Ayat Seribu Dinar, yang merupakan bagian dari Surah At-Talaq ayat 2 dan 3, telah menjadi salah satu ayat Al-Qur’an yang paling terkenal di kalangan umat Islam, terutama yang berkaitan dengan urusan rezeki, kesulitan, dan solusi kehidupan. Julukan "Seribu Dinar" bukanlah nama resmi yang diberikan oleh Allah atau Rasulullah, melainkan nama populer yang lahir dari pengalaman dan kisah nyata para pengamal yang merasa mendapatkan kemudahan rezeki yang luar biasa setelah konsisten mengamalkan ayat ini.
Popularitas ayat ini mencerminkan kebutuhan fundamental manusia: mencari jalan keluar dari kesulitan hidup, terutama masalah finansial, serta keinginan untuk memahami bagaimana hubungan antara ketakwaan dan jaminan rezeki ilahi bekerja. Lebih dari sekadar mantra kekayaan, Ayat Seribu Dinar adalah fondasi tauhid yang mengajarkan konsep ketergantungan total kepada Sang Pencipta setelah melakukan usaha maksimal (ikhtiar).
Kajian mendalam ini akan membawa kita menelusuri makna hakiki dari janji Allah dalam ayat tersebut, memahami konteks turunnya, mengupas tuntas syarat utama yang harus dipenuhi—yaitu taqwa—dan menjelaskan bagaimana rezeki yang dijanjikan itu bukan sekadar materi, melainkan juga ketenangan jiwa, kesehatan, dan keberkahan yang menyeluruh.
Ayat yang dimaksud, Surah At-Talaq (65) ayat 2 dan 3, berbunyi:
“...Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. At-Talaq: 2-3)
Representasi Visual Taqwa dan Rezeki
Untuk memahami kekuatan ayat ini, kita perlu memecahnya menjadi tiga janji utama dan satu syarat fundamental yang diulang-ulang oleh para mufassir (ahli tafsir).
Ini adalah kunci utama. Tanpa taqwa, janji-janji berikutnya tidak akan berlaku secara optimal. Taqwa (ketakwaan) bukan sekadar rasa takut, melainkan kesadaran penuh yang mendorong pelakunya untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Taqwa berarti menjadikan Allah sebagai prioritas dalam setiap keputusan hidup, baik saat sulit maupun saat lapang.
Ulama klasik, seperti Sayyidina Ali bin Abi Thalib, mendefinisikan taqwa sebagai: takut kepada Allah Yang Maha Agung, beramal sesuai dengan Al-Qur’an, merasa cukup dengan rezeki yang sedikit (qana'ah), dan bersiap menghadapi hari perhitungan (akhirat). Ini menunjukkan bahwa taqwa adalah paket komplit yang mencakup hati, lisan, dan perbuatan.
Dalam konteks rezeki, taqwa menuntut kejujuran dalam berbisnis, menghindari riba, menjauhi suap, dan memastikan bahwa sumber nafkah adalah halal. Seseorang yang mengejar kekayaan namun melanggar hukum Allah berarti tidak bertakwa, dan janji rezeki tak terduga dalam ayat ini tidak dapat diklaimnya secara sempurna.
Kata Makhraja berarti tempat keluar, jalan keluar, atau solusi. Ini mencakup segala jenis kesulitan. Baik kesulitan rumah tangga, masalah kesehatan, utang yang menumpuk, atau tekanan pekerjaan. Janji ini bersifat universal, tidak terbatas pada masalah ekonomi semata.
Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ‘jalan keluar’ di sini adalah dari setiap kesulitan dunia dan akhirat. Bagi orang yang bertakwa, Allah akan selalu membukakan solusi ketika ia menghadapi jalan buntu. Ini adalah jaminan ketenangan batin bahwa masalah seberat apapun pasti memiliki akhir yang baik, asalkan ketaqwaan tetap dijaga.
Jalan keluar yang diberikan Allah seringkali tidak terduga oleh nalar manusia. Ia bisa datang dalam bentuk ide yang tiba-tiba muncul, bantuan dari orang yang tidak dikenal, atau perubahan takdir yang sama sekali tidak pernah direncanakan oleh hamba tersebut.
Inilah bagian yang paling menarik perhatian dan yang menjadi dasar penamaan "Seribu Dinar." Laa Yahtasib berarti ‘tidak disangka-sangka’, ‘tidak terhitung’, atau ‘melampaui perkiraan logika manusia’. Ini bukan berarti rezeki datang tanpa usaha sama sekali, melainkan rezeki yang datang melalui jalur yang sama sekali tidak pernah diprediksi atau direncanakan oleh individu tersebut.
Rezeki tak terduga bisa berupa:
Poin pentingnya, rezeki ini terkait langsung dengan kondisi taqwa seseorang. Semakin kuat ketaqwaannya, semakin lebar pintu-pintu rezeki yang tidak terduga itu dibukakan oleh Allah.
Ayat ini menutup dengan menegaskan konsep tawakkal (penyerahan diri total). Tawakkal adalah puncak dari ketaqwaan. Setelah seseorang berusaha (ikhtiar) secara maksimal dan memastikan usahanya halal, ia harus menyerahkan hasilnya sepenuhnya kepada Allah.
Fahuwa Hasbuh artinya Allah akan mencukupi dan melindunginya. Kata ‘cukup’ di sini adalah kunci. Seseorang yang bertawakkal tidak akan pernah merasa kekurangan, meskipun hartanya sedikit, karena ia yakin Allah adalah sebaik-baik pelindung dan penjamin rezeki. Ini membebaskan jiwa dari kecemasan berlebihan terhadap masa depan.
Pemahaman mengenai sebab turunnya Ayat Seribu Dinar sangat penting karena memberikan konteks praktis mengapa Allah menjanjikan hal tersebut. Kisah yang paling masyhur terkait ayat ini adalah kisah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu Auf bin Malik Al-Asyja’i.
Diriwayatkan bahwa putra Auf bin Malik ditangkap oleh musuh (kaum musyrikin). Auf datang kepada Rasulullah SAW dalam keadaan sangat sedih dan mengadukan bahwa putranya telah ditawan, dan ia khawatir ia dan istrinya akan jatuh miskin karena kehilangan tenaga kerja utama mereka. Mereka meminta nasihat dari Nabi.
Nabi SAW bersabda, “Bertakwalah kepada Allah, bersabarlah, dan perbanyaklah membaca 'Laa Haula Walaa Quwwata Illaa Billaah'.”
Namun, dalam riwayat lain yang lebih langsung, Nabi SAW menyuruh Auf dan istrinya untuk konsisten bertakwa kepada Allah, dan membaca dua ayat dari Surah At-Talaq ini. Mereka berdua pun tekun mengamalkan nasihat tersebut.
Tidak lama setelah itu, secara ajaib, putra Auf berhasil melarikan diri dari tawanan. Tidak hanya pulang dengan selamat, ia juga membawa serta kawanan unta dan kambing milik musuh yang dulu menawannya. Ketika kisah ini diceritakan kepada Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Ambillah hewan-hewan itu, sesungguhnya Allah telah memberikan rezeki kepadamu.”
Kisah ini membuktikan bahwa janji Allah dalam ayat tersebut bersifat literal dan mencakup solusi (jalan keluar) dari bahaya (tawanan) serta rezeki tak terduga (unta dan kambing). Ini memperkuat keyakinan umat bahwa jika mereka memenuhi syarat (taqwa dan tawakkal), Allah akan memenuhi janji-Nya.
Mengenai julukan "Seribu Dinar", terdapat kisah populer dari ulama terdahulu. Konon, ada seorang saudagar yang mendapatkan nasihat dari gurunya untuk mengamalkan ayat ini. Ketika saudagar itu sedang berlayar, kapalnya karam. Ia berhasil menyelamatkan diri dengan berpegangan pada sepotong kayu sambil terus melafalkan ayat ini. Setelah terdampar, ia menemukan sebatang kayu yang di dalamnya tersimpan seribu dinar. Inilah salah satu kisah yang paling sering dikaitkan dengan penamaan populernya, meski sekali lagi, nama ini tidak memiliki dasar hadis sahih, melainkan pengalaman spiritual dan keajaiban.
Inti dari Ayat Seribu Dinar adalah hubungan sebab-akibat yang jelas: Taqwa menghasilkan jalan keluar dan rezeki tak terduga. Ini adalah konsep yang diulang berkali-kali dalam Al-Qur'an dan Sunnah, menegaskan bahwa kemakmuran sejati berakar pada hubungan vertikal manusia dengan Tuhannya, bukan semata-mata pada kecerdasan atau modal finansial.
Penting untuk membedakan antara ‘kekayaan’ dan ‘rezeki yang berkah’.
Seseorang yang tidak bertakwa mungkin memiliki harta berlimpah, tetapi hartanya mungkin menjadi sumber masalah: sakit, cekcok keluarga, atau kecemasan. Sementara orang yang bertakwa, meski hartanya sedikit, merasa cukup, tenteram, dan hartanya bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Inilah makna terdalam dari janji *Wayarzuqhu min haithu laa yahtasib*.
Bagaimana mengamalkan taqwa secara konsisten agar janji ini terwujud? Taqwa harus diterapkan dalam tiga dimensi:
Dengan mengintegrasikan ketiga dimensi ini, seorang hamba telah benar-benar mewujudkan makna taqwa yang sesungguhnya, menjadikan dirinya layak menerima janji *makhraja* dan *wayarzuqhu min haithu laa yahtasib*.
Konsep Tawakkal sering disalahpahami sebagai pasrah tanpa usaha. Padahal, tawakkal adalah jembatan antara usaha manusia (ikhtiar) dan hasil yang ditentukan oleh Allah. Ia adalah penyerahan hasil setelah perjuangan maksimal.
Para ulama menyusun rumus sederhana untuk tawakkal yang benar:
Contoh klasik tawakkal adalah kisah unta Nabi SAW. Ketika seorang Badui meninggalkan untanya tanpa diikat, Nabi SAW bertanya mengapa. Orang itu menjawab, "Saya sudah bertawakkal kepada Allah." Nabi SAW bersabda, "Ikatlah dulu untamu, baru bertawakkal." Ini menegaskan bahwa tawakkal harus didahului oleh tindakan pencegahan dan usaha nyata.
Di era modern, kecemasan finansial (khawatir miskin, takut bangkrut) adalah penyakit mental yang umum. Ayat Seribu Dinar menawarkan penyembuhan psikologis yang mendalam melalui tawakkal.
Ketika seseorang ditimpa kesulitan ekonomi atau utang besar, tawakkal yang benar mengajarkan:
Kesempurnaan tawakkal akan menghasilkan ketenangan jiwa yang membuat seseorang dapat mengambil keputusan yang rasional dan terukur, bahkan di tengah badai kesulitan.
Karena popularitasnya, Ayat Seribu Dinar sering diiringi oleh berbagai mitos dan praktik yang menyimpang dari ajaran syariat. Penting untuk mengklarifikasi hal ini agar pengamalan kita sah dan bernilai ibadah.
Klarifikasi: Ayat ini bukanlah jimat yang bekerja secara otomatis hanya dengan dilafalkan berulang kali tanpa perubahan perilaku. Ia adalah janji yang terikat pada syarat fundamental: TAQWA. Jika seseorang membacanya ribuan kali tetapi masih melakukan maksiat (seperti menipu, meninggalkan salat, atau makan riba), janji tersebut tidak akan terwujud dalam bentuk keberkahan yang hakiki.
Klarifikasi: Konsep *Wayarzuqhu min haithu laa yahtasib* tidak menghilangkan kewajiban ikhtiar. Rezeki datang 'dari arah yang tidak disangka-sangka' *setelah* taqwa dan tawakkal dilakukan, yang mana tawakkal sendiri mensyaratkan usaha. Ini berarti rezeki tidak terduga itu melengkapi usaha yang sudah dilakukan, bukan menggantikannya.
Klarifikasi: Rezeki yang dijanjikan dalam ayat ini jauh lebih luas dari sekadar uang. Ini adalah janji untuk mencukupkan *semua* keperluan hamba. Seringkali, rezeki terbesar yang diberikan Allah kepada hamba yang bertakwa adalah berupa waktu, ilmu yang bermanfaat, keluarga harmonis, atau keberanian menghadapi cobaan. Nilai-nilai ini, bagi orang yang beriman, jauh lebih berharga daripada seribu dinar sekalipun.
Klarifikasi: Meskipun banyak ulama menganjurkan membacanya dalam jumlah tertentu (misalnya 7 kali setelah salat), tidak ada hadis sahih yang menetapkan jumlah wajib tertentu untuk pengamalan Ayat Seribu Dinar. Yang terpenting adalah konsistensi, penghayatan makna, dan penerapan taqwa dalam kehidupan sehari-hari. Penetapan jumlah bacaan hanyalah metode dzikir, bukan syarat mutlak keabsahan janji Allah.
Bagaimana kita mengintegrasikan semangat Ayat Seribu Dinar ke dalam kehidupan yang serba cepat dan kompleks saat ini?
Jika terjerat utang (kesulitan yang membutuhkan *makhraja*), pengamalan ayat ini menjadi sangat relevan. Mulailah dengan bertaubat dari semua sumber pendapatan haram. Hitung utang dengan jujur. Berjanji di hadapan Allah untuk melunasinya. Kemudian, perbanyaklah dzikir ayat ini dengan niat tulus memohon jalan keluar. Usaha (ikhtiar) Anda adalah mencari penghasilan tambahan dan melakukan negosiasi yang jujur dengan kreditur. Tawakkal adalah percaya bahwa Allah akan memudahkan pelunasan dari arah yang tak terduga.
Bagi para pebisnis, taqwa berarti memastikan produk dan layanan yang dijual halal, menunaikan zakat dengan benar, dan tidak mengurangi timbangan atau menipu pelanggan. Ketika taqwa diterapkan dalam etika bisnis, meskipun keuntungan yang didapat tampak biasa, keberkahannya akan terasa luar biasa—bisnis stabil, karyawan loyal, dan ketenangan hati saat menjalankan usaha. Rezeki tak terduga bisa berupa relasi bisnis yang datang tanpa diundang atau ide inovasi yang membawa lompatan besar.
Rezeki terbesar yang bisa diberikan kepada anak cucu bukanlah uang tunai semata, tetapi ketaqwaan. Ayat ini mengajarkan bahwa bekal terbaik yang bisa kita tinggalkan bagi keturunan adalah keteladanan dalam bertakwa dan bertawakkal. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai hamba yang bertakwa, yang merasa cukup (qana’ah) dan yang tidak dikenal.” Ini adalah warisan ketenangan jiwa.
Taqwa juga mencakup penggunaan akal dan potensi yang diberikan Allah. Bertakwa dalam mencari ilmu berarti bersungguh-sungguh, jujur dalam penelitian, dan menggunakan ilmu itu untuk kemaslahatan umat. Rezeki tak terduga bagi seorang ilmuwan bisa berupa penemuan penting yang memberikan manfaat besar bagi dunia, yang sekaligus mendatangkan kehormatan dan materi.
Sebagaimana janji Allah bagi yang bertakwa itu jelas, maka ancaman bagi yang berpaling dari taqwa juga tegas. Memahami kontras ini membantu kita menghargai betapa besarnya nilai ketaqwaan yang disyaratkan dalam Ayat Seribu Dinar.
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Ma'idah ayat 54: “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” Ayat ini menunjukkan bahwa keberkahan, yang merupakan inti dari rezeki berkualitas, diangkat ketika taqwa ditinggalkan.
Seseorang mungkin mendapatkan gaji besar (secara kuantitas), tetapi jika ia tidak bertakwa, gajinya seakan cepat habis, selalu ada keperluan mendesak yang tak terduga, atau hartanya justru menjadi sumber penyakit. Inilah yang disebut kehilangan berkah (Mahqul Barakah).
Kebalikan dari *Yaj’al Lahu Makhraja* adalah merasakan setiap jalan tertutup. Orang yang jauh dari taqwa akan merasa masalahnya semakin rumit dan berlapis. Ketika ia mencoba menyelesaikan satu masalah, muncul dua masalah baru. Ini terjadi karena ia berusaha menyelesaikan masalah dengan logikanya sendiri, tanpa melibatkan sandaran yang Maha Kuasa. Kesulitan hidup baginya hanya akan menambah tekanan, bukan menjadi ujian yang mendewasakannya.
Ironi terbesar bagi orang yang tidak bertakwa adalah perasaan miskin meskipun memiliki segalanya. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kekayaan (sejati) bukanlah karena banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari dan Muslim). Orang yang tidak bertakwa selalu merasa kurang, terus-menerus mengejar kekayaan berikutnya, dan tidak pernah puas. Inilah bentuk azab duniawi, di mana Allah tidak mencukupkan jiwanya, meskipun hartanya berlimpah. Inilah yang dihindari oleh tawakkal sejati.
Ayat ini bukan sekadar petunjuk praktis mencari uang, melainkan pilar teologis yang menegaskan sifat-sifat Allah dan hubungan-Nya dengan takdir manusia.
Bagian ayat yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya,” adalah pengingat bahwa takdir Allah pasti terjadi dan tidak ada satu pun kekuatan di alam semesta ini yang dapat menghalanginya. Ketika kita bertawakkal, kita menyerahkan urusan kita kepada Dzat yang kepastian kehendak-Nya tak terbatas. Hal ini memberikan kekuatan batin yang luar biasa, menghilangkan keraguan dan ketakutan.
Ayat ditutup dengan, “Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” Ini adalah penegasan tentang prinsip takdir (qadar). Setiap rezeki, setiap kesulitan, setiap jalan keluar, telah ditetapkan ukurannya oleh Allah. Ini tidak meniadakan usaha, tetapi memastikan bahwa semua hasil berada dalam kontrol Ilahi yang sempurna.
Bagi pengamal Ayat Seribu Dinar, prinsip ini mengajarkan penerimaan (rida). Jika hasil ikhtiar dan tawakkal belum sesuai harapan, itu berarti ketentuan Allah (qadar) memiliki hikmah lain yang lebih besar. Ini mencegah keputusasaan dan memastikan konsistensi dalam ketaqwaan.
Ayat ini secara eksplisit menghubungkan ketaqwaan dengan rezeki dari arah 'gaib' atau tidak terduga. Ini mengajarkan bahwa ada mekanisme rezeki yang melampaui hukum sebab-akibat materi (fisika dan ekonomi). Sementara usaha (ikhtiar) bekerja dalam wilayah fisik, taqwa adalah kunci yang membuka koneksi ke wilayah metafisika, tempat rezeki yang luar biasa itu berasal.
Dalam tafsir kontemporer, hal ini sering dihubungkan dengan konsep 'Barakah' (keberkahan). Barakah adalah energi spiritual yang membuat sedikit menjadi banyak, yang sulit menjadi mudah. Barakah ini hanya dapat diundang melalui ketaatan dan kepatuhan (taqwa).
Janji Allah ini tidak terbatas pada masa Auf bin Malik, tetapi berlaku sepanjang zaman. Banyak testimoni umat yang membuktikan kebenaran Ayat Seribu Dinar ketika mereka benar-benar mengamalkan taqwa dan tawakkal.
Seorang pengusaha kecil di bidang makanan menghadapi kesulitan besar ketika ia memutuskan untuk membersihkan modal usahanya dari utang bank ribawi. Secara logika, ia harus menjual aset dan menghadapi kerugian besar. Ia memilih untuk bertakwa, meninggalkan riba, dan konsisten membaca Ayat Seribu Dinar sambil bersedekah secara rutin meskipun uangnya sedikit.
Dalam waktu enam bulan, seorang investor besar, yang tidak ia kenal sama sekali dan hanya mendengar reputasi kejujurannya (taqwa), tiba-tiba menawarkan modal tanpa bunga dan syarat kemitraan yang sangat adil. Utangnya lunas, dan bisnisnya melompat jauh ke level nasional. Rezeki itu datang murni dari arah kejujurannya, bukan dari presentasi bisnis yang ia buat. Inilah contoh sempurna *Wayarzuqhu Min Haithu Laa Yahtasib*.
Seorang mahasiswa yang sedang menghadapi ujian akhir yang sangat sulit dan merasa tertekan secara akademik, menerapkan taqwa dengan sungguh-sungguh: menjaga salat malam, berbakti kepada orang tua, dan menjauhi pergaulan yang melalaikan. Secara ikhtiar, ia belajar maksimal. Namun, ia tetap merasa kurang siap.
Pada saat ujian tiba, ia mendapatkan soal yang ternyata merupakan materi yang baru semalam ia pelajari secara mendalam, padahal materi itu biasanya tidak keluar. Ini adalah rezeki dalam bentuk ilmu dan kemudahan. Jalan keluar (*makhraja*) yang ia dapatkan bukan berupa uang, melainkan kesuksesan akademik yang memudahkannya menuju masa depan yang cerah.
Sebuah pasangan suami istri yang terus-menerus bertengkar dan hampir bercerai memutuskan untuk kembali kepada Allah. Mereka berdua bersepakat untuk meningkatkan taqwa bersama, terutama dalam hal kejujuran finansial dan menjaga ibadah. Mereka merutinkan membaca Ayat Seribu Dinar setiap hari, tidak hanya untuk rezeki materi, tetapi untuk rezeki ketenangan batin.
Perlahan, kedamaian mulai kembali. Meskipun kondisi ekonomi mereka tidak berubah drastis, suasana hati dan komunikasi mereka membaik. Mereka menyadari bahwa rezeki terpenting yang Allah berikan adalah *makhraja* dari konflik rumah tangga dan rezeki berupa *sakinah* (ketenangan) yang tak ternilai harganya. Allah mencukupkan keperluan mereka (Fahuwa Hasbuh) dengan memberikan cinta dan pengertian.
Ayat Seribu Dinar adalah janji yang agung, namun janji ini membutuhkan komitmen yang berkelanjutan. Ia bukan solusi sekali pakai, melainkan gaya hidup yang didasarkan pada keistiqamahan dalam taqwa dan tawakkal. Tugas kita bukanlah menghitung jumlah dinar yang akan datang, melainkan memastikan kualitas taqwa kita hari demi hari.
Marilah kita kembali kepada esensi ayat ini: Fokuslah pada apa yang ada dalam kontrol kita—yaitu ketaatan dan usaha yang halal. Hasilnya, rezeki yang tidak terduga, jalan keluar dari masalah, dan kecukupan jiwa, biarlah menjadi urusan dan jaminan Allah SWT. Dengan demikian, kita menjalani hidup bukan dalam kekhawatiran, tetapi dalam keyakinan yang teguh kepada Yang Maha Pemberi Rezeki.
Sungguh, barangsiapa bertakwa, Allah akan selalu membukakan pintu kebaikan, dunia dan akhirat. Inilah kekayaan sejati yang melampaui nilai seribu dinar.
***
Untuk mendalami tafsir lebih lanjut, dianjurkan untuk merujuk pada karya-karya mufassir seperti Tafsir At-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, dan Tafsir Al-Maraghi yang menjelaskan konteks Surah At-Talaq secara keseluruhan, yang sebagian besar berbicara tentang hukum perceraian dan hak-hak istri yang ditalak, sebagai pengingat bahwa bahkan dalam situasi tersulit (perpisahan), taqwa adalah satu-satunya jalan keluar.
Penerapan taqwa dalam hal menjaga hak-hak orang lain, bahkan saat berpisah, adalah cerminan dari taqwa sejati, yang kemudian diganjar dengan janji rezeki universal dalam ayat 2 dan 3 tersebut. Ini menunjukkan bahwa rezeki terbaik datang ketika kita paling adil dan paling taat, bahkan saat kita merasa dirugikan.
Keistiqamahan dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, termasuk dalam detail-detail muamalah dan etika sosial, merupakan penentu utama apakah seorang hamba layak mendapatkan jalan keluar yang mudah (*makhraja*) dan rezeki yang tak disangka-sangka (*min haithu laa yahtasib*).
Ayat Seribu Dinar adalah mercusuar bagi jiwa yang resah, memberikan jaminan bahwa ketergantungan kepada Allah setelah usaha maksimal adalah investasi terbaik yang pernah ada.