Surah Ad Dhuha adalah permata keindahan retorika dan sumber harapan abadi dalam Al-Qur'an. Meskipun hanya terdiri dari sebelas ayat pendek, surah Makkiyah ini membawa pesan spiritual yang sangat mendalam, berfungsi sebagai balsam penyembuh bagi jiwa yang dilanda keraguan, ketakutan, atau perasaan ditinggalkan. Ia adalah deklarasi tegas dari kasih sayang Tuhan yang tak pernah berakhir, diturunkan pada saat-saat paling kritis dalam kehidupan kenabian Rasulullah ﷺ.
Artikel ini akan mengupas tuntas setiap dimensi Surah Ad Dhuha, mulai dari konteks historis penurunannya yang dramatis, keajaiban linguistiknya, hingga implikasi moral dan spiritualnya yang relevan bagi kehidupan setiap Muslim, dalam upaya memahami kedalaman makna surah yang penuh berkah ini.
Pemahaman mengenai kapan dan mengapa sebuah surah diturunkan (Asbabun Nuzul) sangat esensial, dan dalam kasus Ad Dhuha, konteksnya memberikan intensitas emosional yang luar biasa pada teksnya. Surah ini turun di Mekah, pada periode awal dakwah, sebuah fase di mana penolakan, intimidasi, dan kesulitan dialami Nabi Muhammad ﷺ secara intensif. Namun, konteks yang paling spesifik berkaitan dengan jeda wahyu.
Setelah periode wahyu yang aktif, tiba-tiba terjadi jeda atau kekosongan yang berlangsung cukup lama—beberapa riwayat menyebutkan sepuluh hingga dua belas malam, sementara riwayat lain menyebutkan enam bulan, bahkan ada yang memperkirakan lebih dari itu. Dalam istilah ulama tafsir, periode ini dikenal sebagai Fatratul Wahyi. Jeda ini, meskipun merupakan bagian dari hikmah ilahi, menimbulkan kecemasan mendalam bagi Rasulullah ﷺ. Beliau terbiasa dengan kedatangan Jibril yang membawa pencerahan dan dukungan ilahi; absennya wahyu dirasakan seperti terputusnya hubungan langsung dengan Rabb-nya.
Keadaan ini diperparah oleh ejekan dan cemoohan dari kaum musyrikin Quraisy. Mereka melihat jeda ini sebagai bukti bahwa Allah atau Tuhannya Muhammad telah meninggalkannya. Riwayat yang paling masyhur menyebutkan seorang wanita dari Quraisy—sering diidentifikasi sebagai istri Abu Lahab, Ummu Jamil—yang datang kepada Nabi ﷺ dan berkata dengan sinis: “Wahai Muhammad, aku melihat setanmu telah meninggalkanmu.” Ungkapan kejam ini menghantam hati Nabi ﷺ, menambah beban psikologis dan spiritualnya. Perasaan ditinggalkan, ditambah dengan ejekan publik, menciptakan kondisi yang sangat sulit.
Jeda wahyu ini merupakan ujian berat. Nabi ﷺ, sebagai manusia, merasakan penderitaan psikologis yang luar biasa. Ia takut jika dirinya telah melakukan kesalahan yang menyebabkan Allah berpaling. Kondisi ini menunjukkan betapa pentingnya wahyu bukan hanya sebagai pedoman, tetapi juga sebagai sumber dukungan psikologis dan penguat keyakinan bagi pembawanya.
Dalam suasana keputusasaan inilah, Surah Ad Dhuha diturunkan sebagai respons langsung dan penghibur dari Allah SWT. Ia datang seolah-olah berupa sebuah pelukan ilahi, menegaskan kembali bahwa Nabi ﷺ tidak pernah ditinggalkan, dan bahwa hubungan tersebut tetap utuh. Pesan inilah yang menjadi inti utama dari keseluruhan surah.
Secara historis, Surah Ad Dhuha memiliki tiga fungsi utama:
Berdasarkan riwayat dari Jundub bin Sufyan, Surah Ad Dhuha adalah surah yang penuh janji, menenangkan hati yang resah, dan mengembalikan optimisme. Ini bukanlah sekadar janji biasa; ini adalah sumpah ilahi yang mengakhiri masa kegelapan spiritual.
Keindahan Surah Ad Dhuha terletak pada susunan kata dan penggunaan retorika yang sempurna (Balaghah). Surah ini dibagi menjadi tiga segmen retoris yang saling menguatkan: sumpah, janji, dan perintah etis.
Allah SWT bersumpah menggunakan dua waktu yang kontras: Ad Dhuha (Cahaya Pagi) dan Al Lail Iza Saja (Malam yang sunyi/gelap). Dalam Balaghah, sumpah dengan kontras adalah cara paling kuat untuk menarik perhatian pendengar pada inti pesan yang akan disampaikan.
Penggunaan sumpah ini bukan hanya puitis, tetapi juga berfungsi sebagai metafora. Allah bersumpah dengan fase-fase waktu di mana cahaya selalu menggantikan kegelapan, seolah berkata: “Sebagaimana cahaya pagi pasti akan datang menggantikan malam, begitu pula wahyu-Ku pasti akan datang menggantikan jeda ini.” Ini adalah janji kosmik bahwa keadaan sulit (malam) tidak akan abadi.
Ayat ini adalah jawaban langsung terhadap keraguan dan ejekan kaum musyrikin. Kata kunci di sini adalah:
Struktur kalimat ini menggunakan penolakan ganda (Negasi dan Kontra-Negasi) yang memperkuat pesan: "Dia tidak memutuskan hubungan, dan Dia juga tidak membencimu." Ini jauh lebih kuat daripada sekadar mengatakan "Aku mencintaimu." Ini merespon langsung dua ketakutan terdalam Nabi: diabaikan dan dimarahi.
Ayat 4 memperkenalkan konsep progresif: *Al Aakhirah* (akhirat/masa depan) lebih baik daripada *Al Ula* (permulaan/dunia/masa lalu). Ini adalah prinsip fundamental dalam Islam: ujian di dunia adalah sementara, dan pahala di akhirat adalah abadi dan lebih berharga.
Ayat 5 adalah janji luar biasa, menggunakan kata "wa lasawfa" (dan sungguh, kelak). Kata *saufa* (kelak) menunjukkan kepastian mutlak yang akan terjadi dalam waktu dekat. Allah berjanji akan memberi Nabi-Nya hingga ia *yardaa* (puas/ridha). Ini sering ditafsirkan sebagai janji syafaat yang agung, di mana Nabi ﷺ tidak akan puas hingga seluruh umatnya diselamatkan. Janji ini memastikan bukan hanya keselamatan pribadi, tetapi juga kemenangan misi kenabian secara total.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita perlu menelaah setiap ayat dari perspektif tafsir klasik, memperhatikan variasi makna dan implikasi spiritual yang ditawarkan oleh ulama besar.
Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa Ad Dhuha adalah waktu ketika matahari mulai meninggi dan sinarnya menyebar. Secara harfiah, ia adalah pertengahan pagi. Namun, secara simbolis, para mufassir seperti Al-Fakhru Razi menafsirkan Ad Dhuha sebagai metafora bagi puncak kekuatan wahyu dan kejelasan bimbingan yang dibawa oleh Nabi ﷺ setelah kegelapan zaman jahiliyah. Allah menggunakan waktu yang paling terang untuk bersumpah, menunjukkan betapa berharganya momen wahyu itu sendiri. Sumpah ini juga mengingatkan bahwa setiap kegelapan pasti diikuti oleh terang, sebuah siklus alamiah yang paralel dengan siklus spiritual kenabian.
Beberapa ulama, dalam upaya menyambungkan Asbabun Nuzul, bahkan menafsirkan Dhuha sebagai kedatangan kembali Jibril setelah masa jeda. Cahaya Jibril yang membawa wahyu adalah Dhuha spiritual yang menghilangkan gelapnya keraguan dan ejekan.
Kata *saja* (سَجَىٰ) berarti diam, tenang, atau menutupi. Tafsir Ibn Katsir menekankan bahwa ini merujuk pada malam yang damai ketika segala sesuatu telah beristirahat. Kontras ini penting. Jika Dhuha melambangkan wahyu yang terang dan jelas, maka Malam yang Sunyi melambangkan ketenangan dan keheningan, tetapi juga dapat melambangkan saat-saat di mana Nabi ﷺ menghabiskan waktu dalam kontemplasi, seperti saat Jeda Wahyu.
Syaikh As-Sa'di menyoroti bahwa Allah bersumpah dengan kedua kondisi ini karena di dalamnya terdapat tanda-tanda keagungan-Nya, dan karena kehidupan manusia (baik lahiriah maupun spiritual) selalu bergerak di antara kedua kutub: aktivitas dan istirahat, cahaya dan kegelapan, kejelasan dan keraguan. Allah mengikatkan kehidupan Nabi ﷺ pada siklus kosmik ini, menegaskan bahwa ketiadaan wahyu hanyalah jeda, bukan pengakhiran.
Implikasi spiritualnya sangat kuat: dalam hidup, ketika kita merasa "malam" telah menyelimuti (ujian, kegagalan, kesedihan), kita harus ingat bahwa malam itu pasti akan *saja* (diam, tenang), dan setelah itu, Dhuha pasti akan datang.
Ayat ini adalah inti dari surah, sebuah deklarasi kepastian. Tafsir At-Tabari mencatat bahwa ayat ini turun untuk meredakan kesedihan Nabi ﷺ setelah perkataan wanita Quraisy. Penekanan pada kata *Rabbuka* (Tuhanmu) sangat penting; ini adalah bentuk yang paling intim dan penuh kasih, merujuk pada Allah sebagai Pemelihara, Pembina, dan Pengasuh.
Al-Qushayri (seorang sufi mufassir) melihat ayat ini dari dimensi *maqam* (kedudukan spiritual). Jeda wahyu, baginya, adalah bagian dari didikan ilahi. Allah menguji hati Nabi ﷺ untuk memastikan cintanya murni, tidak bergantung pada datangnya wahyu semata, melainkan pada Allah itu sendiri. Penolakan bahwa Allah *wadda'aka* adalah penolakan terhadap pemutusan hubungan yang disebabkan oleh kekecewaan, sedangkan penolakan bahwa Allah *qalaa* adalah penolakan terhadap pemutusan hubungan karena kemarahan atau kebencian.
Dalam konteks modern, ayat ini menjadi janji bagi setiap Mukmin yang merasa terasing atau terputus dari spiritualitasnya. Ketika doa terasa tidak terjawab atau kita merasa jauh dari rahmat, Surah Ad Dhuha mengingatkan bahwa Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya; yang sering terjadi adalah kitalah yang berpaling, atau Allah sedang menyiapkan kita untuk anugerah yang lebih besar.
Perbandingan antara *Al Aakhirah* (Akhirat) dan *Al Ula* (Permulaan/Dunia) bukan hanya perbandingan antara dua alam, tetapi juga antara dua fase kehidupan Nabi ﷺ: fase kesulitan awal di Mekah, dan fase kemenangan serta kedudukan mulia di masa depan (baik di dunia melalui penaklukan, maupun di akhirat). Mayoritas mufassirin, termasuk Imam Fakhruddin Ar-Razi, fokus pada makna akhirat yang abadi, menegaskan bahwa imbalan Allah di sana tidak tertandingi oleh apapun di dunia ini, sekecil apapun kenikmatan duniawi yang diperoleh.
Ayat ini berfungsi sebagai kompensasi ilahi. Jika Nabi ﷺ diejek dan disakiti di fase awal (Al Ula), Allah menjamin bahwa fase berikutnya akan jauh lebih baik. Ini adalah prinsip kesabaran dan harapan: penderitaan saat ini hanya bersifat sementara, sedangkan balasan dari Allah adalah permanen dan berlimpah.
Inilah puncak dari janji ilahi. Penggunaan *lasawfa* (لام التسويف) menunjukkan janji yang mutlak dan pasti. Kata *Yu’thika* (memberimu) bersifat umum, meliputi segala bentuk kebaikan: kemenangan di dunia, pengangkatan derajat, penghormatan umat, dan yang terpenting, Syafaatul Uzhma (syafaat agung).
Tafsir mengenai *fatarḍā* (hingga kamu puas) sangat kaya. Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda, "Aku tidak akan puas jika salah seorang dari umatku berada di Neraka." (HR Muslim). Janji kepuasan ini tidak hanya bersifat material atau personal, tetapi terkait erat dengan misi kenabiannya. Kepuasan Nabi ﷺ adalah ketika beliau melihat umatnya selamat dan diangkat derajatnya berkat syafaat beliau.
Para mufassir menafsirkan *al-I'thaa'* (pemberian) ini mencakup:
Ayat ini memberikan keyakinan absolut bahwa Allah tidak hanya akan memberikan apa yang dibutuhkan, tetapi bahkan melebihi ekspektasi, mencapai tingkat keridhaan yang sempurna.
Setelah memberikan janji masa depan, Allah mengalihkan perhatian Nabi ﷺ kembali ke masa lalu. Ini adalah teknik retoris untuk menunjukkan bahwa Allah tidak pernah absen; Dia telah merawat Nabi ﷺ sejak awal, bahkan sebelum wahyu datang. Tiga ayat berikutnya (6-8) merangkum tiga kondisi sulit yang telah dialami Nabi ﷺ dan bagaimana Allah telah mengatasi ketiganya.
Nabi Muhammad ﷺ lahir dalam keadaan yatim, ayahnya (Abdullah) wafat sebelum beliau lahir, dan ibunya (Aminah) wafat ketika beliau berusia enam tahun. Kehilangan kedua orang tua di usia dini merupakan salah satu ujian paling berat dalam kehidupan masa kecil. Allah mengingatkan Nabi ﷺ bahwa sejak awal, saat beliau paling rentan, perlindungan Ilahi telah bekerja.
Kata *Aawaa* (آوَىٰ) berarti memberikan perlindungan, tempat tinggal, atau suaka. Allah melakukannya melalui kakeknya, Abdul Muththalib, kemudian pamannya, Abu Thalib. Ini mengajarkan bahwa perlindungan ilahi tidak selalu berbentuk mukjizat ghaib, tetapi seringkali melalui manusia lain yang digerakkan oleh kasih sayang-Nya.
Pelajaran universal: Allah adalah Pelindung bagi mereka yang lemah dan yatim piatu. Jika Dia melindungi Nabi-Nya saat kecil, bagaimana mungkin Dia meninggalkannya sekarang di tengah kedewasaannya sebagai rasul?
Kata *Dhaallan* (ضَآلًّا) sering diterjemahkan sebagai 'tersesat' atau 'bingung'. Dalam konteks ini, ulama tafsir menafsirkan *Dhaallan* bukan sebagai kesesatan dalam arti kekafiran (karena Nabi ﷺ senantiasa menjaga fitrahnya), tetapi sebagai keadaan tidak mengetahui Kitab dan Syariat. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Asy-Syura: *“Dan kamu tidak mengetahui Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula (mengetahui) keimanan...”* (QS. 42:52).
Sebelum wahyu, Nabi ﷺ menjalani hidup dengan kemuliaan akhlak, tetapi tanpa pedoman syariat yang jelas. Allah kemudian memberikan *Hadaa* (petunjuk) melalui wahyu Al-Qur'an dan Jibril. Petunjuk ini adalah wahyu yang menghilangkan kebingungan tentang tujuan hidup, hakikat Tuhan, dan jalan yang benar.
Implikasi spiritualnya: Sama seperti Allah memberikan petunjuk yang menghilangkan kebingungan pra-wahyu, Dia juga akan mengembalikan petunjuk (wahyu) untuk menghilangkan kebingungan pasca-jeda wahyu. Petunjuk-Nya bersifat progresif dan berkelanjutan.
Kata *’Aailan* (عَآئِلًا) berarti miskin atau kekurangan secara materi. Sejak kecil, Nabi ﷺ hidup sederhana, dan meskipun beliau kemudian berdagang, kehidupan beliau tidaklah mewah. Allah memberikan *Aghnaa* (kecukupan) melalui berbagai cara:
Kecukupan ini adalah pengingat bahwa Allah-lah Pemberi Rezeki. Jika Dia telah mencukupi kebutuhan material dan emosional Nabi ﷺ saat beliau miskin, maka pasti Dia akan mencukupi kebutuhan spiritual beliau saat ini.
Tiga ayat terakhir ini beralih dari pengingat ilahi (Ayat 6-8) ke perintah praktis. Ini adalah hubungan timbal balik (syukur). Karena Allah telah memberikan tiga anugerah besar (perlindungan, petunjuk, kecukupan), maka Nabi ﷺ diperintahkan untuk menunjukkan syukur melalui tiga tindakan spesifik.
Perintah pertama berhubungan langsung dengan pengalaman masa lalu Nabi ﷺ: ke-yatim-an. Kata *Taqhar* (تَقْهَرْ) berarti menindas, menekan, atau memperlakukan dengan kasar. Ini adalah larangan keras. Jika Nabi ﷺ menerima perlindungan saat yatim, maka beliau harus menjadi pelindung bagi yatim lainnya.
Perintah ini meletakkan dasar etika sosial yang kuat: perlindungan terhadap yang paling rentan adalah barometer keimanan. Melindungi anak yatim berarti memberi mereka hak, martabat, dan kasih sayang yang layak mereka dapatkan.
Perintah kedua terkait dengan kecukupan. Kata *As-Sa’il* (السَّآئِلَ) adalah orang yang meminta, baik karena kebutuhan material (pengemis) maupun kebutuhan spiritual (pencari ilmu atau petunjuk).
Kata *Tanhar* (تَنْهَرْ) berarti membentak, menghardik, atau menolak dengan kasar. Meskipun kita mungkin tidak selalu mampu memenuhi permintaan material setiap peminta, kita dilarang menolak mereka dengan cara yang merendahkan martabat. Jika seseorang mencari petunjuk, kita harus menjawabnya dengan lembut, sesuai dengan pengalaman Nabi ﷺ yang sebelumnya *dhaallan* (bingung) lalu diberi petunjuk (*Hadaa*).
Al-Ghazali menafsirkan ayat ini lebih luas: jika seseorang meminta ilmu atau petunjuk darimu, janganlah kamu kikir atau menolaknya dengan kasar, karena kamu pun dulunya adalah pencari petunjuk.
Perintah terakhir adalah tentang syukur. Kata *Haddits* (حَدِّثْ) berarti membicarakan, menceritakan, atau menampakkan. Ini adalah perintah untuk mengekspresikan syukur atas semua nikmat yang telah disebutkan (perlindungan, petunjuk, kecukupan, dan janji Akhirat).
Tafsir mengenai nikmat di sini sangat luas, mencakup dua jenis:
Imam Mujahid dan Abu Wa’il berpendapat bahwa yang dimaksud dengan nikmat di sini adalah kenabian. Artinya, Nabi ﷺ harus menunaikan tugas menyampaikan risalah ini kepada umat manusia secara penuh. Ayat ini mengakhiri surah dengan tindakan syukur yang transformatif: syukur tidak hanya diucapkan di hati, tetapi dimanifestasikan melalui tindakan sosial dan dakwah.
Surah Ad Dhuha adalah miniatur kurikulum spiritual. Ia mengajarkan tentang divine timing (waktu ilahi), keutamaan syukur, dan prinsip etika sosial. Memahami surah ini secara mendalam memungkinkan kita untuk menghadapi krisis pribadi dengan perspektif yang benar.
Inti Ad Dhuha adalah mengatasi perasaan ditinggalkan. Ketika Allah menahan sesuatu—dalam kasus ini, wahyu—itu bukanlah penolakan, melainkan penyiapan. Jeda wahyu tersebut adalah waktu bagi Nabi ﷺ untuk berefleksi, beristirahat, dan dipersiapkan untuk beban yang lebih besar yang akan datang. Dalam kehidupan seorang Mukmin, ketika doa tidak segera dikabulkan atau ketika kita mengalami kemandekan spiritual, ini sering kali adalah Fatrah (jeda) yang disengaja oleh Allah.
Hikmahnya: Allah tidak beroperasi menurut jadwal kita. Kegelapan dan jeda adalah bagian integral dari proses pertumbuhan. Sebagaimana janji *Walal-Aakhiratu khairul laka minal uula* (Akhirat lebih baik dari permulaan), penderitaan saat ini adalah investasi untuk kejayaan masa depan, baik di dunia maupun di Akhirat. Ini menuntut kesabaran tingkat tinggi dan keyakinan mutlak pada manajemen Allah.
Jeda ini juga merupakan cara Allah menguji keikhlasan cinta. Apakah Nabi ﷺ mencintai Allah karena wahyu yang datang, atau mencintai Allah apa adanya? Ujian ini memastikan bahwa cinta beliau tidak bersyarat. Ketika kita diuji, kita diajak untuk melihat apakah kita beribadah karena balasan yang kita inginkan atau karena keridhaan kepada-Nya.
Surah Ad Dhuha memberikan langkah-langkah psikologis untuk mengatasi keputusasaan (despair):
Dalam konteks kontemporer, surah ini relevan bagi siapa pun yang berjuang melawan kecemasan, depresi, atau kehilangan tujuan. Ini adalah blueprint untuk menemukan cahaya setelah periode kegelapan emosional atau spiritual.
Hubungan antara Ayat 6-8 (anugerah Allah) dan Ayat 9-11 (perintah etika) adalah salah satu keindahan terbesar surah ini. Allah tidak hanya menghibur Nabi ﷺ, tetapi juga segera memberikan tanggung jawab. Syukur tidak hanya berhenti pada pengakuan lisan, tetapi harus diterjemahkan ke dalam tindakan.
Tiga perintah etis (jangan menindas yatim, jangan menghardik peminta, umumkan nikmat) secara efektif menyambungkan tauhid (keesaan Allah) dengan muamalah (interaksi sosial).
Ini menunjukkan bahwa kesehatan spiritual seseorang diukur tidak hanya dari ibadah ritualnya, tetapi juga dari bagaimana ia memperlakukan kelompok rentan di masyarakat. Surah Ad Dhuha, bersama Surah Al-Ma'un, membentuk kerangka dasar tanggung jawab sosial dalam Islam.
Ayat kelima, *“wa lasawfa yu’thika rabbuka fatarḍā”* (Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas), adalah salah satu janji paling agung dalam Al-Qur'an dan layak mendapatkan analisis mendalam mengenai cakupan maknanya. Kata *tarḍā* (puas/ridha) mencakup dimensi duniawi dan ukhrawi yang saling terkait erat.
Pada tingkat duniawi, kepuasan Nabi ﷺ diwujudkan melalui:
Namun, puncak dari janji *fatarḍā* terletak di Hari Kiamat. Ini merujuk pada *Maqam Mahmud* (Kedudukan yang Terpuji), yaitu hak eksklusif Nabi Muhammad ﷺ untuk memberikan syafaat agung kepada seluruh manusia di Padang Mahsyar, ketika semua nabi lain menolak karena takut.
Menurut hadits-hadits shahih mengenai syafaat, ketika Nabi ﷺ diminta untuk memohon kepada Allah, beliau bersujud dan berkata, *“Ummati, Ummati”* (Umatku, Umatku). Dalam riwayat dari Imam Muslim, Allah berfirman kepada Nabi ﷺ pada hari itu, “Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu. Mintalah, pasti akan Diberikan. Dan berilah syafaat, pasti akan diterima.” Lalu Nabi ﷺ memohon hingga beliau berkata, “Ya Rabb, izinkanlah aku memberi syafaat bagi orang-orang yang hanya mengucapkan Laa ilaaha illallah.”
Kondisi kepuasan Nabi ﷺ adalah ketika beliau berhasil menarik umatnya dari Neraka dan membimbing mereka ke Surga. Ini menunjukkan bahwa ridha ilahi yang diberikan kepada Nabi ﷺ memiliki dimensi kolektif; kepuasan beliau adalah keselamatan kolektif umatnya. Ini memperluas makna kasih sayang Allah, tidak hanya kepada Nabi ﷺ, tetapi melalui Nabi ﷺ, kepada kita semua.
Beberapa mufassirin, seperti Imam Fakhruddin Ar-Razi, menekankan bahwa janji pemberian ini bersifat terus-menerus dan tak terputus. Setiap nikmat baru yang diterima Nabi ﷺ—setiap kemenangan, setiap ayat yang diturunkan, setiap pengangkatan derajat—adalah bagian dari pemenuhan janji *Yu’thika*. Ini mengajarkan bahwa hubungan kita dengan Allah adalah hubungan yang dinamis, di mana pemberian dan rahmat-Nya senantiasa mengalir, melebihi kapasitas kita untuk memintanya.
Surah Ad Dhuha sering kali dikaji berpasangan dengan surah berikutnya, yaitu Surah Al-Insyirah (Alam Nasyrah), karena keduanya memiliki tema yang saling melengkapi.
Jika Ad Dhuha berfungsi sebagai obat untuk kesedihan eksternal (ejekan, jeda wahyu, keraguan akan ditinggalkan), maka Al-Insyirah adalah obat untuk kesedihan internal (tekanan misi kenabian, dada yang sesak). Keduanya diturunkan dalam periode yang berdekatan di Mekah untuk tujuan yang sama: menguatkan hati Nabi ﷺ.
Surah Al-Insyirah menegaskan janji optimisme yang sudah dimulai di Ad Dhuha melalui ayat: *Fa inna ma'al 'usri yusra, inna ma'al 'usri yusra* (Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan). Ad Dhuha menjanjikan bahwa terang (Dhuha) akan datang; Al-Insyirah memberikan kepastian bahwa kemudahan datang bersamaan dengan kesulitan itu sendiri, bukan hanya setelahnya. Kedua surah ini adalah sepasang jaminan ilahi bagi setiap hamba yang berjuang.
Ayat-ayat etis dalam Ad Dhuha (mengenai yatim dan peminta) memiliki korelasi tematik yang kuat dengan Surah Al-Ma'un. Al-Ma'un secara tegas mengutuk mereka yang mendustakan agama karena mereka menelantarkan anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
Ad Dhuha, yang diturunkan lebih awal, mendidik Nabi ﷺ dan para Sahabat untuk memulai praktik kebaikan tersebut sebagai bentuk syukur. Penindasan terhadap yatim (seperti yang dilarang di Ad Dhuha) adalah ciri khas pendusta agama (yang dikutuk di Al-Ma'un). Ini menunjukkan konsistensi visi Islam: kemuliaan spiritual tidak dapat dipisahkan dari keadilan sosial.
Bagaimana seorang Muslim kontemporer dapat menerapkan pelajaran dari Surah Ad Dhuha dalam kehidupan sehari-hari yang penuh tantangan, mulai dari karir, keluarga, hingga krisis spiritual?
Ketika dihadapkan pada jeda atau ketidakpastian—misalnya, menunggu hasil penting, mencari pekerjaan, atau melalui proses pemulihan penyakit—seorang Muslim harus mengadopsi mentalitas Dhuha:
Ayat 9-11 memberikan program amal yang jelas. Setiap Mukmin harus memiliki komitmen terhadap tiga hal:
Secara tradisional, para ulama menganjurkan peningkatan ibadah yang terkait dengan waktu Dhuha:
Intinya, Surah Ad Dhuha bukanlah hanya tentang sejarah kenabian, melainkan peta jalan spiritual bagi setiap manusia. Ia mengajarkan bahwa krisis adalah bagian dari rencana ilahi yang lebih besar, dan di balik setiap Fatrah (jeda) ada janji *Fatarḍā* (kepuasan) yang menanti.
Meskipun Surah Ad Dhuha secara primer bersifat spiritual dan etis, ia juga mengandung beberapa implikasi hukum dan tata bahasa yang penting untuk dipahami secara menyeluruh.
Ayat kelima, yang menjanjikan kepuasan kepada Nabi ﷺ, menjadi landasan teologis yang kuat bagi konsep Syafaatul Uzhma (syafaat terbesar). Para ulama Aqidah (teologi) menggunakan ayat ini untuk membuktikan bahwa syafaat Nabi Muhammad ﷺ di Hari Kiamat adalah sebuah kepastian ilahi dan bagian dari *Maqam Mahmud*. Penolakan terhadap syafaat Nabi ﷺ dianggap bertentangan dengan janji eksplisit Allah dalam surah ini.
Perintah *wa ammā bi ni‘mati rabbika fa ḥaddits* (Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutkannya) telah memunculkan diskusi hukum tentang bagaimana seharusnya menampakkan nikmat tanpa jatuh ke dalam riya (pamer) atau kesombongan.
Ayat 6, 7, dan 8 dimulai dengan *Alam* (أَلَمْ), yang merupakan *Istifham Taqriri* (pertanyaan retoris untuk penegasan). Dalam bahasa Arab, pertanyaan yang dimulai dengan negasi seperti "Bukankah Dia...?" berfungsi untuk memaksa pendengar (Nabi ﷺ) untuk menjawab "Ya, tentu saja!" secara internal.
Penggunaan teknik ini secara berturut-turut menciptakan kesan tumpukan argumen yang tak terbantahkan. Allah tidak hanya menyatakan bahwa Dia telah menolong; Dia membuat Nabi ﷺ mengakui pertolongan tersebut di masa lalu, sehingga janji masa depan menjadi lebih meyakinkan. Ini adalah teknik persuasi tertinggi, yang memastikan hati Nabi ﷺ benar-benar tenteram.
Surah Ad Dhuha, dengan arsitektur linguistik dan kedalaman spiritualnya, adalah salah satu surah yang paling menghibur dan memperkuat iman dalam Al-Qur'an. Ia mengubah jeda spiritual menjadi momen klarifikasi ilahi, dan mengubah penderitaan menjadi fondasi bagi tugas etika sosial yang abadi.