Mengkaji Qunut Witir dalam Shalat Tarawih

Ilustrasi tangan berdoa Sebuah ikon sederhana yang menggambarkan dua tangan menengadah dalam posisi berdoa, merepresentasikan doa qunut.

Ilustrasi tangan menengadah berdoa qunut

Bulan suci Ramadan adalah momen yang dipenuhi dengan keberkahan, ampunan, dan limpahan rahmat. Umat Islam di seluruh dunia berlomba-lomba meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah, salah satunya melalui shalat Tarawih. Shalat sunnah muakkadah yang dilaksanakan pada malam-malam Ramadan ini seringkali ditutup dengan shalat Witir. Dalam pelaksanaan shalat Witir inilah, muncul sebuah amalan yang menjadi topik perbincangan hangat di kalangan para ulama dan masyarakat, yaitu pelaksanaan qunut Tarawih atau lebih tepatnya qunut pada shalat Witir setelah Tarawih.

Amalan ini, meskipun jamak ditemui di banyak masjid, ternyata menyimpan khazanah perbedaan pendapat (khilafiyah) yang kaya dalam fikih Islam. Sebagian melaksanakannya dengan penuh keyakinan, sementara yang lain memilih untuk tidak melakukannya. Perbedaan ini bukan lahir dari ruang hampa, melainkan berakar pada dalil-dalil dan ijtihad para ulama salafus shalih yang memiliki otoritas keilmuan tinggi. Artikel ini akan mengupas secara mendalam, komprehensif, dan objektif mengenai seluk-beluk qunut pada shalat Witir di bulan Ramadan, mulai dari pengertian, landasan syar'i, perbedaan pendapat para imam mazhab, hingga sikap yang bijak dalam menyikapinya.

Memahami Makna dan Esensi Qunut

Sebelum melangkah lebih jauh ke dalam perdebatan hukumnya, sangat penting untuk memahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan "qunut". Kata ini memiliki dimensi makna yang luas, baik secara bahasa (etimologi) maupun secara istilah syar'i (terminologi).

Makna Qunut Secara Bahasa (Etimologi)

Dalam bahasa Arab, kata al-qunūt (القنوت) merupakan sebuah mashdar (kata dasar) yang memiliki beberapa makna inti, di antaranya:

Dari ragam makna linguistik ini, kita dapat menarik benang merah bahwa qunut adalah sebuah ekspresi ibadah yang menggabungkan ketaatan, kekhusyukan dalam berdiri, serta permohonan tulus melalui doa kepada Sang Pencipta.

Makna Qunut Secara Istilah (Terminologi)

Dalam terminologi fikih, qunut adalah zikir atau doa khusus yang dibaca pada saat-saat tertentu di dalam shalat. Para ulama mengklasifikasikan qunut menjadi beberapa jenis, yang paling utama adalah:

  1. Qunut Nazilah: Ini adalah qunut yang dibaca ketika umat Islam ditimpa musibah besar, seperti peperangan, bencana alam, wabah penyakit, atau penindasan. Qunut Nazilah dibaca pada rakaat terakhir setiap shalat fardhu setelah bangkit dari ruku' (i'tidal). Rasulullah ﷺ pernah melakukannya selama sebulan penuh untuk mendoakan keburukan bagi kabilah-kabilah yang telah membunuh para sahabat penghafal Al-Qur'an di Bi'r Ma'unah.
  2. Qunut Subuh: Ini adalah qunut yang secara rutin dibaca pada rakaat kedua shalat Subuh setelah i'tidal. Pelaksanaannya menjadi salah satu titik perbedaan pendapat yang signifikan, terutama antara mazhab Syafi'i yang mensunnahkannya dan mazhab lainnya yang tidak mengamalkannya secara rutin.
  3. Qunut Witir: Inilah fokus utama pembahasan kita. Qunut Witir adalah doa yang dibaca pada rakaat terakhir shalat Witir. Waktu pelaksanaannya pun menjadi perdebatan: apakah dilakukan sepanjang tahun, hanya di bulan Ramadan, atau spesifik di separuh akhir bulan Ramadan.

Landasan Syar'i dan Sejarah Qunut Witir

Dalil utama yang menjadi fondasi disyariatkannya doa qunut dalam shalat Witir adalah sebuah hadits shahih yang sangat terkenal, yang diriwayatkan melalui jalur Al-Hasan bin Ali radhiyallahu 'anhuma, cucu Rasulullah ﷺ.

Al-Hasan bin Ali berkata, "Rasulullah ﷺ mengajariku beberapa kalimat yang aku ucapkan dalam qunut Witir:

اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ

Allahummahdinii fiiman hadaiit, wa 'aafinii fiiman 'aafaiit, wa tawallanii fiiman tawallaiit, wa baarik lii fiimaa a'thaiit, wa qinii syarra maa qadhaiit, fa innaka taqdhii wa laa yuqdhaa 'alaiik, wa innahu laa yadzillu man waalaiit, tabaarakta rabbanaa wa ta'aalaiit.

"Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk. Berilah aku 'afiyah (keselamatan dan kesehatan) di antara orang-orang yang Engkau beri 'afiyah. Uruslah aku di antara orang-orang yang Engkau urus. Berkahilah bagiku apa yang Engkau berikan. Lindungilah aku dari keburukan apa yang Engkau takdirkan. Sesungguhnya Engkaulah yang mentakdirkan dan bukan yang ditakdirkan. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau bela. Maha Suci Engkau, wahai Tuhan kami, dan Maha Tinggi." (HR. Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasa'i, dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh para ulama, termasuk Syekh Al-Albani).

Hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ sendiri yang mengajarkan lafaz doa qunut untuk shalat Witir. Namun, hadits ini bersifat umum, tidak menyebutkan secara spesifik kapan qunut Witir itu harus dibaca. Apakah setiap malam sepanjang tahun, atau hanya di momen-momen tertentu seperti bulan Ramadan? Keumuman inilah yang menjadi pintu masuk bagi ijtihad dan perbedaan pandangan di antara para ulama.

Selain hadits ini, landasan lain yang sangat kuat, khususnya untuk qunut Witir di bulan Ramadan, adalah praktik para sahabat (atsar). Sejarah mencatat bahwa pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, beliau menginisiasi pelaksanaan shalat Tarawih secara berjamaah di masjid. Beliau menunjuk Ubay bin Ka'ab sebagai imam. Terdapat riwayat-riwayat yang kuat bahwa Ubay bin Ka'ab memimpin shalat Tarawih dan melakukan qunut pada shalat Witir.

Abdurrahman bin Abdin Al-Qari berkata:

"Aku keluar bersama Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu pada suatu malam di bulan Ramadan menuju masjid. Ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah... Kemudian Umar berkata, 'Menurutku, jika aku kumpulkan mereka di bawah pimpinan satu qari (imam), itu akan lebih baik.'... Lalu, pada malam berikutnya, aku keluar lagi bersamanya dan orang-orang sudah shalat dengan dipimpin oleh qari mereka. Umar pun berkomentar, 'Sebaik-baik bid'ah adalah ini.'... Dan mereka (para sahabat) melakukan qunut pada pertengahan (kedua) bulan Ramadan." (HR. Al-Bukhari secara mu'allaq dan diriwayatkan secara bersambung oleh lainnya).

Praktik yang diinisiasi oleh Khalifah Umar dan dilakukan oleh para sahabat senior seperti Ubay bin Ka'ab ini menjadi dalil utama bagi mazhab yang mensunnahkan qunut Witir secara berjamaah di bulan Ramadan, khususnya pada separuh akhir bulan.

Perbedaan Pendapat Empat Mazhab

Dari landasan dalil yang telah dipaparkan, para ulama dari mazhab-mazhab fikih terkemuka memiliki pandangan yang beragam mengenai hukum qunut Witir pada shalat Tarawih. Keragaman ini adalah rahmat dan menunjukkan betapa dinamisnya khazanah intelektual Islam.

1. Pandangan Mazhab Syafi'i

Mazhab Syafi'i memiliki pandangan yang sangat populer di Indonesia. Menurut mazhab ini, qunut Witir hukumnya adalah sunnah untuk dilaksanakan pada rakaat terakhir shalat Witir, tetapi khusus pada separuh akhir bulan Ramadan, yaitu dimulai dari malam ke-16.

Dalil dan Argumentasi Mazhab Syafi'i:

Imam An-Nawawi, salah satu ulama pilar dalam mazhab Syafi'i, menyatakan dalam kitabnya Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, "Menurut pendapat kami (mazhab Syafi'i), disunnahkan qunut pada separuh akhir bulan Ramadan pada rakaat terakhir shalat Witir. Ini adalah pendapat yang masyhur."

2. Pandangan Mazhab Hanbali

Mazhab Hanbali, yang didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, memiliki pandangan yang mirip dengan mazhab Syafi'i, namun dengan sedikit kelonggaran. Mereka juga berpendapat bahwa qunut Witir hukumnya sunnah.

Dalil dan Argumentasi Mazhab Hanbali:

Secara praktik, banyak pengikut mazhab Hanbali yang melakukan qunut Witir sepanjang bulan Ramadan, atau bahkan sepanjang tahun, dengan penekanan lebih pada separuh akhir Ramadan.

3. Pandangan Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi memiliki pandangan yang berbeda secara fundamental. Menurut mereka, qunut hanya disyariatkan dalam shalat Witir saja (bukan pada shalat fardhu lain kecuali saat nazilah). Namun, qunut Witir ini dilakukan sepanjang tahun, bukan hanya di bulan Ramadan.

Dalil dan Argumentasi Mazhab Hanafi:

Jadi, bagi pengikut mazhab Hanafi, anjuran qunut ada pada setiap shalat Witir, baik di dalam maupun di luar Ramadan. Namun, mereka umumnya tidak mempraktikkannya secara berjamaah dalam Tarawih seperti yang dilakukan mazhab Syafi'i.

4. Pandangan Mazhab Maliki

Mazhab Maliki, yang berpusat pada ajaran Imam Malik bin Anas, memiliki pandangan yang paling unik. Secara umum, mazhab Maliki berpendapat bahwa melakukan qunut dalam shalat Witir adalah makruh atau bid'ah.

Dalil dan Argumentasi Mazhab Maliki:

Meskipun demikian, ada beberapa riwayat dalam mazhab Maliki yang membolehkan qunut Witir pada separuh akhir Ramadan, mirip dengan pandangan Syafi'i. Namun, pendapat yang paling masyhur dan dipegang oleh mayoritas ulama Maliki adalah tidak mensyariatkan qunut dalam shalat Witir.

Tata Cara Pelaksanaan Qunut Witir

Bagi mereka yang mengamalkannya, terdapat beberapa panduan mengenai tata cara pelaksanaan qunut Witir, yang juga memiliki sedikit variasi di antara para ulama.

Waktu Pelaksanaan

Dua waktu yang paling utama adalah sebelum ruku' atau setelah bangkit dari ruku' (i'tidal) pada rakaat terakhir shalat Witir.

Kedua cara ini memiliki landasannya masing-masing dan dianggap sah. Praktik yang paling umum di Indonesia adalah setelah ruku', mengikuti mazhab Syafi'i.

Mengangkat Tangan

Mayoritas ulama, termasuk dari keempat mazhab, sepakat bahwa disunnahkan untuk mengangkat kedua tangan saat membaca doa qunut. Posisi tangan seperti orang yang sedang berdoa, yaitu menengadah ke langit. Hal ini didasarkan pada riwayat dari Umar bin Khattab yang melakukannya dan keumuman dalil tentang adab berdoa yang di antaranya adalah mengangkat tangan.

Lafaz Doa Qunut

Lafaz doa qunut yang paling utama adalah yang diajarkan Rasulullah ﷺ kepada cucunya, Al-Hasan bin Ali, seperti yang telah disebutkan di atas. Namun, bolehkah menambahkan doa lain?

Para ulama membolehkan, bahkan menganjurkan untuk menambahkan doa-doa lain yang ma'tsur (berasal dari Al-Qur'an atau Sunnah). Salah satu tambahan yang sangat populer adalah doa yang dibaca oleh para sahabat pada masa Khalifah Umar bin Khattab saat menjadi imam shalat Tarawih. Doa tambahan tersebut berbunyi:

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِينُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ وَنُؤْمِنُ بِكَ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْكَ وَنُثْنِي عَلَيْكَ الْخَيْرَ كُلَّهُ، نَشْكُرُكَ وَلَا نَكْفُرُكَ، وَنَخْلَعُ وَنَتْرُكُ مَنْ يَفْجُرُكَ. اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ، وَلَكَ نُصَلِّي وَنَسْجُدُ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ، نَرْجُو رَحْمَتَكَ وَنَخْشَى عَذَابَكَ، إِنَّ عَذَابَكَ الْجِدَّ بِالْكُفَّارِ مُلْحِقٌ

Doa ini mengandung pujian, permohonan ampun, pernyataan iman, dan tawakal kepada Allah. Kemudian, seringkali dilanjutkan dengan shalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ serta doa untuk kaum muslimin.

Makmum Mengaminkan Doa Imam

Ketika imam membaca doa qunut dengan suara yang nyaring, para makmum disunnahkan untuk mengaminkan (mengucapkan "Aamiin"). Namun, ketika imam membaca bagian doa yang berisi pujian (tsana') kepada Allah, seperti pada kalimat "fa innaka taqdhii wa laa yuqdhaa 'alaiik" atau pada doa tambahan di atas, para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan makmum tetap diam, sebagian mengatakan makmum ikut membaca dengan suara lirih, dan sebagian lagi mengatakan boleh mengucapkan "Subhanak" (Maha Suci Engkau) atau kalimat pujian lainnya. Praktik yang umum adalah tetap mengaminkan seluruh doa.

Sikap Bijak dalam Menghadapi Perbedaan

Setelah membedah berbagai pandangan ulama beserta dalil-dalilnya, jelaslah bahwa masalah qunut Witir di bulan Ramadan adalah bagian dari wilayah ijtihadiyah dalam fikih. Ini bukanlah masalah pokok akidah yang bisa menyebabkan seseorang keluar dari Islam. Semua pendapat yang ada dilandasi oleh argumen syar'i yang kuat dan niat tulus untuk mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.

Oleh karena itu, sikap yang paling tepat bagi seorang muslim adalah:

  1. Tasamuh (Toleransi): Menghargai dan menghormati perbedaan pendapat. Jangan mencela atau menganggap sesat orang yang mengamalkan qunut, dan sebaliknya, jangan menganggap remeh orang yang tidak melakukannya. Keduanya berada dalam koridor fikih yang mu'tabar (diakui).
  2. Mengikuti Imam: Ketika shalat berjamaah, adab yang paling utama adalah mengikuti imam. Jika imam melakukan qunut, maka makmum hendaknya ikut melakukan qunut dan mengaminkan doanya. Jika imam tidak melakukan qunut, makmum juga tidak melakukannya demi menjaga kesatuan shaf dan kekhusyukan jamaah.
  3. Hindari Perdebatan yang Tidak Produktif: Perdebatan mengenai masalah khilafiyah fikih di kalangan awam seringkali berujung pada perpecahan dan permusuhan. Sebaiknya, serahkan diskusi mendalam pada para ahli ilmu, dan bagi masyarakat umum, cukuplah dengan mengamalkan apa yang diyakini berdasarkan ilmu atau mengikuti ulama yang menjadi panutannya, tanpa menyalahkan pihak lain.
  4. Fokus pada Substansi Ibadah: Jauh lebih penting adalah menjaga kekhusyukan shalat Tarawih, merenungkan ayat-ayat Al-Qur'an yang dibaca, dan memperbanyak doa serta istighfar di malam-malam Ramadan yang penuh berkah. Jangan sampai energi kita habis untuk memperdebatkan cabang, sementara pokok ibadah menjadi terabaikan.

Kesimpulan

Qunut Witir pada shalat Tarawih adalah sebuah amalan yang memiliki dasar hukum yang kuat, baik dari hadits Nabi ﷺ maupun dari praktik para sahabat. Namun, interpretasi dan aplikasi dari dalil-dalil tersebut menghasilkan perbedaan pendapat di kalangan para imam mazhab. Mazhab Syafi'i dan Hanbali mensunnahkannya, khususnya pada separuh akhir Ramadan, dengan berpegang kuat pada praktik di zaman Khalifah Umar bin Khattab. Mazhab Hanafi memandangnya sunnah sepanjang tahun, bukan khusus di bulan Ramadan. Sementara mazhab Maliki, dalam pendapatnya yang paling masyhur, memandangnya sebagai amalan yang tidak dianjurkan.

Setiap pandangan memiliki argumentasinya masing-masing yang patut dihormati. Bagi umat Islam, keluasan wawasan mengenai perbedaan ini seharusnya menumbuhkan sikap lapang dada, saling menghargai, dan bijaksana. Pada akhirnya, tujuan utama kita di bulan Ramadan adalah meraih takwa, dan jalan menuju takwa dapat ditempuh melalui berbagai amalan sunnah yang diajarkan oleh para ulama pewaris para nabi. Baik yang melaksanakan qunut Witir maupun yang tidak, selama dilandasi ilmu dan niat yang ikhlas, insya Allah semuanya akan mendapatkan pahala di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.

🏠 Kembali ke Homepage