Pujian Jawa Setelah Adzan: Akulturasi, Filosofi, dan Syiar

Visualisasi Akulturasi Masjid dan Gamelan Sebuah gambar yang menggabungkan simbol arsitektur masjid tradisional Jawa (atap tumpang) dengan alat musik Gamelan (kendang dan gong), melambangkan harmoni antara syiar Islam dan budaya lokal. Syiar & Budaya
Akulturasi Masjid dan Tradisi Jawa dalam Lantunan Pujian.

Pendahuluan: Jembatan Kultural di Pelataran Masjid

Pujian Jawa setelah adzan adalah sebuah fenomena sosiokultural dan religius yang sangat khas, terutama di wilayah pedesaan dan kota-kota lama di Pulau Jawa. Tradisi ini, yang dikenal juga sebagai tarhim atau puji-pujian, bukanlah sekadar lantunan lagu, melainkan sebuah ritual komunal yang mengisi kekosongan waktu antara selesai dikumandangkannya adzan hingga shalat wajib didirikan (iqamah).

Lebih dari sekadar pengisi waktu, praktik pujian ini adalah cerminan paling nyata dari keberhasilan dakwah Islam di Nusantara yang dilakukan melalui jalur akulturasi. Para penyebar agama, khususnya Wali Songo, memahami bahwa syiar akan lebih diterima jika disisipkan melalui wadah budaya yang sudah melekat pada masyarakat. Musik, pantun, dan tembang adalah medium yang paling efektif untuk mentransfer nilai-nilai tauhid, fiqih dasar, serta moralitas (akhlak) tanpa menimbulkan resistensi kultural.

Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa tradisi pujian Jawa setelah adzan tetap lestari hingga hari ini, menganalisis struktur musikalnya, menelaah filosofi teks yang terkandung di dalamnya, serta melihat bagaimana ia berfungsi sebagai mekanisme pelestarian bahasa dan etika Jawa dalam konteks keislaman yang kental.


I. Sejarah dan Akulturasi: Dari Tembang ke Syiar

Asal-Usul Historis Pujian

Pujian Jawa berakar kuat pada masa awal Islamisasi di Jawa, sekitar abad ke-15 hingga ke-16. Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Jawa sudah memiliki tradisi lisan yang kuat, di mana ajaran, sejarah, dan nilai-nilai diturunkan melalui tembang (nyanyian metrum) dan syair. Para Wali Songo dengan cerdik mengadopsi struktur tembang ini, yang dikenal sebagai *Macapat*, dan mengganti isinya dari kisah-kisah Hindu-Jawa atau mitologi lokal menjadi ajaran-ajaran Islam.

Sunan Kalijaga sering disebut sebagai arsitek utama akulturasi ini. Beliau tidak menghancurkan budaya lama, melainkan mengislamkannya. Tradisi yang dulunya dilakukan di paguyuban seni atau keraton, kini dibawa masuk ke lingkungan masjid. Tujuannya jelas: mendekatkan masjid sebagai pusat kegiatan sosial dan religius, serta memberikan pendidikan Islam secara halus dan menyenangkan (dakwah bil-hikmah).

Awalnya, pujian sering dilantunkan dengan iringan sederhana, bahkan kadang tanpa iringan sama sekali (akustik vokal), menggunakan nada-nada yang mudah diikuti dan dihafal oleh masyarakat awam. Keberadaan pujian ini sangat fungsional, terutama pada saat masjid belum memiliki fasilitas penerangan yang memadai. Pujian menandakan bahwa waktu salat akan segera tiba dan jamaah yang sedang dalam perjalanan atau menunggu di rumah harus segera bersiap.

Konsep Tarhim dan Waktu Tunggu

Secara terminologi, pujian ini sering disamakan dengan tarhim, meskipun secara tekstual bisa berbeda. Tarhim secara umum merujuk pada pembacaan sholawat atau dzikir yang dilakukan sebelum adzan Subuh atau setelah adzan maghrib, yang biasanya direkam atau disiarkan melalui pengeras suara. Namun, di Jawa, istilah *pujian* merujuk pada pembacaan secara langsung oleh bilal atau takmir masjid antara adzan dan iqamah.

Jeda waktu ini, yang dalam fiqih disebut sebagai *fashilah* atau waktu tunggu, dimanfaatkan secara optimal. Waktu tunggu ini bervariasi tergantung waktu shalat (Maghrib biasanya singkat, Isya dan Subuh lebih panjang). Pujian memastikan bahwa waktu hening yang rentan disalahgunakan atau diisi dengan obrolan yang tidak bermanfaat, justru diisi dengan dzikir, peringatan, dan ajaran kebaikan.

Sinkretisme Vokal dan Instrumen

Meskipun pada dasarnya pujian ini vokal, pengaruh musik Jawa sangat terasa. Nada dasar yang digunakan seringkali mengadopsi sistem *laras* (tangga nada) Jawa, yaitu *pelog* atau *slendro* yang disesuaikan agar terdengar lebih universal dan sesuai dengan nuansa religius. Kadang kala, di masjid-masjid kuno, pujian masih dilantunkan dengan irama yang mirip dengan *tembang dolanan* atau *gending* ringan, menjadikannya terdengar familiar di telinga pendengar dari segala usia.

Penggunaan bahasa Jawa, baik yang *ngoko* (kasar/sehari-hari) maupun *kromo inggil* (halus), menjadikan pesan moral dan keagamaan disampaikan tanpa hambatan linguistik, berbeda dengan pembacaan teks Arab yang mungkin memerlukan terjemahan. Inilah inti dari akulturasi: Islam diterima bukan sebagai entitas asing, melainkan sebagai penyempurna nilai-nilai etika yang sudah ada dalam masyarakat Jawa.


II. Struktur Musikal dan Tembang Macapat

Aspek musikal dari pujian Jawa adalah kunci keberhasilannya. Ia memanfaatkan metrum tradisional Jawa yang dikenal sangat fleksibel dan mudah diingat. Hampir semua pujian dalam bahasa Jawa menggunakan format Macapat, yang merupakan sistem puisi lisan dengan aturan baku mengenai jumlah baris (*gatra*), jumlah suku kata per baris (*guru wilangan*), dan vokal akhir baris (*guru lagu*).

Penerapan Macapat dalam Konteks Religius

Setiap jenis tembang Macapat memiliki karakter atau suasana hati (*watak*) yang berbeda, dan para penyusun pujian sangat teliti dalam memilih tembang yang sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan. Beberapa tembang yang paling sering digunakan dalam pujian masjid antara lain:

1. Tembang Pocung (Watak: Jenaka, Penuh Teka-teki, Nasihat Ringan):
Pocung sering digunakan untuk menyampaikan ajaran yang bersifat ringan, mudah dicerna, atau berisi humor filosofis yang menuntun pendengar pada kesadaran spiritual. Karena sifatnya yang santai, Pocung ideal untuk menarik perhatian jamaah yang baru pulang bekerja atau anak-anak.

"Ngèlmu iku, kalakoné kanti laku, Lekasana kas nyantosani, Setya budya pangekesé dur angkara. (Pocung - Bagian dari Serat Wulangreh, sering diadaptasi)"

2. Tembang Kinanthi (Watak: Kasih Sayang, Pendidikan, Bimbingan):
Kinanthi memiliki ritme yang lembut dan mengalir, sangat cocok untuk melantunkan sholawat, kisah teladan Nabi, atau ajaran tentang hubungan antara hamba dengan Tuhannya. Nada Kinanthi terasa mendidik dan menenangkan, memberikan suasana damai menjelang shalat.

3. Tembang Sinom (Watak: Semangat Muda, Optimisme, Awal Kehidupan):
Sinom sering digunakan untuk membahas prinsip-prinsip syariat, tuntunan hidup bagi anak muda, atau semangat untuk bertaubat. Strukturnya yang panjang memungkinkan penjelasan konsep teologi yang lebih kompleks dalam beberapa baris.

Melodi dan Irama Khusus Masjid

Meskipun mengadopsi Macapat, irama pujian di masjid memiliki ciri khas tersendiri. Ia tidak sekaku tembang keraton. Iramanya lebih sederhana dan cenderung monoton, memungkinkan semua orang dapat ikut melantunkan tanpa perlu keahlian vokal yang tinggi. Penekanan diletakkan pada artikulasi teks, bukan pada ornamentasi melodi.

Seringkali, satu bait pujian dilantunkan secara solo oleh seorang bilal, kemudian diulang serentak (koor) oleh jamaah yang sudah hadir. Teknik ini menciptakan efek resonansi komunal, memperkuat rasa kebersamaan dan mempersiapkan mental spiritual sebelum menghadap Allah SWT dalam shalat.


III. Filsafat Teks: Kandungan Pesan yang Mendalam

Inti dari pujian Jawa setelah adzan terletak pada kekayaan isinya. Teks pujian berfungsi sebagai kurikulum mini teologi, fiqih, dan tasawuf yang disampaikan secara lisan dan puitis. Tema-tema yang diangkat sangat beragam, namun umumnya dapat diklasifikasikan menjadi lima pilar utama:

1. Peringatan Akan Kematian dan Akhirat (Pepiling)

Salah satu tema yang paling populer adalah pepiling (peringatan). Pujian sering mengingatkan jamaah bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara. Kematian adalah kepastian, dan persiapan untuk kehidupan abadi (akhirat) harus segera dilakukan. Penggunaan bahasa Jawa yang lugas dan metafora alamiah (seperti kubur, kain kafan, dan panggilan malaikat) membuat pesan ini terasa sangat personal dan dekat.

"Èling-èling, siro menungso, Ora suwé uripé neng alam ndonya. Yèn wis mati, sarira dèn tanem, Omahmu cilik, ora ono kancane. Sapa kang nulungi, kajaba amalé, Saben dinten nggawa bekal akhiraté."

Fungsi filosofis dari tema ini adalah untuk menanamkan konsep *zuhud* (asketisme non-ekstrem) dan tawakkal (pasrah) kepada Tuhan, sekaligus mendorong jamaah untuk memanfaatkan waktu tunggu shalat dengan refleksi diri.

2. Pujian kepada Nabi Muhammad (Sholawat Jawa)

Sholawat adalah komponen wajib. Namun, sholawat yang dilantunkan di Jawa seringkali berbeda dari sholawat Arab murni. Ia diadaptasi menjadi Sholawat Jawa atau *Sholawat Badar* versi Jawa, di mana sanjungan kepada Nabi disisipkan dalam narasi yang lebih mudah diterima oleh telinga lokal.

Sholawat Jawa menekankan pada sifat-sifat kenabian, perjuangan dakwah, dan peran Nabi sebagai teladan moral. Tradisi ini memperkuat sanad keilmuan dan keimanan, menghubungkan jamaah lokal dengan figur sentral Islam melalui bahasa ibu mereka.

3. Pelajaran Fiqih dan Syariat Dasar

Pujian juga menjadi media efektif untuk mengajarkan rukun Islam, tata cara wudhu, atau syarat sah shalat yang seringkali sulit dipahami masyarakat awam jika hanya disampaikan dalam bahasa Arab. Misalnya, pujian tentang syarat wudhu atau batalnya wudhu dilantunkan dengan irama Macapat yang menarik.

Contohnya adalah pujian tentang thaharah (kesucian):

"Wudhu iku wajibé ping pitu, Niat ing ati, basuh wajah, Basuh tangan loro, ngusap sirah, Basuh sikil karo genti-genten, Tertib lan ora kena sumelang."

Penyampaian dalam bentuk tembang ini membantu memorisasi dan pemahaman, karena irama memudahkan ingatan jangka panjang, mirip dengan fungsi lagu anak-anak dalam pembelajaran dasar.

4. Ajaran Moral dan Etika (Budi Pekerti)

Sangat banyak pujian yang berfokus pada budi pekerti (moralitas), menekankan pentingnya menghormati orang tua (*birrul walidain*), menjaga lidah dari fitnah, dan menjauhi perilaku buruk seperti iri dan dengki. Ini adalah inti dari dakwah kultural: menjadikan Islam sebagai panduan etis dalam kehidupan sehari-hari, sejalan dengan konsep *manungsa sejati* (manusia sejati) dalam filosofi Jawa.

5. Tauhid dan Keagungan Tuhan

Tentu saja, tema Tauhid (keesaan Allah) selalu menjadi fokus utama. Pujian seringkali memuat Asmaul Husna, atau dzikir yang memuji keagungan Allah SWT, disampaikan dengan bahasa yang merendahkan diri dan penuh pengharapan.


IV. Dinamika Pelaksanaan dan Praktik Komunal

Pelaksanaan pujian Jawa setelah adzan bukan hanya ritual individu, melainkan ritual komunal yang terintegrasi erat dengan kehidupan sosial masyarakat desa. Ia memiliki fungsi sosiologis yang sangat penting.

Peran Bilal dan Takmir Masjid

Di banyak masjid, peran melantunkan pujian dipegang oleh bilal atau takmir masjid, yang biasanya merupakan sesepuh atau tokoh masyarakat yang memiliki suara merdu dan pemahaman mendalam tentang tembang Jawa. Keterampilan ini sering diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi. Proses pewarisan ini memastikan bahwa ritme dan teks tetap otentik.

Pujian oleh bilal seringkali berfungsi sebagai komando tidak tertulis. Ketika bilal melantunkan pujian yang berisi peringatan untuk menyempurnakan wudhu, jamaah tahu bahwa waktu iqamah masih beberapa saat lagi. Ketika pujian berganti menjadi sholawat yang lebih pendek dan energik, itu adalah sinyal bahwa shalat akan segera dimulai.

Waktu Maghrib dan Subuh

Meskipun pujian dapat dilantunkan di lima waktu shalat, intensitas dan panjangnya pujian paling menonjol pada waktu Maghrib dan Subuh. Maghrib memiliki jeda waktu yang pendek, sehingga pujian harus padat dan berisi nasihat mendalam. Subuh, di sisi lain, seringkali menjadi waktu bagi pujian yang lebih panjang, berfungsi sebagai 'pembangun' mental spiritual sebelum memulai hari.

Khusus Subuh, pujian seringkali berisi deskripsi tentang keutamaan bangun pagi, peringatan terhadap godaan tidur, dan ajakan untuk mencari rezeki yang halal setelah menunaikan shalat.

Pujian Sebagai Transmisi Ajaran Sebuah gambar yang menggambarkan simbol mikrofon atau pengeras suara di tengah, dikelilingi oleh pola batik mega mendung yang melambangkan transmisi ajaran Islam melalui medium budaya (suara). Lisan dan Transmisi Pengetahuan
Pujian sebagai medium lisan untuk menyampaikan ajaran Islam yang adaptif.

Fungsi Sosial dan Edukasi Anak

Bagi anak-anak yang ikut ke masjid, pujian adalah pelajaran pertama mereka tentang Islam dalam bahasa yang mereka kenal. Mereka tidak hanya belajar tentang rukun Islam, tetapi juga belajar menghafal tembang dan irama, yang secara tidak langsung melatih kemampuan bahasa Jawa mereka. Tradisi ini menanamkan cinta terhadap masjid sejak dini, karena masjid tidak hanya dipandang sebagai tempat yang kaku, melainkan sebagai pusat komunitas yang hangat dan berbudaya.

Di masa kini, di mana pengaruh media asing sangat kuat, pujian Jawa menjadi salah satu benteng terakhir dalam mempertahankan bahasa dan etika Jawa yang halus (*unggah-ungguh*) di kalangan generasi muda yang aktif di lingkungan masjid.


V. Konten Spesifik dan Analisis Teks Mendalam

Untuk memahami kedalaman pujian Jawa, kita perlu membedah contoh teks yang sangat populer dan melihat bagaimana ajaran Islam dihubungkan dengan citraan Jawa.

1. Analisis Teks tentang Perjalanan Hidup (Laku Urip)

Banyak pujian menggunakan metafora perjalanan (pelayaran) untuk menggambarkan kehidupan seorang Muslim. Perahu adalah sarana, tujuan adalah akhirat, dan bekalnya adalah iman dan amal saleh.

Pujian ini sering dilantunkan dengan irama Dhandhanggula (tembang yang bersifat indah dan penuh harapan, cocok untuk gambaran perjalanan spiritual):

"Kang sapa wus prapté ing dinten pungkas, Nandhang lara tanpa tamba, Yèn tumekaning pati, Dèné aja lali, Iku dudu panggonan bungah, Ninggal anak bojo, sawah, lan bandha, Amung amal kang nyertani, Kang bisa nulungi, Nèng kubur dadi kanca sepi."

Analisis: Teks ini secara puitis mengingatkan bahwa kekayaan duniawi (sawah, bandha) tidak akan berarti saat kematian tiba. Satu-satunya 'teman' di alam kubur adalah amal. Penggunaan kata "pungkas" (akhir) dan "kanca sepi" (teman kesepian) memberikan nuansa melankolis yang mendorong introspeksi segera sebelum memulai shalat, menanggalkan sementara urusan duniawi.

2. Pujian yang Mengajarkan Rukun Iman dan Islam

Pujian seringkali disusun sebagai daftar rukun-rukun keagamaan agar mudah dihafal. Format ini adalah bentuk edukasi yang paling praktis.

"Rukun Islam ana limang prekara, Syahadat kalih neng ngarep dhewe, Nomer loro sholat limo, Pasa Ramadhan iku papat, Zakat fitrah yen wus mampu, Haji mring Mekah, yen kuwasa, Iku lampahing wong Mukmin sejati."

Analisis: Sederhana, lugas, dan menggunakan bahasa sehari-hari. Ia memastikan bahwa bahkan orang yang buta huruf pun dapat memahami dan menghafal dasar-dasar keimanan. Teknik ini adalah warisan dari metode pengajaran Wali Songo yang selalu mengutamakan kemudahan dan aksesibilitas.

3. Peran Doa dalam Kehidupan Sehari-hari

Selain nasihat, banyak pujian berisi doa atau munajat (permohonan) yang disisipkan dalam tembang, seringkali memohon ampunan, kesehatan, atau keberkahan.

"Duh Gusti, Pangeran Kang Maha Kuwaos, Nyuwun sih pangapura, dosa kawula, Saking awit nganti tumekaning pati, Mugi Paduka paring barokah, Kagem awak lan kulawarga, Ajarono kita dadi wong kang sholeh, Tansah eling mring Paduka."

Analisis: Doa ini menunjukkan perpaduan antara spiritualitas Islam dan kerendahan hati ala Jawa. Penggunaan kata "Kawula" (hamba) dan "Paduka" (Tuan/Engkau yang diagungkan) adalah bentuk bahasa krama inggil yang mempertegas etika hubungan antara manusia dan pencipta, yaitu hubungan antara yang rendah dan Yang Maha Tinggi.


VI. Tantangan dan Pelestarian di Era Modern

Erosi Budaya dan Globalisasi

Dalam dua dekade terakhir, tradisi pujian Jawa setelah adzan menghadapi tantangan besar. Globalisasi informasi dan meningkatnya keseragaman praktik keagamaan (purifikasi) seringkali menggeser tradisi lokal. Di beberapa kota besar, pujian Jawa digantikan oleh rekaman tarhim berbahasa Arab atau hanya diisi dengan keheningan singkat sebelum iqamah.

Generasi muda di perkotaan, yang bahasa ibunya mulai beralih ke bahasa Indonesia atau bahkan bahasa asing, kurang familiar dengan tembang Macapat dan filosofi Jawa yang rumit. Akibatnya, mereka kehilangan koneksi emosional terhadap pujian yang dilantunkan dalam bahasa krama atau tembang kuno.

Upaya Pelestarian dan Revitalisasi

Meskipun menghadapi tantangan, ada gerakan kuat untuk melestarikan tradisi ini. Upaya revitalisasi dilakukan melalui beberapa cara:

  1. Digitalisasi dan Dokumentasi: Banyak komunitas penggiat budaya yang merekam dan mendokumentasikan teks-teks pujian kuno, serta membuat aransemen pujian agar dapat diakses melalui media sosial atau platform digital.
  2. Regenerasi Bilal: Pelatihan khusus bagi generasi muda di pesantren dan masjid-masjid desa untuk menguasai tembang Macapat dan pujian.
  3. Adaptasi Irama: Beberapa grup musik religi (seperti kelompok sholawat modern) mulai mengadopsi struktur pujian Jawa ke dalam aransemen yang lebih kontemporer tanpa menghilangkan esensi aslinya.
  4. Penguatan di Pondok Pesantren: Pondok-pondok pesantren salaf di Jawa seringkali menjadikan pujian sebagai bagian integral dari kurikulum pendidikan moral dan budaya mereka, memastikan sanad budaya ini tidak terputus.

Keberadaan pujian Jawa hari ini adalah pengingat bahwa Islam di Nusantara adalah Islam yang inklusif, yang merangkul kearifan lokal. Ia membuktikan bahwa keindahan spiritual dapat disalurkan melalui media yang paling dekat dengan hati masyarakat.

Pujian sebagai Penanda Identitas Kultural

Bagi komunitas Jawa, pujian di masjid adalah penanda identitas yang penting. Ketika seseorang mendengar lantunan pujian dalam laras pelog setelah adzan, ia tahu bahwa ia berada di lingkungan yang menghargai harmoni antara agama dan budaya. Ini adalah suara yang menenangkan, yang membawa pulang ingatan kolektif tentang nenek moyang dan cara mereka menerima Islam dengan damai dan penuh kebijaksanaan.

Pujian tidak hanya mempersiapkan hati untuk shalat, tetapi juga mempersiapkan jiwa untuk hidup dalam masyarakat yang menjunjung tinggi etika, kesopanan, dan penghormatan terhadap tradisi leluhur, sebuah konsep yang dikenal sebagai mikul dhuwur mendhem jero (menjunjung tinggi yang baik dan mengubur dalam-dalam yang buruk).


VII. Penutup: Warisan Abadi Dakwah Bil Hal

Tradisi pujian Jawa setelah adzan adalah monumen hidup dari sebuah proses akulturasi yang brilian. Ia mewakili metode dakwah bil hal (dakwah melalui perbuatan dan adaptasi nyata) yang sukses, di mana bentuk-bentuk kebudayaan lokal dimanfaatkan sebagai kendaraan untuk nilai-nilai universal Islam.

Jeda waktu singkat antara adzan dan iqamah yang diisi dengan lantunan Macapat religius telah mengubah masjid menjadi tidak hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat pendidikan non-formal, konservasi bahasa, dan pelestarian etika komunal. Setiap lantunan adalah doa, setiap syair adalah pelajaran, dan setiap irama adalah pengingat akan keagungan Tuhan dalam balutan budaya yang hangat dan akrab.

Selama masyarakat Jawa masih memiliki kesadaran untuk menjalin ikatan antara tradisi spiritual dan kearifan lokal, suara pujian setelah adzan akan terus bergema, menjadi pengingat abadi akan harmoni dan keseimbangan yang menjadi ciri khas Islam Nusantara.

🏠 Kembali ke Homepage