Surah Al-Ahzab, yang dikenal sebagai surah Madaniyah, banyak membahas tentang hukum-hukum sosial, etika kenabian, serta ujian yang dialami oleh kaum Muslimin di masa awal. Di antara banyak perintah agung yang terkandung di dalamnya, Surah Al-Ahzab ayat 70 berdiri sebagai pilar etika fundamental yang mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya dan hubungan antar sesama manusia.
Ayat ini bukan sekadar anjuran moral biasa; ia adalah instruksi langsung dari Allah SWT kepada orang-orang yang beriman, mengaitkan dua konsep spiritualitas dan perilaku praktis yang tak terpisahkan: ketakwaan (Taqwa) dan perkataan yang lurus (Qawlan Sadida). Keduanya adalah kunci untuk mencapai keberhasilan tidak hanya di dunia, tetapi juga untuk mendapatkan ampunan dan perbaikan amal di akhirat, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam ayat berikutnya (Ayat 71).
Perintah ini relevan sepanjang masa. Di era informasi dan komunikasi yang hiper-cepat ini, di mana lisan dan tulisan dapat menyebar tanpa batas dalam hitungan detik, memahami kedalaman makna dari ‘Qawlan Sadida’ menjadi semakin krusial. Artikel ini akan menyelami setiap aspek Surah Al-Ahzab ayat 70, dari analisis linguistiknya hingga implementasi praktisnya dalam kehidupan modern, memberikan pemahaman komprehensif yang melampaui terjemahan harfiah.
Transliterasi: Yā ayyuhallazīna āmanuttaqullāha wa qūlū qawlan sadīdā.
Terjemahan Standar (Kemenag RI): “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar (lurus).”
Untuk memahami kekuatan dan relevansi Surah Al-Ahzab ayat 70, kita harus membedah setiap frasa kunci dari sisi bahasa Arab klasik:
Panggilan ini, "Wahai orang-orang yang beriman!", adalah ungkapan yang selalu mengisyaratkan adanya perintah atau larangan yang sangat penting. Para ulama tafsir menegaskan bahwa setiap kali Allah memulai ayat dengan seruan ini, maka perintah yang menyertainya adalah wajib dan berkonsekuensi besar. Seruan ini secara otomatis meninggikan status perintah yang mengikutinya, menjadikannya bukan sekadar nasihat, tetapi instruksi fundamental bagi identitas seorang Mukmin.
Kata kerja ‘Ittaqū’ berasal dari akar kata waqā (و-ق-ي) yang berarti melindungi, menjaga, atau mencegah. Taqwa dalam konteks teologis berarti menjaga diri dari murka dan siksa Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Taqwa adalah kesadaran yang terus-menerus terhadap kehadiran Ilahi, menciptakan batas pelindung antara hamba dan dosa. Dalam ayat ini, Taqwa diletakkan sebagai prasyarat utama sebelum perintah komunikasi yang benar.
Ibn Rajab Al-Hanbali mendefinisikan Taqwa sebagai: melaksanakan segala ketaatan dengan berlandaskan cahaya dari Allah, dan meninggalkan segala kemaksiatan karena takut akan murka Allah. Perintah untuk bertakwa di awal ayat menunjukkan bahwa kejujuran dan kelurusan ucapan (Qawlan Sadida) tidak mungkin tercapai tanpa fondasi spiritualitas ini.
Inilah inti dari perintah perilaku. Kata ‘Qūlū’ berarti ‘katakanlah’ (bentuk perintah jamak). Fokus utamanya adalah pada frasa ‘Qawlan Sadīdā’.
Akar kata S-D-D (س-د-د) memiliki makna dasar: lurus, tepat sasaran, menutup celah, dan memperbaiki. Dalam bahasa Arab, ‘Sadīd’ digunakan untuk menggambarkan panah yang ditembakkan secara akurat, mengenai target tanpa melenceng.
Oleh karena itu, ‘Qawlan Sadīdā’ mencakup beberapa dimensi makna yang saling melengkapi:
Jika seseorang hanya mengucapkan kebenaran (haq) tetapi menyampaikannya dengan cara yang kasar, merusak, atau tidak tepat sasaran, maka ia belum sepenuhnya memenuhi standar ‘Qawlan Sadīdā’. Ayat ini menuntut kebenaran yang disampaikan secara bijaksana dan efektif.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa perintah ‘Qawlan Sadīdā’ mencakup semua jenis ucapan yang baik. Beliau merangkumnya menjadi dua elemen utama:
Ibnu Katsir menekankan bahwa kebenaran (As-Sidq) dalam perkataan adalah manifestasi dari takwa yang tertanam dalam hati. Jika hati takut kepada Allah, maka lisan akan dijaga dari ucapan yang sia-sia atau merusak.
Imam At-Tabari, dalam tafsirnya yang luas, mencatat beberapa pandangan ulama Salaf mengenai makna ‘Sadīdā’. Mayoritas pandangan sepakat bahwa ‘Sadīdā’ merujuk pada kebenaran dan keadilan dalam ucapan. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa ini secara spesifik berarti:
At-Tabari menyimpulkan bahwa ‘Sadīdā’ adalah ucapan yang memenuhi hak Allah dan hak sesama manusia, lurus di mata syariat, dan tidak bengkok atau berpihak pada kebatilan.
Surah Al-Ahzab ayat 71 memberikan janji Allah SWT bagi mereka yang memenuhi perintah di Ayat 70:
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Niscaya Dia akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang agung.”
Hubungan timbal balik ini sangat vital: Taqwa dan Qawlan Sadida adalah sebab, sementara perbaikan amal (yuslih lakum a’mālakum) dan pengampunan dosa (yaghfir lakum zunūbakum) adalah akibatnya. Ini menunjukkan bahwa menjaga lisan memiliki dampak yang luas, tidak hanya pada komunikasi, tetapi juga pada keseluruhan kualitas amal ibadah dan kedekatan spiritual seseorang dengan Allah.
Perintah untuk mengucapkan perkataan yang lurus menuntut perhatian yang mendalam di berbagai aspek kehidupan, jauh melampaui sekadar menahan diri dari kebohongan. Qawlan Sadida adalah etika komunikasi yang menyeluruh.
Dalam interaksi sosial, Sadida berarti menggunakan bahasa yang santun, menghindari ghibah (membicarakan aib orang lain), dan namimah (adu domba). Bahkan jika suatu informasi adalah fakta (benar), menyebarkannya dengan tujuan merusak reputasi atau memicu permusuhan bukanlah Qawlan Sadida. Sebaliknya, Sadida mendorong ucapan yang mempererat silaturahmi, memuji kebaikan, dan memberikan semangat.
Di era digital, lisan telah bertransformasi menjadi tulisan, unggahan, dan komentar. Qawlan Sadida wajib diterapkan pada semua bentuk komunikasi digital:
Kekuatan media sosial menjadikan Qawlan Sadida sebagai benteng pertahanan umat dari kerusakan informasi. Kecepatan penyebaran berita bohong membutuhkan kesabaran dan ketakwaan yang tinggi untuk hanya menyebarkan apa yang lurus dan benar.
Qawlan Sadida adalah pedoman utama bagi para da'i dan pendidik. Pesan kebenaran harus dibungkus dengan cara penyampaian yang paling baik (bil hikmah wal mau'izhatil hasanah). Sadida menuntut kejernihan argumen, ketepatan data, dan penggunaan bahasa yang tidak merendahkan atau mengasingkan audiens. Kegagalan menyampaikan pesan dengan ‘Sadīdā’ dapat menyebabkan penolakan terhadap kebenaran itu sendiri, meskipun isinya murni Islami.
Aspek penting lainnya adalah konsistensi: Seorang da’i harus memastikan bahwa perkataannya sesuai dengan perbuatannya (integritas). Perkataan yang kontradiktif dengan perilaku pelakunya kehilangan sifat ‘Sadīdā’ karena tidak lurus dan tidak autentik.
Allah SWT meletakkan perintah Taqwa di awal ayat (Ittaqullāha) sebelum perintah kelurusan ucapan (Qawlan Sadida). Susunan ini bersifat pedagogis dan spiritual, menunjukkan bahwa Taqwa adalah sumber atau mesin penggerak dari Qawlan Sadida.
Hati yang bertakwa berfungsi sebagai filter yang kuat. Ketika seseorang secara sadar merasa diawasi oleh Allah (Muraqabah), ia akan merasa malu dan takut untuk melontarkan ucapan yang merusak, bohong, atau sia-sia. Lisan adalah terjemahan dari isi hati. Jika hati dipenuhi dengan ketakwaan, maka yang keluar dari lisan adalah kelurusan dan kebaikan.
Imam Al-Ghazali, dalam kajiannya tentang Ibadah Lisan, menjelaskan bahwa lisan adalah anggota tubuh yang paling sulit dikendalikan dan paling cepat mendatangkan dosa. Mengikat lisan dengan tali ‘Qawlan Sadida’ hanya bisa dilakukan jika tali tersebut dipegang erat oleh tangan ‘Taqwa’.
Sebaliknya, Qawlan Sadida menjadi barometer yang mengukur tingkat takwa seseorang. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Perkataan yang baik (yang termasuk dalam kategori Sadida) adalah bukti nyata keimanan yang telah meresap ke dalam hati.
Apabila seseorang mengaku bertakwa, namun lisannya tajam, penuh dusta, dan ghibah, maka pengakuannya diragukan. Oleh karena itu, korelasi ini adalah lingkaran kebaikan: Taqwa mendorong Sadida, dan keberhasilan dalam mengamalkan Sadida memperkuat dan meningkatkan derajat Taqwa.
Ayat 71 menjanjikan dua hadiah agung bagi mereka yang konsisten menerapkan Taqwa dan Qawlan Sadida: Perbaikan Amal dan Pengampunan Dosa. Kita perlu mendalami makna perbaikan amal (Islah al-A’mal).
Islah (perbaikan) amal di sini memiliki spektrum makna yang luas:
Ini menunjukkan bahwa integritas dalam ucapan adalah prasyarat spiritual yang membuka pintu bagi keberkahan dalam seluruh aspek kehidupan dan ibadah. Ucapan yang bengkok (dusta, fitnah) akan merusak amal sebanyak apapun ibadah ritual yang telah dikerjakan.
Janji pengampunan dosa (wa yaghfir lakum zunūbakum) adalah puncak dari rahmat Allah. Dosa-dosa yang diampuni di sini mencakup dosa-dosa kecil yang mungkin dilakukan secara tidak sengaja, terutama yang berkaitan dengan komunikasi yang salah. Ketika seseorang sungguh-sungguh berusaha mengamalkan Sadida dan Taqwa, Allah membersihkan catatan masa lalunya.
Ini adalah pengingat bahwa meskipun manusia tidak luput dari kesalahan, usaha keras untuk menjaga lisan—sebagai implementasi Taqwa—adalah salah satu amal yang paling dicintai Allah, yang bahkan dapat menghapus dampak buruk dari kesalahan lain.
Meskipun perintah ini berusia ribuan tahun, tantangannya terasa sangat akut di masa kini, terutama dalam menghadapi fenomena disinformasi, polarisasi, dan anonimitas digital.
Di tengah masyarakat yang terpolarisasi, sangat mudah bagi seseorang untuk menjatuhkan Qawlan Sadida demi membela kelompok atau ideologi. Sadida menuntut kejujuran bahkan ketika kebenaran itu merugikan kepentingan kelompok sendiri. Ini menuntut objektifitas yang sangat sulit dicapai dalam iklim fanatisme, di mana kebenaran seringkali dikorbankan demi loyalitas buta.
Volume informasi palsu yang masif menuntut tingkat kewaspadaan dan tabayyun yang tinggi. Banyak orang secara tidak sadar melanggar Qawlan Sadida hanya karena mereka malas atau terburu-buru dalam memverifikasi sumber. Dalam konteks ini, diam (menahan diri dari menyebarkan) jika ragu, adalah bentuk tertinggi dari Sadida.
Platform online seringkali memberikan rasa aman semu untuk melontarkan komentar kasar, menghakimi, atau menyebar kebencian tanpa menghadapi konsekuensi sosial langsung. Padahal, Qawlan Sadida berlaku universal, baik lisan di dunia nyata maupun tulisan di dunia maya. Anonimitas tidak membebaskan seorang Mukmin dari tanggung jawabnya terhadap Allah atas apa yang diketiknya.
Menginternalisasi Surah Al-Ahzab ayat 70 di masa modern berarti mengubah paradigma komunikasi: dari yang didorong oleh emosi dan reaktivitas menjadi komunikasi yang diatur oleh kesadaran Ilahi (Taqwa) dan kebenaran objektif (Sadida).
Surah Al-Ahzab ayat 70, meskipun singkat, memuat seluruh fondasi etika komunikasi Islam. Ia menegaskan bahwa tidak ada pemisahan antara spiritualitas personal (Taqwa) dan perilaku sosial (Qawlan Sadida). Keduanya adalah dua sisi mata uang yang harus dipegang teguh oleh setiap orang yang mengaku beriman.
Perintah untuk bertakwa dan mengucapkan perkataan yang lurus adalah peta jalan menuju kemenangan agung (fawzan ‘azhīmā), kemenangan yang mencakup perbaikan amal di dunia dan pengampunan dosa di akhirat. Dengan menjaga lisan kita agar senantiasa lurus, benar, tepat sasaran, dan bertujuan baik, kita sedang membangun benteng ketakwaan yang kokoh, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kebaikan masyarakat secara keseluruhan. Mengamalkan Qawlan Sadida adalah jihad komunikasi yang berkelanjutan, sebuah ibadah yang menentukan kualitas keimanan kita.
Marilah kita terus merenungkan makna mendalam dari ayat ini, menjadikan setiap kata yang kita ucapkan atau tulis sebagai cerminan dari ketakwaan kita kepada Allah SWT, demi mencapai perbaikan amal yang dijanjikan-Nya.
Kelurusan lisan adalah tanda lurusnya hati. Dan hati yang lurus adalah tempat bersemayamnya Taqwa.
Dalam ranah hukum dan keadilan, Qawlan Sadida memiliki implikasi yang sangat ketat. Ketika seorang Mukmin diminta bersaksi, perkataannya haruslah ‘Sadīdā’, artinya benar, akurat, dan tidak menyembunyikan fakta, meskipun saksi tersebut adalah kerabatnya sendiri atau musuhnya. Allah berfirman dalam Surah An-Nisa’ ayat 135 yang memerintahkan keadilan absolut, bahkan jika itu memberatkan diri sendiri atau orang tua. Ini adalah manifestasi tertinggi dari Qawlan Sadida dalam arena publik.
Ulama fiqih, ketika menafsirkan ayat ini, sering kali menghubungkannya dengan konsep syahadah bi al-haqq (persaksian dengan kebenaran). Persaksian yang ‘sadīdā’ harus bebas dari interpretasi pribadi yang bias, motivasi tersembunyi, atau upaya untuk menyesatkan pengadilan. Bahkan pemilihan kata dalam bersaksi haruslah yang paling netral dan objektif. Sebuah kata yang ambigu atau berlebihan dapat mengubah jalannya keadilan, dan ini termasuk dalam pelanggaran Sadida.
Lebih jauh lagi, Qawlan Sadida menuntut pemimpin dan hakim untuk mengucapkan putusan yang adil. Putusan hakim, yang merupakan bentuk ucapan publik yang memiliki dampak besar, harus didasarkan pada kebenaran dan syariat. Penggunaan lisan untuk memutarbalikkan fakta, melindungi yang bersalah, atau menzalimi yang benar adalah salah satu bentuk kejahatan lisan terberat yang bertentangan dengan Al-Ahzab 70.
Konsep Qawlan Sadida diperkuat oleh banyak hadis Nabi SAW yang menekankan pentingnya menjaga lisan. Hadis-hadis ini menjelaskan bahwa kerusakan lisan adalah sumber utama kejatuhan manusia ke dalam api neraka.
Hudzaifah pernah bertanya kepada Nabi SAW, “Aku khawatir terhadap lisan, maka tunjukkanlah kepadaku jalan keselamatan.” Nabi SAW bersabda, “Jaga lisanmu dari ucapan kecuali dalam kebaikan.” (HR. Tirmidzi). Keselamatan yang dicari oleh Hudzaifah, dan yang dijawab oleh Nabi, adalah hasil langsung dari penerapan Qawlan Sadida.
Dalam hadis lain, Muadz bin Jabal bertanya tentang amalan yang paling memasukkan ke surga dan yang paling menjerumuskan ke neraka. Nabi SAW kemudian mengambil lidahnya dan bersabda, “Tahan ini!” Kemudian beliau bersabda, “Tidakkah kamu tahu bahwa mayoritas manusia diseret wajahnya ke neraka karena hasil panen lisan mereka?” Ini menunjukkan bahwa hasil dari ketidakmampuan menerapkan Qawlan Sadida adalah kerugian abadi. Oleh karena itu, Qawlan Sadida adalah benteng pertama yang harus didirikan oleh seorang Muslim.
Dalam masyarakat pluralistik, baik dalam masalah duniawi maupun masalah fiqih, perbedaan pendapat adalah keniscayaan. Qawlan Sadida menyediakan kerangka etika untuk mengelola perbedaan tersebut.
Ketika berdiskusi atau berdebat, Sadida menuntut:
Dengan menerapkan Sadida, diskusi yang awalnya bertujuan mencari kebenaran tidak akan berubah menjadi perpecahan yang didorong oleh ego dan lisan yang kotor.
Qawlan Sadida juga harus dimulai dari rumah. Ucapan orang tua kepada anak-anaknya haruslah sadida—lurus, benar, dan mendidik.
Hal ini termasuk:
Fondasi takwa dan kelurusan ucapan yang dibangun di dalam keluarga adalah investasi jangka panjang bagi masa depan moral umat.
Ikhlas adalah elemen spiritual yang seringkali diabaikan dalam konteks Qawlan Sadida. Seseorang mungkin mengucapkan kebenaran, tetapi jika niatnya (di balik ucapan tersebut) adalah untuk pamer, mencari pujian, atau mendapatkan keuntungan duniawi, maka ucapan tersebut telah kehilangan sifat Sadida-nya yang sejati di hadapan Allah.
Sadida yang sejati adalah ucapan yang lurus secara lahir dan batin. Artinya, perkataan itu tidak hanya benar dan tepat sasaran, tetapi juga dilandasi oleh niat murni untuk mencari keridaan Allah (sebagai manifestasi dari Taqwa). Jika niatnya bengkok, maka hasilnya pun tidak akan sempurna, dan janji perbaikan amal (yuslih lakum a’mālakum) mungkin tidak tercapai sepenuhnya.
Seorang Muslim harus secara terus-menerus mengaudit niatnya sebelum berbicara. Apakah saya berbicara karena saya takut kepada Allah? Atau karena saya ingin dipandang saleh? Hanya perkataan yang diiringi keikhlasan yang akan dihitung sebagai Qawlan Sadida yang membawa keberkahan.
Salah satu fungsi utama lisan adalah sebagai media bagi syaithan untuk menciptakan kerusakan. Syaithan sering kali membisikkan kata-kata yang memicu kemarahan, fitnah, dan perpecahan. Ayat Al-Ahzab 70 dapat dilihat sebagai senjata spiritual untuk melawan bisikan-bisikan ini.
Allah berfirman dalam Surah Al-Isra’ ayat 53: "Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (ahsan). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka." (Surah Al-Isra' 17:53). Ayat ini menggunakan frasa ‘Qawlan Ahsan’ (perkataan terbaik), yang memiliki makna konvergen dengan Qawlan Sadida.
Ketika seorang Mukmin memilih untuk mengucapkan Qawlan Sadida, ia secara efektif menutup celah (akar kata s-d-d: menutup) yang ingin digunakan syaithan untuk menyebar permusuhan. Lisan yang terjaga adalah benteng yang menolak intervensi setan dalam urusan sosial manusia.
Secara keseluruhan, Surah Al-Ahzab ayat 70 menempatkan tanggung jawab moral yang besar di pundak setiap Muslim. Ini bukan hanya tentang menahan diri dari dosa besar, tetapi tentang menyempurnakan kualitas tindakan yang paling rutin dilakukan oleh manusia: berbicara. Dengan menjadikan Taqwa sebagai fondasi dan Qawlan Sadida sebagai metode, seorang Mukmin diarahkan menuju kesempurnaan akhlak dan keberuntungan abadi.