Kajian Mendalam Surah Al-Maidah Ayat 7: Pilar Perjanjian dan Ketaatan Abadi

Simbol Perjanjian Ilahi dan Cahaya Hidayah Simbol gulungan perjanjian yang diterangi cahaya, melambangkan janji dan ketaatan kepada Allah. Mīthāq (Perjanjian)

Surah Al-Maidah (Jamuan Hidangan) merupakan salah satu surah Madaniyah yang kaya akan hukum-hukum syariat, etika sosial, dan penegasan akidah. Dalam rangkaian ayat-ayatnya, terdapat sebuah pengingat monumental yang menjadi fondasi bagi hubungan vertikal antara hamba dan Penciptanya: Al-Maidah Ayat 7. Ayat ini bukan sekadar kalimat penutup dalam sebuah pembahasan, melainkan sebuah ringkasan filosofis dan praktis tentang bagaimana seorang Muslim seharusnya menjalani hidup setelah menerima bimbingan ilahi.

وَٱذْكُرُوا۟ نِعْمَةَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمِيثَٰقَهُ ٱلَّذِى وَاثَقَكُم بِهِۦٓ إِذْ قُلْتُمْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌۢ بِذَاتِ ٱلصُّدُورِ
"Dan ingatlah nikmat Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikrarkan-Nya kepadamu, ketika kamu mengatakan: 'Kami dengar dan kami taat.' Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui isi hati (segala yang ada dalam dada)." (QS. Al-Maidah [5]: 7)

I. Tafsir Struktural: Membedah Setiap Komponen Perintah

Ayat ke-7 dari Surah Al-Maidah memuat empat elemen instruktif yang saling terkait, membentuk lingkaran kewajiban spiritual dan moral. Untuk memahami kedalaman makna 5000 kata dalam konteks ayat ini, kita perlu menguraikan setiap bagiannya secara rinci dan mendalam. Ayat ini bermula dengan perintah ingatan, beralih ke komitmen, dan diakhiri dengan peringatan akan pengawasan ilahi.

1. "Wa Adzkuru Ni'matallāhi 'Alaikum" (Dan Ingatlah Nikmat Allah Kepadamu)

Perintah pertama adalah 'ingatlah' (adzkurū). Ini bukan sekadar mengingat dengan lisan, tetapi mengingat yang melibatkan hati, pikiran, dan tindakan (dzikr al-qalbi wa al-lisān wa al-jawāriḥ). Mengingat nikmat Allah adalah fondasi untuk setiap tindakan ketaatan. Tanpa kesadaran akan karunia, manusia cenderung menjadi ingkar (kufur nikmat).

A. Kedalaman Makna Ni'matullah

Nikmat yang dimaksud di sini bukanlah nikmat material semata (harta, kesehatan). Nikmat terbesar yang harus diakui dan diingat adalah nikmat:

Kesadaran akan nikmat-nikmat ini menumbuhkan rasa syukur yang berkelanjutan (syukr). Syukr inilah yang memastikan kelangsungan nikmat tersebut, sebagaimana firman Allah, "Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu." (QS. Ibrahim [14]: 7).

Proses 'mengingat' ini harus menjadi praktik harian yang menembus ke dalam sanubari. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa mengingat nikmat di sini juga merujuk pada mengingat sejarah perjuangan, khususnya pasca Hijrah, di mana Allah memberikan keamanan, persatuan, dan kemenangan kepada kaum Muslimin setelah masa-masa kesulitan. Nikmat terbesar yang patut dikenang adalah diutusnya Rasulullah ﷺ sebagai rahmat bagi semesta alam, karena tanpa beliau, perjanjian (mīthāq) ini tidak akan pernah tersampaikan kepada umat manusia.

2. "Wa Mītsāqahu Alladzī Wātsaqakum Bihī" (Dan Perjanjian-Nya yang Telah Diikrarkan-Nya Kepadamu)

Ini adalah inti dari ayat. Al-Mītsāq adalah perjanjian yang kuat, janji suci, dan sumpah yang mengikat. Perjanjian ini adalah kontrak fundamental antara Pencipta dan ciptaan-Nya. Perjanjian ini terbagi menjadi dua dimensi yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan:

A. Dimensi Kosmik dan Primordial (Mītsāq Al-Fitrah)

Perjanjian pertama adalah yang diambil sejak alam ruh, yang dikenal sebagai 'Miitsaq Hari Alast' (QS. Al-A'raf [7]: 172). Di sana, semua ruh bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan mereka. Perjanjian ini mengikat fitrah manusia untuk mengakui keesaan Allah (Tauhid). Ketika ayat Al-Maidah 7 berbicara tentang perjanjian, ia mengingatkan Muslim bahwa komitmen mereka terhadap Nabi Muhammad ﷺ dan syariat adalah pemenuhan lanjutan dari janji primordial tersebut.

Kegagalan Bani Israil, yang sering disinggung dalam Surah Al-Maidah, adalah kegagalan dalam menjaga mītsāq. Mereka diberikan perjanjian, tetapi mereka melanggarnya berulang kali. Allah mengingatkan umat Muslim agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Muslim diingatkan bahwa mereka adalah umat terbaik yang diutus untuk manusia (khayra ummah), dan status ini hanya dapat dipertahankan melalui pemenuhan perjanjian.

B. Dimensi Syariat dan Ketaatan (Mītsāq Al-Bay'ah)

Dalam konteks Madinah, 'perjanjian' ini merujuk pada janji-janji spesifik yang diikrarkan kaum Muslimin, seperti:

  1. Ikrar Syahadat: Komitmen terhadap Tauhid dan Risalah.
  2. Ikrar Bai’at: Janji setia kepada Nabi ﷺ, terutama Bai’at Aqabah yang menjadi titik balik sejarah Islam.
  3. Ikrar Hukum: Penerimaan total terhadap hukum-hukum Allah yang diturunkan melalui Al-Qur'an (seperti hukum-hukum dalam Surah Al-Maidah itu sendiri, yang mencakup makanan, pernikahan, dan pidana).
Memenuhi perjanjian ini berarti menempatkan perintah Allah di atas keinginan pribadi dan kepentingan duniawi. Perjanjian ini mencakup tidak hanya melakukan yang wajib, tetapi juga meninggalkan yang diharamkan. Ini adalah perjanjian yang menuntut konsistensi spiritual dan integritas moral dalam setiap aspek kehidupan.

3. "Idz Qultum Sami'nā Wa Atha'nā" (Ketika Kamu Mengatakan: Kami Dengar dan Kami Taat)

Frasa ini adalah manifestasi lisan dari perjanjian. Sami'nā wa Atha'nā (Kami dengar dan kami taat) adalah moto utama seorang Mukmin sejati, kontras dengan sikap Bani Israil yang sering digambarkan dalam Al-Qur'an dengan frasa "Sami'nā wa 'Asainā" (Kami dengar dan kami durhaka).

A. Mendengar (Sami'nā)

Mendengar di sini bukan sekadar proses auditif. Ia adalah penerimaan informasi secara penuh dan pemahaman yang mendalam terhadap apa yang diwajibkan. Mendengar berarti menerima otoritas ilahi (Al-Qur'an) dan kenabian (Sunnah) sebagai sumber kebenaran mutlak. Seorang Muslim yang mengucapkan "Sami'nā" menyatakan, "Saya telah menerima bukti, dan saya memahami perintah ini."

Proses mendengar ini menuntut adanya ilmu. Ketaatan tanpa ilmu adalah ketaatan buta, yang rentan terhadap penyimpangan. Oleh karena itu, bagian 'mendengar' ini menyiratkan kewajiban thalabul 'ilmi (menuntut ilmu) agar ketaatan yang diberikan didasarkan pada pemahaman yang benar, bukan sekadar ikut-ikutan. Ketaatan yang dipupuk dari ilmu adalah ketaatan yang kokoh dan berkelanjutan.

B. Menaati (Atha'nā)

Ketaatan (Atha'nā) adalah terjemahan praktis dari pendengaran tersebut. Ketaatan sejati ditunjukkan melalui pelaksanaan perintah, baik dalam keadaan mudah maupun sulit, dalam situasi yang menyenangkan maupun yang memberatkan. Ini adalah penyerahan total (Islam) yang tidak mengenal tawar-menawar atau penundaan.

Para ahli fiqih menjelaskan bahwa ketaatan yang sempurna adalah ketaatan yang segera (tanpa menunda), ketaatan yang ikhlas (tanpa riya'), dan ketaatan yang sesuai (ittiba' al-Sunnah). Ketika seseorang dihadapkan pada pilihan antara hukum Allah dan kepentingan pribadi, respons "Atha'nā" harus menjadi respons otomatis yang mencerminkan prioritas perjanjian yang telah dibuat. Ketaatan ini mencakup kepatuhan kepada pemimpin Muslim yang sah, selama perintah mereka tidak bertentangan dengan syariat Allah.

4. "Wa Ittaqullāha Innallāha 'Alīmum Bidzātish-Shudūr" (Dan Bertakwalah Kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Isi Hati)

Ayat ini ditutup dengan perintah takwa yang dihubungkan dengan sifat Allah sebagai Yang Maha Mengetahui rahasia hati. Ini adalah penutup yang paling kuat karena menyelaraskan tindakan eksternal (ketaatan) dengan kondisi internal (ketulusan).

A. Perintah Taqwa (Ittaqullāh)

Taqwa secara harfiah berarti menjaga diri, melindungi diri dari azab Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Taqwa adalah hasil akhir dari mengingat nikmat dan memenuhi perjanjian. Tanpa taqwa, perjanjian menjadi kosong, dan ketaatan menjadi superfisial. Taqwa adalah barometer keimanan dan kualitas hubungan seorang hamba dengan Tuhannya.

Ayat ini menekankan bahwa taqwa harus menjadi motivasi utama di balik setiap pemenuhan perjanjian. Mengapa kita memenuhi janji? Bukan karena paksaan sosial, bukan karena ingin dipuji, tetapi karena takut dan cinta kepada Allah. Taqwa menjamin bahwa ketaatan (Atha'nā) dilakukan dengan keikhlasan (Ikhlās), yang merupakan syarat mutlak diterimanya amal.

B. Pengawasan Ilahi ('Alīmum Bidzātish-Shudūr)

Peringatan bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang ada di dalam dada (hati) berfungsi sebagai penangkal utama terhadap kemunafikan dan ketidaktulusan. Perjanjian dan ketaatan yang diikrarkan (Sami'nā wa Atha'nā) dapat diucapkan dengan lisan, tetapi hanya Allah yang tahu apakah hati benar-benar tunduk atau tidak.

Frasa "Bidzātish-Shudūr" (isi hati) sangat spesifik. Ini mencakup niat, rahasia terdalam, kecenderungan tersembunyi, dan bisikan-bisikan jiwa. Kesadaran akan pengawasan ini mendorong seorang Muslim untuk membersihkan niatnya secara terus-menerus. Jika seseorang taat secara lahiriah tetapi hatinya menyimpan kebencian terhadap hukum Allah atau berencana melanggar di saat sepi, Allah mengetahui semua itu. Pengetahuan Allah yang mutlak ini adalah dorongan terbesar bagi integritas spiritual, memastikan bahwa ketaatan adalah total, baik dalam terang maupun dalam kegelapan.

II. Konteks Historis dan Keunikan Umat Muhammad

Surah Al-Maidah, yang diturunkan pada fase akhir periode Madinah, sering kali merangkum dan menguatkan hukum-hukum serta menyempurnakan syariat. Ayat 7 harus dipahami dalam konteks perbandingan historis antara Umat Muhammad ﷺ dan umat-umat terdahulu, khususnya Bani Israil.

1. Pelajaran dari Kegagalan Umat Terdahulu

Banyak ayat di Al-Maidah mengisahkan bagaimana Bani Israil melanggar perjanjian-perjanjian kuat mereka (mītsāq). Mereka diberikan hukum, tetapi mereka menolak bagian yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Mereka berkata "Sami'nā," tetapi perbuatan mereka adalah "Ashainā."

Ayat 7 berfungsi sebagai peringatan: Umat Muhammad harus menjadi pengecualian. Mereka harus membuktikan bahwa janji "Kami dengar dan kami taat" adalah tulus dan permanen. Keunggulan umat ini (Khayra Ummah) tidak terletak pada garis keturunan, tetapi pada kesetiaan mereka yang tidak tergoyahkan terhadap perjanjian ilahi.

2. Peran Al-Mītsāq dalam Penyatuan Umat

Perjanjian ini adalah faktor penyatu utama di Madinah. Setelah konflik kesukuan yang panjang, Islam menyatukan Muhajirin dan Ansar di bawah satu bendera perjanjian: ketaatan mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya. Mengingat nikmat dan perjanjian ini berarti mengingat persaudaraan (ukhuwah) yang dimungkinkan oleh syariat. Melanggar perjanjian berarti merusak persatuan ini.

III. Implementasi Praktis: Memenuhi Perjanjian dalam Kehidupan Modern

Bagaimana seorang Muslim di era kontemporer mewujudkan semangat Al-Maidah Ayat 7, menjadikannya lebih dari sekadar sejarah, tetapi peta jalan yang aktif?

1. Pemeliharaan Nikmat Melalui Syukr dan Dzikir

Pemenuhan janji dimulai dengan pengakuan nikmat. Ini berarti menetapkan rutinitas dzikir pagi dan petang, serta secara sadar menghitung dan mensyukuri nikmat Islam dan kesehatan. Jika seseorang lupa betapa berharganya hidayah, ia akan mudah tergoda untuk mengorbankan janji demi keuntungan sesaat. Kesadaran ini adalah benteng pertama dari ketaatan.

2. Mengukuhkan Mītsāq dalam Komitmen Harian

Perjanjian diterjemahkan dalam komitmen-komitmen spesifik:

Setiap kali seorang Muslim memilih kebenaran di atas kemudahan, ia memperbarui dan mengukuhkan perjanjiannya dengan Allah.

4. Sami'nā wa Atha'nā dalam Isu Kontroversial

Ujian terberat dari "Kami dengar dan kami taat" adalah ketika perintah Allah bertentangan dengan budaya populer, tren media sosial, atau bahkan pendapat mayoritas. Pada titik ini, ketaatan sejati dituntut:

Sikap "Atha'nā" harus menjadi respons default, bukan respons yang harus didahului oleh analisis apakah perintah tersebut menguntungkan secara pribadi atau tidak.

5. Taqwa sebagai Pemurni Niat

Karena Allah mengetahui isi hati, segala amal ketaatan harus diiringi dengan usaha terus-menerus untuk memurnikan niat (tazkiyatun nufūs). Seorang yang bertakwa akan selalu memeriksa apakah ketaatannya didorong oleh riya (ingin dilihat) atau sum'ah (ingin didengar). Ayat ini mengajarkan bahwa ketaatan yang diterima adalah ketaatan yang diiringi dengan rasa takut dan harap yang ikhlas di dalam hati.

Jika hati tidak selaras dengan lisan, perjanjian itu palsu. Allah mengingatkan kita bahwa Dia melihat niat kita bahkan sebelum kita bertindak. Kesadaran ini harus menjadi rem spiritual yang mencegah kita dari ketaatan yang hanya bersifat kosmetik atau dangkal. Ini adalah konsep tauhid al-qasd (penyatuan niat), di mana satu-satunya tujuan dari semua amal adalah wajah Allah semata.

IV. Ekspansi Tafsir: Ni'mah dan Mītsāq yang Saling Mendukung

Hubungan antara nikmat (ni'mah) dan perjanjian (mītsāq) sangat sinergis. Mengingat nikmat (fase 1) adalah alasan logis untuk menerima perjanjian (fase 2). Allah tidak meminta perjanjian ini tanpa terlebih dahulu menganugerahkan karunia yang tidak terhitung jumlahnya.

1. Nikmat Iman Sebagai Harga Perjanjian

Nikmat terbesar yang Allah berikan kepada umat Nabi Muhammad ﷺ adalah kemudahan dan keringanan dalam syariat. Tidak seperti umat terdahulu yang diberikan beban berat, umat ini diberikan rahmat. Misalnya, penghapusan dosa dengan istighfar, kemudahan tayamum, dan syariat yang fleksibel. Nikmat ini merupakan ‘harga awal’ yang memotivasi kita untuk mengatakan "Kami dengar dan kami taat" dengan sukarela dan penuh cinta.

Ketika seseorang merasa berat untuk beribadah atau memenuhi suatu perintah, ia harus kembali ke awal ayat: "Wa adzkurū ni'matallāhi 'alaikum." Ingatlah kembali bahwa segala kesulitan ini kecil dibandingkan dengan anugerah Islam itu sendiri. Perenungan mendalam tentang nikmat hidayah akan mengurangi beban ketaatan.

2. Perjanjian sebagai Jaminan Kelestarian Nikmat

Di sisi lain, perjanjian (mītsāq) adalah jaminan bagi kelestarian nikmat. Ketika umat memenuhi janjinya, Allah menjamin bahwa Dia akan terus menurunkan berkah-Nya. Kegagalan dalam menjaga perjanjian, sebaliknya, merupakan penyebab utama dicabutnya nikmat, baik nikmat spiritual (seperti kedamaian hati) maupun nikmat material (seperti kesuburan tanah dan keamanan negara).

Konsep perjanjian ini menuntut pertanggungjawaban kolektif. Setiap individu yang melanggar perjanjiannya tidak hanya merugikan dirinya sendiri tetapi juga berpotensi merugikan komunitas. Oleh karena itu, dakwah dan amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) adalah bagian integral dari pemenuhan perjanjian umat ini, karena ini adalah cara menjaga kesucian mītsāq dalam skala sosial.

V. Dimensi Ilmu dan 'Alīmum Bidzātish-Shudūr

Ayat ini menutup dengan sifat 'Ilm (Pengetahuan) Allah, sebuah penutup yang bersifat mengancam sekaligus menghibur.

1. Ilmu Yang Mengalahkan Keraguan

Bagi orang-orang yang tulus, pengetahuan Allah yang mutlak adalah sumber ketenangan. Mereka tahu bahwa meskipun amal mereka mungkin tidak sempurna di mata manusia, niat tulus (ikhlas) mereka tidak akan pernah luput dari pandangan Allah. Bahkan permohonan dan bisikan hati mereka yang paling tersembunyi pun diketahui dan akan diganjar.

2. Ancaman bagi Pelanggar Janji

Sebaliknya, bagi mereka yang mengucapkan "Sami'nā wa Atha'nā" di depan umum tetapi melanggar perjanjian di saat sepi (khalwah), peringatan "Allah Maha Mengetahui isi hati" adalah ancaman yang mengerikan. Ini adalah peringatan keras terhadap kemunafikan praktis (nifaq 'amali). Seseorang mungkin berhasil menyembunyikan pelanggarannya dari mata manusia selama bertahun-tahun, tetapi ia tidak dapat menyembunyikan hatinya dari Allah, yang menjadi saksi abadi atas setiap niat dan keputusan.

Konsep Dzātish-Shudūr (isi dada) mencakup empat tingkatan kesadaran manusia yang dipantau oleh Allah:

  1. Al-Hawājis: Pikiran sekilas yang melintas.
  2. Al-Khawātir: Niat yang mulai menguat.
  3. Al-'Azā’im: Keputusan kuat untuk bertindak.
  4. An-Niyāt: Tujuan akhir dari suatu perbuatan.
Semua ini, bahkan sebelum diwujudkan dalam ucapan atau perbuatan, sudah berada dalam cakupan ilmu Allah. Ini menegaskan bahwa integritas seorang Muslim harus dimulai dari level niat, bukan sekadar penampilan luar.

VI. Konsekuensi dan Penghargaan Perjanjian

Pemenuhan Al-Maidah Ayat 7 membawa konsekuensi positif yang agung, baik di dunia maupun di akhirat.

1. Konsekuensi Duniawi: Keberkahan dan Ketenangan

Orang yang menjaga perjanjiannya akan dianugerahi ketenangan batin (sakinah). Hatinya tidak akan terombang-ambing oleh keraguan atau penyesalan, karena ia tahu bahwa ia berada di jalan yang diridai. Selain itu, janji Allah untuk memberikan keberkahan (barakah) dan kemenangan (nashr) selalu terkait erat dengan pemenuhan janji umat.

Ketaatan penuh, yang lahir dari hati yang bertakwa, menciptakan masyarakat yang stabil dan adil. Ketika semua individu memenuhi perjanjian mereka, institusi sosial dan pemerintahan akan berfungsi berdasarkan keadilan ilahi, bukan kepentingan sempit manusia. Inilah janji sosiologis dari Al-Maidah 7.

2. Konsekuensi Ukhrawi: Janji Surga

Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menekankan bahwa siapa pun yang memenuhi semua elemen ayat ini—mengingat nikmat, menjaga perjanjian, mengucapkan dan menunaikan ketaatan, dan melakukannya dengan taqwa—berhak atas janji tertinggi. Ketaatan yang sempurna adalah jalan menuju Surga, sebuah tempat di mana perjanjian abadi dengan Allah akan disempurnakan tanpa ada lagi ujian atau godaan.

Surga adalah puncak dari nikmat yang diingat di awal ayat. Allah menganugerahkan nikmat di dunia (Iman dan Islam) agar hamba-Nya dapat memenuhi perjanjian (ketaatan), yang pada akhirnya akan menghasilkan nikmat yang tak terbayangkan di akhirat (Jannah). Ayat 7 dengan demikian adalah sebuah siklus sempurna dari anugerah (ni'mah) menuju tanggung jawab (mītsāq) dan kembali lagi kepada anugerah abadi.

VII. Penekanan pada Kontinuitas dan Istiqamah

Kata kunci dalam ayat ini adalah kontinuitas. Mengingat nikmat harus dilakukan secara berkelanjutan. Menjaga perjanjian memerlukan istiqamah (keteguhan). Ketaatan bukanlah peristiwa satu kali, melainkan proses sepanjang hayat (sampai datangnya kematian yang pasti).

Ujian perjanjian tidak hanya terjadi pada saat Bai’at besar, tetapi dalam setiap keputusan kecil harian: bangun untuk Subuh, menahan lisan dari ghibah, atau mengembalikan hak orang lain. Setiap ketaatan kecil ini adalah penambahan kekuatan pada fondasi perjanjian yang telah diikrarkan. Istiqamah adalah bukti paling otentik bahwa "Sami'nā wa Atha'nā" adalah kebenaran yang hidup dalam diri seorang Muslim.

Jika kita meninjau kembali kata 'adzkaru' (ingatlah), perintah ini dalam bentuk imperatif plural, yang berarti kewajiban ingatan adalah tugas yang terus-menerus dan bukan insidental. Manusia cenderung lupa, dan perintah ini adalah mekanisme ilahi untuk memerangi kecenderungan lupa dan lalai tersebut. Semakin sering nikmat itu diingat, semakin dalam rasa syukur, dan semakin kuat pula dorongan untuk memegang teguh perjanjian.

Perjanjian (mītsāq) yang diikatkan kepada kita melalui Nabi Muhammad ﷺ adalah perjanjian paripurna yang tidak memerlukan revisi. Ia mencakup semua aspek kehidupan dan menawarkan solusi yang kekal. Oleh karena itu, ketaatan yang dituntut adalah ketaatan yang menyeluruh (kāffah), tidak memilih-milih mana bagian syariat yang disukai dan mana yang tidak.

Kesempurnaan ayat ini terletak pada penekanan internal dan eksternal. Secara eksternal, tuntutannya adalah ketaatan yang terlihat. Secara internal, tuntutannya adalah taqwa dan ikhlas yang hanya diketahui oleh Allah. Keduanya harus selaras. Seorang Muslim yang memahami Al-Maidah 7 menyadari bahwa nilai amalnya tidak diukur dari ukurannya, tetapi dari kualitas niat dan ketulusan hatinya, karena Allah adalah Alīmum Bidzātish-Shudūr.

Maka, mari kita jadikan setiap hari sebagai pembaharuan janji. Ingatlah hidayah yang telah diberikan, pegang teguh komitmen yang telah diucapkan, dan jalankan ketaatan dengan hati yang tulus. Ini adalah pesan abadi dan mendalam dari Surah Al-Maidah Ayat 7, sebuah pilar yang menopang seluruh bangunan keimanan dan kepatuhan.

VIII. Analisis Linguistik dan Semantik Mītsāq

Memperdalam pemahaman Al-Maidah 7 memerlukan analisis linguistik terhadap istilah kuncinya, terutama Mītsāq. Akar kata watsaqa (وثق) berarti terikat, kuat, kokoh. Mītsāq (ميثاق) adalah nama tempat atau alat dari akar kata tersebut, merujuk pada alat atau dokumen yang menjadikan sesuatu terikat secara kuat, yaitu perjanjian atau ikatan suci. Ini bukan sekadar janji (wa'd), tetapi sumpah yang memiliki konsekuensi serius jika dilanggar. Dalam konteks ayat, mītsāq adalah tali yang paling kuat (al-'urwatul wutsqa).

1. Mītsāq vs. 'Ahd dan Qawl

Al-Qur'an menggunakan beberapa istilah untuk janji, termasuk 'ahd (عهد), qawl (قول), dan mītsāq (ميثاق). Mītsāq biasanya menunjukkan perjanjian yang: a) Dibuat dengan Allah, b) Sangat formal dan sakral, c) Mengikat seluruh komunitas, d) Membawa konsekuensi ilahi yang besar.

Dalam konteks Madinah, perjanjian ini adalah dasar hukum dan sosial. Mītsāq ini memisahkan umat Islam dari masyarakat jahiliyah yang berdasarkan ikatan kesukuan. Ikatan keimanan (mītsāq) kini menjadi ikatan tertinggi. Melalui perjanjian inilah, umat Islam menerima tanggung jawab untuk menegakkan keadilan di bumi, yang merupakan tema sentral Surah Al-Maidah.

IX. Peran Taqwa dalam Menjaga Kualitas Ketaatan

Kaitan antara Ittaqullāh dan 'Alīmum Bidzātish-Shudūr sangat esensial. Ketaatan tanpa taqwa cenderung menjadi ketaatan yang bermotivasi duniawi (misalnya, mencari reputasi). Taqwa memastikan bahwa ketaatan dilakukan li wajhillah (semata-mata mencari wajah Allah). Jika kita tidak takut (taqwa) kepada Allah, kita akan melanggar janji di tempat yang tersembunyi, karena kita yakin manusia tidak melihat.

1. Taqwa sebagai Sistem Navigasi Internal

Taqwa berfungsi sebagai sistem navigasi spiritual yang memastikan hati (shudūr) tetap bersih. Seseorang yang bertakwa akan selalu menanyakan pada dirinya sendiri: "Apakah niat saya benar dalam tindakan ini?" "Apakah saya melakukan ini karena Allah atau karena makhluk?" Proses introspeksi ini, yang disebut muhasabah, adalah manifestasi praktis dari kesadaran bahwa Allah mengawasi isi hati. Tanpa muhasabah, janji "Sami'nā wa Atha'nā" berisiko menjadi kata-kata kosong.

Para ulama salaf sering menekankan bahwa kualitas taqwa seseorang tidak diukur dari seberapa banyak ia shalat atau puasa di depan umum, melainkan dari seberapa baik ia mengontrol dirinya ketika ia sendirian. Ini adalah aplikasi langsung dari Innallāha 'Alīmum Bidzātish-Shudūr.

X. Implikasi Syar'i dari Sami'nā wa Atha'nā

Ucapan "Kami dengar dan kami taat" memiliki implikasi hukum yang luas dan mendalam. Ini adalah penolakan terhadap pemikiran rasionalis yang mengedepankan akal di atas nash (teks suci) dan penolakan terhadap sikap yang menunda pelaksanaan hukum hingga memahami hikmahnya secara penuh.

1. Segera Melaksanakan Hukum

Ketika hukum diturunkan (misalnya, pengharaman khamar atau perintah hijab), respons yang benar dari umat Islam adalah segera menerapkannya. Tidak ada ruang untuk mempertanyakan otoritas sumber hukum tersebut. Penundaan dianggap sebagai bentuk ketidaktaatan yang terselubung.

2. Ketaatan dalam Konflik dan Perdamaian

Konteks Surah Al-Maidah seringkali melibatkan urusan perang dan perdamaian, serta hubungan dengan Ahli Kitab. Ketaatan berarti mematuhi semua perjanjian dan ketentuan yang dibuat oleh Rasulullah ﷺ (seperti Perjanjian Hudaibiyah), meskipun ketentuan tersebut tampak tidak menguntungkan secara strategis pada pandangan pertama. Ketaatan sejati berarti percaya penuh pada bimbingan ilahi dalam setiap aspek, termasuk geopolitik dan strategi militer.

XI. Perluasan Konsep Ni'matullah

Untuk mencapai kedalaman yang dikehendaki, kita harus menggali lebih jauh konsep Ni'matullah yang diperintahkan untuk diingat. Mengingat nikmat adalah latihan spiritual yang mencegah keputusasaan dan keluh kesah. Nikmat Allah yang harus diakui terus-menerus mencakup:

1. Nikmat Penciptaan (Ni'mat Al-Khalq)

Nikmat diciptakan dalam bentuk yang paling baik (Ahsani Taqwiim), dengan indra, akal, dan hati yang mampu mengenal Allah. Setiap tarikan napas, setiap detak jantung, adalah manifestasi nikmat yang tidak dapat dihitung (QS. Ibrahim [14]: 34).

2. Nikmat Keterhubungan (Ni'mat Al-Ittishal)

Allah tidak meninggalkan manusia tanpa panduan. Nikmat berupa diutusnya para nabi, turunnya kitab suci, dan dijaganya wahyu (Al-Qur'an) dari distorsi adalah nikmat keterhubungan yang memastikan manusia memiliki peta jalan menuju perjanjian yang abadi. Jika nikmat ini tidak ada, manusia akan tersesat dalam kegelapan filosofis dan spiritual.

3. Nikmat Pengampunan (Ni'mat Al-Maghfirah)

Bahkan ketika hamba melanggar perjanjiannya, Allah masih menawarkan pintu taubat dan ampunan. Kemampuan untuk bertaubat dan diperbaiki, yang merupakan karunia eksklusif bagi umat Muhammad ﷺ, adalah nikmat luar biasa yang harus diingat. Ini memotivasi hamba untuk kembali kepada perjanjiannya setelah tergelincir.

XII. Penguatan Hati dan Konsistensi Ibadah

Al-Maidah 7 adalah seruan untuk penguatan hati, karena hati adalah wadah bagi niat (dzātish-shudūr) dan pusat dari perjanjian. Ibadah-ibadah yang diperintahkan dalam Islam berfungsi sebagai alat untuk menjaga hati tetap terikat pada perjanjian:

Semua rukun Islam, pada intinya, adalah sarana untuk memperbaharui dan mengukuhkan perjanjian "Sami'nā wa Atha'nā." Tanpa komitmen pada rukun-rukun ini, perjanjian spiritual menjadi lemah dan mudah putus.

XIII. Kesimpulan Akhir: Integritas Perjanjian

Al-Maidah Ayat 7 merangkum esensi menjadi seorang Muslim sejati. Ia menuntut integritas menyeluruh—integritas dalam ingatan (mengingat nikmat), integritas dalam lisan (mengucapkan ketaatan), integritas dalam perbuatan (menunaikan perintah), dan integritas dalam hati (taqwa dan ikhlas).

Seorang Mukmin yang menjalani hidupnya berdasarkan kerangka ayat ini adalah seseorang yang senantiasa sadar akan posisinya sebagai hamba yang terikat kontrak. Kontrak ini menjanjikan kehidupan yang bermakna dan pahala abadi, asalkan ia tidak pernah lupa bahwa Yang Maha Mengetahui sedang mengawasi, bukan hanya tindakannya, tetapi juga rahasia terdalam di dalam dadanya. Dengan demikian, Al-Maidah 7 adalah cahaya abadi yang membimbing setiap langkah hamba menuju kepuasan ilahi.

🏠 Kembali ke Homepage