Panduan Lengkap Sunnah Sebelum Sholat Idul Fitri
Menyempurnakan Hari Kemenangan dengan Mengikuti Jejak Rasulullah ﷺ
Idul Fitri, hari yang agung, adalah momen puncak dari perjalanan spiritual selama sebulan penuh di bulan Ramadhan. Ia adalah hari kemenangan, hari kembali kepada fitrah, dan hari di mana sukacita dan rasa syukur memancar dari hati setiap muslim. Untuk menyambut hari yang istimewa ini, Islam tidak hanya menetapkan sholat Id sebagai ritual utamanya, tetapi juga membingkainya dengan serangkaian amalan sunnah yang indah dan penuh makna. Sunnah-sunnah ini, yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ, bukanlah sekadar formalitas, melainkan sebuah cara untuk menyempurnakan ibadah, memperdalam rasa syukur, dan menjadikan hari kemenangan ini lebih bermakna di hadapan Allah SWT.
Mengamalkan sunnah sebelum sholat Idul Fitri adalah bentuk cinta dan ketaatan kita kepada Nabi Muhammad ﷺ. Setiap langkah, setiap gerakan, dan setiap ucapan yang kita lakukan meneladani beliau akan bernilai ibadah dan menambah keberkahan. Dari mulai membersihkan diri, berhias, hingga menggemakan takbir, semuanya adalah bagian dari syiar Islam yang menunjukkan keagungan hari raya. Artikel ini akan mengupas secara mendalam dan menyeluruh mengenai sunnah-sunnah yang dianjurkan untuk kita amalkan sebelum berangkat menunaikan sholat Idul Fitri, lengkap dengan hikmah dan makna spiritual di baliknya.
1. Mandi dan Membersihkan Diri (Ghusl)
Sunnah pertama dan yang paling mendasar sebelum berangkat sholat Idul Fitri adalah melakukan mandi besar atau ghusl. Ini bukan sekadar mandi biasa untuk membersihkan kotoran fisik, melainkan sebuah ritual penyucian yang memiliki dimensi spiritual yang sangat dalam. Sebagaimana kita telah membersihkan jiwa kita dari dosa dan noda melalui puasa, qiyamullail, dan zakat fitrah selama Ramadhan, maka mandi di pagi hari Idul Fitri menjadi simbol penyucian fisik yang melengkapi kebersihan spiritual tersebut.
Makna Spiritual di Balik Mandi Idul Fitri
Mandi pada hari raya Idul Fitri melambangkan kelahiran kembali. Setelah sebulan ditempa dalam madrasah Ramadhan, seorang muslim diibaratkan seperti bayi yang baru lahir, bersih dari dosa. Air yang mengalir ke seluruh tubuh seolah-olah menghanyutkan sisa-sisa kelalaian dan mempersiapkan diri untuk menghadap Allah dalam keadaan yang paling suci dan bersih, baik lahir maupun batin. Ini adalah manifestasi fisik dari keadaan fitrah (suci) yang menjadi esensi dari Idul Fitri itu sendiri. Dengan niat yang tulus, setiap tetes air yang membasahi tubuh akan menjadi saksi kesiapan kita untuk merayakan kemenangan dengan cara yang diridhai-Nya.
Dasar Anjuran dan Waktu Pelaksanaan
Anjuran untuk mandi pada hari raya didasarkan pada atsar (riwayat) dari para sahabat Nabi. Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma, seorang sahabat yang sangat gigih dalam meneladani sunnah Nabi, selalu mandi pada hari Idul Fitri sebelum berangkat ke tanah lapang untuk sholat. Praktik ini diikuti oleh banyak sahabat lain dan para ulama salaf, menjadikannya sebuah sunnah yang sangat dianjurkan (mustahabb).
Mengenai waktunya, para ulama memiliki beberapa pandangan. Waktu yang paling utama adalah setelah terbit fajar pada pagi hari Idul Fitri. Namun, jika seseorang mandi sebelum fajar karena khawatir tidak sempat atau karena alasan lainnya, hal itu pun dianggap sah. Esensinya adalah memastikan diri dalam keadaan bersih dan segar saat hendak melaksanakan ibadah sholat Id, sebuah pertemuan agung bersama kaum muslimin lainnya.
2. Berhias dan Mengenakan Pakaian Terbaik
Setelah menyucikan diri dengan mandi, sunnah berikutnya adalah berhias dan mengenakan pakaian yang terbaik. Idul Fitri adalah hari raya, hari kebahagiaan. Islam mengajarkan umatnya untuk menampakkan kegembiraan tersebut sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat Allah. Berpenampilan rapi, bersih, dan indah adalah salah satu cara mengekspresikan rasa syukur tersebut.
Pakaian Terbaik, Bukan Pakaian Termahal
Penting untuk dipahami bahwa "pakaian terbaik" tidak selalu berarti pakaian yang baru atau yang paling mahal. Makna "terbaik" di sini adalah pakaian terbaik yang kita miliki, yang paling bersih, paling rapi, dan paling pantas untuk digunakan pada hari yang agung. Hal ini menunjukkan bahwa sunnah ini dapat diamalkan oleh semua orang, tanpa memandang status ekonomi. Seseorang yang hanya memiliki dua helai pakaian, hendaknya memilih yang lebih bersih dan lebih baik di antara keduanya untuk dikenakan pada hari raya. Semangatnya adalah menghormati hari raya dan menampakkan nikmat Allah sesuai dengan kemampuan masing-masing, bukan untuk pamer atau berbangga diri.
Diriwayatkan dari Al-Hasan bin Ali radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: "Rasulullah ﷺ memerintahkan kami pada dua hari raya untuk memakai pakaian terbaik yang kami punya, memakai wewangian terbaik yang kami punya, dan berkurban dengan hewan termahal yang kami punya."
Riwayat ini, meskipun memiliki diskusi di kalangan ulama hadits mengenai sanadnya, selaras dengan praktik para sahabat seperti Ibnu Umar yang selalu mengenakan pakaian terindahnya saat Idul Fitri. Ini menunjukkan bahwa berpenampilan baik di hari raya adalah bagian dari syiar Islam.
Adab Berhias bagi Pria dan Wanita
Bagi pria, disunnahkan untuk mengenakan pakaian yang bersih, rapi, dan diutamakan berwarna putih jika ada, karena Nabi ﷺ menyukai pakaian berwarna putih. Selain itu, merapikan rambut, memotong kuku, dan menjaga kebersihan secara umum adalah bagian dari adab berhias ini.
Bagi wanita, anjuran untuk mengenakan pakaian terbaik juga berlaku, namun harus tetap dalam koridor syariat. Pakaian terbaik bagi seorang muslimah adalah pakaian yang menutup aurat dengan sempurna, tidak ketat, tidak transparan, dan tidak menyerupai pakaian laki-laki. Berhias boleh dilakukan, namun tidak boleh berlebihan (tabarruj) hingga menarik perhatian laki-laki yang bukan mahramnya saat keluar rumah menuju tempat sholat. Kecantikan dan perhiasan seorang muslimah di hari raya ditujukan untuk merayakan nikmat Allah dalam batas-batas yang telah ditentukan, menjaga kemuliaan dan kehormatan dirinya.
3. Memakai Wangi-Wangian (Parfum)
Melengkapi kebersihan diri dan keindahan pakaian, memakai wangi-wangian adalah sunnah lain yang sangat dianjurkan. Rasulullah ﷺ sangat menyukai aroma yang harum dan kebersihan adalah sebagian dari iman. Menggunakan parfum atau minyak wangi pada hari raya sejalan dengan semangat untuk menampilkan yang terbaik dalam segala hal, termasuk aroma tubuh.
Hikmah Menggunakan Wewangian
Menggunakan wewangian memiliki beberapa hikmah. Pertama, ia menyempurnakan penampilan dan kebersihan diri, membuat seseorang merasa lebih segar dan percaya diri. Kedua, dalam perkumpulan besar seperti sholat Id, aroma yang harum akan menciptakan suasana yang lebih nyaman dan menyenangkan bagi semua orang, menghindari bau yang tidak sedap. Ketiga, ini adalah bentuk penghormatan terhadap majelis ibadah dan kaum muslimin lainnya. Kita datang ke tempat sholat dalam keadaan terbaik, tidak hanya secara visual tetapi juga secara indrawi.
Perbedaan Adab bagi Pria dan Wanita
Sama seperti dalam hal berhias, terdapat perbedaan adab dalam menggunakan wewangian bagi pria dan wanita. Bagi pria, sangat dianjurkan untuk memakai parfum, terutama yang non-alkohol, pada pakaian dan tubuhnya sehingga aromanya tercium. Ini adalah bagian dari syiar dan kegembiraan di hari raya.
Adapun bagi wanita, jika ia sholat di rumah atau merayakan Idul Fitri di lingkungan mahramnya, ia boleh memakai wewangian yang ia sukai. Namun, jika ia hendak keluar rumah untuk sholat Id di tanah lapang atau masjid, para ulama mengingatkan agar ia tidak memakai parfum yang aromanya semerbak hingga dapat tercium oleh laki-laki non-mahram. Hal ini untuk menjaga fitnah dan sejalan dengan perintah untuk tidak ber-tabarruj. Cukup baginya menjaga kebersihan diri dan aroma alami tubuhnya yang bersih setelah mandi.
4. Makan Sebelum Berangkat Sholat Idul Fitri
Ini adalah salah satu sunnah yang paling khas dan spesifik untuk Idul Fitri, yang membedakannya dari Idul Adha. Sangat dianjurkan bagi seorang muslim untuk makan atau sarapan terlebih dahulu sebelum ia berangkat untuk menunaikan sholat Idul Fitri.
Dasar Hadits dan Praktik Nabi
Sunnah ini didasarkan pada hadits yang sangat jelas dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, yang berkata:
"Rasulullah ﷺ tidaklah berangkat (ke tanah lapang) pada hari Idul Fitri hingga beliau memakan beberapa butir kurma." Dalam riwayat lain disebutkan, "Dan beliau memakannya dalam jumlah ganjil." (HR. Bukhari)
Hadits ini menunjukkan betapa Rasulullah ﷺ menjaga kebiasaan ini. Beliau tidak akan meninggalkan rumahnya untuk sholat Idul Fitri sebelum memastikan beliau telah membatalkan "puasa" hari itu dengan makan beberapa butir kurma.
Hikmah di Balik Sunnah Makan Terlebih Dahulu
Ada beberapa hikmah agung di balik sunnah ini. Pertama, sebagai penanda berakhirnya Ramadhan. Dengan makan di pagi hari sebelum sholat, kita secara tegas menyatakan bahwa hari itu adalah hari raya, hari di mana berpuasa diharamkan. Ini adalah bentuk ketaatan kepada perintah Allah untuk berbuka setelah sebulan penuh berpuasa. Kedua, untuk menepis anggapan bahwa seseorang masih harus berpuasa hingga selesai sholat Id. Sunnah ini mematahkan anggapan keliru tersebut. Ketiga, sebagai sumber energi. Setelah makan, tubuh akan memiliki energi yang cukup untuk berjalan menuju tempat sholat, melaksanakan sholat, mendengarkan khutbah, dan bersilaturahmi sesudahnya. Keempat, yang terpenting, adalah sebagai bentuk meneladani Rasulullah ﷺ (ittiba'), yang merupakan sumber dari segala keberkahan.
Kurma dan Jumlah Ganjil
Nabi Muhammad ﷺ memilih kurma untuk sarapannya di hari Idul Fitri. Ini menunjukkan keutamaan buah kurma, yang manis, kaya nutrisi, dan mudah dicerna. Jika kurma tidak tersedia, seseorang bisa makan makanan ringan lainnya yang halal. Namun, jika memungkinkan, mendahulukan kurma adalah yang paling utama. Anjuran untuk memakannya dalam jumlah ganjil (satu, tiga, lima, dan seterusnya) adalah bagian dari kesempurnaan meneladani sunnah Nabi, meskipun hikmah pastinya hanya Allah yang mengetahui. Mengamalkannya adalah wujud kepatuhan dan kecintaan kita pada detail-detail ajaran beliau.
5. Mengumandangkan Takbir
Takbir adalah syiar terbesar pada hari raya. Gema "Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, La ilaha illallah, Wallahu Akbar, Allahu Akbar, Wa lillahil hamd" yang membahana di pagi hari Idul Fitri adalah proklamasi kemenangan, pengagungan terhadap Allah, dan ungkapan syukur yang tiada tara atas nikmat menyelesaikan ibadah Ramadhan.
Waktu Memulai dan Mengakhiri Takbir Idul Fitri
Waktu untuk mengumandangkan takbir Idul Fitri dimulai sejak terbenamnya matahari pada malam terakhir Ramadhan (malam Idul Fitri) setelah hilal terlihat atau bulan Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari. Gema takbir terus dikumandangkan hingga imam keluar untuk memimpin sholat Idul Fitri. Ini berarti, sepanjang malam hingga pagi hari menjelang sholat, kaum muslimin dianjurkan untuk menghidupkan waktu mereka dengan bertakbir.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an: "...dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (puasa) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Baqarah: 185)
Ayat ini menjadi dasar utama disyariatkannya takbir pada akhir Ramadhan sebagai wujud syukur atas hidayah dan kemudahan dalam menyelesaikan ibadah puasa.
Di Mana Saja Takbir Dikumandangkan?
Takbir disunnahkan untuk dikumandangkan di mana saja: di rumah, di masjid, di pasar, di jalanan, dan di sepanjang perjalanan menuju tempat sholat. Pria dianjurkan untuk mengeraskan suara takbir mereka sebagai bentuk syiar, sementara wanita mengucapkannya dengan suara yang lirih. Suasana pagi hari raya yang dipenuhi gema takbir akan membangkitkan semangat keimanan, mengingatkan semua orang akan kebesaran Allah, dan menyatukan hati kaum muslimin dalam satu seruan pengagungan.
Perjalanan dari rumah menuju tanah lapang adalah waktu emas untuk terus melantunkan takbir. Setiap langkah yang diiringi dengan dzikir dan takbir akan menjadi saksi di hadapan Allah. Ini mengubah perjalanan biasa menjadi sebuah prosesi ibadah yang agung.
6. Mengambil Jalan yang Berbeda Saat Pergi dan Pulang
Salah satu sunnah unik yang seringkali terlupakan adalah anjuran untuk mengambil rute yang berbeda saat berangkat ke tempat sholat Id dan saat pulang ke rumah. Ini adalah praktik yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah ﷺ.
Dalil dan Praktik Nabi
Dari sahabat Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
"Nabi ﷺ pada hari raya biasa mengambil jalan yang berbeda (saat pergi dan pulangnya)." (HR. Bukhari)
Hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ sengaja memilih rute yang berlainan. Tindakan ini, meskipun terlihat sederhana, sarat dengan hikmah dan makna yang mendalam, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama.
Berbagai Hikmah di Balik Sunnah Ini
Para ulama telah merenungkan dan menyimpulkan beberapa kemungkinan hikmah di balik sunnah ini, di antaranya:
- Memperbanyak Saksi Kebaikan: Setiap jengkal tanah, setiap pohon, dan setiap bangunan yang kita lewati saat berjalan dalam ketaatan akan menjadi saksi bagi kita di hari kiamat. Dengan melewati dua jalan yang berbeda, kita memperbanyak jumlah saksi kebaikan tersebut.
- Menampakkan Syiar Islam: Dengan melewati lebih banyak jalan dan area, syiar Islam, termasuk gema takbir dan pemandangan kaum muslimin yang berbondong-bondong menuju tempat ibadah, akan terlihat oleh lebih banyak orang. Ini menunjukkan kekuatan dan persatuan umat Islam.
- Menyebarkan Salam dan Silaturahmi: Melewati rute yang berbeda memberikan kesempatan untuk bertemu dengan lebih banyak saudara seiman, menyebarkan salam, mengucapkan selamat hari raya, dan mempererat tali persaudaraan.
- Membantu yang Membutuhkan: Bisa jadi di salah satu rute tersebut ada fakir miskin atau orang yang membutuhkan pertolongan, sehingga kita berkesempatan untuk bersedekah atau membantu mereka.
- Menghindari Kepadatan: Dari sisi praktis, mengambil jalan yang berbeda antara pergi dan pulang dapat membantu mengurai kepadatan lalu lintas jamaah, sehingga perjalanan menjadi lebih lancar dan nyaman.
7. Berjalan Kaki Menuju Tempat Sholat
Jika jarak antara rumah dan tempat sholat (tanah lapang atau masjid) memungkinkan untuk ditempuh dengan berjalan kaki dan tidak memberatkan, maka berjalan kaki lebih utama daripada menggunakan kendaraan. Ini adalah sunnah yang juga diajarkan oleh Nabi kita yang mulia.
Keutamaan Setiap Langkah
Berjalan kaki menuju tempat ibadah memiliki keutamaan yang besar dalam Islam. Setiap langkah yang diambil akan dihitung sebagai pahala, mengangkat derajat, dan menghapuskan dosa. Ini adalah investasi pahala yang sangat mudah untuk diraih. Perjalanan itu sendiri menjadi bagian tak terpisahkan dari ibadah sholat Id.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata: "Termasuk sunnah adalah keluar menuju tempat sholat Id dengan berjalan kaki."
Sikap berjalan kaki ini juga mencerminkan kerendahan hati (tawadhu') seorang hamba yang sedang berjalan untuk memenuhi panggilan Tuhannya. Ia menanggalkan kemudahan kendaraan untuk merasakan prosesi ibadah secara lebih khusyuk dan mendalam, sambil terus berdzikir dan bertakbir di sepanjang jalan.
Keringanan bagi yang Membutuhkan
Tentu saja, Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan. Sunnah berjalan kaki ini dianjurkan bagi mereka yang mampu. Bagi orang tua, orang sakit, wanita yang membawa anak kecil, atau mereka yang tinggal sangat jauh dari lokasi sholat, menggunakan kendaraan adalah sebuah keringanan (rukhsah) yang dibolehkan dan tidak mengurangi nilai ibadah mereka. Niat yang tulus untuk menghadiri sholat Id adalah inti dari segalanya.
Kesimpulan: Meraih Kesempurnaan di Hari Kemenangan
Idul Fitri adalah hadiah terindah dari Allah SWT setelah sebulan penuh perjuangan menahan hawa nafsu. Untuk menyambut hadiah ini, kita dianjurkan untuk mempersiapkan diri dengan cara yang terbaik, yaitu dengan meneladani sunnah-sunnah Rasulullah ﷺ. Dari mandi yang menyucikan, pakaian terbaik yang menyimbolkan syukur, wewangian yang menebar kebaikan, sarapan kurma sebagai tanda ketaatan, gema takbir yang mengagungkan Tuhan, hingga langkah-langkah kaki yang diiringi dzikir menuju tempat sholat.
Semua amalan ini bukanlah sekadar rutinitas tanpa makna. Masing-masing adalah untaian mutiara ibadah yang merangkai hari kemenangan kita menjadi lebih berkah dan sempurna. Dengan mengamalkannya, kita tidak hanya meraih pahala, tetapi juga merasakan kedalaman spiritual dan keindahan syariat Islam dalam setiap detail kehidupan. Semoga Allah menerima segala amal ibadah kita di bulan Ramadhan dan menyempurnakannya dengan perayaan Idul Fitri yang penuh berkah. Taqabbalallahu minna wa minkum.