Perintah puasa, atau dalam istilah syariat disebut Shaum atau Shiyam, merupakan salah satu rukun Islam yang fundamental, menempati posisi rukun yang ketiga. Perintah ini bukanlah sekadar anjuran moral, melainkan sebuah kewajiban ('Fardhu Ain') yang mengikat setiap Muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Pemahaman mendalam tentang dasar perintah ini adalah kunci untuk menjalankan ibadah puasa dengan keikhlasan dan kesadaran penuh akan tujuan spiritualnya.
Kewajiban menjalankan puasa Ramadhan memiliki landasan yang sangat kokoh dalam sumber hukum Islam, yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah (Hadits). Ayat yang paling sering dijadikan rujukan utama dalam penetapan kewajiban ini terdapat dalam Surah Al-Baqarah:
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).
Ayat ini secara eksplisit menggunakan kata kerja ‘diwajibkan’ (kutiba), yang dalam konteks syariat merujuk pada ketetapan hukum yang harus ditaati. Lebih jauh, ayat ini juga secara jelas mengaitkan tujuan utama puasa dengan pencapaian ‘Taqwa’, sebuah kondisi spiritual tertinggi yang mencerminkan kesadaran penuh terhadap kehadiran Ilahi dan ketaatan total.
Selain Al-Qur'an, landasan kewajiban ini diperkuat oleh As-Sunnah. Rasulullah ﷺ bersabda, menjelaskan bahwa puasa Ramadhan adalah salah satu pilar utama yang menyangga struktur keislaman:
“Islam didirikan di atas lima perkara: persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, dan puasa Ramadhan.” (Muttafaq Alaih).
Konsensus (Ijma’) ulama dari berbagai mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) telah menegaskan bahwa puasa Ramadhan adalah kewajiban yang pasti (Ma'lum min ad-din bi ad-dharurah). Siapa pun yang menolak atau mengingkari kewajiban ini, sementara ia mengetahui hukumnya, dapat dianggap telah keluar dari garis keimanan, meskipun ia menjalankan puasa karena alasan adat atau kesehatan.
Perintah puasa Ramadhan tidak diturunkan sekaligus, melainkan melalui tahapan pensyariatan. Sebelum Ramadhan diwajibkan, umat Islam diwajibkan berpuasa pada hari Asyura (tanggal 10 Muharram). Ketika kewajiban puasa Ramadhan diturunkan pada bulan Sya'ban, menjelang hijrah yang kedua, puasa Asyura beralih status dari wajib menjadi sunnah (anjuran). Penetapan bulan Ramadhan sebagai waktu spesifik ibadah puasa ini terkait erat dengan turunnya Al-Qur'an (Nuzulul Qur'an), yang juga diabadikan dalam Surah Al-Baqarah: 185.
Ilustrasi bulan sabit dan bintang yang menandakan dimulainya kewajiban puasa Ramadhan.
Secara bahasa, puasa berarti menahan diri. Secara syariat, puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar shadiq hingga terbenam matahari, disertai dengan niat khusus yang ditetapkan pada malam hari.
Keagungan perintah puasa terletak pada sifatnya yang merupakan ibadah murni antara hamba dengan Penciptanya (Sirr al-ibadah). Meskipun salat dan zakat dapat terlihat oleh orang lain, puasa adalah ibadah batin yang tingkat ketaatannya hanya diketahui oleh individu dan Allah SWT. Inilah yang menjelaskan Hadits Qudsi di mana Allah berfirman: "Setiap amal anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya."
Untuk memastikan bahwa puasa yang dijalankan sah di mata syariat dan mendapatkan pahala yang sempurna, penting untuk memahami perbedaan antara syarat wajib (yang membuat seseorang wajib berpuasa) dan syarat sah (yang membuat puasa seseorang diterima).
Syarat-syarat ini menentukan apakah seseorang secara hukum Islam diwajibkan untuk menjalankan puasa Ramadhan. Jika salah satu syarat ini tidak terpenuhi, kewajiban berpuasa gugur, meskipun puasa yang dilakukan tetap sah jika dilakukan:
Penelitian mendalam mengenai syarat wajib ini menunjukkan betapa Islam sangat memperhatikan kemampuan fisik dan mental individu. Kewajiban tidak membebani di luar batas kemampuan, selaras dengan prinsip ‘Yusrun’ (kemudahan) dalam syariat.
Syarat-syarat ini harus dipenuhi agar ibadah puasa yang dilakukan dihitung sah secara syariat, terlepas dari apakah ia wajib melakukannya atau tidak:
Rukun adalah elemen inti yang tanpanya ibadah menjadi tidak sah sama sekali. Rukun puasa hanya ada dua, namun implementasinya membutuhkan ketelitian yang tinggi:
Niat adalah keinginan hati untuk melakukan ibadah semata-mata karena Allah. Dalam konteks puasa wajib (Ramadhan, qadha, kaffarah), niat harus dilakukan pada malam hari, yakni antara waktu maghrib hingga terbit fajar shadiq. Ketentuan fiqih terkait niat sangat detail. Ulama Mazhab Syafi'i mengharuskan adanya 'ta'yin' (penentuan), yaitu menyebutkan jenis puasanya (misalnya, "Aku niat puasa fardhu Ramadhan esok hari"). Sementara itu, beberapa mazhab lain membolehkan niat umum untuk sebulan penuh di awal Ramadhan, meskipun niat harian tetap lebih utama.
Pentingnya niat terletak pada pembeda antara adat (kebiasaan) dan ibadah (ketaatan). Tanpa niat, menahan diri dari makan dan minum hanya dianggap sebagai diet atau kebiasaan, bukan puasa syar'i.
Menahan diri dari semua yang membatalkan puasa. Batas waktu penahanan ini sangat tegas, dimulai dari munculnya Fajar Shadiq (waktu subuh) hingga tenggelamnya Matahari (waktu maghrib). Imsak ini mencakup penahanan dari segala jenis asupan fisik dan kegiatan seksual, serta, dalam dimensi spiritual yang lebih dalam, menahan diri dari perbuatan maksiat dan dusta. Fiqh sangat menekankan bahwa jika seseorang makan atau minum karena lupa, puasanya tidak batal (berdasarkan hadits Nabi), namun jika dilakukan secara sengaja, maka puasa langsung batal dan wajib di-qadha, bahkan berkonsekuensi kaffarah jika pembatalnya adalah hubungan suami-istri.
Pemahaman yang mendalam mengenai pembatal-pembatal puasa sangat krusial untuk menjaga integritas ibadah. Para fuqaha (ahli fiqh) membagi pembatal puasa menjadi dua kategori utama: pembatal yang membatalkan puasa tanpa menimbulkan kaffarah, dan pembatal yang membatalkan sekaligus menimbulkan denda berat (kaffarah).
Pembatal-pembatal ini terjadi jika dilakukan secara sengaja dan sadar, namun tidak menimbulkan kaffarah. Hari puasa yang batal harus diganti (qadha) setelah Ramadhan, satu hari untuk satu hari yang terlewat:
Satu perbuatan ini memiliki konsekuensi hukum yang sangat berat karena dianggap melanggar kehormatan bulan Ramadhan secara maksimal:
Berhubungan Suami Istri (Jimak) di Siang Hari Ramadhan: Jika dilakukan secara sengaja, sadar, dan tanpa paksaan. Pelaku (baik suami maupun istri yang ridha) tidak hanya wajib meng-qadha satu hari yang batal, tetapi juga diwajibkan Kaffarah Kubra (Denda Berat) secara berurutan:
Urutan ini harus ditaati; seseorang tidak boleh langsung beralih ke pilihan ketiga jika ia masih mampu melakukan pilihan kedua. Perintah kaffarah ini menunjukkan betapa seriusnya pelanggaran terhadap batasan puasa yang ditetapkan Allah SWT.
Skema neraca keadilan yang melambangkan pentingnya keseimbangan antara rukun dan syarat sah puasa.
Islam adalah agama yang memberikan kemudahan. Perintah puasa, meskipun wajib, dilengkapi dengan keringanan bagi mereka yang berada dalam kondisi khusus. Selain itu, perintah puasa tidak hanya terbatas pada Ramadhan, tetapi mencakup berbagai jenis puasa wajib dan sunnah lainnya.
Keringanan ini diberikan agar puasa tidak menimbulkan kesulitan yang tidak tertahankan. Mereka yang mendapatkan rukhsah wajib mengganti puasanya (Qadha) atau membayar tebusan (Fidyah).
Fidyah adalah denda berupa pemberian makan kepada fakir miskin, satu mud (sekitar 675 gram bahan makanan pokok) untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Fidyah wajib bagi mereka yang tidak mampu berpuasa dan tidak memiliki harapan untuk sembuh atau menggantinya:
Ketentuan ini berlaku bagi wanita hamil atau menyusui. Jika mereka berbuka karena khawatir terhadap kesehatan diri sendiri, mereka hanya wajib Qadha. Namun, jika mereka berbuka karena semata-mata mengkhawatirkan janin atau bayi yang disusui, mayoritas ulama (khususnya Mazhab Syafi’i dan Hanbali) mewajibkan Qadha dan Fidyah.
Perintah puasa tidak hanya terbatas pada fardhu Ramadhan. Terdapat puasa wajib lainnya dan puasa sunnah yang memiliki keutamaan besar:
Perintah puasa Sunnah bertujuan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah dan menutupi kekurangan pada puasa wajib. Ini menunjukkan bahwa perintah puasa adalah praktik tahunan yang berkelanjutan, bukan hanya musiman:
Perintah puasa sunnah ini memperluas cakupan ibadah puasa, mengubahnya dari sekadar kewajiban tahunan menjadi gaya hidup spiritual yang berkelanjutan. Setiap jenis puasa sunnah ini membawa pesan spiritual yang berbeda, memperkuat disiplin diri dan pengendalian hawa nafsu secara rutin.
Tujuan perintah puasa, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an, adalah pencapaian Taqwa. Hikmah di balik puasa jauh melampaui sekadar menahan lapar dan dahaga; ia adalah pelatihan komprehensif jiwa dan raga.
Taqwa adalah buah utama puasa. Puasa melatih seseorang untuk senantiasa merasa diawasi oleh Allah (Muraqabah). Karena puasa adalah ibadah tersembunyi, seseorang yang sendirian pun akan menahan diri dari makan dan minum karena kesadaran bahwa Allah melihatnya. Kesadaran ini kemudian diharapkan meresap ke dalam seluruh aspek kehidupan, menjauhkan diri dari maksiat, meskipun tidak ada manusia yang menyaksikan. Ini adalah intisari dari perintah puasa.
Disiplin menahan hal-hal yang mubah (diperbolehkan) seperti makan dan minum, secara otomatis akan mempermudah seseorang menahan diri dari hal-hal yang diharamkan (maksiat). Seseorang yang mampu mengendalikan kebutuhan biologisnya yang mendasar selama 12-14 jam, tentu diharapkan mampu mengendalikan lisan dari ghibah (gosip), mata dari pandangan haram, dan tangan dari perbuatan zalim. Perintah ini menciptakan benteng moral yang kuat.
Salah satu hikmah sosial terbesar dari perintah puasa adalah menumbuhkan empati. Ketika orang kaya merasakan kelaparan dan kesulitan yang dialami oleh fakir miskin secara harian, kesadaran sosial meningkat. Puasa Ramadhan secara kolektif meruntuhkan sekat-sekat kelas ekonomi dan menciptakan solidaritas sosial yang unik. Rasa lapar fisik menjadi jembatan psikologis menuju pemahaman penderitaan orang lain. Hal ini diperkuat dengan perintah Zakat Fitrah yang wajib ditunaikan sebelum berakhirnya Ramadhan, memastikan bahwa kaum miskin juga dapat merayakan Hari Raya Idul Fitri dalam keadaan berkecukupan.
Perintah puasa mengajar kita bahwa manusia adalah makhluk yang rapuh dan bergantung. Tanpa asupan dasar, fungsi tubuh melemah. Kesadaran akan kerapuhan ini mendorong rasa syukur atas nikmat yang seringkali dianggap remeh, seperti air minum dan makanan. Syukur ini pada gilirannya mendorong kedermawanan dan kepedulian. Kesadaran ini adalah tujuan yang sangat substansial dalam syariat Islam.
Meskipun bukan tujuan utama, puasa membawa manfaat fisik yang luar biasa. Penelitian modern telah mengkonfirmasi manfaat autophagy (pembersihan sel) dan peremajaan sistem pencernaan. Namun, dari sudut pandang Islam, manfaat ini adalah bonus. Inti dari perintah puasa adalah pengendalian diri (riyadhah an-nafs).
Puasa melatih kesabaran ('Ash-Shabr') dalam bentuk yang paling murni. Kita dipaksa untuk menunda kepuasan (delayed gratification). Kesabaran ini tidak hanya terkait dengan rasa lapar, tetapi juga kesabaran menghadapi godaan, emosi, dan provokasi. Rasulullah ﷺ bersabda, "Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, janganlah ia berkata kotor dan janganlah berbuat gaduh. Apabila ada orang yang mencacinya atau mengajaknya berkelahi, hendaklah ia mengatakan: 'Sesungguhnya aku sedang berpuasa'." Perintah ini menggarisbawahi bahwa puasa lisan dan emosi lebih utama daripada sekadar puasa perut.
Keseimbangan antara kebutuhan fisik dan spiritual adalah inti ajaran puasa. Ia adalah bentuk ‘Jihad Akbar’ (perjuangan terbesar) melawan hawa nafsu yang seringkali menguasai akal dan spiritualitas manusia. Puasa adalah kemenangan akal atas insting hewani.
Oleh karena itu, perintah puasa adalah program pelatihan moral, etika, dan spiritual yang didesain secara ilahi untuk jangka waktu satu bulan penuh, dengan harapan disiplin yang diperoleh selama Ramadhan akan berkelanjutan selama sebelas bulan berikutnya. Kegagalan memahami hikmah ini seringkali menyebabkan puasa hanya menjadi rutinitas tanpa peningkatan kualitas spiritual (sebagaimana ungkapan: "Banyak orang berpuasa namun yang didapat hanyalah lapar dan dahaga").
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi medis, muncul berbagai pertanyaan fiqh yang memerlukan interpretasi dan ijtihad ulama kontemporer terkait hal-hal yang membatalkan puasa, khususnya yang berkaitan dengan pengobatan dan diagnosis.
Meskipun rukun puasa (menahan makan, minum, dan jimak) tetap tidak berubah, implementasi modern membutuhkan klarifikasi:
Konsensus yang dapat ditarik adalah: Jika suatu tindakan medis memasukkan zat yang bertujuan memberikan energi, nutrisi, atau berfungsi sebagai pengganti makanan, maka puasa batal. Jika tujuannya semata-mata pengobatan tanpa asupan gizi, cenderung tidak membatalkan, meskipun kehati-hatian (ihtiyat) tetap dianjurkan.
Perintah puasa dimulai tepat pada terbitnya Fajar Shadiq. Dalam praktik modern, waktu Imsak sering ditandai sebagai 10 menit sebelum Subuh. Imsak bukanlah batas waktu syar’i puasa, melainkan waktu peringatan (ihtiyat) untuk berhenti makan. Waktu yang haram untuk makan adalah saat azan Subuh berkumandang (Fajar Shadiq). Rasulullah ﷺ sangat menganjurkan untuk mengakhirkan sahur, menunjukkan kemudahan (yusr) dalam syariat, asalkan berhenti sebelum fajar.
Perintah puasa diakhiri dengan berbuka (Iftar) saat matahari terbenam (Maghrib). Sunnah Nabi menekankan untuk menyegerakan berbuka (ta’jil al-fitr) segera setelah waktu maghrib tiba. Penundaan berbuka tanpa alasan syar’i adalah makruh (dibenci). Sunnah juga menganjurkan berbuka dengan kurma (sebagai simbol nutrisi dan pemulihan energi) atau air. Etika puasa menuntut agar makanan buka puasa tidak berlebihan, agar hikmah menahan diri tidak hilang dan tidak menimbulkan kemalasan dalam menjalankan ibadah malam (Tarawih).
Implementasi perintah puasa yang benar memerlukan tidak hanya kepatuhan pada rukun dan syarat fiqh, tetapi juga internalisasi tujuan utamanya: peningkatan kualitas spiritual dan etika. Puasa adalah madrasah (sekolah) yang melatih manusia untuk mencapai derajat tertinggi di sisi-Nya, yaitu derajat orang yang bertaqwa.
Penelitian mendalam menunjukkan bahwa perintah puasa adalah mekanisme syar'i yang terstruktur sempurna, menjamin disiplin, kesehatan, dan solidaritas sosial. Kelengkapan dan kerincian hukumnya—dari syarat wajib hingga kaffarah, dan dari puasa wajib hingga puasa sunnah—menjadikan ibadah puasa sebagai pilar yang tidak terpisahkan dari kehidupan seorang Muslim yang kaffah (menyeluruh).