Adzan dan Qamat (atau Iqamah) adalah dua seruan suci dalam Islam yang memiliki fungsi fundamental: memanggil umat untuk menunaikan shalat wajib dan memberitahu jamaah bahwa shalat akan segera dimulai. Keduanya merupakan bagian integral dari ritual shalat berjamaah, namun memiliki perbedaan mendasar dalam lafal, hukum, dan waktu pelaksanaannya. Pemahaman yang komprehensif mengenai kedua seruan ini sangat penting bagi setiap Muslim yang ingin menyempurnakan ibadahnya sesuai dengan tuntunan sunnah Nabi Muhammad ﷺ.
Seruan ini bukan sekadar pemberitahuan waktu; ia adalah pernyataan tegas tentang keesaan Allah (Tauhid), pengakuan terhadap kerasulan Muhammad, dan undangan universal menuju keselamatan dan keberuntungan. Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk Adzan dan Qamat, mencakup sejarah, lafal, hukum fiqih dari berbagai mazhab, hingga dimensi spiritual yang terkandung di dalamnya.
Secara etimologi, kata "Adzan" (أَذَان) berarti pengumuman atau pemberitahuan. Dalam syariat, Adzan adalah seruan khusus yang ditujukan kepada kaum Muslimin untuk memberitahu bahwa waktu shalat wajib telah tiba dan mengundang mereka untuk hadir menunaikannya secara berjamaah. Adzan ditetapkan sebagai metode panggilan shalat pada tahun pertama hijriyah.
Sebelum Adzan disyariatkan, para sahabat mempertimbangkan berbagai cara untuk memanggil jamaah, seperti membunyikan lonceng (seperti Nasrani) atau menggunakan terompet (seperti Yahudi). Namun, cara-cara tersebut ditolak karena dianggap menyerupai ritual agama lain. Akhirnya, keputusan untuk menggunakan suara manusia datang melalui mimpi kenabian (ru'ya shalihah).
Diriwayatkan bahwa seorang sahabat bernama Abdullah bin Zaid bermimpi melihat tata cara Adzan yang diajarkan kepadanya. Ia menceritakan mimpinya kepada Nabi Muhammad ﷺ, yang kemudian membenarkannya dan memerintahkan Bilal bin Rabah, yang memiliki suara merdu, untuk melaksanakannya. Mimpi serupa juga dialami oleh Umar bin Khattab. Sejak saat itu, Adzan menjadi syiar agung Islam.
Lafal Adzan yang umum dan disepakati oleh mayoritas mazhab (terutama Hanafi, Maliki, Hanbali) terdiri dari lima belas kalimat (dengan Tarji', menjadi sembilan belas kalimat menurut Shafi'i). Berikut adalah lafal baku Adzan:
Tambahan dalam Adzan Subuh (At-Tatswib):
Pada Adzan shalat Subuh, setelah lafal Hayya 'alal Falaah, disunnahkan untuk menambahkan lafal "Ash-Shalaatu Khairun Minan-Naum" (Shalat lebih baik daripada tidur) sebanyak dua kali. Hal ini dikenal sebagai Tatswib.
Mengenai hukum Adzan, terdapat sedikit perbedaan di antara mazhab:
Konsensus ulama menetapkan bahwa meninggalkan Adzan, terutama di suatu daerah atau komunitas yang seharusnya melaksanakannya, adalah perbuatan yang tercela karena menghilangkan salah satu syiar besar Islam.
Qamat (إِقَامَة) atau Iqamah secara bahasa berarti mendirikan atau membangkitkan. Dalam konteks syariat, Qamat adalah seruan kedua yang lebih singkat, dilakukan tepat sebelum dimulainya shalat wajib. Fungsi utamanya adalah memberitahu jamaah yang telah berkumpul bahwa imam siap memimpin shalat dan barisan (shaff) harus segera dirapatkan.
Lafal Qamat pada dasarnya mirip dengan Adzan, tetapi lebih ringkas dan memiliki satu penambahan lafal yang menjadi pembeda utama: Qad Qamatis Salah (قد قامت الصلاة) yang berarti "Shalat telah didirikan."
Perbedaan dalam Jumlah Kalimat:
Dalam Qamat, terjadi perbedaan yang signifikan antar mazhab mengenai pengulangan lafal, yang secara umum terbagi menjadi dua versi utama:
A. Versi Delapan Belas Kalimat (Syafi'i dan sebagian Hanbali):
Versi ini menggunakan lafal yang diulang dua kali (seperti Adzan, namun tanpa Tarji'), kecuali kalimat terakhir.
B. Versi Sepuluh Kalimat (Hanafi, Maliki, dan Sebagian Hanbali):
Versi ini sangat ringkas (disebut juga Iqamah Ifrad) di mana sebagian besar kalimat hanya diucapkan satu kali, kecuali Takbir di awal dan akhir, serta Qad Qamatis Salah.
Perbedaan ini bersumber dari perbedaan interpretasi hadits mengenai Qamat. Semua versi tersebut dianggap sah dalam Islam, menunjukkan keluasan rahmat dalam syariat.
Secara umum, hukum Qamat sama dengan Adzan, yaitu Sunnah Muakkadah. Namun, tingkat kepentingan Qamat kadang dianggap lebih tinggi karena ia merupakan batas langsung antara seruan dan pelaksanaan shalat. Jika Adzan adalah pemberitahuan waktu, Qamat adalah pengumuman dimulainya ibadah.
Bagi orang yang shalat sendirian (munfarid) di rumah atau di tempat terpencil, disunnahkan baginya untuk melakukan Adzan dan Qamat, atau minimal Qamat saja, untuk mendapatkan kesempurnaan pahala.
Meskipun keduanya berfungsi sebagai seruan shalat, Adzan dan Qamat memiliki lima perbedaan mendasar yang harus dipahami oleh setiap Muslim:
1. Waktu dan Jeda Pelaksanaan
Adzan dilakukan ketika waktu shalat baru masuk. Tujuan utamanya adalah memberitahu waktu. Sebaliknya, Qamat dilakukan hanya beberapa saat sebelum takbiratul ihram (permulaan shalat). Ada jeda waktu (sekitar 10 hingga 30 menit, tergantung shalatnya) antara Adzan dan Qamat, yang memberikan kesempatan bagi jamaah untuk berwudhu dan datang ke masjid. Jeda ini dikenal sebagai Fashl, dan merupakan waktu mustajab untuk berdoa.
2. Lafal dan Kalimat Tambahan
Adzan memiliki kalimat yang diulang lebih banyak dan, pada waktu Subuh, mencakup Tatswib. Qamat memiliki kalimat khas yang tidak ada pada Adzan, yaitu Qad Qamatis Salah, yang secara definitif menyatakan kesiapan shalat. Selain itu, Qamat umumnya memiliki jumlah kalimat total yang lebih sedikit (terutama dalam versi sepuluh kalimat).
3. Cara Pengucapan (Tempo dan Intonasi)
Adzan disunnahkan untuk dibaca dengan tempo yang panjang, jelas, dan lantang (disebut tartil) agar suaranya dapat mencapai jarak yang jauh. Qamat, sebaliknya, disunnahkan untuk dibaca dengan cepat (disebut hadzarm) dan tidak perlu sekeras Adzan, karena ditujukan kepada jamaah yang sudah berada di dalam masjid.
Ibnu Qudamah menjelaskan, "Sunnah Adzan adalah untuk memanjangkan dan memperjelas suara. Sedangkan sunnah Qamat adalah dibaca dengan cepat dan ringkas, karena Qamat hanyalah pemberitahuan kepada mereka yang hadir."
4. Posisi dan Gerakan Muezzin (Muadzin)
Dalam Adzan, disunnahkan bagi Muadzin untuk menoleh ke kanan saat mengucapkan Hayya 'alas shalaah dan menoleh ke kiri saat mengucapkan Hayya 'alal falaah (disebut tashwib atau berpaling). Dalam Qamat, disunnahkan bagi Muadzin untuk tetap menghadap kiblat tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri.
5. Kondisi Batal atau Terputus
Jika Adzan terputus karena suatu hal yang kecil, ulama memperbolehkan untuk melanjutkan kembali. Namun, Qamat lebih sensitif. Jika Qamat terputus oleh jeda yang terlalu panjang, sebagian besar ulama fiqih mengharuskan Qamat diulang dari awal karena ia menandai permulaan ibadah yang sakral.
Agar Adzan dan Qamat sah dan mendatangkan pahala yang sempurna, ada beberapa syarat dan sunnah yang harus dipenuhi, yang terbagi dalam syarat Muadzin, syarat waktu, dan syarat lafal.
Beberapa syarat ini bersifat disepakati oleh mayoritas fuqaha:
Muadzin dan Muqim (orang yang mengumandangkan Qamat) disunnahkan memiliki syarat-syarat khusus, meskipun tidak semua bersifat wajib:
1. Islam dan Baligh (Dewasa)
Disyaratkan bahwa Muadzin adalah seorang Muslim. Mengenai baligh, mayoritas ulama (kecuali Maliki) memperbolehkan anak yang belum baligh (mumayyiz) untuk Adzan asalkan ia mengerti maksudnya dan tidak mengganggu ketertiban. Namun, jika ada orang baligh yang tersedia, ia lebih utama.
2. Berakal Sehat
Adzan dan Qamat adalah ibadah yang membutuhkan niat dan kesadaran, sehingga tidak sah jika dilakukan oleh orang yang gila atau tidak waras.
3. Suara Lantang dan Jelas (Disunnahkan)
Disunnahkan agar Muadzin memiliki suara yang lantang dan merdu, sebagaimana yang dilakukan Bilal bin Rabah, untuk menyebarkan seruan ini sejauh mungkin.
4. Berdiri Menghadap Kiblat (Disunnahkan)
Disunnahkan melakukan Adzan dan Qamat sambil berdiri dan menghadap kiblat, meskipun Adzan masih dianggap sah jika dilakukan sambil duduk dalam kondisi darurat.
Kapan jamaah harus berdiri setelah mendengar Qamat menjadi perdebatan kecil di kalangan ulama:
Perbedaan dalam tata cara Adzan umumnya minor (seperti Tarji'). Namun, perbedaan dalam Qamat, khususnya jumlah kalimat dan pengulangan, memerlukan tinjauan fiqih yang lebih rinci, karena variasi tersebut memengaruhi praktik di berbagai wilayah Muslim di dunia.
Mazhab Hanafi, yang merupakan mazhab terbesar dalam jumlah pengikut, menganut prinsip Iqamah Ifrad, yaitu Qamat yang sebagian besar kalimatnya hanya diucapkan satu kali (total sepuluh kalimat). Mereka berpegangan pada riwayat yang menyebutkan bahwa Bilal mengajarkan Adzan dengan pengulangan dua kali (genap) dan Qamat dengan pengulangan satu kali (ganjil) kecuali dua takbir awal dan akhir, serta Qad Qamatis Salah.
Dalil Hanafi: Mereka mengutamakan Hadits dari Abdullah bin Zaid yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ memerintahkan Adzan genap dan Qamat ganjil. Mereka melihat ringkasnya Qamat sebagai tanda urgensi, membedakannya dari Adzan yang bertujuan menjangkau khalayak luas.
Poin Kunci Hanafi: Pengulangan satu kali untuk syahadat dan seruan Hayya. Ini menjadikannya ritual yang cepat dan efisien, cocok untuk menandai momen dimulainya shalat.
Mazhab Maliki sepakat dengan Hanafi dalam hal jumlah kalimat Qamat (sepuluh kalimat, atau ganjil). Namun, mereka memiliki penekanan fiqih yang berbeda terkait posisi Muadzin. Mereka sangat menekankan bahwa Adzan dan Qamat harus dilakukan oleh satu orang yang sama dan tidak boleh ada pergantian antara keduanya kecuali ada kebutuhan mendesak.
Dalil Maliki: Mereka berpegangan pada tradisi penduduk Madinah (Amal Ahlil Madinah) dan riwayat yang menekankan keringkasan Qamat. Imam Malik berpendapat bahwa jika seseorang melakukan Adzan genap, ia harus melakukan Qamat ganjil, dan sebaliknya, untuk membedakan kedua seruan tersebut secara jelas.
Poin Kunci Maliki: Menekankan Ifrad (ganjil) dalam Qamat dan pentingnya kesinambungan (Muwalat) antara Adzan dan Qamat.
Mazhab Syafi'i adalah yang paling detail dalam mempraktikkan pengulangan dalam Qamat. Mereka menganut prinsip Iqamah Tasyri', yaitu Qamat yang memiliki pengulangan dua kali (genap) pada sebagian besar kalimat, mirip dengan Adzan, tetapi tanpa Tarji' (mengulang Syahadat dengan suara pelan). Totalnya menjadi tujuh belas atau delapan belas kalimat, tergantung penghitungan Laa Ilaaha Illallah tunggal di akhir.
Dalil Syafi'i: Mazhab Syafi'i berpegangan pada hadits dari Abu Mahdzurah, yang dikenal sebagai hadits Adzan Makki. Hadits ini menjelaskan bahwa Adzan dan Qamat harus serupa, kecuali penambahan Qad Qamatis Salah pada Qamat.
Poin Kunci Syafi'i: Qamat mereka lebih panjang dari mazhab lain, dengan mengulang dua kali pada hampir semua kalimat, untuk menjaga keseragaman lafal dasar dengan Adzan.
Mazhab Hanbali dikenal fleksibel. Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa Qamat yang ganjil (sepuluh kalimat, seperti Hanafi dan Maliki) dan Qamat yang genap (tujuh belas kalimat, seperti Syafi'i) sama-sama sah dan berasal dari sunnah. Ini menunjukkan penerimaan terhadap berbagai riwayat yang sah.
Dalil Hanbali: Mereka mengakui keabsahan Hadits Bilal (ganjil) dan Hadits Abu Mahdzurah (genap), dan memandang variasi tersebut sebagai bentuk keluasan rahmat dalam syariat. Di kebanyakan praktik Hanbali modern, Qamat ganjil (sepuluh kalimat) lebih sering digunakan karena lebih ringkas.
Kesimpulan Fiqih: Semua bentuk Qamat yang disebutkan di atas—baik yang ganjil (sepuluh kalimat) maupun yang genap (tujuh belas atau delapan belas kalimat)—adalah sah, selama pelaksanaannya mengikuti salah satu riwayat yang telah disepakati oleh ulama salaf. Muslim diperbolehkan mengikuti tradisi mazhab yang dominan di wilayahnya.
Adzan dan Qamat bukan hanya rutinitas ritual, melainkan juga memiliki kedalaman spiritual dan keutamaan yang besar dalam Islam.
Adzan adalah deklarasi iman yang ringkas namun kuat. Setiap kalimatnya merupakan fondasi akidah Islam:
Qamat memperkuat seruan ini dengan menambahkan Qad Qamatis Salah, yang memberikan rasa urgensi dan kesiapan. Ini adalah titik transisi mental dan spiritual, dari persiapan menuju pelaksanaan ibadah.
Rasulullah ﷺ memberikan perhatian khusus pada keutamaan Muadzin. Di antara keutamaannya adalah:
1. Mereka adalah orang-orang yang paling lehernya panjang pada hari kiamat (tanda kemuliaan atau kemudahan melalui jembatan Shirat, menurut beberapa penafsiran).
2. Setiap makhluk yang mendengar suara Adzan (jin, manusia, batu, atau pohon) akan menjadi saksi kebaikan bagi Muadzin pada hari kiamat.
3. Muadzin adalah orang yang paling pertama mendapatkan ampunan jika ia mengumandangkan Adzan karena mengharap ridha Allah.
Periode antara Adzan dan Qamat adalah waktu yang sangat mustajab untuk berdoa. Nabi ﷺ bersabda, "Doa di antara Adzan dan Qamat tidak akan ditolak." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Hal ini menekankan bahwa jeda waktu tersebut, yang disyariatkan, bukan hanya jeda fisik, tetapi juga jeda spiritual untuk mempersiapkan hati melalui munajat dan doa, sebelum memasuki inti shalat.
Adzan dan Qamat tidak hanya berlaku di masjid untuk shalat wajib lima waktu. Ada beberapa kondisi khusus yang memiliki aturan tersendiri.
Ketika seseorang melakukan Jama' (menggabungkan dua shalat fardhu dalam satu waktu, seperti Dzuhur dan Ashar saat bepergian), ulama sepakat bahwa cukup dilakukan satu kali Adzan di awal, dan Qamat untuk masing-masing shalat.
Misalnya, untuk Jama’ Taqdim (Dzuhur dan Ashar di waktu Dzuhur): Adzan sekali (untuk Dzuhur), Qamat untuk Dzuhur, shalat Dzuhur, Qamat untuk Ashar, shalat Ashar.
Jika seseorang mengqadha (mengganti) beberapa shalat yang terlewat, disunnahkan untuk Adzan satu kali di awal qadha shalat pertama, dan Qamat untuk setiap shalat yang diqadha secara berurutan. Jika qadhanya hanya satu shalat, Adzan dan Qamat tetap disunnahkan.
Jika jumlah shalat yang diqadha sangat banyak, misalnya lima waktu shalat, maka ulama berbeda pendapat. Mazhab Hanafi dan Hanbali menyatakan bahwa Adzan tetap disunnahkan untuk shalat pertama, sedangkan untuk sisanya cukup Qamat. Mazhab Syafi'i tetap menganjurkan Adzan dan Qamat untuk setiap shalat yang diqadha jika dilakukan secara berurutan.
Secara umum, wanita tidak disyariatkan untuk mengumandangkan Adzan atau Qamat. Jika wanita shalat berjamaah khusus wanita, mereka tetap tidak disunnahkan untuk mengeraskan suara dalam Adzan. Namun, jika mereka ingin memberitahu satu sama lain bahwa waktu shalat telah tiba, sebagian fuqaha membolehkan mereka melakukan Qamat (tanpa mengeraskan suara) sebagai pengumuman internal, namun hukumnya tidak sekuat sunnah bagi kaum laki-laki.
Disunnahkan untuk mengumandangkan Adzan di telinga kanan bayi yang baru lahir, dan Qamat di telinga kiri. Tujuan dari ritual ini adalah menjadikan kalimat tauhid sebagai hal pertama yang didengar oleh bayi, sebagai perlindungan dari gangguan setan.
Terdapat sejumlah adab dan sunnah yang harus dipatuhi oleh Muadzin dan jamaah, yang menyempurnakan ibadah ini.
Sunnah bagi Muadzin
Sunnah bagi Pendengar Adzan
Bagi pendengar, wajib hukumnya untuk merespons Adzan (disebut Ijabah). Cara Ijabah adalah dengan menirukan atau mengulangi lafal Muadzin, kecuali pada lafal Hayya 'alas shalaah dan Hayya 'alal falaah, di mana pendengar merespons dengan "Laa hawla wa laa quwwata illa billah" (Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).
Setelah selesai Adzan, pendengar disunnahkan membaca shalawat kepada Nabi ﷺ dan kemudian membaca doa Adzan. Dengan melaksanakan Ijabah dan doa ini, dijanjikan syafaat dari Rasulullah ﷺ di hari kiamat.
Adzan dan Qamat adalah dua syiar Islam yang tidak dapat dipisahkan dari shalat. Adzan berfungsi sebagai panggilan eksternal yang menyeluruh, menyebar di seluruh penjuru bumi, menetapkan waktu, dan menjadi pengingat Tauhid yang terdengar lima kali sehari semalam. Qamat, di sisi lain, berfungsi sebagai pengumuman internal yang mendesak, mengakhiri persiapan dan memulai ibadah hakiki.
Pemeliharaan terhadap Adzan dan Qamat adalah pemeliharaan terhadap tatanan ibadah shalat berjamaah. Di mata syariat, menghilangkan Adzan dan Qamat, meskipun shalatnya tetap sah, berarti menghilangkan sunnah muakkadah yang memiliki pahala luar biasa dan menjauhkan diri dari kesempurnaan ibadah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Semoga setiap Muslim dapat memahami kedalaman makna dari setiap seruan ini, sehingga ketika seruan Allahu Akbar menggema, hati kita segera merespons dengan kesediaan untuk meninggalkan dunia dan berdiri di hadapan Sang Pencipta, siap untuk mendirikan shalat yang telah ditandai oleh Qamat.
Wallahu a'lam bish-shawab.