dapat diringkas dalam beberapa pilar teologis dan hukum utama:
1. Kedaulatan Mutlak Allah (Tauhidul Rububiyyah)
Pesan yang paling konsisten dari surah ini adalah bahwa kemenangan bukanlah hasil dari perhitungan manusia. Kemenangan datang karena bantuan malaikat, rasa aman yang diturunkan, hujan yang membersihkan, dan fakta bahwa Allah-lah yang melempar (Ayat 17). Bahkan harta rampasan (ghanimah) bukanlah milik pejuang secara *de facto*, melainkan milik Allah dan Rasul. Ini mengajarkan pentingnya Tauhid Rububiyyah (ketuhanan dalam perbuatan Allah) dalam setiap aspek kehidupan, termasuk perang. Kegagalan manusia adalah ketika mereka fokus pada 4/5 bagian, melupakan bahwa 1/5 adalah hak Allah, dan seluruhnya adalah karunia-Nya.
2. Prioritas Ketaatan (Al-Wajibat)
Ketaatan penuh kepada Allah dan Rasul-Nya ditekankan berulang kali. Ketaatan ini harus mendahului kepentingan pribadi, keuntungan materi, dan bahkan ikatan darah. Surah ini menetapkan bahwa persatuan (islah dzata bainikum) dan ketaatan adalah prasyarat untuk kemenangan. Perselisihan dalam masalah pembagian harta (ayat 1) dianggap sebagai kegagalan moral yang mengancam persatuan umat, yang jauh lebih berharga daripada semua harta rampasan.
3. Etika Jihad dan Hukum Perang
Surah Al Anfal memberikan landasan bagi *Fiqh Al-Jihad* (Hukum Perang) dalam Islam, menetapkan batasan moral dan hukum yang membedakan perang dalam Islam dari praktik perang di peradaban lain:
- Larangan Melarikan Diri: Kewajiban keberanian dan kesabaran (Ayat 15).
- Etika Terhadap Tawanan: Meskipun dikritik karena mengambil tebusan terlalu cepat, surah ini memberikan dasar untuk perlakuan manusiawi dan potensi pembebasan tawanan (Ayat 70), membuka ruang bagi taubat dan penerimaan Islam.
- Prinsip Perdamaian: Kewajiban untuk menerima tawaran damai jika ada kecenderungan damai dari musuh, menunjukkan bahwa perang adalah pengecualian, bukan tujuan (Ayat 61).
- Hukum Distribusi Kekayaan: Khumus memastikan keadilan sosial dalam pembagian ghanimah.
4. Konsep Wala' dan Barakah (Persaudaraan dan Perlindungan)
Ayat 72 dan 75 sangat penting dalam pengembangan sosiologi Islam. Mereka menggarisbawahi bahwa ikatan keimanan (persaudaraan Muhajirin dan Ansar) harus menjadi dasar perwalian dan pertolongan, bahkan lebih kuat daripada ikatan kekerabatan. Prinsip *wala'* (perwalian) yang dibentuk di Madinah menunjukkan bahwa komunitas Islam adalah sebuah struktur sosial yang didirikan di atas akidah, bukan hanya darah atau suku. Hukum ini sangat revolusioner di tengah masyarakat Arab yang sangat terikat pada sistem kesukuan.
Implementasi hukum waris berdasarkan persaudaraan (yang kemudian di-nasakh/dibatalkan oleh ayat 75) hanyalah fase sementara yang diperlukan untuk mengukuhkan status dan loyalitas Muhajirin yang miskin. Ketika status negara Islam sudah stabil, hukum waris dikembalikan pada kerabat darah, namun prinsip perwalian dan pertolongan antar-Muslim tetap kekal.
Kesimpulan: Hikmah Abadi Surah Al Anfal
Surah Al Anfal, meskipun berpusat pada konteks historis Perang Badar, membawa pesan yang melampaui zamannya. Ia adalah studi kasus tentang bagaimana sebuah komunitas yang baru lahir harus menyeimbangkan antara perjuangan eksistensial (perang), manajemen kekayaan (pembagian ghanimah), dan penegasan identitas spiritual (ketaatan dan tauhid).
Surah ini mengajarkan bahwa tantangan terbesar seorang mukmin bukanlah musuh di luar, melainkan konflik batin—antara godaan harta (Anfal), rasa takut (di Badar), dan kesombongan pasca kemenangan. Solusinya selalu sama: kembali kepada takwa, menjaga persatuan (islah dzata bainikum), dan bergantung sepenuhnya pada Dzat yang memiliki kekuatan dan rencana tertinggi.
Dalam konteks modern, ajaran Al Anfal mengingatkan umat Islam bahwa kekuatan sesungguhnya tidak terletak pada persenjataan atau sumber daya, tetapi pada kestabilan hati (tsabat), konsistensi dalam mengingat Allah (dzikrullah), dan komitmen pada keadilan distributif yang memastikan kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang kaya, melainkan menopang seluruh struktur masyarakat. Surah Al Anfal tetap menjadi sumber hukum, inspirasi, dan pemahaman mendalam tentang hakikat jihad yang sejati: perjuangan untuk menegakkan kebenaran Ilahi di bumi, baik melalui pertempuran fisik maupun melalui ketaatan moral yang utuh.
Oleh karena itu, siapapun yang mengkaji Al Anfal harus melihatnya bukan hanya sebagai narasi perang kuno, tetapi sebagai pelajaran abadi bahwa kemenangan sejati dimulai dari pembersihan hati dari keserakahan dan pengkhianatan, dan pemantapan hati dalam ketaatan mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ekspansi Tafsir Mendalam dan Fiqh Kontemporer
Untuk melengkapi kajian komprehensif ini, penting untuk membahas secara lebih rinci bagaimana para ulama klasik dan kontemporer menganalisis beberapa istilah kunci dan implikasi hukum yang terkandung dalam Surah Al Anfal. Analisis ini memperluas pemahaman kita mengenai kedalaman linguistik dan syariat surah Madaniyyah ini.
Perbedaan Ghanimah dan Fay' dalam Ayat 41
Meskipun Ayat 41 secara eksplisit berbicara tentang *ghanimah* (harta yang diperoleh melalui pertempuran dan risiko), para fuqaha (ahli fiqh) menghabiskan banyak volume dalam membedakannya dari *fay'*. *Fay'* didefinisikan sebagai harta yang diperoleh Muslimin dari musuh tanpa perlu mengerahkan kuda atau unta (tanpa peperangan), seperti harta yang ditinggalkan musuh saat melarikan diri, atau harta yang diperoleh melalui perjanjian damai. Hukum *fay'* diatur secara detail dalam Surah Al-Hasyr (Ayat 6-7), dan perbedaannya signifikan dalam hal pembagian. Ghanimah memiliki aturan Khumus (1/5) dan 4/5 untuk pejuang, sementara Fay' sepenuhnya diserahkan kepada kebijakan Imam (pemimpin negara) untuk kemaslahatan umum Muslimin, tanpa ada porsi khusus untuk pejuang yang spesifik.
Imam Syafi'i, dalam pandangan Mazhab Syafi'i, menekankan bahwa meskipun mekanisme pembagian berbeda, tujuan akhirnya sama: memastikan bahwa kekayaan yang berasal dari non-Muslim digunakan untuk memperkuat fondasi sosial dan ekonomi masyarakat Islam. Pembagian Khumus (1/5) itu sendiri telah menjadi subjek perbedaan pendapat yang luar biasa kompleks di antara para sahabat dan ulama sesudahnya. Sebagai contoh, porsi Dzil Qurba (kerabat Nabi) dipertanyakan setelah wafatnya Nabi ﷺ. Sebagian ulama (seperti Abu Hanifah dan pandangan kontemporer tertentu) berpendapat bahwa porsi tersebut hilang atau dikembalikan ke Baitul Mal untuk kemaslahatan umum, sementara yang lain (seperti Syafi'i) berpendapat bahwa porsi itu tetap berlaku untuk kerabat Nabi ﷺ yang dilarang menerima zakat.
Pembedaan ini bukan hanya masalah teknis hukum, melainkan penegasan bahwa setiap sumber daya material yang masuk ke dalam masyarakat Islam harus diatur oleh prinsip keadilan Ilahi, mencegah akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang yang berkuasa atau berjasa secara militer. Surah Al Anfal secara tegas memutus tradisi Jahiliyah di mana pemimpin suku atau penyerang garis depan mengambil bagian yang jauh lebih besar.
Analisis Linguistik dan Balaghah pada Ayat 22
Ayat yang sangat keras, yang menyamakan orang yang tidak menggunakan akal untuk memahami kebenaran dengan "seburuk-buruknya binatang melata di sisi Allah" (Ayat 22), adalah contoh Balaghah (retorika Al-Qur'an) yang kuat. Allah menyebut mereka Ash-Sharru Ad-Dawabb (seburuk-buruknya makhluk bergerak).
Penyebutan "tuli dan bisu" (Ash-Shummu Al-Bukmu) di sini adalah metafora. Mereka mungkin memiliki kemampuan fisik untuk mendengar dan berbicara, tetapi mereka tuli terhadap kebenaran dan bisu untuk mengakuinya. Yang paling penting, frasa diakhiri dengan "yang tidak berakal" (Alladzina la ya’qilun). Ini menggarisbawahi bahwa karunia akal (Aql) diberikan kepada manusia untuk membedakan kebenaran (al-Haqq) dari kebatilan (al-Batil). Jika akal digunakan hanya untuk kepentingan duniawi dan strategi perang (seperti yang dilakukan Quraisy), tetapi gagal mengenali Dzat Yang Maha Pencipta, maka akal tersebut menjadi tidak berguna di sisi Allah. Perbandingan dengan "makhluk melata" menempatkan mereka pada derajat yang lebih rendah dari hewan, karena hewan tidak memiliki potensi akal untuk memilih antara keimanan dan kekafiran.
Mufassir kontemporer menekankan bahwa ayat ini relevan bagi setiap generasi yang menolak untuk merenungkan bukti-bukti kebenaran yang jelas, baik yang terkandung dalam alam semesta maupun yang dibawa melalui wahyu, memilih kekafiran murni berdasarkan kebodohan dan kesombongan spiritual.
Implikasi Psikologis dari Al-Amanah dan At-Tawakkul
Surah Al Anfal memberikan pelajaran psikologis yang luar biasa tentang bagaimana iman mempengaruhi kondisi mental di bawah tekanan. Saat di Badar, Allah menurunkan rasa kantuk (*nu'as*) kepada kaum Muslimin (Ayat 11). Dari sudut pandang militer, tertidur sebelum pertempuran adalah bencana. Namun, dalam konteks Ilahi, kantuk itu adalah simbol *Al-Amanah* (Rasa Aman). Itu menenangkan hati mereka dari kegelisahan dan rasa takut, menghilangkan waswas dan bisikan setan, dan memungkinkan mereka memasuki pertempuran dengan pikiran yang segar dan penuh tawakal.
Konsep *Tawakkal* (ketergantungan total kepada Allah) adalah inti spiritual dari surah ini. Tawakkal disebutkan sebagai ciri mukmin sejati (Ayat 2) dan sebagai landasan etika perdamaian (Ayat 61). Bahkan ketika menghadapi pengkhianatan dari musuh dalam perjanjian damai, Muslimin diperintahkan untuk tetap tawakkal, karena Allah cukup sebagai pelindung dan penolong. Tawakkal bukan berarti pasif, melainkan sinergi antara usaha maksimal (seperti mempersiapkan kekuatan tempur di Ayat 60) dan penyerahan hasil kepada Allah.
Jihad dan Preparasi Kekuatan (Ayat 60)
Ayat 60 sering dikutip sebagai dasar hukum bagi kewajiban negara Islam untuk mempertahankan kekuatan militer yang unggul:
Artinya: "Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu."
Para ulama tafsir modern seperti Sayyid Qutb dan ulama lainnya menafsirkan *min quwwah* (kekuatan apa saja) sebagai konsep yang sangat luas. Ini mencakup tidak hanya senjata fisik (yang pada masa Nabi adalah kuda, busur, dan pedang) tetapi juga kekuatan ekonomi, teknologi, informasi, dan keunggulan moral-spiritual. Tujuannya (turhibuna bihi) adalah menciptakan rasa gentar (deterrence) di pihak musuh, bukan untuk agresi, melainkan untuk menjaga perdamaian dan melindungi Muslimin dari ancaman. Kewajiban preparasi ini bersifat mutlak dan berkelanjutan, menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan teknologi militer terkini.
Dengan demikian, Surah Al Anfal memberikan kerangka kerja yang komprehensif: narasi historis Badar menjadi laboratorium spiritual dan hukum. Setiap perselisihan, setiap dilema moral, dan setiap keputusan militer pasca-Badar dijawab tuntas oleh Al-Qur'an, menetapkan fondasi bagi tata negara, etika perang, dan keadilan sosial yang harus dianut oleh umat Islam sepanjang masa. Kekuatan dan keindahan surah ini terletak pada kemampuannya mengikat kisah kemenangan heroik dengan tuntutan keimanan yang paling halus dan mendalam.
Kajian yang mendalam terhadap setiap ayat Al Anfal mengungkap suatu pola di mana kemenangan material selalu dikaitkan dengan peningkatan kualifikasi spiritual. Jika umat Muslim di masa kini menghadapi kemunduran atau ketidakstabilan, Surah Al Anfal akan selalu menjadi pengingat abadi bahwa kunci restorasi dan kemenangan terletak pada ketaatan tanpa syarat, persatuan tanpa perselisihan, dan tawakkal tanpa keraguan. Hukum-hukum yang ditetapkan di sini—tentang harta, perang, dan persaudaraan—adalah manifestasi keadilan yang harus dipegang teguh untuk merealisasikan janji-janji Allah.
Perbandingan Hukum Wala' dalam Ayat 75
Penting untuk mengulas lebih jauh mengenai pembatalan (Naskh) sebagian hukum *wala'* (perwalian dan waris) dalam Ayat 75. Semula, ikatan persaudaraan yang dibentuk Nabi ﷺ antara Muhajirin dan Ansar (yang tidak memiliki ikatan darah) menjadi basis hukum waris. Ini adalah solusi darurat untuk memastikan Muhajirin yang miskin dan kehilangan segala-galanya di Mekah mendapatkan hak waris dari saudara Ansar mereka, yang kaya dan memiliki lahan di Madinah.
Namun, setelah Islam stabil, kebutuhan darurat ini mereda. Ayat 75 datang dan menetapkan kembali hukum waris berdasarkan sistem kekerabatan darah, yang lebih adil dan universal dalam jangka panjang. Frasa “dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah” menegaskan bahwa hak waris kembali kepada sistem *Ulul Arham* (pemilik rahim/kekerabatan). Hal ini membuktikan fleksibilitas dan adaptabilitas syariat, yang mampu menggunakan hukum darurat (seperti waris berbasis persaudaraan) untuk kepentingan sosial mendesak, dan kemudian mengembalikannya kepada hukum yang lebih permanen dan mendasar setelah kondisi memungkinkan.
Meskipun demikian, ikatan *wala'* dalam bentuk dukungan, pertolongan, dan nasihat tetap berlaku dan diwajibkan antar-mukmin (Ayat 72). Prinsip bahwa mukmin adalah pelindung bagi mukmin lainnya adalah prinsip sosial yang tidak pernah dibatalkan, menegaskan bahwa komunitas Islam adalah entitas yang saling mendukung secara moral dan material.
Secara keseluruhan, Surah Al Anfal bukan hanya sebuah dokumen historis, tetapi sebuah konstitusi awal yang mengatur militer, keuangan, dan sosial-politik umat Islam, memastikan bahwa segala aktivitas, dari perang hingga pembagian sepotong harta, terikat pada tali keadilan dan tauhid.