Sensasi Pedas yang Tak Tertandingi dari Kota Pahlawan
Penyet Suroboyo, lebih dari sekadar nama hidangan, adalah sebuah manifestasi filosofi kuliner yang kasar, jujur, dan menggugah selera. Kata 'penyet', yang dalam bahasa Jawa Timur berarti 'geprek' atau 'ditekan hingga pipih', bukan hanya merujuk pada teknik pengolahan, melainkan menggambarkan sebuah proses percampuran yang intim antara protein (baik ayam, lele, tempe, atau tahu) dengan sambal pedas nan legendaris. Hidangan ini lahir dari rahim Kota Surabaya, kota yang keras namun menawarkan cita rasa pedas dan berani yang sesuai dengan karakter penduduknya. Penyet Suroboyo adalah ikon, representasi nyata dari kekayaan kuliner Jawa Timur yang menolak kemewahan namun memuja keotentikan rasa. Ini adalah makanan rakyat jelata yang telah naik kelas menjadi santapan lintas sosial, dinikmati di warung sederhana hingga restoran modern.
Inti dari Penyet Suroboyo terletak pada kontras sempurna: protein yang gurih, seringkali digoreng hingga garing, dibanting dan dilumuri sambal mentah yang dibuat segar di atas cobek batu. Hasilnya adalah sinergi tekstur yang memukau: kulit ayam yang renyah bertemu dengan sambal tomat atau terasi yang lembap dan meletup-letup. Proses 'penyet' ini memastikan bahwa setiap serat daging terbalut sempurna oleh kekayaan rasa cabai, bawang, dan bumbu rahasia. Tanpa teknik penyet, hidangan ini hanya akan menjadi ayam goreng biasa dengan sambal di sampingnya. Teknik penyet adalah jiwa, adalah ritual, yang mengubah sajian biasa menjadi pengalaman kuliner yang mendalam dan memuaskan.
Popularitas Penyet Suroboyo tidak hanya terbatas di Jawa Timur. Ia telah menjelajah ke seluruh pelosok Nusantara, bahkan menyeberang batas negara, membawa serta aroma terasi yang khas dan kepedasan yang menantang. Namun, esensi otentik Penyet Suroboyo yang sejati, dengan tingkat kepedasan yang mampu membuat kening berkeringat dan air mata mengalir, hanya bisa ditemukan di kota asalnya. Kita akan menyelami lebih jauh, bukan hanya resepnya, melainkan juga sejarahnya, peran cobek sebagai alat utama, dan bagaimana hidangan sederhana ini berhasil memengaruhi budaya makan Indonesia secara keseluruhan.
Penyet, sebagai teknik penyajian, bukanlah penemuan mendadak, melainkan evolusi alami dari budaya makan Indonesia yang selalu melibatkan sambal segar. Di masa lalu, ketika hidangan lauk pauk sederhana seperti tempe atau tahu goreng menjadi menu harian, sambal seringkali diletakkan di piring kecil terpisah. Namun, imajinasi kuliner Surabaya yang dinamis menemukan cara untuk mengintegrasikan sambal secara lebih efisien. Penyet mulai populer di era pertengahan abad ke-20, ketika warung-warung kaki lima membutuhkan cara penyajian cepat dan berkesan. Protein yang sudah digoreng, daripada sekadar dicocol, dipenyet langsung ke atas sambal yang baru diulek.
Teknik ini memiliki dua manfaat fundamental. Pertama, efisiensi rasa. Dengan dipenyet, protein yang kering menyerap minyak dan sari sambal, membuatnya lebih lembap dan kaya rasa. Kedua, porsi sambal yang 'menempel' menjadi lebih banyak, menjamin bahwa setiap gigitan memiliki elemen pedas. Warung-warung legendaris di kawasan Ampel, atau sekitar Stasiun Gubeng, sering disebut sebagai pelopor, tempat di mana aroma sambal yang diulek pagi-pagi menyebar ke seluruh jalanan, menjadi daya tarik utama yang tak terbantahkan. Penyet adalah penemuan rakyat jelata, ditujukan untuk memuaskan selera makan yang besar dengan harga yang terjangkau.
Tidak ada Penyet Suroboyo tanpa cobek, atau ulekan batu. Cobek bukan sekadar wadah; ia adalah panggung utama dan alat sakral dalam ritual penyajian. Cobek yang digunakan idealnya terbuat dari batu kali atau batu vulkanik yang keras dan berpori. Pori-pori inilah yang menyimpan residu rasa dari cabai, bawang, dan terasi yang diulek sebelumnya, memberikan lapisan rasa umami yang mendalam pada setiap batch sambal baru.
Proses pengulekan di atas cobek adalah bagian dari pertunjukan. Suara 'duk-duk-duk' dari ulekan yang beradu dengan cobek, aroma terasi yang terlepas saat dihaluskan, dan warna cabai yang berubah dari merah segar menjadi pasta kental—semuanya berkontribusi pada pengalaman makan. Bagi para penggemar sejati, menyantap penyet di cobek yang sama tempat sambal diulek adalah wajib. Mengapa? Karena proses memenyet lauk terjadi tepat di atas sambal tersebut, memastikan protein menyerap minyak cabai dan rasa umami dari sisa-sisa bumbu yang tertinggal di permukaan batu.
Filosofi cobek mencerminkan keramahan dan keterbukaan Surabaya. Cobek menunjukkan bahwa makanan ini dibuat segar, saat itu juga, disajikan apa adanya tanpa ditransfer ke piring porselen yang mewah. Ia adalah lambang kejujuran kuliner: apa yang Anda lihat, itulah yang Anda makan. Ia adalah perwujudan kesederhanaan yang menghasilkan kerumitan rasa yang luar biasa.
Cobek, Jantung dari Penyet Suroboyo. Alat pembuat dan penyaji sambal yang menentukan otentisitas rasa.
Penyet Suroboyo terdiri dari tiga komponen utama yang saling melengkapi dan tak terpisahkan: Protein Utama, Sambal Penyet, dan Lalapan Pendamping. Setiap elemen memainkan peranan krusial dalam menciptakan keseimbangan rasa yang harmonis, meskipun dominasi pedas sambal selalu menjadi bintangnya.
Meskipun Ayam Penyet (Ayam Goreng yang dipenyet) paling terkenal, Penyet Suroboyo menawarkan keragaman protein yang luar biasa. Prinsipnya sama: protein harus digoreng atau dibakar dengan bumbu yang kaya rasa agar mampu menahan intensitas sambal.
Kunci pada semua protein ini adalah bumbu ungkep yang meresap sempurna. Bumbu ungkep yang baik memberikan lapisan rasa asin, gurih, dan sedikit manis yang menjadi fondasi rasa sebelum dipecahkan oleh keganasan sambal. Proses penggorengan yang tepat juga krusial; protein harus benar-benar matang tetapi tidak kering, memastikan ia memiliki kelembapan internal yang cukup untuk menahan proses 'penyet' tanpa hancur menjadi serpihan.
Sambal adalah identitas Penyet Suroboyo. Bukan sekadar pelengkap, melainkan komponen utama. Sambal ini umumnya menggunakan basis sambal terasi mentah atau sambal tomat mentah. 'Mentah' di sini berarti cabai dan bawang hanya digoreng sebentar atau bahkan diulek dalam keadaan mentah sebelum disiram sedikit minyak panas, yang menghasilkan aroma menyengat dan cita rasa pedas yang sangat otentik.
Kekuatan Sambal Penyet terletak pada kesederhanaannya yang brutal. Ia tidak dimasak lama; ia diulek hingga teksturnya masih kasar, sehingga biji cabai masih terasa saat dikunyah. Ini menghasilkan sensasi pedas yang langsung, menyengat, dan sangat adiktif. Sambal yang sempurna memiliki keseimbangan antara panas cabai, gurihnya terasi, dan asam-manis dari tomat dan gula.
Lalapan adalah kontras dingin yang sangat diperlukan untuk meredakan kepanasan sambal. Lalapan biasanya disajikan dalam keadaan segar, murni, dan tanpa bumbu tambahan.
Lalapan bukan hanya hiasan. Ia adalah counterpoint yang esensial. Kelembaban dan serat pada lalapan membantu menetralisir minyak dan pedas di mulut, mempersiapkan lidah untuk suapan nasi dan sambal berikutnya. Tanpa lalapan, pengalaman Penyet Suroboyo akan terasa kurang seimbang dan terlalu berat.
Teknik memenyet adalah hal yang membedakan Penyet Suroboyo dari hidangan sambal dan lauk lainnya. Ini adalah ritual singkat yang dilakukan saat pemesanan, memastikan hidangan disajikan dalam keadaan maksimal.
Kekuatan yang diterapkan saat memenyet adalah kunci. Terlalu pelan, sambal tidak akan meresap. Terlalu kuat, protein akan hancur lebur dan kehilangan tekstur garingnya. Seorang ahli Penyet Suroboyo tahu persis berapa tekanan yang dibutuhkan untuk setiap jenis lauk, mulai dari kelembutan tahu hingga kepadatan daging ayam. Ini adalah keterampilan yang hanya bisa diasah melalui pengalaman bertahun-tahun di dapur warung sederhana.
Secara tekstural, proses 'penyet' menghasilkan pengalaman makan yang berlapis. Protein yang tadinya kaku menjadi lunak dan mudah disobek. Secara kimiawi, minyak dari penggorengan yang tersisa pada permukaan protein bercampur dengan minyak cabai dalam sambal. Ini bukan hanya masalah rasa; lemak berfungsi sebagai pembawa rasa, memastikan komponen pedas dan gurih dari sambal menyebar lebih efektif di seluruh lidah. Rasa yang muncul adalah paduan kompleks antara minyak panas, bumbu ungkep yang asin, dan keasaman pedas sambal mentah.
Penyajian Penyet Suroboyo yang otentik, langsung di atas cobek.
Penyet Suroboyo tidak hanya memuaskan perut, tetapi juga memainkan peran penting dalam dinamika sosial kota. Warung penyet seringkali beroperasi hingga larut malam, menjadi tempat berkumpul, bercerita, dan merayakan persahabatan di tengah kesibukan kota metropolitan.
Makan penyet memiliki etiketnya sendiri, yang seringkali informal dan dinamis. Pertama, Penyet adalah makanan yang harus dimakan dengan tangan. Kehangatan nasi, pedasnya sambal, dan gurihnya protein paling baik dinikmati melalui sentuhan langsung. Sendok dan garpu tersedia, tetapi banyak yang merasa menghilangkan esensi otentik. Kedua, di warung penyet, kepedasan adalah mata uang sosial. Seringkali, pelanggan memesan dengan tantangan, "Sambalnya yang paling pedas, Mas/Mbak!" Ini adalah pernyataan keberanian dan penikmatan.
Warung-warung Penyet Suroboyo terkenal dengan suasananya yang ramai dan bising. Meja-meja panjang, kursi plastik, dan bau minyak jelantah yang bercampur dengan aroma terasi yang kuat menciptakan atmosfer yang unik. Ini adalah tempat di mana hierarki sosial mencair; direktur dan tukang becak bisa duduk berdampingan, sama-sama berjuang melawan pedasnya sambal di piring cobek mereka. Penyet adalah demokratisasi makanan dalam bentuk yang paling lezat.
Skala operasional warung penyet, terutama yang besar, membutuhkan pasokan cabai, bawang, dan terasi dalam jumlah yang fantastis setiap harinya. Bisnis penyet adalah bisnis yang sangat bergantung pada fluktuasi harga cabai. Kenaikan harga cabai rawit dapat langsung memengaruhi margin keuntungan, namun standar kualitas rasa sambal tidak boleh dikompromikan. Oleh karena itu, para pemilik warung penyet sejati memiliki jaringan pemasok lokal yang kuat untuk menjamin cabai yang didapatkan adalah cabai segar dengan kualitas pedas yang tinggi.
Sambal harus selalu segar. Sambal yang dibuat pagi hari tidak akan memiliki daya tarik yang sama dengan sambal yang baru diulek saat dipesan. Kualitas kesegaran inilah yang sering menjadi pembeda antara Penyet Suroboyo otentik dan imitasi komersial. Kualitas kesegaran ini menuntut tenaga kerja yang rajin dan kemampuan pengulek yang cepat dan konsisten.
Meskipun setiap warung memiliki resep turun-temurunnya sendiri, ada formula dasar yang harus diikuti untuk mencapai rasa pedas Suroboyo yang otentik. Resep ini menekankan pada penggunaan bahan mentah dan terasi bakar.
Kualitas rasa sambal ini sangat bergantung pada kualitas terasi dan kesegaran cabai. Terasi yang baik akan memberikan aroma gurih yang tahan lama, sementara cabai rawit segar akan memberikan sengatan pedas yang membersihkan mulut. Jangan pernah menggunakan sambal botolan atau sambal yang sudah diolah massal; Penyet Suroboyo menuntut kesegaran ekstrem.
Untuk protein pendamping (misalnya, Ayam Penyet), proses ungkep harus dilakukan minimal 1 jam untuk ayam potong, dan 2-3 jam untuk ayam kampung. Bumbu ungkep umumnya terdiri dari kunyit, jahe, lengkuas, serai, daun salam, bawang putih, dan ketumbar. Semakin lama diungkep dengan api kecil, semakin meresap bumbu ke dalam tulang dan serat daging, memastikan protein memiliki karakter rasa yang kuat sebelum bertemu dengan sambal yang dominan. Setelah diungkep, ayam harus ditiriskan hingga kering sebelum digoreng sebentar dengan minyak panas yang melimpah untuk menghasilkan kulit yang krispi.
Seiring waktu, Penyet Suroboyo mengalami evolusi. Dari warung sederhana yang hanya menyajikan lele dan tempe, kini muncul berbagai varian yang lebih kreatif. Ada Penyet Bebek, Penyet Iga Sapi, bahkan Penyet Seafood (udang dan cumi). Modernisasi ini seringkali disertai dengan sedikit moderasi tingkat kepedasan untuk menarik konsumen yang lebih luas, termasuk wisatawan domestik dan mancanegara yang mungkin tidak terbiasa dengan kepedasan Suroboyo yang brutal.
Restoran Penyet modern seringkali menyajikan sambal dalam tiga tingkatan: Pedas Sedang, Pedas, dan Pedas Gila (Gajelas). Hal ini memungkinkan pelanggan untuk memilih intensitas pedas yang mereka inginkan, sebuah inovasi yang mungkin dianggap bid’ah oleh puritan kuliner Surabaya, yang percaya bahwa Penyet sejati hanya memiliki satu tingkat pedas: maksimal. Namun, adaptasi ini justru memungkinkan Penyet untuk bertahan dan berkembang dalam lanskap kuliner yang terus berubah.
Adaptasi lain termasuk penggunaan sambal matang. Sambal matang (yang digoreng hingga layu dan dimasak sebentar) memiliki masa simpan yang lebih lama dan rasa yang lebih halus. Meskipun menghilangkan sensasi pedas mentah yang tajam, sambal matang ini lebih dapat diterima oleh lidah internasional dan digunakan oleh banyak jaringan waralaba Penyet yang tersebar di kota-kota besar di Asia Tenggara.
Di Malaysia, Singapura, dan bahkan Australia, hidangan yang serupa dengan Penyet Suroboyo (sering disebut Ayam Penyet) telah menjadi menu wajib di restoran Indonesia. Hidangan ini berfungsi sebagai duta, memperkenalkan kekayaan rasa sambal Indonesia yang berbeda dengan sambal dari negara tetangga. Daya tariknya adalah kejujuran rasanya; ia pedas tanpa kompromi, gurih tanpa pemanis buatan yang berlebihan, dan memuaskan secara fundamental.
Keberhasilan Penyet Suroboyo di kancah internasional membuktikan bahwa makanan sederhana dengan bahan-bahan lokal dapat memiliki daya tarik universal, asalkan dieksekusi dengan teknik yang tepat dan komitmen terhadap rasa otentik. Ia menjadi simbol kuliner jalanan Indonesia yang bersih, lezat, dan berkarakter kuat.
Pertanyaan yang mendasar adalah: mengapa hidangan yang secara harfiah menyakiti lidah dengan pedasnya bisa begitu adiktif dan dicintai? Jawabannya terletak pada neurokimia dan keseimbangan rasa yang cerdas.
Capsaicin, senyawa kimia yang ditemukan dalam cabai, memicu respons rasa sakit di mulut yang ditafsirkan oleh otak sebagai rasa panas. Sebagai respons, otak melepaskan endorfin dan dopamin—hormon kebahagiaan. Inilah yang menciptakan sensasi euforia atau 'capcaisin rush' setelah melewati gelombang panas awal. Penyet Suroboyo, dengan dosis cabai rawit mentah yang tinggi, menjanjikan sensasi ini pada setiap suapannya.
Namun, Penyet tidak hanya mengandalkan rasa sakit. Kombinasi gurihnya terasi, asinnya garam, manisnya gula merah, dan asamnya tomat menciptakan kompleksitas rasa yang melampaui sekadar pedas. Ini adalah perjalanan rasa: dimulai dengan aroma yang menggoda, diikuti oleh ledakan asin-gurih, disusul oleh hantaman pedas yang membangun, dan diakhiri dengan rasa manis yang menenangkan dari lalapan dan nasi hangat. Siklus ini membuat seseorang terus ingin menyantapnya.
Kunci kelezatan sejati Penyet Suroboyo seringkali tersembunyi dalam persiapan lauk pauk itu sendiri. Protein yang diungkep hingga bumbunya meresap sempurna, seperti pada ayam atau empal, memiliki dasar rasa yang sangat kuat. Dasar rasa ini bertindak sebagai jangkar yang mencegah sambal yang pedasnya liar menjadi terlalu dominan atau 'kosong'. Ketika lauk yang gurih dan berlemak bertemu dengan sambal yang asam dan pedas, terjadi ledakan umami yang kaya, memaksa indra perasa bekerja keras.
Penelitian gastronomi menunjukkan bahwa makanan yang menggabungkan elemen 'nyeri' dan 'kenyamanan' cenderung menciptakan keterikatan yang kuat. Nyeri dari cabai rawit, dan kenyamanan dari nasi hangat dan protein yang memuaskan. Penyet adalah perwujudan sempurna dari dualitas ini. Ia adalah makanan yang menantang namun pada akhirnya menghibur jiwa.
Untuk benar-benar memahami Penyet Suroboyo, kita harus mengakui bahwa variasi protein bukan hanya pilihan menu, melainkan penyesuaian teknis yang presisi. Ambil contoh Bebek Penyet. Bebek, yang secara alami memiliki tekstur daging yang lebih liat dan kandungan lemak yang jauh lebih tinggi daripada ayam, membutuhkan proses ungkep yang jauh lebih panjang, seringkali melibatkan teknik presto (pressure cooking) untuk mencapai kelembutan yang memadai. Lemak bebek yang melimpah ini, setelah digoreng, menjadi medium yang fantastis untuk menampung dan menstabilkan sambal. Ketika bebek dipenyet, lemak di bawah kulitnya melepaskan diri, berinteraksi dengan minyak cabai, menghasilkan lapisan rasa yang lebih 'berat' dan memuaskan dibandingkan ayam.
Lalu ada Jeroan Penyet, seperti usus atau paru. Paru Penyet Suroboyo disajikan dalam dua tekstur: yang digoreng hingga kering dan renyah, atau yang digoreng sebentar dan tetap kenyal. Paru yang renyah (biasanya dikenal sebagai *paru kriuk*) menyerap sambal lebih banyak karena permukaannya yang berpori, menciptakan sensasi 'meledak' di mulut. Penyet jeroan ini adalah hidangan yang sangat lokal dan membutuhkan keterampilan memasak yang tinggi agar jeroan tidak berbau amis sebelum dipenyet. Teknik ungkep jeroan harus melibatkan rempah-rempah penghilang bau seperti jahe, daun jeruk, dan cengkeh dalam jumlah yang lebih banyak.
Dalam konteks varian Tahu dan Tempe Penyet, tantangannya adalah mempertahankan integritas bentuk. Tahu, yang lembut, harus dipenyet dengan kehati-hatian maksimal. Tahu yang terlalu hancur menjadi bubur sambal, sementara tahu yang kurang hancur tidak akan menyerap rasa. Tempe, karena seratnya yang lebih padat, lebih mudah dipenyet. Keduanya harus diungkep hingga keasinan bumbu meresap jauh ke dalam pori-pori protein nabati ini, berfungsi sebagai peredam pedas alami yang kaya. Bahkan dalam kesederhanaannya, proses Tahu dan Tempe Penyet menuntut presisi.
Kualitas minyak goreng yang digunakan dalam Penyet Suroboyo juga tidak boleh diabaikan. Warung-warung otentik seringkali menggunakan minyak yang telah dipakai berulang kali (meskipun tidak berlebihan hingga menghitam) untuk menggoreng berbagai protein. Minyak ini, yang dikenal dalam bahasa lokal sebagai minyak *jelantah*, sebenarnya menyimpan memori rasa dari bumbu ungkep—ketumbar, kunyit, dan bawang putih. Minyak inilah yang memberikan lapisan *savoriness* (gurih) yang mendalam pada kulit protein, bahkan sebelum bersentuhan dengan sambal.
Ketika sambal dibuat, seringkali disiram dengan minyak panas (bukan minyak bekas), tetapi minyak baru yang sangat panas. Tujuannya adalah untuk sedikit melayukan cabai mentah dan bawang tanpa menghilangkan kesegarannya, sebuah teknik yang dikenal sebagai *blanching* panas instan. Proses ini melepaskan aroma esensial dari terasi dan bawang putih, meningkatkan kompleksitas sambal secara signifikan. Tanpa sentuhan minyak panas ini, sambal akan terasa terlalu 'hijau' atau mentah. Dengan minyak panas, sambal terasa lebih beraroma dan bersinergi.
Nasi, yang sering dianggap sebagai pelengkap pasif, memegang peran penting. Nasi putih harus pulen dan hangat. Nasi yang hangat membantu melepaskan aroma sambal lebih intens. Fungsi utama nasi adalah sebagai penyerap pedas. Setelah lidah didera oleh sambal, nasi yang karbohidratnya lembut bertindak sebagai peredam rasa. Di Surabaya, porsi nasi seringkali besar, mencerminkan sifat hidangan yang memuaskan dan mengenyangkan.
Lalapan juga bukan hanya hiasan estetika. Daun kemangi, misalnya, mengandung minyak atsiri yang memicu reseptor rasa yang berbeda, memberikan jeda mint yang dingin dan herbal di antara gigitan pedas. Timun dan kol, yang tinggi kandungan airnya, membantu secara fisik membersihkan mulut dari residu capsaicin yang larut dalam lemak. Seorang penikmat penyet sejati akan mengatur ritme makannya: suapan pedas, segera diikuti oleh kemangi, lalu nasi, sebelum kembali ke protein yang terselimuti sambal.
Surabaya adalah kota pelabuhan yang sibuk, pusat perdagangan, dan dikenal dengan karakter penduduknya yang pekerja keras dan blak-blakan. Penyet mencerminkan karakter ini. Ia adalah makanan yang langsung, tanpa basa-basi. Tidak ada dekorasi mewah, tidak ada teknik memasak yang rumit selain mengulek dan menggoreng. Ia jujur pada bahan-bahannya.
Budaya kuliner Surabaya, dan Jawa Timur pada umumnya, cenderung lebih pedas dan gurih dibandingkan Jawa Tengah yang lebih manis. Penyet adalah respons terhadap kebutuhan akan makanan yang dapat memberikan energi cepat, rasa yang intens, dan harga yang terjangkau bagi pekerja di pelabuhan dan pasar. Hidangan ini memaksimalkan dampak rasa dari setiap rupiah yang dikeluarkan. Filosofi ini, yang berakar pada efisiensi dan kekuatan, telah memastikan kelangsungan hidup Penyet Suroboyo selama bergenerasi-generasi.
Meskipun secara fisik mirip, ada perbedaan mendasar antara Penyet Suroboyo dan Ayam Geprek yang populer di Yogyakarta atau Jakarta. Penyet Suroboyo, pada dasarnya, berfokus pada sambal mentah terasi yang diulek di samping protein yang sudah dibumbui sejak awal (ungkep). Penyet adalah tentang percampuran rasa yang kaya dan basah. Sebaliknya, Ayam Geprek modern seringkali melibatkan ayam yang digoreng dalam adonan tepung renyah (ala Barat) dan dihantam dengan sambal bawang mentah (tanpa terasi atau tomat) dan disajikan terpisah dari cobek.
Perbedaan kuncinya adalah: Penyet menekankan pada bumbu protein yang diungkep secara tradisional dan sambal yang kompleks (terasi), sementara Geprek menekankan pada tekstur krispi tepung dan sambal bawang yang lebih sederhana. Penyet adalah warisan, Geprek adalah inovasi cepat saji. Keduanya lezat, tetapi Penyet Suroboyo membawa bobot sejarah dan kompleksitas rasa yang lebih dalam. Warisan ini terletak pada setiap butir terasi bakar dan setiap hantaman ulekan ke atas cobek batu.
Penyet Suroboyo akan terus menjadi penanda identitas kuliner Kota Pahlawan. Ia adalah rasa yang jujur, pedas yang heroik, dan warisan yang dibanggakan. Setiap gigitan adalah pengingat akan semangat Surabaya yang tak kenal menyerah dan penuh keberanian. Dari sudut jalan yang ramai hingga meja makan di rumah, Penyet tetap menjadi ratu dari segala hidangan pedas, sebuah mahakarya sederhana yang abadi. Kehadirannya tidak hanya memuaskan selera, tetapi juga menceritakan kisah tentang kekayaan rempah, ketahanan budaya, dan kejeniusan kuliner rakyat Indonesia. Rasa gurih yang mendalam, dipadukan dengan kepedasan yang membakar, adalah kombinasi sempurna yang tak lekang oleh waktu dan selalu dicari oleh para penjelajah rasa sejati di seluruh dunia. Penyet adalah sebuah pencapaian kuliner.