Sholawat Adzimiyah: Samudra Kebesaran dan Cahaya Ilahi
Di antara samudra luas sholawat yang tak terhingga, terdapat sebuah mutiara yang memancarkan cahaya keagungan (‘adzamah) yang luar biasa. Ia dikenal sebagai Sholawat Adzimiyah. Namanya sendiri, yang berasal dari kata Arab ‘Adziim (العظيم) yang berarti Agung atau Maha Besar, telah menyiratkan kedalaman dan ketinggian maknanya. Sholawat ini bukan sekadar rangkaian kata pujian, melainkan sebuah proklamasi spiritual yang menggetarkan, sebuah pintu gerbang untuk menyelami hakikat kebesaran Allah SWT dan kedudukan mulia Baginda Nabi Muhammad SAW.
Sholawat Adzimiyah adalah sebuah wirid yang sarat dengan bahasa tawasul tingkat tinggi. Ia tidak meminta dengan perantara amal biasa, tetapi memohon dengan wasilah yang paling agung: Cahaya Wajah Allah Yang Maha Agung. Ini adalah sebuah cerminan dari ma'rifat yang mendalam tentang tauhid, di mana seorang hamba menyadari bahwa segala sesuatu di alam semesta ini, termasuk kedudukan agung para nabi, adalah manifestasi dari keagungan-Nya. Mengamalkan sholawat ini adalah seperti menyelam ke dalam lautan ma'rifat, di mana setiap kalimatnya membuka tirai rahasia spiritual yang menakjubkan.
Lafadz, Transliterasi, dan Terjemahan Sholawat Adzimiyah
Untuk memahami kedalaman Sholawat Adzimiyah, langkah pertama adalah meresapi setiap kata dalam lafadznya. Berikut adalah teks lengkapnya dalam bahasa Arab, disertai dengan transliterasi untuk kemudahan pembacaan dan terjemahan untuk pemahaman makna.
Teks Arab
اَللّٰهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِنُوْرِ وَجْهِ اللهِ الْعَظِيْمِ، الَّذِيْ مَلَأَ أَرْكَانَ عَرْشِ اللهِ الْعَظِيْمِ، وَقَامَتْ بِهِ عَوَالِمُ اللهِ الْعَظِيْمِ، أَنْ تُصَلِّيَ عَلَى مَوْلَانَا مُحَمَّدٍ ذِي الْقَدْرِ الْعَظِيْمِ، وَعَلَى آلِ نَبِيِّ اللهِ الْعَظِيْمِ، بِقَدْرِ عَظَمَةِ ذَاتِ اللهِ الْعَظِيْمِ، فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدَ مَا فِيْ عِلْمِ اللهِ الْعَظِيْمِ، صَلَاةً دَائِمَةً بِدَوَامِ اللهِ الْعَظِيْمِ، تَعْظِيْمًا لِحَقِّكَ يَا مَوْلَانَا يَا مُحَمَّدُ يَا ذَا الْخُلُقِ الْعَظِيْمِ، وَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ مِثْلَ ذٰلِكَ، وَاجْمَعْ بَيْنِيْ وَبَيْنَهُ كَمَا جَمَعْتَ بَيْنَ الرُّوْحِ وَالنَّفْسِ، ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، يَقَظَةً وَمَنَامًا، وَاجْعَلْهُ يَا رَبِّ رُوْحًا لِذَاتِيْ مِنْ جَمِيْعِ الْوُجُوْهِ، فِي الدُّنْيَا قَبْلَ الْآخِرَةِ يَا عَظِيْمُ.
Transliterasi Latin
Allâhumma innî as-aluka binûri wajhillâhil ‘adziim. Alladzî mala-a arkâna ‘arsyillâhil ‘adziim. Wa qoomat bihii ‘awâlimullâhil ‘adziim. An tusholliya ‘alâ mawlânâ muhammadin dzil qodril ‘adziim. Wa ‘alâ âli nabiyyillâhil ‘adziim. Biqodri ‘adzomati dzâtillâhil ‘adziim. Fî kulli lamhatin wa nafasin ‘adada mâ fî ‘ilmillâhil ‘adziim. Sholâtan dâ-imatan bidawâmillâhil ‘adziim. Ta’dzîman lihaqqika yâ mawlânâ yâ muhammadu yâ dzal khuluqil ‘adziim. Wa sallim ‘alayhi wa ‘alâ âlihii mitsla dzâlik. Wajma’ baynî wa baynahuu kamâ jama’ta baynar rûhi wan nafsi, dzôhiron wa bâthinan, yaqozhotan wa manâman. Waj’alhu yâ robbi rûhan lidzâtî min jamî’il wujûh, fid dun-yâ qoblal âkhiroti yâ ‘adziim.
Terjemahan Bahasa Indonesia
"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan cahaya Wajah Allah Yang Maha Agung. Yang memenuhi tiang-tiang ‘Arsy Allah Yang Maha Agung. Dan dengannya bertegak seluruh alam-alam Allah Yang Maha Agung. Agar Engkau limpahkan shalawat kepada junjungan kami Muhammad, pemilik kedudukan yang agung. Dan kepada keluarga Nabi Allah Yang Maha Agung. Seukuran keagungan Dzat Allah Yang Maha Agung. Dalam setiap kedipan mata dan hembusan nafas, sebanyak jumlah apa yang ada dalam pengetahuan Allah Yang Maha Agung. Shalawat yang abadi sekekal keabadian Allah Yang Maha Agung. Sebagai bentuk pengagungan terhadap hak-Mu, wahai junjungan kami, wahai Muhammad, wahai pemilik akhlak yang agung. Dan limpahkan pula salam kepadanya dan keluarganya seperti itu. Dan satukanlah antara aku dan beliau, sebagaimana Engkau satukan antara ruh dan jiwa. Secara lahir dan batin, dalam keadaan terjaga maupun tidur. Dan jadikanlah beliau, wahai Tuhanku, sebagai ruh bagi esensiku dalam segala aspek. Di dunia sebelum akhirat, wahai Dzat Yang Maha Agung."
Sejarah dan Sanad Agung Sholawat Adzimiyah
Keagungan sebuah amalan seringkali tidak terlepas dari sumber dan sanad (mata rantai transmisi) yang menyampaikannya. Sholawat Adzimiyah dinisbahkan kepada seorang waliyullah agung, seorang Quthb (poros spiritual) pada masanya, yaitu Al-Imam As-Sayyid Ahmad bin Idris al-Fasi al-Hasani. Beliau adalah seorang ulama, sufi, dan pembaharu yang lahir di Maysur, dekat kota Fes, Maroko, dan wafat di Sabya, Yaman.
Sayyid Ahmad bin Idris dikenal sebagai sosok yang memiliki hubungan spiritual yang sangat erat dengan Rasulullah SAW. Banyak dari ajaran, wirid, dan sholawat yang beliau sampaikan, termasuk Sholawat Adzimiyah ini, diyakini diterima langsung dari Baginda Nabi Muhammad SAW dalam keadaan yaqazah (terjaga, bukan sekadar mimpi biasa). Metode transmisi spiritual langsung dari Rasulullah ini dikenal dalam tradisi tasawuf sebagai talaqqi ruhani, yang menempatkan amalan tersebut pada kedudukan yang sangat istimewa dan otentik.
Kisah penerimaan sholawat ini, sebagaimana diriwayatkan oleh para muridnya, terjadi ketika Sayyid Ahmad bin Idris bertemu dengan Rasulullah SAW yang didampingi oleh Nabi Khidir AS. Dalam pertemuan ruhani tersebut, Rasulullah SAW mengajarkan sholawat ini kepadanya dan menjelaskan fadhilah-fadhilah agungnya. Nabi Khidir AS kemudian turut menegaskan keistimewaan sholawat tersebut. Karena sumbernya yang luar biasa inilah, Sholawat Adzimiyah memiliki kekuatan spiritual yang dahsyat dan dianggap sebagai salah satu amalan inti dalam tarekat yang dinisbahkan kepada beliau, yaitu Tarekat Idrisiyyah atau Ahmadiyyah Muhammadiyyah.
Menyelami Samudra Makna: Tafsir Setiap Kalimat
Setiap frasa dalam Sholawat Adzimiyah adalah sebuah lautan makna yang dalam. Memahaminya secara mendalam akan meningkatkan kekhusyukan dan kehadiran hati saat membacanya. Mari kita bedah satu per satu.
1. Permohonan dengan Wasilah Tertinggi
"Allahumma innî as-aluka binûri wajhillâhil ‘adziim..." (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan cahaya Wajah Allah Yang Maha Agung...)
Kalimat pembuka ini langsung menunjukkan adab dan ma'rifat yang luar biasa dari penyusunnya. Permohonan tidak dimulai dengan menyebutkan keinginan pribadi, tetapi dengan bertawasul kepada sesuatu yang paling agung. "Wajah Allah" (Wajhullah) dalam terminologi Ahlussunnah wal Jama'ah bukanlah wajah fisik seperti makhluk. Ia adalah Dzat Allah yang Maha Mulia, yang sesuai dengan keagungan-Nya. Sementara "Cahaya Wajah Allah" (Nur Wajhillah) adalah manifestasi dari sifat-sifat keindahan (Jamal) dan keagungan (Jalal) Allah SWT. Cahaya inilah yang menjadi sumber segala eksistensi. Sebagaimana dalam Al-Qur'an disebutkan, "Allah adalah cahaya langit dan bumi" (QS. An-Nur: 35). Dengan bertawasul melalui Cahaya ini, kita seolah-olah memohon dengan sumber dari segala sumber kekuatan dan penciptaan.
2. Manifestasi Cahaya di Alam Tertinggi
"Alladzî mala-a arkâna ‘arsyillâhil ‘adziim..." (Yang memenuhi tiang-tiang ‘Arsy Allah Yang Maha Agung...)
‘Arsy adalah makhluk Allah yang paling besar, simbol kekuasaan dan singgasana-Nya. Ia melingkupi seluruh langit dan bumi. Kalimat ini menggambarkan betapa dahsyatnya Nur Wajhillah tersebut, hingga ia memenuhi dan menjadi penyangga eksistensi dari makhluk terbesar sekalipun, yaitu ‘Arsy. Ini adalah bahasa kiasan yang luar biasa untuk menyatakan bahwa kekuasaan, pengetahuan, dan keagungan Allah meliputi segala sesuatu tanpa batas, dari yang terbesar hingga yang terkecil. Jika ‘Arsy yang begitu agung saja ditopang oleh cahaya ini, maka apalah artinya masalah dan hajat kita yang kecil di hadapan-Nya?
3. Penopang Seluruh Alam Semesta
"Wa qoomat bihii ‘awâlimullâhil ‘adziim..." (Dan dengannya bertegak seluruh alam-alam Allah Yang Maha Agung...)
Setelah menyebut alam tertinggi (‘Arsy), kalimat ini meluaskan cakupannya ke seluruh 'alam-alam' (‘awâlim), bentuk jamak dari 'alam'. Ini menunjukkan bahwa bukan hanya satu alam yang kita tinggali, melainkan ada banyak sekali dimensi eksistensi: alam malakut (malaikat), alam jabarut (alam ruh), alam mulk (alam fisik), dan alam-alam lain yang tak terhitung jumlahnya dalam ilmu Allah. Semua itu dapat berdiri, eksis, dan berjalan sesuai sunnatullah karena ditopang oleh Nur Wajhillah yang agung tersebut. Ini adalah penegasan tauhid yang mendalam, bahwa tidak ada satu partikel pun di alam semesta yang bisa bergerak atau berdiam tanpa izin dan kekuatan dari-Nya.
4. Tujuan Utama: Sholawat untuk Sang Junjungan
"An tusholliya ‘alâ mawlânâ muhammadin dzil qodril ‘adziim..." (Agar Engkau limpahkan shalawat kepada junjungan kami Muhammad, pemilik kedudukan yang agung...)
Inilah inti dari permohonan. Setelah memuji Allah dengan keagungan-Nya yang tertinggi, kita memohon agar energi keagungan itu dilimpahkan dalam bentuk sholawat kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. Gelar "Dzin Qodril ‘Adziim" (Pemilik Kedudukan yang Agung) sangatlah tepat. Kedudukan Rasulullah SAW di sisi Allah adalah kedudukan yang paling agung di antara seluruh makhluk. Beliau adalah Rahmatan lil 'Alamin (rahmat bagi seluruh alam), pembawa syafaat terbesar (Syafa'atul 'Uzhma), dan kekasih Allah (Habibullah). Sholawat ini memohon agar curahan rahmat untuk beliau sepadan dengan kedudukannya yang agung itu.
5. Meluaskan Rahmat kepada Keluarga Nabi
"Wa ‘alâ âli nabiyyillâhil ‘adziim..." (Dan kepada keluarga Nabi Allah Yang Maha Agung...)
Mengirimkan sholawat kepada keluarga (Aal) Nabi adalah bagian tak terpisahkan dari adab bersholawat, sebagaimana diajarkan dalam sholawat Ibrahimiyah yang dibaca saat tasyahud. Mencintai keluarga Nabi adalah bagian dari keimanan dan wujud cinta kita kepada Rasulullah SAW. Mereka adalah pewaris cahaya kenabian dan sumber ilmu serta keberkahan bagi umat.
6. Ukuran Sholawat yang Tak Terhingga
"Biqodri ‘adzomati dzâtillâhil ‘adziim..." (Seukuran keagungan Dzat Allah Yang Maha Agung...)
Ini adalah puncak dari permohonan yang menunjukkan betapa tingginya cita-cita spiritual dalam sholawat ini. Kita tidak meminta sholawat yang bisa dihitung atau dibayangkan oleh akal manusia. Kita memohon sholawat yang ukurannya sepadan dengan keagungan Dzat Allah itu sendiri. Karena Dzat Allah Maha Agung tanpa batas, maka sholawat yang dimohonkan pun bersifat tanpa batas. Ini adalah pengakuan atas ketidakmampuan kita untuk memuji Rasulullah SAW sebagaimana mestinya, maka kita serahkan "ukuran" pujian itu kepada Allah sendiri, sesuai dengan keagungan-Nya.
7. Kuantitas dan Frekuensi yang Melampaui Batas
"Fî kulli lamhatin wa nafasin ‘adada mâ fî ‘ilmillâhil ‘adziim..." (Dalam setiap kedipan mata dan hembusan nafas, sebanyak jumlah apa yang ada dalam pengetahuan Allah Yang Maha Agung...)
Frasa ini mendefinisikan frekuensi dan kuantitas sholawat yang diminta. Frekuensinya adalah "setiap kedipan mata dan hembusan nafas," yang berarti terus-menerus tanpa jeda. Kuantitasnya adalah "sebanyak apa yang ada dalam pengetahuan Allah," yang mencakup segala sesuatu dari zaman azali hingga abadi, yang telah, sedang, dan akan terjadi. Ilmu Allah meliputi setiap atom, setiap daun yang gugur, setiap tetes hujan, setiap bintang di galaksi. Jumlahnya tak terhingga. Maka, kita memohon sholawat yang tak terhingga dalam jumlah dan tak terputus dalam frekuensi.
8. Keabadian Sholawat
"Sholâtan dâ-imatan bidawâmillâhil ‘adziim..." (Shalawat yang abadi sekekal keabadian Allah Yang Maha Agung...)
Setelah meminta ukuran, frekuensi, dan kuantitas yang tak terbatas, sholawat ini ditutup dengan permohonan durasi yang tak terbatas pula. Sholawat yang dimohonkan bersifat "da-imah" (abadi, langgeng) dengan keabadian "dawamillah" (keabadian Allah). Karena Allah Maha Kekal dan tidak akan pernah sirna, maka sholawat yang dimohonkan pun diharapkan untuk terus mengalir tanpa akhir, selanggeng eksistensi Allah SWT sendiri.
9. Niat dan Tujuan Bersholawat
"Ta’dzîman lihaqqika yâ mawlânâ yâ muhammadu yâ dzal khuluqil ‘adziim..." (Sebagai bentuk pengagungan terhadap hak-Mu, wahai junjungan kami, wahai Muhammad, wahai pemilik akhlak yang agung...)
Bagian ini adalah pernyataan niat. Mengapa kita memohon sholawat yang sedemikian dahsyatnya? Tujuannya adalah untuk "ta'dzim", yaitu mengagungkan dan menunaikan hak Rasulullah SAW atas kita sebagai umatnya. Allah sendiri telah memuji akhlak beliau dalam Al-Qur'an, "Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung (‘ala khuluqin ‘adziim)" (QS. Al-Qalam: 4). Dengan bersholawat, kita turut serta dalam barisan para malaikat dan Allah sendiri yang bersholawat kepada Nabi, sebagai bentuk pengakuan atas jasa, cinta, dan kemuliaan akhlak beliau.
10. Permohonan Penyatuan Spiritual
"Wajma’ baynî wa baynahuu kamâ jama’ta baynar rûhi wan nafsi, dzôhiron wa bâthinan, yaqozhotan wa manâman..." (Dan satukanlah antara aku dan beliau, sebagaimana Engkau satukan antara ruh dan jiwa. Secara lahir dan batin, dalam keadaan terjaga maupun tidur...)
Setelah permohonan sholawat yang agung, doa beralih ke permohonan personal yang sangat mendalam. Ini adalah puncak kerinduan seorang pecinta kepada yang dicintainya. Permintaan untuk "disatukan" (ijma') dengan Rasulullah SAW. Penyatuan ini diibaratkan seperti penyatuan antara ruh (spirit) dan nafs (jiwa/diri), yang merupakan satu kesatuan tak terpisahkan dalam diri manusia. Ini artinya, pemohon meminta sebuah koneksi spiritual yang begitu lekat dan intim dengan Rasulullah SAW. Koneksi ini diharapkan terwujud dalam segala kondisi: lahiriah (dalam perilaku dan sunnah) dan batiniah (dalam hati dan ruh), baik saat terjaga (dalam kesadaran penuh) maupun saat tidur (dalam alam mimpi).
11. Menjadikan Nabi Sebagai Ruh Kehidupan
"Waj’alhu yâ robbi rûhan lidzâtî min jamî’il wujûh..." (Dan jadikanlah beliau, wahai Tuhanku, sebagai ruh bagi esensiku dalam segala aspek...)
Ini adalah tingkatan permohonan yang lebih tinggi lagi. Bukan hanya sekadar "disatukan", tetapi memohon agar hakikat spiritual (ruh) Rasulullah SAW menjadi "ruh" bagi esensi diri kita. Artinya, menjadikan ajaran, cinta, dan cahaya kenabian beliau sebagai sumber kehidupan spiritual kita. Sebagaimana tubuh mati tanpa ruh, begitu pula seorang hamba akan mati hatinya tanpa terhubung dengan ruh kenabian. Permohonan ini mencakup "semua aspek" (jamî’il wujûh), yang berarti dalam pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan kita, semuanya dihidupkan dan dibimbing oleh spirit Rasulullah SAW.
12. Harapan di Dunia Sebelum Akhirat
"Fid dun-yâ qoblal âkhiroti yâ ‘adziim." (Di dunia sebelum akhirat, wahai Dzat Yang Maha Agung.)
Permohonan agung ini ditutup dengan sebuah harapan agar penyatuan spiritual tersebut tidak hanya menjadi angan-angan yang baru terwujud di akhirat kelak. Namun, ia diharapkan dapat dirasakan dan dialami manifestasinya selagi masih hidup di dunia. Ini adalah doa agar kita dapat meneladani sunnahnya secara kaffah, merasakan manisnya iman, dan senantiasa berada dalam bimbingan spiritualnya di kehidupan ini, yang puncaknya adalah perjumpaan hakiki di akhirat. Doa ini ditutup dengan menyeru Asma Allah "Yaa 'Adziim", mengembalikan segala keagungan permohonan ini kepada Dzat Yang Maha Agung.
Fadhilah dan Keutamaan Mengamalkan Sholawat Adzimiyah
Berdasarkan sumbernya yang mulia dan makna kandungannya yang dahsyat, para ulama dan arifin menjelaskan berbagai fadhilah (keutamaan) bagi siapa saja yang mengamalkannya dengan istiqamah, ikhlas, dan penuh penghayatan.
- Mimpi Bertemu Rasulullah SAW: Ini adalah salah satu fadhilah yang paling masyhur dari sholawat ini. Kandungan doanya yang secara eksplisit meminta penyatuan ruhani dengan Rasulullah SAW diyakini menjadi wasilah kuat untuk mendapatkan anugerah bertemu dengan beliau dalam mimpi, atau bahkan dalam keadaan terjaga bagi mereka yang mencapai maqam spiritual yang tinggi.
- Pahala yang Tak Terhingga: Sayyid Ahmad bin Idris menyebutkan bahwa pahala membaca Sholawat Adzimiyah sekali setara dengan membaca kitab Dalailul Khairat (sebuah kitab kumpulan sholawat yang terkenal) berkali-kali lipat. Hal ini karena permohonan pahalanya disandarkan pada keagungan Dzat Allah, ilmu Allah, dan keabadian Allah yang semuanya bersifat tak terbatas.
- Terbukanya Pintu Ma'rifat: Merenungkan makna-makna dalam sholawat ini dapat membuka pintu pemahaman yang lebih dalam tentang tauhid, keagungan Allah, dan kedudukan Rasulullah SAW. Ia melatih hati untuk senantiasa terhubung dengan realitas spiritual yang lebih tinggi.
- Terkabulnya Hajat dan Kemudahan Urusan: Bertawasul dengan Nur Wajhillah dan kedudukan agung Rasulullah SAW adalah salah satu bentuk tawasul yang paling kuat. Mengamalkannya dengan keyakinan diyakini dapat menjadi sarana terkabulnya berbagai hajat, baik urusan duniawi maupun ukhrawi.
- Cahaya dan Ketenangan Hati: Membaca sholawat yang sarat dengan penyebutan "cahaya" dan "keagungan" akan memberikan dampak positif pada batin pembacanya. Ia dapat membersihkan kegelapan hati, mendatangkan ketenangan jiwa, dan memancarkan cahaya iman dalam diri.
- Mendapatkan Syafaat Rasulullah SAW: Tujuan utama dari setiap sholawat adalah untuk mendapatkan cinta dan perhatian dari Rasulullah SAW, yang puncaknya adalah mendapatkan syafaat beliau di hari kiamat. Dengan mengagungkan hak beliau melalui sholawat ini, diharapkan kita tercatat sebagai umat yang layak menerima syafaatnya.
Kesimpulan: Sebuah Permata dari Khazanah Spiritual Islam
Sholawat Adzimiyah lebih dari sekadar untaian doa. Ia adalah sebuah madrasah spiritual yang mengajarkan kita tentang adab tertinggi dalam memohon kepada Allah, tentang hakikat ma'rifatullah dan ma'rifaturrasul, serta tentang puncak kerinduan seorang hamba kepada Nabinya. Setiap katanya adalah permata yang memancarkan cahaya keagungan, membawa pembacanya untuk terbang melintasi alam-alam spiritual, dari ‘Arsy yang agung hingga ke kedalaman hati yang merindukan penyatuan dengan ruh kekasih-Nya.
Mengamalkannya bukan hanya tentang menghitung jumlah bacaan, tetapi tentang menghadirkan hati, meresapi setiap makna, dan membiarkan cahaya keagungan sholawat ini membentuk jiwa dan akhlak kita. Ia adalah warisan berharga dari seorang wali agung, sebuah wasilah untuk menyambungkan hati kita dengan samudra rahmat Allah dan cahaya penuntun dari Baginda Nabi Muhammad SAW. Semoga kita semua dianugerahi kekuatan untuk mengamalkannya dan meraih fadhilah agung yang terkandung di dalamnya, di dunia hingga akhirat kelak.