Memahami Surah Al Lahab Latin: Bacaan, Terjemahan, dan Tafsir Mendalam

Surah Al-Lahab, yang juga dikenal dengan nama Surah Al-Masad, adalah surah ke-111 dalam mushaf Al-Qur'an. Surah ini tergolong sebagai surah Makkiyah, yang berarti diturunkan di Mekkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Meskipun hanya terdiri dari lima ayat yang sangat singkat, surah ini membawa pesan yang luar biasa kuat, tegas, dan abadi. Ia bukan sekadar catatan sejarah, melainkan sebuah deklarasi ilahi tentang akibat dari permusuhan terhadap kebenaran, serta penegasan bahwa kekuasaan, harta, dan status sosial tidak akan pernah bisa membendung ketetapan Allah SWT. Mempelajari bacaan Al Lahab latin beserta maknanya membuka jendela untuk memahami dinamika awal dakwah Islam dan perlindungan Allah yang tak terbatas kepada utusan-Nya.

Fokus utama surah ini adalah kisah tentang salah satu musuh Islam yang paling keras, yaitu paman Nabi Muhammad SAW sendiri, Abdul Uzza bin Abdul Muthalib, yang lebih dikenal dengan julukan Abu Lahab. Nama "Abu Lahab" sendiri berarti "Bapak dari Api yang Bergejolak", sebuah julukan yang ironisnya menjadi cerminan dari takdir akhiratnya yang dijelaskan dalam surah ini. Bersama istrinya, Ummu Jamil, ia menjadi simbol penentangan yang didasari oleh kesombongan, fanatisme kesukuan, dan kebencian buta. Surah ini turun sebagai jawaban langsung dari langit atas hinaan dan penolakan Abu Lahab terhadap dakwah keponakannya. Oleh karena itu, memahami setiap kata dalam surah ini, mulai dari bacaan Arab hingga transliterasi Al Lahab latin, akan membawa kita pada perenungan mendalam tentang keadilan Tuhan dan kefanaan duniawi.

Ilustrasi Api Sebuah ilustrasi sederhana dari api yang menyala, melambangkan tema utama Surah Al-Lahab.

Simbolisme api dalam Surah Al-Lahab.

Teks Lengkap Surah Al Lahab: Arab, Latin, dan Terjemahan

Berikut adalah bacaan lengkap surah Al-Lahab yang disajikan dalam tiga format: tulisan Arab asli, transliterasi Al Lahab latin untuk membantu pelafalan bagi yang belum lancar membaca aksara Arab, serta terjemahan dalam Bahasa Indonesia untuk memahami maknanya secara langsung.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Bismillahirrahmanirrahim

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.

تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّۗ

1. Tabbat yadā Abī Lahabiw wa tabb.

1. Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia!

مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَۗ

2. Mā agnā 'anhu māluhụ wa mā kasab.

2. Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan.

سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍۙ

3. Sayaṣlā nāran żāta lahab.

3. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka).

وَّامْرَاَتُهٗ ۗحَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ

4. Wamra'atuh, ḥammālatal-ḥaṭab.

4. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).

فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ

5. Fī jīdihā ḥablum mim masad.

5. Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal.

Kupas Tuntas Makna Surah Al Lahab Ayat per Ayat

Untuk menyelami kedalaman pesan ilahi dalam surah ini, mari kita bedah makna yang terkandung dalam setiap ayatnya. Setiap kalimat adalah sebuah pukulan telak terhadap kesombongan dan kezaliman, sekaligus penegasan akan keadilan mutlak dari Allah SWT.

Ayat 1: Tabbat yadā Abī Lahabiw wa tabb (Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa)

Ayat pertama ini adalah sebuah pernyataan kutukan yang sangat kuat dan langsung. Kata "Tabbat" (تَبَّتْ) berasal dari akar kata yang berarti binasa, celaka, merugi, dan hancur lebur. Ini bukan sekadar doa keburukan, melainkan sebuah proklamasi atau vonis dari Allah SWT yang bersifat pasti. Penggunaannya di awal surah langsung menetapkan nada yang tegas dan tanpa kompromi.

Frasa "yadā Abī Lahab" (يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ) secara harfiah berarti "kedua tangan Abu Lahab". Dalam sastra Arab, penyebutan "tangan" sering kali merupakan metonimi atau kiasan yang merujuk pada perbuatan, usaha, kekuasaan, dan pengaruh seseorang. Tangan adalah organ yang digunakan untuk bekerja, memegang kekuasaan, dan melancarkan serangan. Dengan mengutuk kedua tangannya, Allah SWT mengutuk seluruh amal perbuatan, kekuasaan, pengaruh, dan segala daya upaya yang dilakukan Abu Lahab untuk menentang dakwah Rasulullah SAW. Kutukan ini mencakup segala aspek kehidupannya yang ia banggakan.

Abu Lahab, yang nama aslinya adalah Abdul Uzza, adalah paman kandung Nabi Muhammad SAW. Ia merupakan salah satu tokoh Quraisy yang paling terpandang, kaya raya, dan memiliki pengaruh besar. Namun, ikatan darah tersebut tidak menghalanginya untuk menjadi penentang dakwah yang paling vokal dan kejam. Ia tidak segan-segan menghina, melempari, dan memprovokasi orang lain untuk memusuhi keponakannya sendiri. Vonis "Tabbat" ini adalah balasan langsung atas permusuhannya yang membabi buta.

Bagian akhir ayat, "wa tabb" (وَتَبَّ), adalah penegasan yang lebih kuat lagi. Jika bagian pertama adalah pernyataan tentang kebinasaan usahanya, maka bagian kedua ini adalah pernyataan tentang kebinasaan dirinya sendiri secara personal. Frasa ini menegaskan bahwa kebinasaan itu bukan hanya menimpa apa yang ia miliki atau lakukan, tetapi juga menimpa esensi dari dirinya. Ia telah dipastikan merugi dan celaka baik di dunia maupun di akhirat. Ayat ini merupakan sebuah mukjizat Al-Qur'an karena ia memprediksi akhir hidup Abu Lahab. Sejak ayat ini turun hingga kematiannya bertahun-tahun kemudian, Abu Lahab tidak pernah memeluk Islam, membuktikan kebenaran firman Allah ini. Ia meninggal dalam keadaan hina setelah menderita penyakit menular yang membuat keluarganya sendiri enggan mengurus jenazahnya.

Ayat 2: Mā agnā 'anhu māluhụ wa mā kasab (Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan)

Setelah menjatuhkan vonis kebinasaan, ayat kedua menjelaskan tentang kefanaan apa yang menjadi sandaran dan kebanggaan Abu Lahab di dunia. Ayat ini menafikan secara total manfaat dari dua hal utama yang menjadi sumber kesombongannya: harta dan usaha.

Frasa "mā agnā 'anhu māluhụ" (مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ) berarti "tidaklah berguna baginya hartanya". Abu Lahab adalah seorang yang sangat kaya. Hartanya melimpah ruah, memberinya status sosial yang tinggi dan kekuasaan di antara kaum Quraisy. Ia mungkin berpikir bahwa dengan kekayaannya, ia bisa membeli pengaruh, membayar orang untuk melawan Nabi, dan pada akhirnya melindungi dirinya dari segala macam ancaman, termasuk ancaman azab Tuhan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Namun, Allah SWT dengan tegas menyatakan bahwa semua harta itu—emas, perak, unta, properti—tidak akan memiliki nilai sedikit pun untuk menolongnya dari ketetapan Allah. Harta tersebut tidak bisa membeli keselamatan, menunda azab, atau menjadi tebusan baginya di akhirat.

Selanjutnya, frasa "wa mā kasab" (وَمَا كَسَبَ) memiliki makna yang lebih luas. Secara harfiah, ia berarti "dan apa yang ia usahakan". Para ulama tafsir memberikan beberapa penafsiran mengenai frasa ini. Pertama, ia merujuk pada segala sesuatu yang dihasilkan dari usahanya, seperti keuntungan bisnis, properti tambahan, dan aset lainnya. Kedua, makna yang lebih dalam mencakup anak-anaknya. Dalam budaya Arab, anak, terutama anak laki-laki, dianggap sebagai "kasab" (hasil usaha) orang tua yang menjadi kebanggaan dan pelindung. Abu Lahab sangat membanggakan anak-anaknya dan menganggap mereka sebagai benteng kekuatannya. Namun, ayat ini menegaskan bahwa bahkan anak-anaknya pun tidak akan bisa menolongnya. Ketiga, "wa mā kasab" juga mencakup kedudukan, jabatan, pengaruh politik, dan semua pencapaian duniawi yang ia raih melalui usahanya. Semua itu akan menjadi sia-sia dan tidak berfaedah di hadapan azab Allah. Ayat ini menjadi pelajaran universal bahwa sandaran sejati bukanlah pada materi, melainkan hanya kepada Allah SWT.

Ayat 3: Sayaṣlā nāran żāta lahab (Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak)

Ayat ketiga memberikan gambaran spesifik mengenai hukuman yang menanti Abu Lahab di akhirat. Ini adalah deskripsi tentang takdirnya yang mengerikan sebagai balasan atas penentangannya di dunia.

Kata "Sayaṣlā" (سَيَصْلٰى) berasal dari kata kerja yang berarti memasuki, merasakan panasnya, atau terbakar di dalam api. Penggunaan awalan "Sa-" (سَ) dalam bahasa Arab menunjukkan kepastian sesuatu yang akan terjadi di masa depan (futuristik). Ini bukanlah kemungkinan, melainkan sebuah keniscayaan yang telah ditetapkan oleh Allah. Nasibnya di akhirat sudah disegel.

Frasa "nāran żāta lahab" (نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ) berarti "api yang memiliki gejolak". Di sinilah letak keindahan dan kekuatan sastra Al-Qur'an (balaghah). Terdapat permainan kata yang sangat kuat antara nama julukan Abu Lahab dengan hukuman yang akan diterimanya. "Abu Lahab" berarti "Bapak Gejolak Api", dan Allah menetapkan bahwa ia akan masuk ke dalam api yang juga memiliki "lahab" (gejolak). Hukuman ini sangat sesuai (setimpal) dengan identitas yang ia sandang. Julukan yang mungkin dulu ia banggakan, kini menjadi deskripsi dari tempat penyiksaannya yang abadi. Ini menunjukkan keadilan Allah yang sempurna, di mana balasan disesuaikan dengan perbuatan dan bahkan identitas pelaku kejahatan itu sendiri. Gejolak api neraka yang digambarkan di sini melambangkan penderitaan yang hebat, terus-menerus, dan tidak pernah padam, sebuah balasan yang setimpal bagi kebencian dan permusuhan yang selalu ia kobarkan terhadap Islam.

Ayat 4: Wamra'atuh, ḥammālatal-ḥaṭab (Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar)

Surah ini tidak hanya mengutuk Abu Lahab seorang diri, tetapi juga menyeret serta istrinya, Ummu Jamil binti Harb, saudara perempuan dari Abu Sufyan. Ini menunjukkan bahwa dalam kejahatan dan permusuhan terhadap dakwah, mereka adalah sekutu yang seiring sejalan. Ayat ini secara spesifik menyebutkan peran dan hukuman bagi sang istri.

"Wamra'atuh" (وَامْرَاَتُهٗ) berarti "dan istrinya". Penyebutan ini penting untuk menunjukkan bahwa dosa dan tanggung jawab bersifat individual, namun persekongkolan dalam kejahatan akan mendapatkan balasan bersama. Ummu Jamil adalah seorang wanita bangsawan dari klan Bani Umayyah, memiliki status sosial yang tinggi. Namun, sama seperti suaminya, status tersebut tidak melindunginya dari murka Allah.

Julukan yang diberikan kepadanya, "ḥammālatal-ḥaṭab" (حَمَّالَةَ الْحَطَبِ), secara harfiah berarti "sang pembawa kayu bakar". Para mufasir memberikan dua penafsiran utama yang saling melengkapi.
Penafsiran pertama (makna kiasan): "Pembawa kayu bakar" adalah sebuah idiom dalam bahasa Arab untuk menyebut penyebar fitnah, pengadu domba, dan orang yang suka menyulut permusuhan. Ummu Jamil sangat aktif dalam menyakiti Nabi Muhammad SAW dengan lisannya. Ia menyebarkan gosip-gosip keji, membuat syair-syair yang menghina Nabi, dan mengadu domba di antara masyarakat Mekkah untuk membangkitkan kebencian terhadap Islam. Perbuatannya diibaratkan seperti seseorang yang mengumpulkan kayu bakar lalu melemparkannya ke dalam api agar api itu semakin besar dan berkobar. Ia adalah provokator yang menyalakan api permusuhan.
Penafsiran kedua (makna harfiah): Sebagian ulama juga menafsirkan frasa ini secara harfiah. Di akhirat kelak, ia benar-benar akan menjadi pembawa kayu bakar di neraka. Ia akan mengumpulkan kayu-kayu berduri dari neraka dan melemparkannya ke api yang menyiksa suaminya, Abu Lahab, untuk menambah penderitaan dan siksanya. Ini akan menjadi tugas abadinya di neraka, sebuah pemandangan yang sangat menghinakan bagi seorang wanita yang dulunya adalah bangsawan terpandang. Kedua makna ini menunjukkan betapa besar dosa dan peran Ummu Jamil dalam menentang Islam.

Ayat 5: Fī jīdihā ḥablum mim masad (Yang di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal)

Ayat terakhir ini memberikan detail yang lebih spesifik dan mengerikan tentang hukuman yang akan diterima oleh Ummu Jamil. Ini adalah gambaran visual yang sangat kuat tentang kehinaan dan penderitaan abadi.

Frasa "Fī jīdihā" (فِيْ جِيْدِهَا) berarti "di lehernya". Kata yang digunakan untuk leher adalah "jīd" (جِيْد), yang dalam bahasa Arab biasanya digunakan untuk menggambarkan leher yang jenjang dan indah, sering kali dihiasi dengan kalung permata yang mahal. Ummu Jamil dikenal suka memakai kalung mewah yang menunjukkan kekayaan dan statusnya. Penggunaan kata "jīd" di sini menciptakan sebuah ironi yang tajam. Leher yang dulu ia banggakan dan hiasi dengan perhiasan dunia, di akhirat akan menjadi tempat di mana tali siksaan diikatkan.

Tali siksaan itu dideskripsikan sebagai "ḥablum mim masad" (حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ), yang berarti "tali dari sabut yang dipintal". "Masad" merujuk pada sabut atau serat kasar yang diambil dari pelepah pohon kurma, yang kemudian dipintal menjadi tali yang sangat kuat dan kasar. Ini adalah jenis tali yang paling sederhana dan rendah nilainya. Gambaran ini sangat kontras dengan kalung mewah yang biasa ia kenakan. Allah akan mengganti perhiasan kebanggaannya dengan tali siksaan yang paling kasar dan menghinakan. Tali ini akan melilit lehernya dengan kencang, menyeretnya ke dalam api neraka, atau digunakan untuk memikul kayu bakar. Gambaran ini melambangkan kehinaan total, di mana semua kemegahan duniawinya dilucuti dan diganti dengan simbol perbudakan dan penderitaan yang abadi. Ini adalah balasan yang setimpal atas kesombongannya dan kejahatannya di dunia.

Konteks Sejarah: Kisah di Balik Turunnya Surah Al Lahab

Memahami Asbabun Nuzul atau sebab-sebab turunnya sebuah surah sangat penting untuk menangkap pesan dan konteksnya secara utuh. Surah Al-Lahab turun sebagai respons langsung terhadap sebuah peristiwa spesifik yang menandai fase baru dalam dakwah Nabi Muhammad SAW, yaitu fase dakwah secara terang-terangan.

Setelah sekitar tiga tahun berdakwah secara sembunyi-sembunyi, Allah SWT menurunkan perintah kepada Nabi Muhammad SAW melalui Surah Asy-Syu'ara ayat 214: "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." Menindaklanjuti perintah ini, Rasulullah SAW naik ke atas Bukit Shafa di Mekkah. Bukit ini adalah lokasi strategis yang biasa digunakan untuk membuat pengumuman penting kepada seluruh penduduk.

Beliau kemudian berseru memanggil suku-suku Quraisy satu per satu, "Wahai Bani Fihr! Wahai Bani 'Adi! Wahai Bani Abdi Manaf!" dan seterusnya, hingga seluruh klan penting dari suku Quraisy berkumpul di hadapannya. Mereka yang tidak bisa hadir mengirimkan utusan untuk mendengarkan apa yang akan disampaikan.

Setelah semua berkumpul, termasuk paman-pamannya seperti Abu Thalib, Hamzah, Al-Abbas, dan Abu Lahab, Nabi Muhammad SAW memulai pembicaraannya dengan sebuah pertanyaan cerdas untuk menguji kredibilitasnya. Beliau bertanya, "Bagaimana pendapat kalian, seandainya aku memberitahukan kepada kalian bahwa ada pasukan berkuda di balik lembah ini yang bersiap menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?"

Mereka semua serempak menjawab, "Tentu kami percaya. Kami tidak pernah sekalipun mendapati engkau berdusta." Jawaban ini adalah pengakuan kolektif atas kejujuran dan integritas Nabi Muhammad SAW, yang sejak lama telah bergelar Al-Amin (Yang Terpercaya).

Setelah mendapatkan pengakuan tersebut, Rasulullah SAW melanjutkan ke inti pesannya. Beliau bersabda, "Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian, di hadapanku ada azab yang sangat pedih. Aku mengajak kalian untuk beriman kepada Allah Yang Maha Esa dan meninggalkan penyembahan berhala."

Mendengar pernyataan ini, suasana menjadi tegang. Ajakan untuk meninggalkan tradisi nenek moyang dan hanya menyembah satu Tuhan adalah sesuatu yang radikal bagi mereka. Di tengah keheningan itu, muncullah reaksi paling kasar dan menghina dari paman beliau sendiri, Abu Lahab. Dengan wajah memerah karena marah, ia berdiri dan berteriak kepada Nabi Muhammad SAW, "Tabban laka sā'iral yaum! A li hāżā jama'tanā?" yang artinya, "Celakalah engkau sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?"

Hinaan ini sangat menyakitkan. Kata "Tabban laka" adalah umpatan yang sangat kasar. Ironisnya, umpatan inilah yang kemudian dibalikkan oleh Allah SWT dan diabadikan dalam Al-Qur'an. Tidak lama setelah peristiwa tersebut, Allah SWT menurunkan Surah Al-Lahab sebagai jawaban langsung dari langit. Allah mengambil alih pembelaan terhadap utusan-Nya. Jika Abu Lahab mengatakan "Tabban laka" (Celakalah engkau), maka Allah menjawab dengan firman-Nya, "Tabbat yadā Abī Lahab" (Binasalah kedua tangan Abu Lahab). Jawaban ilahi ini tidak hanya membela kehormatan Nabi, tetapi juga menetapkan vonis abadi bagi Abu Lahab dan istrinya, menunjukkan bahwa permusuhan terhadap utusan Allah adalah permusuhan terhadap Allah itu sendiri.

Ibrah dan Pelajaran Berharga dari Surah Al Lahab

Meskipun surah ini berbicara tentang figur spesifik di masa lalu, pelajaran dan hikmah yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan relevan sepanjang masa. Berikut adalah beberapa ibrah penting yang dapat kita petik dari Surah Al-Lahab:

Kesimpulan: Refleksi Akhir dari Surah Al Lahab

Surah Al-Lahab, dengan segala ketegasan dan keringkasannya, adalah sebuah cermin. Ia mencerminkan akhir yang menyedihkan bagi siapa saja yang memilih kesombongan dan penentangan di atas kebenaran. Kisah Abu Lahab dan Ummu Jamil bukanlah sekadar dongeng masa lalu, melainkan sebuah arketipe—pola dasar tentang permusuhan terhadap risalah ilahi yang akan selalu ada di setiap zaman. Dengan mempelajari surah ini, termasuk memahami bacaan Al Lahab latin dan tafsirnya, kita diajak untuk merenung.

Kita belajar bahwa ikatan sejati bukanlah ikatan darah, melainkan ikatan akidah. Kita diingatkan bahwa segala kemegahan dunia yang kita kejar—harta, status, dan pengaruh—akan menjadi debu tak berarti jika tidak dilandasi iman kepada Allah. Dan yang terpenting, kita disadarkan akan keadilan Tuhan yang absolut, di mana setiap perbuatan akan mendapatkan balasan yang setimpal, cepat atau lambat.

Semoga dengan memahami surah ini, kita dapat mengambil pelajaran berharga untuk senantiasa berada di barisan para pembela kebenaran, bukan penentangnya, dan semoga Allah SWT melindungi kita dari sifat-sifat tercela seperti kesombongan dan kebencian yang telah menghancurkan Abu Lahab dan keluarganya.

🏠 Kembali ke Homepage