Dalam riuhnya kehidupan modern yang serba cepat dan penuh tantangan, ada satu konsep luhur yang seringkali terlupakan namun esensial bagi kemajuan individu dan keberlangsungan sebuah peradaban: pekerti. Pekerti, atau sering disebut budi pekerti, bukanlah sekadar kumpulan etiket sosial atau aturan-aturan kaku, melainkan fondasi kokoh yang membentuk karakter, moral, dan etika seseorang. Ia adalah cerminan terdalam dari nilai-nilai yang diyakini dan diwujudkan dalam setiap tindakan, perkataan, dan bahkan pikiran.
Pekerti adalah kompas moral yang membimbing manusia meniti jalan kehidupan, membedakan antara yang baik dan buruk, yang benar dan salah. Tanpa pekerti yang kuat, kecerdasan intelektual, kekayaan materi, atau kekuasaan sekalipun akan hampa makna, bahkan berpotensi menjadi bumerang yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Artikel ini akan mengupas tuntas tentang pekerti, mulai dari definisinya, pentingnya dalam berbagai aspek kehidupan, dimensi-dimensinya yang kompleks, hingga tantangan dalam pembentukan dan pemeliharaannya di era kontemporer, serta langkah-langkah konkret untuk menginternalisasikannya.
Kata pekerti dalam Bahasa Indonesia berasal dari kata Sanskerta yang memiliki akar makna "perbuatan," "tabiat," "watak," atau "tingkah laku." Ketika digabungkan dengan "budi" menjadi "budi pekerti," maknanya semakin mendalam, merujuk pada perbuatan atau tingkah laku yang didasari oleh budi atau akal sehat serta hati nurani yang luhur. Budi mengacu pada aspek mental, pikiran, dan akal, sementara pekerti adalah manifestasi fisik atau tindakan dari budi tersebut. Dengan demikian, budi pekerti adalah keselarasan antara pikiran, perkataan, dan perbuatan yang mencerminkan nilai-nilai kebaikan.
Dalam konteks yang lebih luas, pekerti mencakup seluruh aspek kepribadian seseorang yang berkaitan dengan moralitas, etika, dan nilai-nilai. Ia tidak hanya terbatas pada bagaimana seseorang berinteraksi dengan orang lain, tetapi juga bagaimana ia mengelola diri sendiri, berinteraksi dengan lingkungan, bahkan dengan Tuhan atau nilai-nilai spiritual yang diyakininya. Pekerti adalah cerminan dari integritas dan kematangan karakter.
Konsep pekerti sangat kental dalam budaya dan filosofi bangsa Indonesia. Sejak dahulu kala, nilai-nilai luhur seperti sopan santun, gotong royong, musyawarah, dan ketaatan kepada orang tua telah ditanamkan melalui berbagai tradisi, cerita rakyat, dan ajaran agama. Dalam filosofi Jawa, misalnya, dikenal istilah 'unggah-ungguh' (tata krama) dan 'rasa pangrasa' (empati), yang semuanya bermuara pada pembentukan pekerti luhur. Konsep ini juga tercermin dalam sila kedua Pancasila, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab," yang secara eksplisit menuntut setiap warga negara untuk memiliki pekerti yang baik sebagai dasar peradaban.
Pekerti tidak hanya diajarkan di rumah atau sekolah, tetapi juga diwariskan secara turun-temurun melalui teladan dari para sesepuh, pemimpin adat, dan tokoh masyarakat. Ia menjadi landasan bagi terciptanya masyarakat yang harmonis, toleran, dan saling menghargai. Di berbagai daerah di Indonesia, meskipun dengan istilah yang berbeda, esensi pekerti tetap sama: membangun manusia yang utuh dan berkualitas, baik secara lahir maupun batin.
Pentingnya pekerti tidak bisa dilepaskan dari peran fundamentalnya dalam membentuk individu, masyarakat, dan bahkan peradaban. Tanpa pekerti, kecerdasan belaka bisa menjadi senjata, kekuasaan bisa menjadi tirani, dan kekayaan bisa menjadi sumber keserakahan. Berikut adalah beberapa alasan mengapa pekerti menjadi sangat penting:
Pekerti adalah landasan utama bagi pembentukan moral dan etika seseorang. Ia menuntun individu untuk selalu memilih jalan kebaikan, kebenaran, dan keadilan. Orang yang berpekerti luhur akan memiliki integritas, kejujuran, tanggung jawab, dan empati. Nilai-nilai ini tidak hanya membuat individu tersebut menjadi pribadi yang dihormati, tetapi juga memberikan ketenangan batin dan kebahagiaan sejati. Pekerti yang baik juga membantu individu dalam menghadapi berbagai godaan dan tekanan hidup, menjaga konsistensi perilaku, dan membentuk karakter yang tangguh.
Seorang individu dengan pekerti yang kuat cenderung tidak mudah tergoyahkan oleh tren negatif atau pengaruh buruk. Mereka memiliki filter internal yang membimbing mereka untuk selalu bertindak sesuai dengan hati nurani dan nilai-nilai yang diyakininya. Hal ini menciptakan kestabilan emosional dan mental, memungkinkan mereka untuk membuat keputusan yang bijaksana dan bertanggung jawab dalam setiap aspek kehidupan.
Dalam skala sosial, pekerti adalah perekat yang menjaga harmoni dan kohesi masyarakat. Ketika setiap individu memiliki pekerti yang baik, maka akan tercipta lingkungan sosial yang penuh rasa hormat, toleransi, gotong royong, dan saling membantu. Konflik sosial dapat diminimalisir karena adanya sikap saling pengertian dan keinginan untuk menyelesaikan masalah secara damai.
Masyarakat yang menjunjung tinggi pekerti akan jauh dari tindakan diskriminasi, kekerasan, korupsi, dan berbagai bentuk pelanggaran norma lainnya. Sebaliknya, mereka akan membangun kebersamaan, keadilan, dan kesejahteraan bersama. Pekerti mengajarkan kita untuk melihat sesama sebagai bagian dari keluarga besar kemanusiaan, dengan segala perbedaan yang ada, namun tetap terikat oleh nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Kualitas sebuah bangsa tidak hanya ditentukan oleh sumber daya alam yang melimpah, kekuatan militer, atau kemajuan teknologi, melainkan juga oleh kualitas moral dan pekerti dari warga negaranya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki warga negara dengan pekerti luhur, yang jujur, berintegritas, bertanggung jawab, dan memiliki rasa cinta tanah air yang mendalam. Mereka adalah agen perubahan yang membawa kemajuan dan kesejahteraan.
Sebaliknya, bangsa yang kekurangan pekerti akan mudah terpecah belah, terjerumus dalam korupsi, konflik, dan kemunduran. Pembangunan fisik yang megah tidak akan bertahan lama jika tidak ditopang oleh pembangunan karakter dan pekerti warga negaranya. Oleh karena itu, investasi dalam pendidikan pekerti adalah investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa yang lebih baik dan berkelanjutan.
Pekerti adalah syarat mutlak bagi seorang pemimpin. Pemimpin yang berpekerti luhur akan memimpin dengan hati nurani, melayani rakyat dengan tulus, menjunjung tinggi keadilan, dan bertanggung jawab atas setiap keputusan yang diambilnya. Mereka tidak akan menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, melainkan untuk kesejahteraan bersama.
Pemimpin dengan pekerti yang kuat akan menjadi teladan bagi bawahannya dan masyarakat luas. Integritas dan kejujuran mereka akan menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama, menciptakan lingkungan kerja dan pemerintahan yang bersih dan efektif. Sejarah telah membuktikan bahwa pemimpin-pemimpin besar selalu memiliki pekerti yang luhur sebagai inti dari kepemimpinan mereka.
Di era digital yang serba cepat dan penuh ketidakpastian ini, pekerti menjadi benteng pertahanan bagi individu dan masyarakat. Informasi yang berlimpah, baik yang benar maupun yang salah, serta berbagai tekanan sosial dan ekonomi dapat dengan mudah menggoyahkan seseorang. Namun, individu yang memiliki pekerti kuat akan lebih resilien, mampu memilah informasi dengan bijak, tidak mudah terprovokasi, dan tetap teguh pada prinsip-prinsip kebaikan.
Pekerti mengajarkan kita untuk berpikir kritis, memiliki empati, dan menjaga toleransi, yang semuanya sangat dibutuhkan untuk menghadapi polarisasi dan disinformasi yang merajalela. Ia memungkinkan kita untuk beradaptasi dengan perubahan tanpa kehilangan jati diri dan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan.
Pekerti bukanlah konsep tunggal, melainkan sebuah spektrum luas yang mencakup berbagai dimensi perilaku dan sifat manusia. Memahami dimensi-dimensi ini penting untuk membangun pekerti secara holistik.
Ini adalah inti dari pekerti, mencakup nilai-nilai dasar tentang baik dan buruk, benar dan salah. Pekerti moral menuntut individu untuk:
Pekerti sosial berkaitan dengan bagaimana individu berinteraksi dengan orang lain dan berkontribusi pada masyarakat. Ini mencakup:
Pekerti juga meluas ke ranah intelektual, mendorong individu untuk menggunakan akal pikiran secara bijak dan bertanggung jawab. Ini termasuk:
Bagi banyak orang, pekerti juga sangat terkait dengan nilai-nilai spiritual dan keagamaan. Dimensi ini meliputi:
Meskipun sering diabaikan, pekerti juga mencakup bagaimana seseorang memperlakukan tubuh dan kesehatannya, sebagai anugerah yang harus dijaga.
Pekerti tidak lahir begitu saja, melainkan terbentuk melalui proses panjang yang melibatkan berbagai agen dan lingkungan. Pembentukan pekerti adalah investasi seumur hidup yang dimulai sejak dini.
Keluarga adalah inti dari pembentukan pekerti. Orang tua adalah guru pertama dan teladan utama bagi anak-anak mereka. Nilai-nilai seperti kejujuran, sopan santun, tanggung jawab, dan empati pertama kali ditanamkan dan dipraktikkan di lingkungan keluarga.
Sekolah dan lembaga pendidikan memiliki peran krusial dalam melanjutkan dan memperkuat pendidikan pekerti yang dimulai di keluarga. Pendidikan karakter harus terintegrasi dalam kurikulum dan kegiatan sehari-hari.
Masyarakat adalah arena di mana pekerti diuji dan dipraktikkan. Norma-norma sosial, budaya, dan adat istiadat berperan besar dalam membentuk pekerti.
Pada akhirnya, pembentukan pekerti juga sangat bergantung pada individu itu sendiri. Proses refleksi diri, komitmen, dan latihan adalah kunci.
Pekerti tidak hanya relevan dalam kehidupan personal, tetapi juga menjadi penentu kesuksesan dan keberlanjutan dalam berbagai konteks, terutama di era modern ini.
Di dunia kerja yang kompetitif, pekerti adalah salah satu faktor pembeda utama. Karyawan atau profesional dengan pekerti baik akan memiliki nilai lebih. Ini mencakup:
Perusahaan-perusahaan modern semakin menyadari bahwa keahlian teknis saja tidak cukup. Pekerti seperti integritas, etika kerja, dan kemampuan beradaptasi sangat dicari karena membangun kepercayaan dan budaya kerja yang positif. Sebuah lingkungan kerja yang menjunjung tinggi pekerti akan lebih produktif, inovatif, dan berkelanjutan.
Seorang pemimpin yang efektif tidak hanya memiliki visi dan strategi, tetapi juga pekerti yang kuat. Kepemimpinan yang berpekerti luhur akan menghasilkan kepercayaan dan loyalitas.
Pekerti dalam kepemimpinan adalah fondasi dari good governance. Tanpa pekerti, kekuasaan cenderung disalahgunakan, menyebabkan korupsi, inefisiensi, dan ketidakpercayaan publik. Sebaliknya, pemimpin yang berpekerti akan membangun legasi yang kuat dan memberikan dampak positif yang langgeng.
Dunia digital membawa tantangan baru bagi pekerti. Anonimitas dan kecepatan informasi seringkali membuat orang lupa akan etika dan norma kesopanan.
Pekerti digital adalah keniscayaan di masa kini. Dengan semakin terhubungnya dunia melalui internet, bagaimana kita berinteraksi di ruang siber menjadi cerminan pekerti kita secara keseluruhan. Internet seharusnya menjadi alat untuk kebaikan, bukan untuk menyebarkan kebencian atau kebohongan.
Konsep pekerti juga meluas pada hubungan manusia dengan alam. Pekerti terhadap lingkungan mengajarkan kita untuk menjaga, merawat, dan melestarikan alam sebagai titipan Tuhan.
Krisis iklim dan kerusakan lingkungan yang kita hadapi saat ini sebagian besar berakar pada kurangnya pekerti manusia terhadap alam. Dengan menanamkan pekerti lingkungan, kita bisa membangun masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Meskipun pekerti sangat penting, ada banyak tantangan yang dihadapi dalam upaya menanamkan dan memeliharanya di era modern ini.
Masyarakat modern seringkali didorong oleh nilai-nilai individualisme, di mana kepentingan pribadi ditempatkan di atas kepentingan bersama. Ditambah lagi dengan materialisme, di mana kebahagiaan diukur dari kepemilikan materi. Kedua nilai ini dapat mengikis pekerti seperti empati, gotong royong, dan kepedulian sosial, karena fokus utama beralih pada diri sendiri dan keuntungan pribadi.
Media massa dan digital, meskipun membawa banyak manfaat, juga dapat menjadi medium penyebaran konten negatif seperti kekerasan, pornografi, berita bohong, dan ujaran kebencian. Eksposur yang terus-menerus terhadap konten semacam ini dapat mendegradasi pekerti, menumpulkan empati, dan menormalisasi perilaku yang tidak etis, terutama di kalangan generasi muda.
Salah satu cara paling efektif untuk menanamkan pekerti adalah melalui keteladanan. Namun, di era ini, seringkali kita melihat kurangnya keteladanan dari figur-figur penting, mulai dari pemimpin, tokoh masyarakat, bahkan di lingkungan keluarga. Ketika teladan yang baik semakin sulit ditemukan, nilai-nilai pekerti pun menjadi sulit untuk diinternalisasikan.
Tekanan ekonomi, persaingan kerja yang ketat, dan tuntutan hidup yang tinggi dapat membuat individu cenderung bertindak pragmatis, bahkan jika itu berarti mengabaikan nilai-nilai pekerti. Demi mencapai tujuan atau mempertahankan hidup, etika seringkali dikesampingkan. Lingkungan yang sangat kompetitif tanpa diimbangi oleh pendidikan pekerti yang kuat dapat melahirkan individu-individu yang hanya peduli pada kemenangan tanpa memperhatikan cara.
Globalisasi dan modernisasi membawa masuk berbagai budaya dan nilai-nilai baru yang terkadang bertentangan dengan nilai-nilai pekerti tradisional yang telah lama dipegang teguh. Pergeseran ini, jika tidak diantisipasi dengan bijak, dapat menyebabkan kebingungan identitas dan erosi nilai-nilai luhur yang telah menjadi fondasi masyarakat.
Meskipun tantangan yang dihadapi tidak sedikit, upaya untuk membangun dan memelihara pekerti harus terus dilakukan. Ini adalah tugas bersama yang membutuhkan komitmen dari semua pihak.
Pendidikan karakter harus menjadi prioritas utama dalam sistem pendidikan, mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi. Ini bukan hanya tentang mengajarkan teori, tetapi juga membiasakan praktik nilai-nilai pekerti dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Kurikulum harus diperkaya dengan materi yang mendorong pemikiran kritis, empati, dan tanggung jawab sosial. Guru harus dilatih untuk menjadi teladan dan fasilitator dalam pembentukan karakter.
Orang tua perlu menyadari kembali peran vital mereka sebagai agen utama pembentukan pekerti. Ini berarti meluangkan waktu berkualitas dengan anak, berkomunikasi secara terbuka, memberikan keteladanan, serta menanamkan nilai-nilai agama dan moral sejak dini. Program-program edukasi orang tua tentang pendidikan karakter juga perlu digalakkan oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat.
Media massa dan platform digital harus lebih proaktif dalam menyebarkan konten-konten positif yang menginspirasi dan mendukung pembentukan pekerti luhur. Literasi digital harus diajarkan sejak dini agar masyarakat mampu memilah informasi, menghindari hoaks, dan menggunakan teknologi secara bertanggung jawab dan etis. Influencer dan figur publik juga memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi teladan pekerti di ruang digital.
Masyarakat perlu kembali memperkuat norma-norma sosial yang menjunjung tinggi pekerti. Ini bisa dilakukan melalui revitalisasi lembaga adat, kegiatan komunitas yang positif, serta penegakan hukum yang konsisten terhadap pelanggaran etika dan moral. Gerakan sosial yang mempromosikan nilai-nilai luhur juga dapat membantu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pekerti.
Setiap individu memiliki tanggung jawab untuk terus mengembangkan pekertinya sepanjang hidup. Ini bisa dilakukan melalui:
Pemerintah juga memegang peranan penting melalui kebijakan publik yang mendukung pembentukan pekerti, misalnya:
Pekerti bukanlah konsep usang yang hanya relevan di masa lalu. Sebaliknya, ia adalah warisan berharga dari nenek moyang kita yang harus terus dijaga, dikembangkan, dan diwariskan kepada generasi mendatang. Di tengah arus globalisasi yang tak terbendung, pekerti menjadi identitas bangsa, pembeda, dan kekuatan internal yang tak tergantikan.
Harapan untuk masa depan yang lebih baik, lebih adil, dan lebih sejahtera sangat bergantung pada kualitas pekerti setiap individu. Jika setiap warga negara memiliki pekerti yang luhur, maka kita akan melihat masyarakat yang harmonis, pemerintahan yang bersih, lingkungan yang lestari, dan bangsa yang bermartabat di mata dunia.
Membangun pekerti adalah sebuah perjalanan yang tidak pernah berakhir. Ia membutuhkan kesadaran, komitmen, dan usaha yang konsisten dari setiap individu, keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Mari kita jadikan pekerti sebagai landasan utama dalam setiap aspek kehidupan, demi terwujudnya Indonesia yang maju, adil, makmur, dan beradab.
Pekerti adalah fondasi yang tak tergantikan bagi individu, masyarakat, dan bangsa. Ia adalah kompas moral yang membimbing kita di tengah kompleksitas kehidupan modern. Dari kejujuran hingga empati, dari tanggung jawab hingga toleransi, setiap dimensi pekerti membentuk manusia yang utuh dan berkualitas. Proses pembentukannya dimulai dari keluarga, diperkuat di lembaga pendidikan, didukung oleh masyarakat, dan terus dikembangkan oleh individu sepanjang hidup.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan di era digital dan materialistis, pekerti tetap relevan dan bahkan semakin krusial. Investasi dalam pendidikan pekerti adalah investasi jangka panjang untuk menciptakan masa depan yang lebih baik, di mana keadilan, keharmonisan, dan kesejahteraan dapat terwujud. Mari kita bersama-sama menjadikan pekerti sebagai prioritas utama dalam membangun karakter mulia untuk masa depan bangsa yang gemilang.