Nama "Peking" mungkin bagi sebagian orang terdengar seperti jejak masa lalu, sebuah nama yang perlahan digantikan oleh "Beijing" dalam percakapan sehari-hari. Namun, di balik perubahan ejaan dan pelafalan, esensi dan warisan yang disandang oleh nama "Peking" tetap tak tergoyahkan. Lebih dari sekadar sebuah kota, Peking adalah sebuah epik hidup, sebuah simfoni abadi yang menyatukan sejarah panjang, kekayaan budaya, dan mahakarya kuliner yang telah memukau dunia selama berabad-abad. Dari arsitektur megah Kota Terlarang hingga keanggunan Opera Peking, dari kelezatan Bebek Peking yang melegenda hingga kedalaman filosofis peradaban yang dibangun di atas fondasinya, Peking mewakili jantung yang berdetak dari Tiongkok kuno dan modern.
Artikel ini akan membawa kita menyelami seluk-beluk Peking, mengungkap lapisan-lapisan sejarahnya yang kompleks, menelusuri akar-akar budayanya yang kaya, mengagumi keajaiban arsitekturnya yang monumental, dan tentu saja, menikmati cita rasa kuliner yang tak tertandingi. Kita akan melihat bagaimana nama ini, dengan segala konotasinya, terus bergema dalam kebudayaan global, menjadi simbol kebesaran dan misteri Tiongkok. Mari kita mulai perjalanan menakjubkan ini, menyingkap tabir di balik nama "Peking" yang begitu memesona.
Kisah Peking bukanlah sekadar deretan peristiwa, melainkan sebuah narasi epik yang terjalin erat dengan naik turunnya dinasti, gejolak politik, dan perkembangan peradaban Tiongkok itu sendiri. Akar sejarah Peking dapat dilacak hingga ribuan tahun silam, jauh sebelum nama Peking atau Beijing dikenal. Pada masa awal, wilayah ini dikenal sebagai Ji, salah satu kota penting di Tiongkok Utara. Seiring berjalannya waktu dan pergantian kekuasaan, nama-nama lain seperti Yanjing, Dadu (di bawah Dinasti Yuan Mongol), dan Beiping juga sempat melekat.
Dinasti Yuan, yang didirikan oleh Kublai Khan, merupakan salah satu periode krusial dalam sejarah Peking. Pada masa inilah, Dadu dibangun menjadi ibu kota kekaisaran yang megah, dirancang dengan tata letak yang teratur dan filosofi kosmis yang mendalam. Para penjelajah seperti Marco Polo bahkan mencatat keagungan Dadu dalam perjalanannya, menggambarkan kota ini sebagai salah satu pusat peradaban paling maju di dunia pada masanya. Kontrol atas Dadu pada dasarnya adalah kontrol atas Tiongkok, menjadikannya titik fokus kekuatan dan ambisi politik.
Namun, puncak keemasan Peking sebagai ibu kota kekaisaran terjadi di bawah Dinasti Ming dan kemudian Dinasti Qing. Ketika Dinasti Ming naik ke tampuk kekuasaan, kaisar Yongle memindahkan ibu kota dari Nanjing ke Peking. Keputusan ini bukan hanya strategis secara militer untuk mengawasi perbatasan utara, tetapi juga membawa pada pembangunan skala besar yang mengubah wajah kota secara dramatis. Inilah masa ketika Kota Terlarang, kompleks istana kekaisaran terbesar di dunia, mulai dibangun. Selama kurang lebih empat belas tahun, jutaan pekerja dikerahkan untuk membangun mahakarya arsitektur ini, yang kelak akan menjadi simbol keagungan dan kemisterian kekaisaran Tiongkok. Kota Terlarang adalah inti dari Peking, sebuah kota di dalam kota, yang mencerminkan hierarki dan kekuasaan absolut kaisar.
Selain Kota Terlarang, Dinasti Ming juga melakukan renovasi besar-besaran pada Tembok Besar Tiongkok, memperkuatnya menjadi benteng pertahanan yang kita kenal sekarang. Bagian-bagian Tembok Besar yang paling terkenal, seperti Badaling dan Mutianyu, terletak tidak jauh dari Peking, menegaskan peran kota ini sebagai garda depan pertahanan kekaisaran. Pembangunan Kuil Surga, Istana Musim Panas, dan berbagai kuil serta taman kekaisaran lainnya juga memperkaya lanskap arsitektur Peking, menjadikannya sebuah pusat spiritual dan rekreasi bagi keluarga kekaisaran.
Setelah Dinasti Ming runtuh, Dinasti Qing Manchu melanjutkan tradisi menjadikan Peking sebagai ibu kota. Selama hampir tiga abad, Peking di bawah Dinasti Qing menyaksikan kemegahan dan kemakmuran yang tak tertandingi, sekaligus menjadi saksi bisu berbagai peristiwa sejarah penting, termasuk masuknya kekuatan-kekuatan Barat ke Tiongkok. Kota ini menjadi pusat diplomasi, perdagangan, dan konflik yang membentuk wajah Tiongkok modern.
Abad modern membawa perubahan drastis bagi Peking. Kejatuhan Dinasti Qing pada awal abad ke-20 menandai akhir era kekaisaran yang telah berkuasa selama ribuan tahun. Peking, yang telah lama menjadi simbol kekuasaan feodal, mengalami periode turbulensi dan perubahan. Nama "Beiping" sempat digunakan kembali pada periode Republik Tiongkok, sebelum akhirnya menjadi "Beijing" setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada pertengahan abad ke-20.
Perubahan nama dari "Peking" ke "Beijing" adalah representasi dari transisi linguistik dan politik. "Peking" adalah romanisasi lama dari pelafalan Mandarin untuk "Ibu Kota Utara" (Běijīng) yang populer di Barat, terutama melalui sistem romanisasi Pos Tiongkok. Sementara "Beijing" adalah romanisasi yang lebih akurat berdasarkan sistem Pinyin yang diadopsi secara resmi. Meskipun nama telah berubah, warisan sejarah yang diasosiasikan dengan "Peking" tetap melekat kuat. Istana-istana megah, kuil-kuil kuno, jalan-jalan tua (hutong), dan tentu saja, reputasi kuliner yang mendunia, semuanya berakar kuat pada identitas historis Peking.
Setiap batu di Peking seolah memiliki cerita, setiap gang sempit (hutong) menyimpan bisikan masa lalu. Dari dinding-dinding kokoh Kota Terlarang yang menyaksikan intrik kekaisaran, hingga pilar-pilar Kuil Surga tempat kaisar memohon panen, sejarah Peking adalah sebuah buku terbuka yang menawarkan pelajaran tentang kebesaran, keruntuhan, dan kebangkitan. Kota ini, dengan segala namanya, adalah pengingat abadi akan kekuatan peradaban Tiongkok yang tak lekang oleh waktu, sebuah mahakarya sejarah yang terus menginspirasi dan mempesona.
Di antara semua kekayaan yang ditawarkan Peking, tidak ada satu pun yang berhasil mencuri perhatian dunia sekuat hidangan yang dikenal sebagai Bebek Peking. Lebih dari sekadar makanan, Bebek Peking adalah sebuah institusi kuliner, sebuah simbol keahlian, dan sebuah perayaan rasa yang telah melampaui batas-batas Tiongkok untuk memukau lidah di seluruh penjuru dunia. Nama "Peking" itu sendiri telah menjadi identik dengan hidangan bebek panggang yang ikonik ini, menunjukkan betapa sentralnya peran hidangan ini dalam identitas kota.
Sejarah Bebek Peking dapat dilacak kembali ke masa dinasti-dinasti Tiongkok kuno, bahkan jauh sebelum kota ini secara resmi disebut Peking. Catatan menunjukkan bahwa hidangan bebek panggang sudah menjadi bagian dari menu kekaisaran sejak Dinasti Yuan pada abad ke-13, di mana bebek-bebek disiapkan secara khusus untuk keluarga bangsawan dan tamu-tamu penting. Popularitasnya terus meningkat di bawah Dinasti Ming, terutama di ibu kota Peking, tempat para koki istana menyempurnakan teknik pemanggangan dan penyajiannya. Resep dan metode yang rumit ini dijaga kerahasiaannya dan hanya dapat diakses oleh kalangan elite kekaisaran.
Bebek Peking tidak hanya menjadi hidangan favorit kaisar, tetapi juga menjadi simbol status dan kemewahan. Sebuah perjamuan di Peking tidak akan lengkap tanpa kehadiran Bebek Peking di meja makan. Dari istana kekaisaran, hidangan ini perlahan merambah ke restoran-restoran khusus di Peking yang melayani pejabat tinggi dan pedagang kaya, membawa citarasanya yang unik ke khalayak yang lebih luas.
Yang membuat Bebek Peking begitu istimewa adalah proses persiapannya yang sangat rumit dan membutuhkan presisi tingkat tinggi, warisan dari tradisi kuliner Peking yang kaya. Ini bukan sekadar memanggang bebek biasa. Berikut adalah tahapan utamanya:
Hasil akhirnya adalah bebek dengan kulit yang sangat renyah, berwarna merah keemasan, dan daging yang lembut, juicy, serta beraroma. Kontras tekstur antara kulit yang garing dan daging yang empuk adalah ciri khas Bebek Peking yang tak tertandingi.
Penyajian Bebek Peking adalah sebuah ritual tersendiri, menambah pengalaman makan yang tak terlupakan. Biasanya, bebek yang baru dipanggang dibawa ke hadapan tamu, dan seorang koki ahli akan mengiris kulit dan dagingnya di meja. Kulit yang renyah diiris terpisah dari daging, seringkali disajikan terlebih dahulu sebagai hidangan pembuka yang lezat.
Bagian daging dan kulit kemudian disajikan bersama dengan:
Para tamu kemudian membuat gulungan mereka sendiri: mengambil selembar pancake, mengoleskan saus hoisin, menaruh beberapa irisan daging dan kulit bebek, menambahkan daun bawang dan timun, lalu melipatnya menjadi gulungan yang lezat. Setiap gigitan adalah perpaduan sempurna antara renyahnya kulit, lembutnya daging, manisnya saus, dan segarnya sayuran, menciptakan harmoni rasa yang luar biasa. Pengalaman ini adalah inti dari kuliner Peking yang penuh perhatian terhadap detail dan sensasi.
Bebek Peking telah menjadi duta kuliner Tiongkok ke seluruh dunia. Dari restoran bintang Michelin di Paris hingga kedai-kedai sederhana di New York, hidangan ini telah diadaptasi dan dinikmati oleh berbagai budaya. Keberhasilannya melintasi batas geografis adalah bukti universalitas cita rasa dan keahlian kulinernya. Banyak restoran di luar Tiongkok yang bangga menyebutkan bahwa mereka mengikuti "tradisi Peking" dalam persiapan Bebek Peking mereka.
Di Peking (sekarang Beijing) sendiri, restoran-restoran legendaris seperti Quanjude dan Bianyifang telah berdiri selama lebih dari satu abad, terus melestarikan dan menyempurnakan seni membuat Bebek Peking. Mereka tidak hanya menyajikan makanan, tetapi juga sebuah warisan budaya yang hidup, menghubungkan pengunjung dengan sejarah panjang dan tradisi kuliner Peking yang megah. Bebek Peking adalah lebih dari sekadar makanan; ini adalah bagian integral dari identitas Peking, sebuah persembahan dari sejarah, keahlian, dan semangat kota yang tak pernah padam.
Di balik megahnya sejarah dan kelezatan kulinernya, Peking juga merupakan gudang pusaka budaya yang hidup, dua di antaranya adalah Opera Peking yang memukau dan Anjing Peking yang mungil namun bermartabat. Keduanya adalah cerminan dari kekayaan seni dan kehidupan kekaisaran Tiongkok yang berabad-abad, yang masing-masing dengan caranya sendiri, telah meninggalkan jejak tak terhapuskan pada identitas budaya Peking.
Peking Opera, atau dalam bahasa Mandarin dikenal sebagai Jingju, adalah salah satu bentuk seni pertunjukan paling ikonik dan diakui secara global dari Tiongkok. Muncul dan berkembang pesat di ibu kota Peking, opera ini bukan sekadar pertunjukan teater, melainkan perpaduan rumit antara nyanyian, dialog, tarian, akrobatik, pantomim, dan seni bela diri, semuanya disajikan dengan kostum yang memukau dan riasan wajah yang sangat ekspresif. Akar Peking Opera dapat ditelusuri kembali ke akhir abad ke-18, ketika rombongan opera dari Anhui dan Hubei datang ke Peking untuk tampil di acara ulang tahun kaisar. Gaya-gaya yang berbeda ini secara bertahap menyatu dan berkembang di Peking, menciptakan bentuk seni yang unik dan kaya ini.
Peking Opera dicirikan oleh empat jenis peran utama:
Riasan wajah adalah salah satu elemen paling mencolok dari Peking Opera. Setiap warna dan pola memiliki makna simbolis yang mendalam: merah melambangkan kesetiaan dan keberanian, hitam melambangkan integritas, putih melambangkan kelicikan, dan biru melambangkan kekuatan atau kekejaman. Kostumnya juga sangat indah, terbuat dari sutra dengan bordir yang rumit, mencerminkan status dan kepribadian karakter.
Musik dalam Peking Opera didominasi oleh alat musik gesek (seperti jinghu dan erhu), perkusi (termasuk gong dan simbal), dan alat musik tiup. Ritme yang dinamis dan melodi yang khas menciptakan suasana yang dramatis dan emosional. Cerita-cerita yang dipentaskan seringkali diambil dari kisah sejarah Tiongkok, mitologi, legenda, atau novel klasik, yang mengajarkan nilai-nilai moral seperti kesetiaan, pengorbanan, dan keadilan. Peking Opera adalah jendela ke dalam jiwa budaya Tiongkok, sebuah bentuk seni yang tidak hanya menghibur tetapi juga mendidik dan merefleksikan filosofi hidup.
Berbanding terbalik dengan kemegahan panggung Opera Peking, Anjing Peking atau Pekingese adalah warisan budaya lain yang tak kalah penting, meskipun dalam skala yang lebih kecil. Anjing berbulu lebat dan berwajah datar ini bukan sembarang anjing; mereka adalah simbol kemewahan dan kesetiaan, pendamping setia para kaisar dan anggota keluarga kekaisaran Tiongkok selama ribuan tahun. Asal-usul mereka tertanam dalam mitos dan legenda, seringkali dikisahkan sebagai perwujudan singa miniatur atau anjing penjaga Buddha.
Selama berabad-abad, Pekingese hidup dalam kemewahan di istana kekaisaran Peking, dilindungi dengan ketat dan dianggap sakral. Mereka adalah anjing peliharaan kesayangan, seringkali tidur di atas bantal sutra dan dimanjakan dengan makanan terbaik. Kasta yang lebih rendah bahkan harus membungkuk kepada anjing-anjing ini karena mereka adalah simbol kekaisaran. Pemilikannya di luar keluarga kekaisaran sangat dilarang, dan mencuri salah satu dari mereka bisa dihukum mati. Kisah-kisah tentang bagaimana mereka disembunyikan dalam lengan baju para wanita istana untuk melindungi mereka juga menambah aura mistis pada ras ini.
Pekingese dikenal dengan penampilannya yang khas: tubuh kecil namun kekar, bulu panjang dan lebat yang menyerupai surai singa, wajah datar dengan moncong pendek, dan mata yang ekspresif. Mereka memiliki langkah yang bergulir dan bermartabat, seolah-olah mereka masih mengawal seorang kaisar. Meskipun kecil, mereka memiliki temperamen yang berani, mandiri, dan terkadang keras kepala, yang merupakan cerminan dari asal-usul kekaisaran mereka. Mereka adalah anjing yang setia kepada pemiliknya tetapi seringkali menyendiri terhadap orang asing.
Penemuan Pekingese oleh dunia Barat terjadi pada pertengahan abad ke-19, ketika pasukan Inggris dan Prancis menyerbu Istana Musim Panas di Peking. Lima Pekingese ditemukan di sana, dan kemudian dibawa ke Inggris sebagai hadiah untuk Ratu Victoria. Sejak saat itu, ras ini mulai dikenal dan dikembangbiakkan di seluruh dunia, meskipun jejak warisan kekaisarannya dari Peking tetap kuat. Anjing Peking adalah pengingat hidup akan keunikan budaya dan sejarah Tiongkok yang penuh intrik.
Baik Peking Opera maupun Anjing Peking, keduanya menawarkan pandangan yang mendalam tentang kekayaan budaya dan tradisi kota ini. Mereka adalah warisan hidup yang terus menceritakan kisah-kisah dari masa lalu kekaisaran, menghubungkan kita dengan esensi abadi dari nama "Peking" itu sendiri.
Peking, sebagai ibu kota kekaisaran selama berabad-abad, adalah sebuah museum arsitektur terbuka yang memamerkan keagungan dan filosofi Tiongkok kuno. Setiap bangunan, setiap taman, dan setiap detail dirancang dengan cermat untuk mencerminkan harmoni kosmis, kekuasaan, dan keindahan. Dari istana yang menjulang hingga gang-gang sempit, arsitektur Peking adalah sebuah narasi visual yang menceritakan evolusi peradaban. Banyak dari landmark ini yang kini menjadi situs Warisan Dunia UNESCO, menarik jutaan pengunjung untuk menyaksikan keajaiban yang dibangun di tanah Peking.
Tidak ada landmark yang lebih menggambarkan kemegahan kekaisaran Peking selain Kota Terlarang. Dibangun pada awal abad ke-15 di bawah Kaisar Yongle dari Dinasti Ming, kompleks istana raksasa ini menjadi pusat politik Tiongkok selama hampir 500 tahun, melayani 24 kaisar dari Dinasti Ming dan Qing. Nama "Terlarang" berasal dari kenyataan bahwa akses ke dalamnya sangat terbatas; hanya keluarga kekaisaran, pejabat tinggi, dan pelayan yang diizinkan masuk.
Kota Terlarang adalah sebuah karya agung arsitektur Tiongkok. Terbentang di area seluas 72 hektar, ia terdiri dari lebih dari 980 bangunan yang memiliki sekitar 9.000 ruangan. Desainnya sangat simetris, mengikuti prinsip-prinsip feng shui dan kosmologi Tiongkok, dengan orientasi utara-selatan yang kuat. Aula-aula utama, seperti Aula Harmoni Tertinggi, Aula Harmoni Tengah, dan Aula Harmoni Terjaga, adalah tempat di mana kaisar melakukan upacara penting dan menerima audiensi. Warna kuning, yang melambangkan kaisar, mendominasi atap genteng berlapis kaca, sementara motif naga, simbol kekuasaan kekaisaran, menghiasi setiap sudut.
Setiap detail di Kota Terlarang, dari gerbang megah seperti Gerbang Meridian hingga ukiran rumit di pagar marmer, memiliki makna simbolis. Ia bukan hanya sebuah istana, melainkan sebuah manifestasi fisik dari konsep "Tianxia" (segala sesuatu di bawah langit), menunjukkan kekuasaan absolut kaisar sebagai Putra Langit. Melalui koridor dan alun-alunnya, kita bisa merasakan aura sejarah yang berat, intrik istana, dan kehidupan megah yang pernah berlangsung di jantung Peking ini.
Meskipun Tembok Besar membentang ribuan kilometer di seluruh Tiongkok Utara, beberapa bagiannya yang paling terpelihara dan paling banyak dikunjungi terletak relatif dekat dengan Peking, seperti Badaling, Mutianyu, dan Jinshanling. Tembok ini bukanlah satu struktur tunggal, melainkan serangkaian benteng dan tembok yang dibangun dan dibangun ulang oleh berbagai dinasti selama lebih dari dua milenium. Namun, versi Tembok Besar yang kita lihat sekarang, dengan menara pengawas dan benteng yang mengesankan, sebagian besar adalah hasil konstruksi Dinasti Ming yang berpusat di Peking.
Fungsi utama Tembok Besar adalah pertahanan terhadap invasi dari suku-suku nomaden di utara. Dari puncak tembok, pemandangan pegunungan yang bergelombang dan hamparan lanskap yang luas sangat menakjubkan, memberikan gambaran tentang skala dan upaya luar biasa yang diperlukan untuk membangun mahakarya arsitektur ini. Tembok Besar adalah bukti kekuatan militer dan kemampuan teknik kekaisaran yang berpusat di Peking, sebuah garis pertahanan yang bukan hanya fisik tetapi juga simbolis, memisahkan peradaban Tiongkok dari dunia luar.
Di tenggara Peking, terhampar sebuah kompleks kuil yang indah dan tenang yang dikenal sebagai Kuil Surga. Dibangun pada masa Dinasti Ming, tempat ini adalah lokasi di mana kaisar melakukan upacara penting untuk memohon panen yang baik dan meminta petunjuk dari Surga. Kaisar, sebagai "Putra Langit," adalah perantara antara dunia manusia dan dunia ilahi, dan Kuil Surga adalah panggung agung untuk peran sakral tersebut.
Arsitektur Kuil Surga sangat simbolis, mencerminkan pemahaman kuno Tiongkok tentang alam semesta. Desainnya melingkar di bagian utara (melambangkan Surga) dan persegi di bagian selatan (melambangkan Bumi). Aula Doa Panen yang Menakjubkan (Hall of Prayer for Good Harvests) dengan atap tiga lapisnya yang ikonik adalah mahkota arsitektur di kompleks ini, berdiri tegak tanpa menggunakan satu pun paku, melambangkan kebijaksanaan teknik Tiongkok. Akustik alami di Lingkaran Gema dan Dinding Gema juga merupakan keajaiban rekayasa yang mencerminkan pemahaman mendalam tentang suara dan ruang.
Di barat laut Peking, Istana Musim Panas adalah kompleks taman dan istana yang megah, berfungsi sebagai tempat peristirahatan musim panas bagi keluarga kekaisaran. Awalnya dibangun pada abad ke-18 di bawah Kaisar Qianlong, kompleks ini dihancurkan dan dibangun kembali beberapa kali, dengan renovasi besar oleh Permaisuri Cixi pada abad ke-19. Dengan Danau Kunming yang luas, Bukit Panjang Umur, dan berbagai paviliun, jembatan, serta koridor yang dihiasi lukisan, Istana Musim Panas adalah contoh sempurna dari seni taman tradisional Tiongkok.
Koridor Panjang yang terkenal, dengan panjang lebih dari 700 meter dan dihiasi dengan ribuan lukisan pemandangan, adalah salah satu daya tarik utamanya. Istana Musim Panas bukan hanya tempat untuk bersantai, tetapi juga tempat di mana keputusan politik penting seringkali dibuat jauh dari hiruk pikuk Kota Terlarang. Ini adalah bukti lain dari kemewahan dan estetika yang menjadi ciri khas kehidupan kekaisaran di Peking.
Berlawanan dengan keagungan istana dan kuil, hutong adalah arteri kehidupan sehari-hari di Peking kuno. Hutong adalah gang-gang sempit yang menghubungkan halaman-halaman rumah tradisional (siheyuan). Selama berabad-abad, mereka adalah inti dari kehidupan komunitas di Peking, tempat di mana keluarga-keluarga tinggal, anak-anak bermain, dan cerita-cerita diceritakan dari generasi ke generasi. Setiap hutong memiliki sejarahnya sendiri, dan beberapa di antaranya diberi nama yang unik, mencerminkan pekerjaan yang dilakukan di sana atau peristiwa yang terjadi.
Meskipun banyak hutong telah dirobohkan untuk pembangunan modern, beberapa masih bertahan dan dilindungi, menawarkan jendela ke masa lalu Peking. Berjalan melalui hutong adalah pengalaman yang otentik, di mana seseorang dapat melihat arsitektur siheyuan yang sederhana namun elegan, merasakan semangat komunitas yang erat, dan menyaksikan ritme kehidupan yang telah ada di Peking selama berabad-abad. Mereka adalah pengingat bahwa di balik kemegahan kekaisaran, ada juga kehidupan rakyat jelata yang sederhana namun kaya akan budaya dan tradisi. Hutong adalah jiwa Peking yang tak terlihat, namun terasa.
Semua landmark ini, dari yang paling megah hingga yang paling sederhana, bersama-sama membentuk mozaik arsitektur Peking yang unik dan tak tertandingi. Mereka bukan hanya struktur batu dan kayu, tetapi juga saksi bisu sejarah, simbol kekuatan, dan manifestasi seni dan filosofi yang mendalam yang telah membentuk Tiongkok.
Perjalanan dari "Peking" menuju "Beijing" bukan sekadar perubahan nama, melainkan evolusi yang mendalam, sebuah transformasi yang mencerminkan kebangkitan Tiongkok dari era kekaisaran ke panggung global modern. Meskipun nama Peking masih memiliki resonansi historis dan kultural yang kuat, kota ini kini dikenal sebagai Beijing, sebuah metropol yang dinamis, maju, dan menjadi pusat kekuatan politik, ekonomi, dan budaya Tiongkok serta berpengaruh di dunia. Namun, di balik modernisasi yang pesat, esensi dari Peking yang historis tetap dipertahankan dengan cermat.
Pada awal abad ke-20, Peking adalah kota yang bergejolak, menghadapi kejatuhan dinasti, perang saudara, dan invasi asing. Setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, Beijing kembali menjadi ibu kota dan memulai periode pembangunan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tata kota yang sebagian besar diwarisi dari dinasti Ming dan Qing secara bertahap diperbarui dan diperluas. Lingkar jalan baru, infrastruktur transportasi modern seperti kereta bawah tanah, dan gedung-gedung pencakar langit mulai mengubah siluet kota.
Beijing kini adalah pusat politik dan pemerintahan Tiongkok, tempat bersemayamnya Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok dan Kongres Rakyat Nasional. Keputusan-keputusan penting yang memengaruhi satu perlima populasi dunia dibuat di sini. Sebagai kota yang telah bergeser dari model ekonomi terencana menjadi ekonomi pasar sosialis, Beijing juga telah tumbuh menjadi pusat ekonomi dan keuangan yang signifikan, menarik investasi global dan menjadi rumah bagi banyak perusahaan multinasional.
Tidak hanya dalam politik dan ekonomi, Peking juga merupakan pusat keunggulan intelektual. Peking University, yang sering disebut "Beida," adalah salah satu institusi pendidikan tinggi tertua dan paling bergengsi di Tiongkok. Didirikan sebagai Universitas Imperial Peking pada akhir abad ke-19, universitas ini telah menjadi garda depan pemikiran modern Tiongkok dan memainkan peran penting dalam gerakan-gerakan politik dan intelektual, seperti Gerakan Empat Mei. Beida dan universitas-universitas lain di Peking telah menjadi kawah candradimuka bagi para pemimpin, ilmuwan, dan pemikir yang membentuk arah bangsa.
Nama "Peking University" adalah contoh bagaimana identitas lama tetap dipertahankan dalam konteks modern, berfungsi sebagai jembatan antara masa lalu yang kaya dan masa depan yang menjanjikan. Ini melambangkan kedalaman intelektual dan tradisi belajar yang telah mengakar di kota ini selama berabad-abad.
Salah satu momen paling transformatif bagi Peking (Beijing) di era modern adalah penyelenggaraan Olimpiade Musim Panas pada tahun 2008 dan Olimpiade Musim Dingin pada tahun 2022. Acara-acara global ini bukan hanya pameran olahraga, tetapi juga platform bagi Tiongkok untuk menunjukkan kemajuan ekonomi, inovasi teknologi, dan kemampuan organisasi kepada dunia. Pembangunan infrastruktur besar-besaran, seperti Stadion Nasional Beijing (Sarang Burung) dan Pusat Akuatik Nasional (Kubus Air), menjadi simbol arsitektur kontemporer dan kemajuan teknis kota ini.
Olimpiade membawa ledakan pariwisata dan perhatian internasional ke Peking, meningkatkan citra kota ini sebagai kota global yang modern namun tetap menghargai warisannya. Ini adalah kesempatan bagi dunia untuk melihat bagaimana Beijing berhasil menyeimbangkan pembangunan pesat dengan pelestarian budaya.
Tantangan terbesar bagi Beijing modern adalah bagaimana menyeimbangkan pembangunan yang tak terelakkan dengan pelestarian warisan budaya Peking yang tak ternilai. Meskipun banyak hutong telah digusur, upaya besar telah dilakukan untuk melindungi dan merestorasi area-area bersejarah, termasuk bagian-bagian dari Tembok Besar, Kota Terlarang, dan Istana Musim Panas. Pemerintah kota telah menerapkan zona perlindungan sejarah dan mempromosikan pariwisata budaya untuk memastikan bahwa kisah Peking terus diceritakan.
Museum-museum baru bermunculan, galeri seni kontemporer berkembang pesat, dan festival budaya merayakan baik tradisi kuno maupun ekspresi artistik modern. Ini menunjukkan bahwa Beijing tidak hanya melangkah maju, tetapi juga selalu melihat ke belakang, mengambil pelajaran dan inspirasi dari fondasi "Peking" yang kokoh. Kota ini adalah bukti hidup bahwa sejarah dan modernitas dapat hidup berdampingan, menciptakan sebuah tapestry urban yang kaya dan kompleks.
Dari nama yang berabad-abad dikenal sebagai "Peking" hingga identitas modernnya sebagai "Beijing," kota ini terus menjadi pusat gravitasi peradaban Tiongkok. Ia adalah kota yang menghormati masa lalu, merayakan masa kini, dan dengan berani menatap masa depan, terus menulis babak baru dalam sejarahnya yang tak berujung.
Mengakhiri perjalanan kita melalui sejarah, budaya, dan kuliner, jelaslah bahwa nama "Peking" bukan sekadar ejaan alternatif untuk ibu kota Tiongkok. Ini adalah sebuah cerminan, sebuah gema dari peradaban yang berabad-abad lamanya, sebuah identitas yang tertanam dalam setiap batu bata Kota Terlarang, setiap nada dalam Opera Peking, dan setiap irisan Bebek Peking yang renyah. Peking adalah narasi tentang kekaisaran yang megah, tentang seni yang halus, tentang tradisi kuliner yang tak tertandingi, dan tentang semangat ketekunan yang telah membentuk salah satu peradaban terbesar di dunia.
Kita telah menyelami kedalaman sejarahnya, dari asal-usul kuno sebagai Ji hingga menjadi pusat kekuatan Dinasti Ming dan Qing, yang menyaksikan pembangunan landmark-landmark ikonik yang masih berdiri kokoh. Kita telah mengagumi keahlian yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam seni kuliner, khususnya Bebek Peking yang telah memikat selera global. Kita juga telah menyingkap tirai panggung Opera Peking yang memukau dan mengenal Anjing Peking yang mungil namun penuh martabat, keduanya adalah simbol kekayaan budaya yang tak ternilai.
Meskipun kota ini kini dikenal sebagai Beijing, bayangan dan warisan "Peking" tetap hidup, terus menginspirasi dan membentuk identitas kontemporernya. Kota ini adalah bukti nyata bahwa sebuah tempat bisa menjadi modern tanpa melupakan akarnya, bahwa kemajuan dapat berjalan seiring dengan pelestarian. Peking, dalam esensinya, adalah lebih dari sekadar lokasi geografis; ia adalah sebuah ide, sebuah semangat, sebuah warisan abadi yang terus berdetak di jantung Tiongkok dan memancarkan cahayanya ke seluruh dunia. Sebuah nama yang akan selalu diasosiasikan dengan kebesaran, keindahan, dan misteri yang tak ada habisnya.