Pelagra: Memahami Penyakit Defisiensi Niasin Secara Komprehensif
Simbol Orang
Simbol Niasin
Simbol Lokasi Penyakit
Pelagra adalah penyakit defisiensi nutrisi yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B3, atau niasin, dalam tubuh. Meskipun terdengar seperti penyakit dari masa lalu, pelagra masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di beberapa bagian dunia, terutama di daerah dengan tingkat kemiskinan dan malnutrisi yang tinggi. Penyakit ini memiliki spektrum gejala yang luas, sering kali dirangkum dalam "3 D": Dermatitis (masalah kulit), Diare (masalah pencernaan), dan Demensia (masalah neurologis/psikiatris). Jika tidak diobati, pelagra dapat berkembang menjadi "4 D", yaitu Kematian.
Memahami pelagra secara mendalam adalah kunci untuk pencegahan dan penanganan yang efektif. Artikel ini akan membahas secara komprehensif mulai dari sejarah, patofisiologi, penyebab dan faktor risiko, gejala klinis, diagnosis, pengobatan, hingga upaya pencegahan dan prevalensinya di era modern.
Sejarah Pelagra: Dari Epidemi Hingga Penemuan Niasin
Sejarah pelagra adalah cerminan dari tantangan gizi yang dihadapi umat manusia selama berabad-abad. Penyakit ini pertama kali didokumentasikan secara rinci pada pertengahan abad ke-18 oleh Don Gaspar Casal, seorang dokter Spanyol, yang mengamati kondisinya pada petani miskin yang dietnya sangat bergantung pada jagung. Casal menjuluki penyakit ini sebagai "mal de la rosa" karena ruam merah yang khas menyerupai mawar pada kulit pasien. Namun, pada saat itu, penyebab sebenarnya masih misterius dan berbagai teori yang salah berkembang, termasuk teori infeksi dan teori racun dari jagung yang busuk.
Selama abad ke-19 dan awal abad ke-20, pelagra menjadi epidemi besar di wilayah Eropa Selatan, terutama di Italia, Spanyol, dan Prancis, serta di Amerika Serikat bagian selatan. Di AS, penyakit ini mencapai puncaknya pada awal tahun 1900-an, menyebabkan ribuan kematian setiap tahunnya. Tingkat prevalensi yang tinggi di antara penduduk miskin, terutama mereka yang tinggal di institusi seperti panti asuhan, rumah sakit jiwa, dan penjara, menarik perhatian serius dari komunitas medis.
Titik balik dalam pemahaman pelagra terjadi berkat penelitian pionir oleh Dr. Joseph Goldberger dari Public Health Service AS. Pada tahun 1914, Goldberger ditugaskan untuk menyelidiki epidemi pelagra. Ia menolak teori infeksi dan berhipotesis bahwa penyakit itu disebabkan oleh defisiensi nutrisi. Melalui serangkaian eksperimen yang kontroversial namun revolusioner, Goldberger mendemonstrasikan bahwa pelagra bukanlah penyakit menular. Ia melakukan eksperimen "kotor" pada dirinya sendiri dan sukarelawan dengan menyuntikkan darah, kulit, dan ekskreta dari pasien pelagra, yang membuktikan bahwa penyakit itu tidak dapat ditularkan. Sebaliknya, ia menunjukkan bahwa pelagra dapat dicegah dan diobati dengan diet yang lebih kaya, terutama dengan menambahkan daging dan susu ke dalam makanan.
Meskipun Goldberger tidak secara spesifik mengidentifikasi vitamin yang hilang, pekerjaannya secara fundamental mengubah pemahaman tentang pelagra. Baru pada tahun 1937, Dr. Conrad Elvehjem dan timnya di University of Wisconsin berhasil mengidentifikasi asam nikotinat (bentuk lain dari niasin) sebagai faktor yang dapat menyembuhkan pelagra pada anjing, yang dikenal sebagai "blacktongue disease" (lidah hitam), yang merupakan analog pelagra pada manusia. Penemuan ini segera dikonfirmasi pada manusia, dan niasin diakui sebagai vitamin B3.
Setelah penemuan ini, program fortifikasi makanan (penambahan niasin ke dalam tepung terigu dan sereal) secara luas diterapkan di banyak negara, terutama di Amerika Serikat. Ini secara dramatis mengurangi insiden pelagra, mengubahnya dari ancaman kesehatan masyarakat yang meluas menjadi kondisi yang relatif langka di negara-negara maju. Namun, tantangan gizi global memastikan bahwa pelagra tetap relevan di daerah-daerah yang rentan terhadap kelaparan dan diet tidak seimbang.
Patofisiologi: Peran Niasin dan Mekanisme Penyakit
Untuk memahami pelagra, sangat penting untuk menyelami peran vital niasin (vitamin B3) dalam tubuh dan bagaimana kekurangannya memicu serangkaian gejala yang khas.
Niasin: Fungsi Esensial dalam Tubuh
Niasin adalah istilah kolektif untuk asam nikotinat dan nikotinamida, dua bentuk vitamin B3. Fungsi utamanya adalah sebagai prekursor dua koenzim vital: Nikotinamida Adenin Dinukleotida (NAD) dan Nikotinamida Adenin Dinukleotida Fosfat (NADP). Koenzim ini adalah pemain kunci dalam ratusan reaksi enzimatik di seluruh tubuh dan esensial untuk:
- Metabolisme Energi: NAD dan NADP berpartisipasi dalam jalur metabolisme utama, termasuk glikolisis, siklus Krebs, dan fosforilasi oksidatif. Mereka berperan dalam mengubah karbohidrat, lemak, dan protein dari makanan menjadi energi (ATP) yang dapat digunakan oleh sel.
- Sintesis dan Perbaikan DNA: NAD diperlukan untuk aktivitas enzim DNA ligase dan polimerase, yang terlibat dalam perbaikan dan replikasi DNA. Ini sangat penting untuk menjaga integritas genom dan mencegah mutasi.
- Sinyal Seluler: NAD juga terlibat dalam jalur sinyal seluler penting, termasuk yang mengatur respons stres seluler dan apoptosis (kematian sel terprogram).
- Fungsi Antioksidan: NADP, dalam bentuk tereduksinya (NADPH), adalah komponen kunci dalam sistem pertahanan antioksidan tubuh, membantu melindungi sel dari kerusakan oksidatif.
- Fungsi Saraf: Niasin berperan dalam sintesis neurotransmiter dan pemeliharaan sel saraf.
Tubuh dapat memperoleh niasin dari dua sumber utama: langsung dari makanan yang mengandung niasin, atau melalui konversi asam amino esensial triptofan. Sekitar 60 mg triptofan dapat diubah menjadi 1 mg niasin. Proses konversi ini membutuhkan koenzim yang berasal dari vitamin B lain, seperti riboflavin (B2) dan piridoksin (B6), serta zat besi. Oleh karena itu, defisiensi vitamin B2, B6, atau zat besi juga dapat mengganggu produksi niasin dari triptofan, memperburuk risiko pelagra.
Mekanisme di Balik Gejala "3 D"
Ketika tubuh kekurangan niasin, kemampuan sel untuk memproduksi NAD dan NADP akan terganggu, menyebabkan kegagalan multifungsi di seluruh organ dan sistem tubuh. Ini secara langsung memanifestasikan dirinya dalam gejala-gejala khas pelagra:
1. Dermatitis
Kulit adalah salah satu organ yang paling cepat menunjukkan gejala kekurangan niasin. Niasin berperan dalam menjaga integritas sawar kulit, perbaikan DNA sel kulit yang rusak oleh sinar ultraviolet (UV), dan regulasi respons inflamasi. Tanpa niasin yang cukup:
- Sel-sel kulit menjadi lebih rentan terhadap kerusakan akibat paparan sinar matahari, yang menjelaskan mengapa ruam pelagra umumnya terjadi pada area kulit yang terpapar sinar matahari.
- Kemampuan sel untuk memperbaiki DNA yang rusak menurun, menyebabkan akumulasi kerusakan dan gangguan fungsi sel.
- Terjadi gangguan pada diferensiasi keratinosit (sel kulit utama), yang mengarah pada perubahan karakteristik kulit seperti penebalan, pengelupasan, dan hiperpigmentasi.
- Gangguan pada metabolisme energi sel kulit menghambat regenerasi dan pemeliharaan kulit yang sehat.
2. Diare
Saluran pencernaan memiliki tingkat pergantian sel yang sangat cepat, membutuhkan pasokan energi dan kemampuan perbaikan DNA yang konstan. Kekurangan niasin sangat memengaruhi mukosa saluran cerna:
- Sel-sel epitel usus tidak dapat beregenerasi dengan baik, mengarah pada atrofi mukosa usus (penipisan lapisan pelindung).
- Fungsi sawar usus terganggu, menyebabkan peningkatan permeabilitas dan peradangan.
- Penyerapan nutrisi menjadi tidak efisien, memperburuk status gizi secara keseluruhan.
- Gejala seperti mual, muntah, anoreksia, nyeri perut, dan diare kronis (seringkali berdarah atau berlendir) adalah manifestasi dari kerusakan ini.
- Diare mempercepat kehilangan nutrisi, menciptakan lingkaran setan yang memperparah defisiensi niasin.
3. Demensia (dan Gejala Neurologis/Psikiatris)
Sistem saraf pusat adalah salah satu konsumen energi terbesar dalam tubuh dan sangat bergantung pada NAD dan NADP. Niasin memainkan peran kunci dalam kesehatan neuron dan sintesis neurotransmiter:
- Gangguan Metabolisme Otak: Kekurangan NAD dan NADP mengganggu produksi energi di neuron, yang sangat sensitif terhadap gangguan pasokan energi.
- Sintesis Neurotransmiter: Niasin adalah prekursor untuk triptofan, yang pada gilirannya merupakan prekursor untuk neurotransmiter seperti serotonin. Defisiensi niasin dapat mengganggu keseimbangan neurotransmiter, menyebabkan perubahan suasana hati dan fungsi kognitif.
- Kerusakan Neuron: Kurangnya niasin dapat menyebabkan kerusakan sel saraf dan mielin (lapisan pelindung di sekitar serabut saraf), yang mengarah pada gejala neurologis seperti ataksia (gangguan koordinasi), parestesia (mati rasa atau kesemutan), dan kelemahan.
- Manifestasi Psikiatris: Gejala seperti depresi, kecemasan, iritabilitas, insomnia, dan bahkan psikosis atau halusinasi adalah umum pada pelagra yang parah, mencerminkan disfungsi otak yang meluas.
Mekanisme kompleks ini menunjukkan betapa krusialnya niasin bagi berbagai fungsi fisiologis. Ketika asupan tidak memadai, tubuh tidak dapat mempertahankan proses-proses vital ini, yang pada akhirnya mengarah pada manifestasi multisistem dari pelagra.
Penyebab dan Faktor Risiko Pelagra
Pelagra utamanya disebabkan oleh defisiensi niasin, namun faktor-faktor yang menyebabkan defisiensi ini bisa sangat beragam, mulai dari diet yang tidak memadai hingga gangguan metabolisme yang mendasarinya. Pemahaman faktor-faktor risiko ini penting untuk identifikasi dan intervensi yang tepat.
1. Defisiensi Asupan Makanan (Pelagra Primer)
Ini adalah penyebab paling umum dari pelagra, terutama di daerah endemik. Defisiensi asupan terjadi ketika diet seseorang secara kronis kurang dalam niasin dan/atau triptofan, prekursor niasin.
- Diet Berbasis Jagung yang Tidak Diolah: Jagung adalah makanan pokok di banyak budaya, tetapi jagung secara alami mengandung niasin dalam bentuk terikat yang disebut niacytin, yang tidak mudah tersedia (bioavailable) untuk diserap oleh tubuh manusia. Metode pengolahan jagung tradisional di Mesoamerika, yang dikenal sebagai nixtamalization (merebus jagung dengan larutan alkali seperti kapur atau abu), melepaskan niasin terikat ini, membuatnya dapat diserap. Di daerah di mana nixtamalization tidak dipraktikkan (misalnya, di beberapa bagian Eropa dan AS selatan pada masa lalu), diet yang sangat bergantung pada jagung menyebabkan pelagra.
- Diet yang Terbatas dan Miskin Protein: Diet yang didominasi oleh biji-bijian olahan (seperti beras giling, gandum olahan) dan kurang protein (terutama protein hewani atau kacang-kacangan) akan kekurangan niasin dan triptofan.
- Kemiskinan dan Kelaparan: Populasi yang hidup dalam kemiskinan sering kali tidak memiliki akses ke makanan yang beragam dan bergizi, memaksa mereka untuk mengonsumsi makanan pokok yang murah dan terbatas, yang mungkin kurang nutrisi esensial seperti niasin.
- Populasi Pengungsi: Pengungsi seringkali hidup dalam kondisi di mana akses terhadap makanan segar dan bervariasi sangat terbatas, meningkatkan risiko malnutrisi dan pelagra.
2. Gangguan Penyerapan atau Metabolisme (Pelagra Sekunder)
Pelagra juga dapat berkembang bahkan dengan asupan niasin yang cukup jika ada kondisi yang mengganggu penyerapan, metabolisme, atau penggunaan niasin dan triptofan dalam tubuh. Ini sering disebut sebagai pelagra sekunder.
- Alkoholisme Kronis: Ini adalah penyebab paling umum dari pelagra sekunder di negara-negara maju. Pecandu alkohol sering memiliki diet yang sangat buruk (kurang asupan nutrisi), dan alkohol itu sendiri dapat mengganggu penyerapan nutrisi, merusak hati (yang penting untuk metabolisme niasin), dan meningkatkan ekskresi niasin.
- Penyakit Pencernaan Kronis:
- Penyakit Crohn, Kolitis Ulseratif: Kondisi inflamasi usus ini dapat menyebabkan malabsorpsi umum, termasuk niasin dan triptofan.
- Penyakit Celiac: Kerusakan pada lapisan usus halus dapat mengganggu penyerapan nutrisi.
- Pembedahan Bariatrik: Operasi penurunan berat badan dapat mengubah anatomi saluran pencernaan, mengurangi area penyerapan nutrisi.
- Penyakit Hartnup: Ini adalah kelainan genetik langka yang mengganggu penyerapan triptofan dan beberapa asam amino lain di usus dan ginjal. Karena triptofan adalah prekursor niasin, defisiensi triptofan dapat menyebabkan gejala pelagra.
- Sindrom Karsinoid: Tumor karsinoid menghasilkan serotonin berlebihan dari triptofan. Karena triptofan dialihkan untuk produksi serotonin, lebih sedikit triptofan yang tersedia untuk diubah menjadi niasin, berpotensi menyebabkan pelagra.
- Penyakit Hati Kronis: Hati berperan penting dalam metabolisme niasin. Disfungsi hati yang parah dapat mengganggu konversi triptofan menjadi niasin dan penyimpanan niasin.
- Anoreksia Nervosa: Diet yang sangat terbatas dan malnutrisi umum pada anoreksia nervosa dapat menyebabkan defisiensi niasin.
- Dialisis Ginjal: Pasien yang menjalani dialisis dapat kehilangan niasin dan nutrisi larut air lainnya, meningkatkan risiko defisiensi.
- Penggunaan Obat-obatan Tertentu:
- Isoniazid: Obat anti-tuberkulosis ini adalah antagonis piridoksin (vitamin B6). Karena B6 diperlukan untuk konversi triptofan menjadi niasin, isoniazid dapat secara tidak langsung menyebabkan defisiensi niasin.
- Azathioprine dan 6-Mercaptopurine: Obat imunosupresif ini dapat mengganggu metabolisme niasin.
- Phenobarbital: Antikonvulsan ini dapat meningkatkan kebutuhan akan vitamin B.
- Chloramphenicol: Antibiotik ini juga dapat mengganggu metabolisme niasin.
- Defisiensi Vitamin B Lain: Kekurangan vitamin B2 (riboflavin) dan B6 (piridoksin) dapat menghambat konversi triptofan menjadi niasin, sehingga secara tidak langsung memperburuk atau memicu pelagra meskipun asupan niasin mungkin tampak cukup.
3. Peningkatan Kebutuhan Niasin
Dalam kondisi tertentu, kebutuhan tubuh akan niasin meningkat, dan jika asupan tidak disesuaikan, defisiensi dapat terjadi.
- Kehamilan dan Menyusui: Kebutuhan nutrisi secara umum meningkat untuk mendukung pertumbuhan janin dan produksi ASI.
- Penyakit Akut dan Kronis yang Parah: Infeksi berat, luka bakar, trauma, atau kondisi katabolik lainnya dapat meningkatkan laju metabolisme dan kebutuhan akan niasin.
Memahami penyebab-penyebab ini sangat penting dalam diagnosis dan manajemen pelagra, karena pengobatan tidak hanya melibatkan suplementasi niasin tetapi juga penanganan faktor risiko yang mendasari.
Gejala Klinis: Mengenali "3 atau 4 D"
Gejala pelagra klasik sering disebut sebagai "3 D" – Dermatitis, Diare, dan Demensia. Jika tidak diobati, kondisi ini dapat berkembang menjadi "4 D" – Kematian. Gejala-gejala ini dapat muncul secara bertahap atau tiba-tiba, dan tingkat keparahannya bervariasi.
1. Dermatitis (Masalah Kulit)
Ini seringkali merupakan tanda pertama dan paling khas dari pelagra. Ruam kulit bersifat simetris dan muncul pada area yang terpapar sinar matahari, seperti:
- Leher: Sering membentuk pola seperti kalung, yang dikenal sebagai "kalung Casal". Ini adalah salah satu tanda patognomonik pelagra.
- Tangan dan Lengan: Terutama bagian punggung tangan dan lengan bawah.
- Kaki dan Pergelangan Kaki: Area yang tidak tertutup pakaian.
- Wajah: Terutama pada dahi, hidung, pipi, dan dagu.
- Area Lipatan Kulit: Seperti siku, lutut, dan pangkal paha, yang mungkin juga terpapar atau mengalami gesekan.
Progresi Gejala Kulit:
- Tahap Awal: Dimulai dengan eritema (kemerahan) dan sensasi terbakar yang mirip dengan sengatan matahari yang parah. Kulit mungkin juga terasa gatal atau nyeri.
- Tahap Lanjut: Kulit menjadi menebal, bersisik, kering, kasar, dan hiperpigmentasi (berwarna lebih gelap, sering kali kecoklatan atau keunguan). Mungkin ada pengelupasan (deskuamasi), fisura (retakan), dan bahkan pembentukan vesikel (lepuh) atau bula (lepuh besar) yang dapat pecah dan terinfeksi.
- Karakteristik Kulit: Batas antara kulit yang sakit dan sehat seringkali tajam. Kulit di area yang tidak terpapar sinar matahari biasanya tetap normal.
2. Diare (Masalah Pencernaan)
Gejala gastrointestinal dapat berkisar dari ringan hingga berat dan seringkali mendahului atau bersamaan dengan dermatitis. Defisiensi niasin mengganggu integritas mukosa saluran cerna, menyebabkan:
- Diare Kronis: Ini adalah gejala pencernaan yang paling umum, seringkali berair dan dapat disertai darah atau lendir. Diare dapat sangat parah dan melemahkan, menyebabkan dehidrasi dan kehilangan berat badan lebih lanjut.
- Stomatitis: Peradangan dan ulserasi pada mulut, termasuk bibir dan gusi.
- Glossitis: Lidah menjadi merah terang, bengkak, licin (kehilangan papila), dan nyeri. Ini sering digambarkan sebagai "lidah daging sapi" atau "beefy red tongue".
- Faringitis dan Esofagitis: Peradangan pada tenggorokan dan kerongkongan, yang dapat menyebabkan kesulitan menelan.
- Mual dan Muntah: Umum terjadi, terutama pada kasus yang lebih parah.
- Nyeri Perut dan Anoreksia: Sakit perut yang tidak spesifik dan kehilangan nafsu makan, yang berkontribusi pada penurunan berat badan.
3. Demensia (Masalah Neurologis dan Psikiatris)
Gejala neurologis dan psikiatris muncul sebagai akibat dari disfungsi otak dan sistem saraf. Ini dapat bervariasi dari perubahan suasana hati ringan hingga psikosis yang parah. Gejala-gejala ini cenderung lebih menonjol pada tahap akhir penyakit:
- Perubahan Suasana Hati: Iritabilitas, kecemasan, depresi, apatis, dan perubahan kepribadian adalah hal yang umum.
- Gangguan Kognitif: Kesulitan konsentrasi, masalah memori (terutama memori jangka pendek), kebingungan, disorientasi, dan penurunan fungsi intelektual.
- Insomnia: Kesulitan tidur atau pola tidur yang terganggu.
- Kelelahan: Rasa lelah yang parah dan terus-menerus.
- Sakit Kepala: Nyeri kepala yang bisa kronis.
- Gejala Neurologis Lain:
- Parestesia: Sensasi mati rasa, kesemutan, atau sensasi "tertusuk jarum" pada ekstremitas.
- Ataksia: Gangguan koordinasi gerakan, menyebabkan gaya berjalan yang tidak stabil.
- Tremor: Getaran yang tidak disengaja.
- Kelemahan Otot: Penurunan kekuatan otot.
- Pada kasus yang sangat parah, dapat terjadi kejang atau psikosis akut dengan halusinasi, delusi, dan perilaku agresif.
4. Kematian (4D)
Jika pelagra tidak diobati, progresi penyakit akan terus berlanjut. Kekurangan niasin yang kronis dan parah akan menyebabkan kerusakan organ yang ireversibel, malnutrisi berat, infeksi sekunder (terutama pada kulit dan saluran cerna yang rusak), dan disfungsi organ multipel, yang pada akhirnya berujung pada kematian. Inilah mengapa pelagra yang tidak diobati memiliki tingkat mortalitas yang tinggi.
Penting untuk diingat bahwa tidak semua pasien akan menunjukkan ketiga "D" secara bersamaan atau dengan tingkat keparahan yang sama. Terkadang, satu gejala mungkin lebih dominan daripada yang lain. Diagnosis dini dan pengobatan yang cepat sangat penting untuk mencegah komplikasi serius dan kematian.
Diagnosis Pelagra
Diagnosis pelagra sebagian besar bersifat klinis, didasarkan pada pengenalan kombinasi gejala khas "3 D" (dermatitis, diare, demensia), terutama pada individu dengan faktor risiko yang diketahui. Namun, konfirmasi laboratorium dapat mendukung diagnosis meskipun seringkali tidak spesifik atau sulit diakses.
1. Diagnosis Klinis
Langkah pertama dan paling penting dalam mendiagnosis pelagra adalah evaluasi riwayat medis dan pemeriksaan fisik yang cermat. Dokter akan mencari:
- Riwayat Diet: Pertanyaan tentang pola makan, ketergantungan pada makanan pokok tertentu (terutama jagung yang tidak diolah), asupan makanan secara keseluruhan, dan riwayat diet yang terbatas.
- Faktor Risiko: Identifikasi faktor risiko seperti alkoholisme kronis, penyakit malabsorpsi, penggunaan obat-obatan tertentu (misalnya, isoniazid), atau kondisi medis lain yang terkait.
- Gejala Khas: Pencarian tanda-tanda "3 D":
- Dermatitis: Karakteristik ruam simetris pada area kulit yang terpapar sinar matahari (leher, punggung tangan, kaki, wajah), dengan pola "kalung Casal" yang khas. Perhatikan warna, tekstur (kering, bersisik, tebal), dan adanya fisura atau lesi.
- Diare: Riwayat diare kronis, mual, muntah, anoreksia, nyeri perut, atau tanda-tanda glossitis (lidah merah, bengkak, licin) dan stomatitis.
- Demensia: Penilaian status mental untuk mencari tanda-tanda kebingungan, disorientasi, gangguan memori, depresi, iritabilitas, atau gejala neurologis lainnya (parestesia, ataksia).
Adanya dua dari tiga "D" pada individu dengan riwayat diet yang meragukan atau faktor risiko yang relevan sudah cukup untuk menempatkan pelagra dalam daftar diagnosis diferensial yang tinggi.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Meskipun tidak selalu tersedia atau digunakan secara rutin, beberapa tes laboratorium dapat membantu mendukung diagnosis:
- Metabolit Urin Niasin: Pengukuran metabolit niasin dalam urin, seperti N-methylnicotinamide (N-MeNic) atau 2-pyridone dan 2-pyridone, dianggap sebagai indikator terbaik status niasin. Kadar yang rendah menunjukkan defisiensi. Namun, tes ini memerlukan pengumpulan urin 24 jam yang cermat dan tidak selalu tersedia di semua laboratorium.
- Kadar Niasin atau NAD/NADP dalam Darah: Pengukuran langsung kadar niasin dalam darah atau kadar koenzimnya (NAD, NADP) dalam sel darah merah dapat dilakukan, tetapi tes ini juga tidak selalu mudah diinterpretasikan atau tersedia secara luas.
- Kadar Triptofan Serum: Kadar triptofan yang rendah dapat menunjukkan defisiensi prekursor niasin, terutama pada kasus pelagra sekunder seperti penyakit Hartnup.
- Pemeriksaan Darah Rutin: Dapat menunjukkan anemia (sering karena malnutrisi umum atau kehilangan darah akibat diare), atau defisiensi vitamin B kompleks lainnya (B2, B6) yang dapat memperburuk pelagra.
- Biopsi Kulit: Dalam kasus yang tidak biasa atau atipikal, biopsi lesi kulit dapat dilakukan. Temuan histopatologis mungkin menunjukkan hiperkeratosis (penebalan lapisan terluar kulit), parakeratosis (retensi inti sel dalam stratum korneum), dan peradangan non-spesifik, tetapi ini bukan diagnosis definitif untuk pelagra.
Penting untuk dicatat bahwa respons terhadap uji coba terapi dengan suplemen niasin seringkali merupakan "konfirmasi" diagnostik terbaik dan tercepat, terutama di daerah di mana tes laboratorium canggih tidak tersedia. Peningkatan signifikan pada gejala (terutama dermatitis dan diare) dalam beberapa hari hingga minggu setelah suplementasi niasin oral sangat mendukung diagnosis pelagra.
3. Diagnosis Diferensial
Beberapa kondisi lain dapat memiliki gejala yang mirip dengan pelagra, sehingga penting untuk mempertimbangkan diagnosis diferensial:
- Dermatitis Akibat Paparan Sinar Matahari Lain: Lupus eritematosus, porfiria, erupsio obat fotosensitif. Namun, dermatitis pelagra memiliki pola dan karakteristik yang sangat khas.
- Malabsorpsi Lain: Penyakit Celiac, penyakit Crohn, infeksi parasit yang menyebabkan diare kronis.
- Defisiensi Nutrisi Lain: Defisiensi vitamin B kompleks lainnya (terutama B1, B2, B6, B12), yang dapat menyebabkan gejala neurologis atau dermatologis yang tumpang tindih.
- Kondisi Neurologis/Psikiatris Lain: Depresi, demensia jenis lain, psikosis yang tidak berhubungan dengan gizi.
- Kondisi Kulit Lain: Eksim, psoriasis, dermatitis seboroik.
Meskipun demikian, presentasi klasik "3 D" pada individu berisiko tinggi biasanya sangat sugestif untuk pelagra, memungkinkan inisiasi terapi empiris yang menyelamatkan jiwa.
Penanganan dan Pengobatan Pelagra
Pengobatan pelagra relatif sederhana dan sangat efektif jika diberikan pada tahap awal. Tujuan utamanya adalah untuk mengoreksi defisiensi niasin dan mengatasi faktor-faktor risiko yang mendasarinya.
1. Suplementasi Niasin
Inti dari pengobatan adalah pemberian suplemen niasin, biasanya dalam bentuk nikotinamida (bentuk amida dari niasin) karena memiliki efek samping "flushing" (kemerahan, gatal, sensasi panas pada kulit) yang jauh lebih rendah dibandingkan asam nikotinat murni. Flushing ini, meskipun tidak berbahaya, dapat tidak nyaman dan menyebabkan pasien berhenti minum obat.
- Dosis: Dosis terapeutik niasin (dalam bentuk nikotinamida) umumnya berkisar antara 50 hingga 100 mg, diberikan 3 hingga 4 kali sehari. Dosis ini jauh lebih tinggi daripada Angka Kecukupan Gizi (AKG) harian yang direkomendasikan untuk pencegahan. Pada kasus yang parah atau jika ada malabsorpsi, dosis yang lebih tinggi mungkin diperlukan atau dapat diberikan secara parenteral (intravena atau intramuskular) di bawah pengawasan medis.
- Durasi Pengobatan: Pengobatan harus dilanjutkan sampai gejala-gejala mereda secara signifikan dan pasien menunjukkan perbaikan klinis. Ini biasanya berlangsung selama beberapa minggu hingga beberapa bulan. Setelah gejala akut terkontrol, dosis pemeliharaan yang lebih rendah dapat dilanjutkan sebagai bagian dari suplemen vitamin B kompleks.
- Respons Terapi: Perbaikan biasanya terlihat cepat. Gejala diare dapat membaik dalam 24-48 jam. Lesi kulit mulai memudar dalam beberapa hari hingga satu minggu, meskipun mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk sepenuhnya sembuh dan mungkin meninggalkan pigmentasi residual. Gejala neurologis dan psikiatris adalah yang paling lambat membaik, dan dalam kasus kerusakan saraf yang parah, beberapa gejala mungkin tidak sepenuhnya pulih.
2. Perbaikan Diet dan Dukungan Nutrisi
Selain suplementasi niasin, sangat penting untuk memperbaiki pola makan pasien secara keseluruhan. Suplementasi saja tidak akan mencegah kekambuhan jika diet dasar tetap tidak adekuat.
- Diet Kaya Niasin: Mendorong konsumsi makanan yang kaya niasin dan triptofan. Sumber niasin yang baik meliputi daging (terutama hati), ikan (tuna, salmon), unggas, kacang-kacangan (kacang tanah), biji-bijian utuh, jamur, dan ragi. Susu dan telur adalah sumber triptofan yang baik.
- Makanan yang Difortifikasi: Di negara-negara di mana fortifikasi makanan umum, sereal sarapan, tepung terigu, dan produk roti yang diperkaya niasin dapat membantu.
- Nixtamalization Jagung: Jika jagung merupakan makanan pokok, edukasi tentang proses nixtamalization (pengolahan jagung dengan alkali) sangat penting untuk meningkatkan bioavailabilitas niasin.
- Suplementasi Vitamin B Kompleks Lainnya: Karena pelagra sering terjadi bersamaan dengan defisiensi vitamin B lainnya (terutama riboflavin B2 dan piridoksin B6 yang diperlukan untuk konversi triptofan), pemberian suplemen vitamin B kompleks sering direkomendasikan untuk memastikan koreksi defisiensi gizi secara menyeluruh.
3. Penanganan Faktor Risiko yang Mendasari
Untuk mencegah kekambuhan dan memastikan pemulihan jangka panjang, penting untuk mengatasi penyebab mendasar pelagra sekunder:
- Alkoholisme: Konseling, rehabilitasi, dan dukungan untuk mengatasi kecanduan alkohol sangat penting.
- Penyakit Pencernaan: Pengobatan kondisi medis yang mendasari seperti penyakit Crohn, kolitis ulseratif, atau penyakit celiac.
- Pengobatan: Jika pelagra disebabkan oleh obat-obatan tertentu (misalnya, isoniazid), dokter mungkin perlu menyesuaikan dosis, mengganti obat, atau memberikan suplemen niasin preventif.
- Dukungan Gizi pada Kondisi Khusus: Pasien dengan anoreksia nervosa, penyakit Hartnup, atau sindrom karsinoid memerlukan manajemen nutrisi yang spesifik dan seringkali multidisiplin.
4. Perawatan Suportif
- Perawatan Kulit: Untuk dermatitis, losion pelembap dan pelindung matahari dapat membantu mengurangi ketidaknyamanan dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Jika ada infeksi sekunder, antibiotik topikal atau oral mungkin diperlukan.
- Hidrasi: Pada kasus diare parah, rehidrasi dengan cairan dan elektrolit sangat penting.
- Dukungan Psikiatris: Pasien dengan gejala demensia atau psikosis mungkin memerlukan evaluasi dan dukungan psikiatris.
Dengan diagnosis dini dan pengobatan yang tepat, prognosis pelagra umumnya sangat baik. Gejala-gejala dapat berbalik sepenuhnya, meskipun pada kasus yang parah, beberapa kerusakan neurologis mungkin bersifat permanen. Oleh karena itu, kesadaran akan kondisi ini dan kemampuan untuk mengidentifikasinya adalah kunci untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan jangka panjang.
Pencegahan Pelagra
Pencegahan pelagra adalah jauh lebih mudah dan hemat biaya daripada pengobatan. Strategi pencegahan berfokus pada memastikan asupan niasin yang cukup dalam populasi, terutama bagi kelompok yang paling rentan.
1. Fortifikasi Makanan
Ini adalah salah satu strategi pencegahan paling efektif dan telah berhasil memberantas pelagra di banyak negara maju. Fortifikasi melibatkan penambahan niasin (dalam bentuk nikotinamida) ke dalam makanan pokok seperti:
- Tepung Gandum dan Sereal: Banyak negara memiliki undang-undang yang mewajibkan penambahan niasin ke dalam tepung terigu, roti, dan sereal sarapan.
- Nasi: Di beberapa daerah, nasi juga difortifikasi dengan niasin dan vitamin lainnya.
Melalui fortifikasi, sebagian besar populasi dapat memperoleh asupan niasin yang cukup tanpa perlu secara sadar mengubah pola makan mereka.
2. Pendidikan Gizi dan Diversifikasi Diet
Di daerah di mana fortifikasi mungkin tidak tersedia atau tidak mencukupi, pendidikan gizi memainkan peran krusial:
- Meningkatkan Kesadaran: Edukasi tentang pentingnya niasin dan sumber makanannya.
- Diversifikasi Diet: Mendorong konsumsi berbagai makanan yang kaya niasin dan triptofan. Ini termasuk daging, ikan, unggas, kacang-kacangan (terutama kacang tanah), biji-bijian utuh (non-jagung atau jagung yang diolah dengan baik), jamur, telur, dan produk susu.
- Promosi Pertanian Berkelanjutan: Mendukung praktik pertanian yang memungkinkan akses ke berbagai jenis tanaman dan protein.
3. Nixtamalization Jagung
Untuk populasi yang sangat bergantung pada jagung sebagai makanan pokok, promosi dan edukasi tentang nixtamalization sangat vital. Proses ini, yang melibatkan merebus jagung dengan larutan alkali (misalnya, air kapur atau abu kayu), melepaskan niasin terikat dari jagung, membuatnya tersedia secara hayati. Ini adalah praktik tradisional di banyak budaya Mesoamerika yang secara historis melindungi mereka dari pelagra, bahkan saat diet mereka sangat didominasi jagung.
4. Suplementasi pada Kelompok Risiko Tinggi
Pada individu yang memiliki faktor risiko tinggi untuk pelagra sekunder, suplementasi niasin atau vitamin B kompleks dapat diindikasikan sebagai tindakan preventif:
- Pecandu Alkohol: Pemberian suplemen vitamin B kompleks sering direkomendasikan.
- Pasien dengan Malabsorpsi: Individu dengan penyakit pencernaan kronis, setelah operasi bariatrik, atau dalam kondisi lain yang mengganggu penyerapan nutrisi.
- Pasien yang Menggunakan Obat-obatan Tertentu: Misalnya, pasien yang menjalani terapi isoniazid untuk tuberkulosis mungkin memerlukan suplementasi piridoksin (B6) untuk mencegah gangguan konversi triptofan.
- Populasi Rentan: Di kamp pengungsi atau daerah bencana di mana akses pangan terbatas, suplemen multivitamin dapat didistribusikan secara massal.
5. Program Bantuan Pangan dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat
Di tingkat yang lebih luas, kebijakan kesehatan masyarakat dan program bantuan pangan sangat penting untuk mengatasi akar penyebab pelagra:
- Mengurangi Kemiskinan: Karena kemiskinan dan kelaparan adalah pendorong utama pelagra, upaya untuk meningkatkan standar hidup dan akses pangan adalah strategi pencegahan jangka panjang yang paling efektif.
- Pemantauan Nutrisi: Surveilans gizi secara teratur di populasi rentan untuk mengidentifikasi defisiensi pada tahap awal.
Dengan kombinasi pendekatan ini – mulai dari fortifikasi makanan skala besar hingga intervensi individual dan edukasi gizi – pelagra dapat dicegah secara efektif, memastikan bahwa setiap orang memiliki akses ke nutrisi penting yang dibutuhkan untuk kesehatan optimal.
Epidemiologi dan Prevalensi Modern
Meskipun pernah menjadi pandemi global, epidemiologi pelagra telah berubah secara dramatis. Di negara-negara maju, pelagra kini menjadi penyakit yang relatif langka, sebagian besar berkat program fortifikasi makanan dan peningkatan standar gizi. Namun, di beberapa bagian dunia, pelagra tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat yang signifikan, terutama di kalangan populasi yang rentan.
Di Negara Maju: Pelagra Sekunder
Di Eropa Barat, Amerika Utara, dan Australia, pelagra primer (akibat defisiensi diet langsung) hampir tidak pernah terlihat. Sebagian besar kasus yang muncul adalah pelagra sekunder, yang disebabkan oleh kondisi medis yang mengganggu penyerapan atau metabolisme niasin. Penyebab utama pelagra sekunder di negara-negara ini adalah:
- Alkoholisme Kronis: Ini adalah faktor risiko yang dominan. Pecandu alkohol sering mengalami malnutrisi, diet yang buruk, dan gangguan penyerapan nutrisi, yang menyebabkan defisiensi niasin.
- Penyakit Pencernaan Kronis: Seperti penyakit Crohn, kolitis ulseratif, penyakit celiac, dan kondisi malabsorpsi lainnya, termasuk setelah operasi bariatrik.
- Penggunaan Obat-obatan Tertentu: Obat-obatan seperti isoniazid (untuk tuberkulosis) atau 5-fluorouracil (kemoterapi) dapat mengganggu metabolisme niasin atau triptofan.
- Kondisi Langka: Penyakit Hartnup atau sindrom karsinoid, yang secara langsung memengaruhi metabolisme triptofan menjadi niasin.
- Anoreksia Nervosa dan Malnutrisi Berat Lainnya: Meskipun jarang, kondisi ini dapat menyebabkan defisiensi niasin pada kasus yang parah.
Kasus pelagra di negara maju seringkali merupakan tantangan diagnostik karena dokter mungkin tidak akrab dengan penyakit ini, dan gejalanya dapat disalahartikan sebagai kondisi lain.
Di Negara Berkembang dan Wilayah Krisis: Pelagra Primer dan Sekunder
Pelagra masih menjadi masalah endemik atau sporadis di beberapa negara berkembang, terutama di wilayah yang mengalami:
- Kemiskinan dan Ketidakamanan Pangan: Daerah di mana akses terhadap makanan bergizi terbatas dan diet sangat bergantung pada makanan pokok tunggal (misalnya, jagung yang tidak diolah) adalah yang paling berisiko.
- Konflik dan Bencana Alam: Krisis kemanusiaan sering menyebabkan pengungsian massal, rusaknya sistem pangan, dan akses terbatas ke bantuan nutrisi. Kamp pengungsi dan wilayah yang dilanda kelaparan adalah tempat di mana pelagra dapat muncul kembali dalam skala epidemi. Contohnya termasuk wabah di antara pengungsi di Afrika (misalnya, di Sudan Selatan) di mana diet sangat terbatas.
- Populasi Khusus: Beberapa populasi asli atau terisolasi yang mempertahankan pola makan tradisional berbasis jagung tanpa nixtamalization dapat tetap berisiko.
Di daerah ini, pelagra dapat terjadi sebagai defisiensi primer (diet), tetapi juga diperburuk oleh faktor-faktor sekunder seperti tingginya prevalensi infeksi (misalnya, HIV/AIDS, TBC) yang meningkatkan kebutuhan gizi atau menyebabkan malabsorpsi.
Tantangan Global
Meskipun upaya global telah mengurangi prevalensi pelagra secara signifikan, penyakit ini tetap menjadi pengingat penting akan tantangan gizi dan ketidaksetaraan kesehatan di dunia. Perubahan iklim, konflik geopolitik, dan resesi ekonomi dapat dengan cepat mengganggu rantai pasokan makanan dan memperburuk malnutrisi, sehingga potensi kambuhnya pelagra dalam skala yang lebih besar selalu ada. Oleh karena itu, kesadaran, surveilans gizi, dan intervensi yang tepat tetap krusial dalam pencegahan global.
Perbedaan Niasin dengan Nikotinamida dan Penggunaan Niasin Selain Pelagra
Niasin adalah istilah umum untuk vitamin B3, yang sebenarnya ada dalam dua bentuk utama: asam nikotinat dan nikotinamida (juga dikenal sebagai niasinamida). Meskipun keduanya adalah bentuk vitamin B3 dan dapat mengobati pelagra, ada perbedaan penting dalam sifat dan penggunaannya.
Niasin (Asam Nikotinat) vs. Nikotinamida
- Asam Nikotinat: Ini adalah bentuk niasin yang dapat menyebabkan efek samping yang khas yang dikenal sebagai "flushing niasin". Flushing ini ditandai dengan kemerahan, sensasi panas, gatal, dan kadang-kadang nyeri pada kulit, terutama di wajah, leher, dan dada. Ini disebabkan oleh pelepasan prostaglandin di kulit. Meskipun tidak berbahaya, flushing dapat sangat tidak nyaman bagi sebagian orang. Asam nikotinat juga lebih cenderung menyebabkan masalah pencernaan pada dosis tinggi.
- Nikotinamida (Niasinamida): Ini adalah bentuk amida dari niasin. Nikotinamida tidak menyebabkan flushing yang signifikan atau efek samping gastrointestinal pada dosis yang sama seperti asam nikotinat. Karena alasan inilah, nikotinamida adalah bentuk niasin yang disukai untuk pengobatan pelagra, karena memungkinkan dosis tinggi untuk diberikan tanpa efek samping yang mengganggu, sehingga meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan.
Keduanya secara biokimia dapat diubah menjadi NAD dan NADP dalam tubuh dan efektif dalam mengobati defisiensi niasin. Pilihan bentuk niasin tergantung pada tujuan pengobatan dan toleransi pasien.
Penggunaan Niasin Selain Pelagra
Selain perannya dalam mencegah dan mengobati pelagra, niasin (terutama asam nikotinat) memiliki penggunaan farmakologis lain, terutama pada dosis yang jauh lebih tinggi daripada yang dibutuhkan untuk mengatasi defisiensi vitamin.
- Manajemen Dislipidemia (Kolesterol Tinggi): Asam nikotinat telah lama digunakan dalam dosis farmakologis tinggi (biasanya 1000-3000 mg per hari) untuk memengaruhi kadar lipid dalam darah. Ini adalah salah satu obat paling efektif untuk:
- Meningkatkan Kolesterol HDL (Kolesterol "Baik"): Niasin dapat secara signifikan meningkatkan kadar HDL, yang merupakan faktor pelindung terhadap penyakit jantung.
- Menurunkan Kolesterol LDL (Kolesterol "Jahat"): Meskipun tidak sekuat statin, niasin juga dapat membantu menurunkan kadar LDL.
- Menurunkan Trigliserida: Niasin sangat efektif dalam menurunkan kadar trigliserida dalam darah.
- Potensi Penggunaan Lain: Beberapa penelitian sedang mengeksplorasi potensi peran niasin atau turunannya dalam kondisi lain, seperti penyakit Parkinson, osteoarthritis, atau skizofrenia, namun bukti ilmiah untuk penggunaan ini masih terbatas dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
Penting untuk membedakan antara kebutuhan niasin untuk mencegah defisiensi (pelagra), yang relatif rendah, dan dosis farmakologis tinggi yang digunakan untuk tujuan terapeutik lain (seperti kolesterol), yang harus selalu di bawah pengawasan medis ketat karena potensi efek samping yang signifikan.
Mitos dan Kesalahpahaman Seputar Pelagra
Meskipun pengetahuan tentang pelagra telah berkembang pesat, beberapa mitos dan kesalahpahaman masih bertahan, terutama karena sifat sejarah penyakit ini dan kompleksitas gizi.
Mitos 1: Jagung Itu Sendiri Menyebabkan Pelagra.
Fakta: Ini adalah salah satu kesalahpahaman yang paling umum dan bersejarah. Jagung itu sendiri tidak menyebabkan pelagra. Masalahnya terletak pada cara jagung diolah dan dimakan, serta komposisi nutrisi dari diet secara keseluruhan. Jagung memang mengandung niasin, tetapi sebagian besar dalam bentuk terikat (niacytin) yang tidak dapat diserap oleh tubuh manusia. Metode pengolahan tradisional seperti nixtamalization (merebus jagung dengan larutan alkali) melepaskan niasin ini, membuatnya tersedia secara hayati. Budaya yang mempraktikkan nixtamalization, seperti di Mesoamerika, secara historis jarang menderita pelagra, meskipun diet mereka didominasi jagung. Wabah pelagra terjadi ketika jagung diperkenalkan ke populasi yang tidak menggunakan nixtamalization dan menjadikan jagung sebagai makanan pokok tunggal tanpa sumber niasin atau triptofan lain yang memadai.
Mitos 2: Pelagra Adalah Penyakit dari Masa Lalu dan Tidak Relevan Lagi.
Fakta: Meskipun pelagra telah hampir diberantas di negara-negara maju berkat fortifikasi makanan dan perbaikan gizi, ia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di beberapa bagian dunia, terutama di negara berkembang, daerah yang dilanda konflik, dan di antara populasi yang paling rentan terhadap malnutrisi. Di negara maju, kasus pelagra sekunder masih muncul, terutama pada pecandu alkohol kronis, pasien dengan penyakit malabsorpsi, atau mereka yang menggunakan obat-obatan tertentu. Kesalahpahaman ini dapat menyebabkan diagnosis yang terlewat atau tertunda, yang pada gilirannya dapat berakibat fatal.
Mitos 3: Hanya Orang yang Sangat Lapar yang Mendapatkan Pelagra.
Fakta: Meskipun kelaparan dan kemiskinan adalah faktor risiko utama, pelagra tidak hanya terjadi pada mereka yang mengalami kelaparan ekstrem. Seseorang dapat mengonsumsi kalori yang cukup tetapi masih mengalami pelagra jika diet mereka sangat tidak seimbang dan kekurangan niasin atau triptofan. Kasus pelagra sekunder juga dapat terjadi pada individu yang tidak lapar secara harfiah tetapi memiliki kondisi medis yang mengganggu penyerapan atau metabolisme nutrisi. Ini menunjukkan bahwa kualitas nutrisi sama pentingnya dengan kuantitasnya.
Mitos 4: Semua Bentuk Niasin Memiliki Efek Samping yang Sama.
Fakta: Ada perbedaan penting antara asam nikotinat dan nikotinamida. Asam nikotinat, terutama pada dosis yang digunakan untuk menurunkan kolesterol, sering menyebabkan efek samping "flushing" (kemerahan dan sensasi panas). Nikotinamida, di sisi lain, sangat jarang menyebabkan flushing dan merupakan bentuk yang disukai untuk mengobati pelagra karena toleransinya yang lebih baik. Kesalahpahaman ini dapat menyebabkan pasien menghindari pengobatan atau suplemen yang diperlukan karena takut akan efek samping yang sebenarnya tidak akan terjadi dengan bentuk niasin yang tepat.
Mitos 5: Suplemen Vitamin B Kompleks Selalu Cukup untuk Mencegah Pelagra.
Fakta: Sementara banyak suplemen vitamin B kompleks mengandung niasin, dosisnya mungkin tidak cukup untuk mencegah pelagra pada individu yang sangat berisiko atau yang sudah menunjukkan gejala. Untuk pencegahan di area berisiko tinggi, fortifikasi makanan atau suplementasi niasin yang ditargetkan mungkin lebih efektif. Untuk pengobatan, dosis terapeutik niasin yang spesifik diperlukan, yang jauh lebih tinggi daripada dosis pencegahan dalam multivitamin standar. Selain itu, defisiensi vitamin B lain seperti B2 dan B6 dapat menghambat konversi triptofan menjadi niasin, sehingga suplementasi B kompleks yang komprehensif seringkali direkomendasikan.
Mengatasi mitos-mitos ini sangat penting untuk meningkatkan kesadaran yang akurat tentang pelagra, memfasilitasi diagnosis dini, dan mendukung upaya pencegahan yang efektif.
Kesimpulan
Pelagra, penyakit defisiensi niasin yang ditandai dengan "3 D" klasik—dermatitis, diare, dan demensia—adalah pengingat nyata akan dampak mendalam gizi pada kesehatan manusia. Sejarahnya yang panjang dari epidemi yang meluas hingga penemuan niasin yang revolusioner oleh Joseph Goldberger menggambarkan perjalanan pengetahuan medis yang krusial.
Memahami patofisiologi, penyebab, dan faktor risikonya adalah kunci. Baik itu pelagra primer yang disebabkan oleh diet miskin niasin (terutama diet jagung yang tidak diolah dengan baik) atau pelagra sekunder yang timbul dari kondisi medis yang mengganggu penyerapan atau metabolisme, defisiensi niasin mengganggu fungsi vital seluler yang didukung oleh koenzim NAD dan NADP. Ini mengakibatkan kerusakan pada kulit, saluran pencernaan, dan sistem saraf, yang jika tidak diobati, dapat berujung pada kematian.
Untungnya, pelagra adalah penyakit yang dapat diobati dan dicegah. Pengobatan dengan suplementasi nikotinamida (bentuk niasin yang ditoleransi dengan baik) seringkali menghasilkan perbaikan gejala yang cepat dan dramatis. Pencegahan, melalui fortifikasi makanan, pendidikan gizi, praktik nixtamalization yang tepat, dan penargetan kelompok berisiko tinggi dengan suplemen, telah terbukti sangat efektif dalam mengurangi insiden penyakit ini di banyak belahan dunia.
Meskipun prevalensinya telah menurun drastis di negara maju, kasus pelagra sekunder masih muncul, dan penyakit ini tetap menjadi ancaman serius di daerah dengan kemiskinan, ketidakamanan pangan, dan krisis kemanusiaan. Oleh karena itu, kesadaran terus-menerus di kalangan profesional kesehatan, dukungan terhadap program gizi global, dan upaya untuk mengatasi akar penyebab malnutrisi adalah esensial untuk memastikan bahwa pelagra benar-benar menjadi penyakit dari masa lalu di seluruh dunia.