Pendahuluan: Fondasi Pakaian Takwa
Surah Al-Ahzab merupakan salah satu surah Madaniyah yang banyak membahas hukum-hukum sosial, etika bermasyarakat, dan aturan khusus bagi keluarga Nabi Muhammad ﷺ serta umat Islam secara umum. Salah satu ayat yang menjadi tonggak penting dalam pembahasan syariat tentang pakaian dan kehormatan perempuan adalah ayat ke-59. Ayat ini datang sebagai respons ilahi terhadap kondisi sosial yang menuntut adanya pembeda jelas antara perempuan mukminah yang menjaga kehormatan dengan perempuan pada umumnya, terutama dalam konteks pergaulan publik.
Ayat mulia ini bukan sekadar perintah menutup aurat secara umum, melainkan sebuah arahan spesifik mengenai pakaian luar yang harus dikenakan oleh perempuan beriman ketika mereka keluar rumah. Tujuannya sangat jelas dan holistik: untuk menjaga diri dari gangguan (pelecehan), untuk memudahkan mereka dikenal sebagai perempuan terhormat, dan sebagai manifestasi ketaatan yang membedakan mereka dari yang lain.
"Wahai Nabi! Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, dan oleh karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Al-Ahzab: 59)
Latar Belakang Historis dan Asbabun Nuzul
Untuk memahami kedalaman hukum ini, kita perlu menelaah konteks turunnya ayat (Asbabun Nuzul). Para ulama tafsir, seperti yang diriwayatkan oleh Al-Qurtubi dan At-Tabari, menyebutkan beberapa riwayat terkait konteks sosial Madinah saat itu. Sebelum ayat ini turun, perempuan merdeka maupun hamba sahaya (budak) berpakaian dengan cara yang kurang dibedakan.
Salah satu riwayat utama menyatakan bahwa pada malam hari, ketika perempuan keluar untuk keperluan hajat (buang air di luar rumah, karena tidak ada toilet di dalam), beberapa pemuda nakal di Madinah sering mengganggu mereka. Mereka berdalih bahwa mereka mengira perempuan yang mereka ganggu adalah hamba sahaya. Ketika aduan ini disampaikan kepada Rasulullah ﷺ, Allah ﷻ menurunkan ayat 59 Surah Al-Ahzab. Ayat ini secara tegas memberikan arahan untuk membedakan perempuan mukminah merdeka, sehingga mereka dikenal dan tidak lagi diganggu.
Tujuan Pemisahan Identitas
Perintah ini berfungsi ganda:
- Perlindungan (فَلَا يُؤْذَيْنَ): Mengurangi peluang gangguan dan pelecehan karena pakaian yang lebih tertutup menunjukkan kehormatan dan keseriusan dalam menjaga diri.
- Identitas (أَن يُعْرَفْنَ): Menetapkan identitas Muslimah yang taat. Jilbab menjadi simbol ketaatan publik, membedakan mereka dari tradisi jahiliyah atau perempuan yang tidak menjaga kehormatan.
Analisis Linguistik dan Terminologi Kunci
Kekuatan hukum dalam ayat ini terletak pada tiga frasa kunci yang memerlukan interpretasi mendalam: *yudnīna* (mengulurkan), *jalābībihinna* (jilbab mereka), dan *adzna ay yu’rafna* (lebih mudah untuk dikenal).
1. Makna Kata ‘Yudnīna’ (يُدْنِينَ)
Kata kerja ini berasal dari akar kata *adna* (أدنى) yang berarti mendekatkan, mengulurkan, atau menjulurkan. Dalam konteks pakaian, *yudnīna ‘alaihinna* memiliki makna yang sangat kuat, yaitu: mereka harus mengulurkan atau menjulurkan pakaian luar mereka menutupi seluruh tubuh. Ini bukan sekadar memakai, tetapi memastikan pakaian itu menutupi secara efektif dan penuh. Beberapa penafsir klasik menginterpretasikannya sebagai mengulurkan dari atas kepala hingga menutupi wajah atau sebagian wajah, meninggalkan satu mata terbuka untuk melihat, atau sekadar menutupi seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, tergantung pada perbedaan definisi *jilbab* itu sendiri.
2. Makna Kata ‘Jalābībihinna’ (جَلَٰبِيبِهِنَّ)
Kata *jalābīb* adalah bentuk jamak dari *jilbab* (جلباب). Definisi *jilbab* adalah subjek yang paling intens diperdebatkan dalam sejarah tafsir dan fiqh, karena ia menentukan batasan kewajiban. Secara etimologi, *jilbab* adalah pakaian luar yang lebih besar dari kerudung (khimar) dan dipakai di atas pakaian sehari-hari.
- Definisi Klasik (Ibn Kathir, Al-Qurtubi): Jilbab adalah kain panjang yang menutupi seluruh tubuh wanita dari atas hingga bawah, mirip seperti milhafah (selimut/mantel luar) atau rida’ (kain penutup). Fungsinya adalah menutupi pakaian internal.
- Implikasi Hukum: Ayat ini mewajibkan perempuan untuk memakai pakaian tambahan yang melampaui pakaian rumah mereka (seperti khimar yang menutupi kepala dan dada). Jilbab memastikan keseluruhan siluet tubuh tertutup saat berada di ruang publik.
3. Frasa ‘Dzalika Adzna Ay Yu'rafna’ (ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن يُعْرَفْنَ)
Frasa ini merupakan justifikasi atau hikmah di balik perintah tersebut: "Yang demikian itu lebih mudah agar mereka dikenal." Dikenal di sini bukan dalam artian dikenal namanya, melainkan dikenal statusnya sebagai perempuan mukminah yang terhormat dan menjaga diri. Dengan memakai jilbab, identitas mereka sebagai Muslimah yang taat pada syariat menjadi jelas, dan secara otomatis membedakan mereka dari hamba sahaya atau perempuan yang tidak memiliki moral.
4. Frasa ‘Fa La Yu'dzaina’ (فَلَا يُؤْذَيْنَ)
Ini adalah hasil langsung dari pengenalan identitas: "Dan oleh karena itu mereka tidak diganggu." Ini menunjukkan bahwa syariat Islam, dalam menetapkan aturan berpakaian, tidak hanya bertujuan untuk ketaatan ritual, tetapi juga mengandung dimensi perlindungan sosial yang sangat praktis. Ketika perempuan menunjukkan kehormatan melalui pakaiannya, mereka secara otomatis menuntut rasa hormat dari orang lain dan meminimalkan niat buruk.
Tafsir Komparatif Ulama Klasik Mengenai Jilbab
1. Tafsir Imam Ath-Thabari (W. 310 H)
Imam Ath-Thabari, dalam Jami' al-Bayan, berfokus pada kewajiban menjulurkan. Beliau mencatat bahwa perintah ‘yudnīna ‘alaihinna’ berarti mereka harus menjulurkan jilbab menutupi wajah dan kepala. Ath-Thabari mengutip pendapat beberapa sahabat dan tabi’in yang menekankan bahwa jilbab harus menutupi hampir seluruh tubuh dan wajah ketika keluar rumah, hanya menyisakan satu mata untuk melihat.
Menurut Ath-Thabari, pemahaman tentang bagaimana jilbab dipakai langsung terkait dengan tujuan ‘agar dikenal.’ Pada masa itu, hanya perempuan terhormat yang memiliki pakaian luar semacam itu yang menutupi secara total. Oleh karena itu, menjulurkan jilbab adalah penanda status moral dan sosial yang tinggi, yang secara efektif mencegah gangguan.
2. Tafsir Imam Al-Qurtubi (W. 671 H)
Imam Al-Qurtubi, dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, memberikan analisis linguistik dan fiqh yang sangat rinci. Al-Qurtubi menekankan bahwa ayat ini merupakan dalil yang jelas akan kewajiban menutup seluruh tubuh. Beliau membahas perselisihan mengenai wajib atau tidaknya menutup wajah (niqab).
Al-Qurtubi mencatat bahwa praktik umum para perempuan Ansar setelah turunnya ayat ini adalah menutup kepala dan wajah mereka dengan jilbab, hanya menyisakan celah untuk mata. Ia mengutip riwayat dari Ummu Salamah yang mengatakan bahwa ketika ayat ini turun, perempuan Madinah keluar seperti burung gagak (sangat gelap) karena mereka menggunakan kain hitam besar untuk menutupi diri mereka sepenuhnya.
Al-Qurtubi menyimpulkan bahwa meskipun ada perbedaan pendapat tentang pengecualian wajah dan telapak tangan, ruh ayat ini adalah keharusan perempuan mukminah untuk menampakkan kesopanan dan ketaatan yang maksimal di ruang publik melalui pakaian luar yang menutupi secara efektif.
3. Tafsir Ibnu Katsir (W. 774 H)
Ibnu Katsir dalam tafsirnya, setelah mengutip riwayat Asbabun Nuzul, menegaskan bahwa Allah memerintahkan perempuan mukminah untuk membedakan diri dari perempuan jahiliyah yang keluar rumah dengan perhiasan terbuka. Ibnu Katsir mendefinisikan *jilbab* sebagai kain penutup di atas *khimar* (kerudung) dan menekankan bahwa perintah ‘mengulurkan’ berarti menjulurkannya ke bawah hingga hampir menyentuh tanah, sehingga tubuh tertutup sepenuhnya.
Fokus Ibnu Katsir terletak pada aspek perlindungan. Beliau menjelaskan bahwa ketika seorang wanita mengenakan pakaian yang menunjukkan kesopanan, orang-orang fasik tidak akan berani mengganggunya, berbeda dengan wanita yang berpakaian terbuka, yang seringkali dianggap sebagai target mudah bagi gangguan moral.
Implikasi Hukum Fiqh: Empat Mazhab dan Batasan Aurat
Ayat 59 Surah Al-Ahzab menjadi salah satu dalil primer dalam fiqh Islam mengenai kewajiban menutup aurat perempuan di hadapan laki-laki asing (non-mahram). Meskipun ayat ini secara eksplisit menyebut “jilbab,” para fuqaha (ahli fiqh) dari empat mazhab utama memiliki pandangan yang berbeda mengenai batasan aurat dan sejauh mana jilbab tersebut harus menutupi, terutama terkait wajah dan telapak tangan.
1. Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi, yang didirikan oleh Imam Abu Hanifah, umumnya berpendapat bahwa aurat wanita yang wajib ditutupi di hadapan non-mahram adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Mereka berdalil dengan penafsiran umum atas Surah An-Nur ayat 31 (kecuali yang biasa tampak daripadanya). Bagi Mazhab Hanafi, perintah jilbab dalam Al-Ahzab 59 bertujuan agar pakaian luar itu menutupi perhiasan dan siluet tubuh, tetapi tidak secara mutlak mewajibkan niqab (penutup wajah).
Namun, para ulama Hanafi kontemporer sering menambahkan bahwa jika mengenakan niqab adalah tradisi yang melindungi wanita dari fitnah, atau jika kondisi sosial (zaman) penuh dengan kefasikan, maka menutup wajah menjadi wajib (sadd adz-dzari'ah).
2. Mazhab Maliki
Pandangan utama Mazhab Maliki juga mengecualikan wajah dan telapak tangan dari definisi aurat yang wajib ditutup. Akan tetapi, Imam Malik dan murid-muridnya sangat menekankan bahwa meskipun wajah boleh terbuka, perhiasan di wajah tidak boleh ditampakkan dan wanita harus menghindari tabarruj (berdandan berlebihan). Mereka memahami jilbab sebagai pakaian luar yang menutupi kepala dan tubuh.
Salah satu ulama Maliki yang terkenal, Ibn al-Arabi, dalam tafsirnya, menyatakan bahwa meskipun wajah tidak mutlak aurat, menutupnya adalah bentuk kesempurnaan takwa (istihtar) dan merupakan praktik yang dianjurkan untuk mencegah fitnah, sejalan dengan tujuan ‘agar tidak diganggu’ dalam Al-Ahzab 59.
3. Mazhab Syafi'i
Mazhab Syafi'i, yang didirikan oleh Imam Asy-Syafi'i, secara mayoritas sependapat dengan Hanafi dan Maliki, yaitu aurat adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Mereka berdalil bahwa wajah adalah anggota tubuh yang diperlukan untuk interaksi dasar (seperti jual beli atau bersaksi), sehingga tidak wajib ditutup dalam keadaan normal. Akan tetapi, mereka menetapkan kondisi ketat bahwa aurat harus ditutupi oleh pakaian yang tebal, tidak membentuk lekuk tubuh (syâf), dan tidak menarik perhatian (zînah).
Mengenai jilbab, Mazhab Syafi'i melihatnya sebagai pakaian yang harus menutupi pakaian sehari-hari secara longgar, memenuhi kriteria yang disebutkan dalam Al-Ahzab 59 untuk tujuan pengenalan kehormatan dan perlindungan. Perintah ‘yudnīna’ dipahami sebagai perintah untuk memastikan seluruh tubuh, selain yang dikecualikan, tertutup rapat oleh pakaian luar yang mulia.
4. Mazhab Hanbali
Mazhab Hanbali, yang didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, memiliki pandangan paling ketat. Mayoritas ulama Hanbali berpendapat bahwa SELURUH tubuh wanita adalah aurat, termasuk wajah dan telapak tangan, di hadapan laki-laki non-mahram. Dalil utama mereka adalah interpretasi yang ketat terhadap Al-Ahzab 59 dan beberapa hadis. Mereka memahami perintah ‘yudnīna ‘alaihinna min jalābībihinna’ sebagai perintah untuk mengulurkan jilbab menutupi wajah (yaitu, niqab atau burqa).
Menurut Mazhab Hanbali, menampakkan wajah dan telapak tangan hanya dibolehkan dalam kondisi darurat yang sangat mendesak. Dengan demikian, ayat 59 Surah Al-Ahzab berfungsi sebagai dalil utama kewajiban niqab atau penutup wajah bagi mereka.
Rekapitulasi Fiqh Ayat 59
Kesamaan di antara semua mazhab adalah bahwa ayat 59 Surah Al-Ahzab adalah perintah definitif bagi perempuan mukminah untuk mengenakan pakaian luar (jilbab) yang menutupi tubuh secara longgar dan penuh, bertujuan untuk membedakan diri (identitas) dan menghindari gangguan (perlindungan). Perbedaan terletak pada apakah jilbab tersebut harus meliputi wajah atau tidak.
Perbedaan interpretasi ini menunjukkan kekayaan hukum Islam, namun inti perintah—yaitu kesopanan maksimal dan pakaian yang membedakan—tetap menjadi konsensus universal.
Dimensi Spiritual dan Filosofi Perlindungan
Ayat 59 Surah Al-Ahzab tidak hanya berbicara tentang kain dan potongannya, tetapi juga tentang nilai-nilai spiritual yang mendasar, yaitu Takwa, Iffah (kemuliaan diri), dan Haya’ (rasa malu).
Jilbab sebagai Manifestasi Takwa
Pakaian yang diperintahkan oleh ayat ini adalah perwujudan eksternal dari Takwa (ketakutan kepada Allah) yang ada di hati. Ketika seorang Muslimah memilih untuk mengenakan jilbab yang sesuai syariat, ia melakukan tindakan ketaatan langsung terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya. Ini adalah bukti nyata bahwa prioritas hidupnya adalah mendapatkan keridaan Allah, bukan mengikuti mode atau tekanan sosial.
Perlindungan dari Fitnah (Gangguan Moral)
Konsep ‘agar mereka tidak diganggu’ (fala yu’dzaina) mengandung filosofi pencegahan yang mendalam. Dalam Islam, tanggung jawab menjaga kehormatan dibagi antara laki-laki (diperintahkan menundukkan pandangan) dan perempuan (diperintahkan menutup aurat). Pakaian luar yang menutup dan longgar berfungsi sebagai benteng non-verbal. Ia mengirimkan pesan kepada masyarakat bahwa pemakainya adalah individu yang menghargai kehormatan dan tidak terbuka untuk godaan atau interaksi yang tidak perlu.
Penghormatan yang datang dari pakaian syar’i jauh berbeda dengan penghormatan yang ditimbulkan oleh daya tarik fisik. Jilbab mengalihkan fokus dari fisik ke kepribadian dan karakter. Ini adalah revolusi etika sosial yang dipimpin oleh Islam, memindahkan nilai seorang wanita dari objek visual menjadi subjek moral dan spiritual yang dihormati.
Perbedaan Terminologi: Khimar, Jilbab, dan Hijab
Seringkali terjadi kerancuan antara istilah-istilah yang digunakan dalam Qur'an terkait pakaian wanita. Ayat 59 Surah Al-Ahzab secara khusus menggunakan istilah *Jilbab*, sementara Surah An-Nur ayat 31 menggunakan istilah *Khimar* (kerudung). Penting untuk membedakan ketiganya untuk memahami tuntutan syariat.
1. Khimar (Kerudung)
Dijelaskan dalam QS. An-Nur: 31, *khimar* adalah penutup kepala. Perintah dalam An-Nur adalah agar wanita menjulurkan *khimar* mereka hingga menutupi dada dan leher (walyaḍribna bikhumurihinna ‘ala juyūbihinna). Ini adalah pakaian esensial, penutup kepala dan leher.
2. Jilbab (Pakaian Luar)
Dijelaskan dalam QS. Al-Ahzab: 59, *jilbab* adalah pakaian luar (mantel, abaya, atau kain panjang) yang dikenakan di atas pakaian rumah dan di atas khimar. Jilbab berfungsi untuk menutupi siluet tubuh secara keseluruhan, dari atas hingga bawah. Ini adalah lapisan pelindung yang wajib digunakan saat keluar rumah.
3. Hijab (Konsep Umum)
*Hijab* secara harfiah berarti penghalang, tirai, atau penutup. Dalam penggunaan modern, istilah ini telah menjadi payung untuk semua jenis penutup kepala dan tubuh wanita sesuai syariat (termasuk khimar dan jilbab). Namun, secara Al-Qur'an, istilah *hijab* juga digunakan dalam konteks tirai pemisah bagi istri-istri Nabi (QS. Al-Ahzab: 53).
Oleh karena itu, ayat 59 Surah Al-Ahzab menetapkan kewajiban memakai *jilbab* (pakaian luar besar) sebagai penunjang kewajiban memakai *khimar* (penutup kepala dan dada) yang telah ditetapkan lebih dulu dalam Surah An-Nur.
Pengulangan dan Pendalaman Kajian Fiqh
Analisis Fiqh Kontemporer Mengenai Desain Jilbab
Dalam konteks modern, ulama juga membahas karakteristik pakaian luar yang memenuhi syarat “jilbab” dalam ayat 59. Pakaian tersebut harus memenuhi kriteria berikut:
- Kelonggaran (*Ikhfa’ al-Jism*): Jilbab harus longgar, tidak membentuk lekuk tubuh (tidak ketat), dan tidak menonjolkan bagian-bagian tubuh tertentu. Tujuannya adalah menutupi tubuh, bukan memperlihatkan.
- Ketebalan (*Istir*): Jilbab harus terbuat dari bahan yang tebal, tidak transparan (tidak tembus pandang), sehingga warna kulit dan pakaian di dalamnya tidak terlihat.
- Ketidakmenarikkan (*Ghairu Zina*): Jilbab tidak boleh menjadi perhiasan itu sendiri. Artinya, warnanya tidak mencolok, motifnya tidak menarik perhatian, dan tidak memiliki hiasan berlebihan. Ini sejalan dengan tujuan ‘agar tidak diganggu.’
- Panjang (*Tathwil*): Pakaian harus panjang, menjulur ke bawah hingga menutupi kaki, sesuai dengan makna ‘yudnīna’ (mengulurkan).
Relevansi Ayat 59 di Era Modern
Meskipun ayat ini diturunkan pada abad ke-7 di Madinah, perintahnya bersifat abadi dan relevan bagi Muslimah di seluruh dunia. Penerapan ayat ini dalam masyarakat kontemporer menimbulkan tantangan unik, terutama di tengah globalisasi dan tekanan budaya sekuler.
Menghadapi Mispersepsi Jilbab
Di banyak negara, jilbab (yang merupakan implementasi dari ayat 59) sering disalahpahami sebagai simbol opresi atau ekstremisme. Ayat ini membuktikan sebaliknya: jilbab adalah simbol pembebasan dari eksploitasi visual dan penegasan identitas keagamaan. Ia memberikan perempuan hak untuk dihormati berdasarkan kepribadiannya, bukan penampilan fisiknya.
Perintah ‘fala yu’dzaina’ (agar mereka tidak diganggu) menjadi sangat penting di era di mana pelecehan seksual di ruang publik masih merajalela. Jilbab yang syar’i berfungsi sebagai benteng awal yang, bersamaan dengan penundukkan pandangan oleh laki-laki, menciptakan lingkungan yang lebih aman dan terhormat bagi perempuan mukminah.
Tantangan Pakaian Modis
Tantangan utama di era modern adalah fenomena “hijab modis” yang terkadang mengabaikan kriteria kelonggaran dan ketidakmenarikkan yang disyaratkan oleh ulama fiqh dalam menafsirkan *jilbab*. Jika pakaian luar (jilbab) dibuat ketat, berwarna mencolok, atau dipadukan sedemikian rupa sehingga menarik perhatian, maka tujuan fundamental dari ayat 59—yaitu untuk dikenal sebagai perempuan terhormat dan dihindari dari gangguan—terancam tereduksi.
Oleh karena itu, pemahaman yang benar terhadap *jalābībihinna* harus selalu kembali kepada semangat Takwa dan Iffah (kemuliaan diri), memastikan bahwa pakaian tersebut benar-benar melayani fungsi perlindungan dan ketaatan, bukan sekadar aksesoris mode.
Pendalaman Ayat 59: Perintah Khusus bagi Keluarga Nabi
Penting untuk dicatat bahwa ayat ini dimulai dengan perintah yang ditujukan khusus kepada Nabi ﷺ untuk menyampaikan pesan kepada: (1) Istri-istrinya, (2) Anak-anak perempuannya, dan (3) Istri-istri orang mukmin. Urutan ini menunjukkan bahwa aturan kesopanan dan kehormatan harus dimulai dari rumah tangga Nabi, yang berfungsi sebagai teladan utama bagi seluruh umat. Jika perempuan yang paling dekat dengan Nabi dituntut untuk menjaga kehormatan dengan standar tertinggi, maka tuntutan serupa berlaku bagi seluruh Muslimah.
Ini juga menegaskan bahwa syariat pakaian bukan sekadar urusan pribadi, tetapi juga memiliki dimensi publik dan kemasyarakatan yang kuat, menunjukkan identitas komunitas yang taat.
Penutup dan Intisari Hukum
Surah Al-Ahzab ayat 59 adalah perintah yang komprehensif mengenai pakaian kehormatan bagi perempuan mukminah ketika mereka berada di ruang publik. Ayat ini melampaui sekadar menutupi, ia menetapkan standar identitas dan perlindungan sosial yang harus diwujudkan melalui penggunaan *jilbab*, pakaian luar yang menjulur menutupi seluruh tubuh.
Meskipun terdapat perbedaan interpretasi di kalangan mazhab fiqh mengenai wajibnya menutup wajah (niqab), semua sepakat pada tiga poin inti yang didasarkan pada ayat ini:
- Kewajiban Jilbab: Setiap Muslimah wajib mengenakan pakaian luar (jilbab) yang menutupi auratnya secara keseluruhan ketika keluar rumah.
- Syarat Pakaian: Pakaian tersebut harus longgar, tebal, dan tidak mencolok.
- Tujuan Utama: Tujuan syariat ini adalah untuk membedakan perempuan mukminah yang terhormat, melindungi mereka dari gangguan, dan mewujudkan ketaatan kepada Allah ﷻ.
Dengan memegang teguh perintah ilahi ini, seorang Muslimah tidak hanya melaksanakan ketaatan agamanya tetapi juga menegaskan martabat dan kehormatannya di mata masyarakat. Ayat 59 Surah Al-Ahzab adalah bukti nyata bahwa Islam melindungi wanita dan meninggikan status mereka melalui syariat yang penuh hikmah.
Penguatan Fiqh dan Hikmah Lanjutan
Untuk melengkapi kedalaman kajian, kita perlu mengingat bahwa para ulama tafsir kontemporer, seperti Sayyid Qutb dalam *Fi Zilalil Quran*, menekankan bahwa jilbab adalah bagian dari tatanan sosial Islam yang bertujuan untuk membangun masyarakat yang bersih dari fitnah dan godaan visual. Jilbab berfungsi untuk menenangkan suasana hati, mengurangi nafsu yang liar, dan membantu kaum pria untuk menundukkan pandangan mereka sesuai perintah Surah An-Nur 30.
Ayat 59 Surah Al-Ahzab mengajarkan kita bahwa pakaian adalah cerminan dari hati. Semakin tinggi tingkat ketakwaan seseorang, semakin serius ia dalam mengimplementasikan perintah tentang pakaian kehormatan. Implementasi jilbab yang benar, sesuai dengan makna linguistik dan tujuan syariat, adalah salah satu benteng moral terbesar yang dimiliki oleh umat Islam.
Perintah ini adalah kasih sayang dari Allah, sebuah panduan praktis yang memastikan keamanan dan kemuliaan bagi hamba-Nya yang beriman.