Pararaton: Naskah Klasik Sejarah Raja-Raja Jawa

Ilustrasi naskah klasik yang melambangkan Pararaton.

Pararaton, yang secara harfiah berarti "Kitab Raja-Raja", merupakan salah satu naskah klasik terpenting dalam historiografi Jawa Kuno. Naskah ini adalah sumber utama yang menceritakan sejarah dinasti raja-raja yang berkuasa di Jawa Timur, khususnya Singhasari dan Majapahit. Meskipun dikenal luas dan sering dirujuk, Pararaton bukanlah sebuah catatan sejarah yang kaku dan kering, melainkan sebuah narasi yang kaya akan legenda, mitos, dan unsur-unsur supranatural, yang seringkali berpadu dengan fakta-fakta sejarah yang dapat diverifikasi.

Ditulis dalam bahasa Jawa Kawi (Jawa Tengahan) dengan aksara Bali, Pararaton diperkirakan berasal dari akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16, pada masa-masa akhir kejayaan Majapahit atau setelahnya. Naskah ini memberikan gambaran yang unik tentang bagaimana masyarakat Jawa pada masa itu memandang dan merekam sejarah mereka, di mana legitimasi kekuasaan seringkali dikaitkan dengan karisma ilahi dan asal-usul yang luar biasa.

Pararaton memulai kisahnya dengan figur-figur mitologis dan legendaris, kemudian beralih ke narasi yang lebih mendekati sejarah faktual, meskipun tetap diwarnai unsur-unsur ajaib. Cerita paling awal dan paling terkenal dalam Pararaton adalah kisah Ken Arok, seorang tokoh karismatik yang digambarkan sebagai anak dewa dan sekaligus perampok ulung yang kemudian berhasil mendirikan Kerajaan Singhasari. Kisah Ken Arok ini tidak hanya sekadar silsilah, tetapi juga sebuah epik tentang ambisi, pengkhianatan, cinta, dan pembalasan dendam yang tragis.

Naskah ini kemudian berlanjut dengan suksesi raja-raja Singhasari, intrik-intrik istana, hingga kejatuhan kerajaan tersebut di tangan Jayakatwang dari Kediri. Bagian selanjutnya mengisahkan lahirnya Kerajaan Majapahit melalui perjuangan Raden Wijaya, menantu raja Singhasari terakhir, Kertanegara. Pararaton juga mencatat peristiwa-peristiwa penting selama periode Majapahit, termasuk pemberontakan-pemberontakan awal dan peran sentral Mahapatih Gajah Mada dengan Sumpah Palapa-nya yang legendaris, meskipun detail mengenai masa keemasan Majapahit di bawah Hayam Wuruk tidak sekomprehensif yang ditemukan dalam Kakawin Nagarakretagama.

Meskipun seringkali dianggap kurang akurat secara kronologis dan penuh dengan anekdot yang meragukan kebenarannya secara historis bila dibandingkan dengan Nagarakretagama, Pararaton tetap menjadi dokumen yang tak ternilai harganya. Naskah ini memberikan perspektif yang berbeda tentang sejarah, menyoroti aspek-aspek budaya, kepercayaan, dan pandangan dunia masyarakat Jawa kuno. Bagi para sejarawan, Pararaton adalah jendela untuk memahami konstruksi memori kolektif, legitimasi kekuasaan, dan perpaduan antara sejarah dan mitos dalam budaya Jawa.

Latar Belakang dan Penemuan Pararaton

Kehadiran Pararaton dalam khazanah historiografi Indonesia modern tidak lepas dari upaya para peneliti dan filolog Eropa pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Naskah ini pertama kali dikenal oleh dunia Barat melalui salinan-salinan yang ditemukan di Bali, di mana tradisi sastra Jawa Kuno masih terpelihara dengan baik setelah jatuhnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa.

Naskah Pararaton yang kita kenal sekarang adalah hasil kompilasi dari beberapa versi yang berbeda, yang kemudian disatukan dan diterjemahkan. Salah satu edisi kritis paling awal dan berpengaruh adalah yang disiapkan oleh J.L.A. Brandes pada akhir abad ke-19. Brandes adalah seorang filolog Belanda yang banyak berjasa dalam mengumpulkan dan mempelajari naskah-naskah kuno Nusantara. Karyanya ini membuka jalan bagi studi lebih lanjut tentang Pararaton dan perannya dalam memahami sejarah Jawa.

Simbol arsip atau penelitian, menunjukkan upaya penemuan dan studi Pararaton.

Judul "Pararaton" sendiri baru populer setelah studi-studi modern; dalam naskah aslinya, tidak selalu ada judul yang jelas. Teks ini seringkali disebut sebagai "Pustaka Raja-Raja" atau "Babad Ken Arok". Penamaannya sebagai Pararaton mencerminkan esensinya sebagai catatan tentang suksesi dan kisah hidup para raja. Penemuan Pararaton melengkapi puzzle sejarah Jawa yang sebelumnya banyak bergantung pada prasasti batu dan Kakawin Nagarakretagama. Setiap sumber ini, dengan kekhasan dan keterbatasannya masing-masing, memberikan potongan informasi yang berharga.

Konteks historis penulisan Pararaton juga penting untuk dipahami. Diperkirakan ditulis pada masa transisi atau setelah kemunduran Majapahit, naskah ini mungkin berfungsi sebagai upaya untuk merekonstruksi dan mengabadikan ingatan kolektif tentang kejayaan masa lalu. Pada saat itu, tradisi lisan dan tulisan seringkali berinteraksi, dan cerita-cerita yang telah lama beredar secara lisan mungkin baru dicatat dalam bentuk tulisan. Ini menjelaskan mengapa banyak bagian Pararaton terasa seperti babad atau cerita rakyat yang diadaptasi, bukan laporan sejarah yang ketat.

Para sarjana telah mencatat bahwa bahasa yang digunakan dalam Pararaton adalah Jawa Tengahan, yang merupakan bentuk transisi antara Jawa Kuno dan Jawa Baru. Penggunaan aksara Bali juga menunjukkan adanya peranan penting Bali sebagai pusat pelestarian kebudayaan Jawa Kuno setelah Islamisasi di Jawa. Naskah-naskah seperti Pararaton yang tersimpan di Bali menjadi jembatan penting untuk memahami periode historis yang gelap di Jawa.

Struktur dan Konten Utama Naskah

Secara umum, Pararaton dapat dibagi menjadi beberapa bagian utama, meskipun pembagian ini tidak selalu eksplisit dalam naskah aslinya. Bagian-bagian ini mengikuti alur kronologis yang kasar, dimulai dari pendiri Singhasari hingga raja-raja terakhir Majapahit.

1. Kisah Ken Arok: Pendiri Singhasari

Bagian pertama Pararaton adalah yang paling mendetail dan paling kaya akan unsur mitos serta legenda. Ini adalah kisah epik tentang Ken Arok, seorang tokoh yang digambarkan memiliki asal-usul yang luar biasa. Ia dikisahkan sebagai putra dewa Brahma dari seorang perempuan desa, yang kemudian dibuang dan dipungut oleh seorang pencuri bernama Gandring. Ken Arok tumbuh menjadi seorang pemuda berani, cerdik, tetapi juga kejam, yang terlibat dalam berbagai tindakan kriminal.

Cerita mencapai puncaknya ketika Ken Arok bertemu dengan Mpu Gandring, seorang pandai besi sakti. Ken Arok memesan keris sakti kepada Mpu Gandring, tetapi karena tidak sabar, ia membunuh Mpu Gandring dengan keris yang belum sempurna itu. Sebelum meninggal, Mpu Gandring mengutuk bahwa keris tersebut akan menyebabkan kematian tujuh keturunan Ken Arok. Kutukan ini menjadi benang merah yang mengikat narasi suksesi Singhasari selanjutnya.

Ilustrasi keris, senjata ikonik dalam kisah Ken Arok dan kutukan Mpu Gandring.

Ken Arok kemudian bekerja sebagai pengawal Tunggul Ametung, akuwu (kepala daerah) Tumapel. Ia jatuh cinta pada istri Tunggul Ametung yang sangat cantik, Ken Dedes, yang juga dikisahkan memiliki aura cahaya di pangkal paha yang melambangkan seorang wanita yang akan melahirkan raja-raja besar. Dengan tipu muslihat, Ken Arok membunuh Tunggul Ametung menggunakan keris Mpu Gandring dan kemudian merebut Ken Dedes serta kekuasaan Tumapel. Peristiwa ini menandai dimulainya dinasti Singhasari.

2. Suksesi Raja-Raja Singhasari

Setelah Ken Arok menjadi raja pertama Singhasari, Pararaton melanjutkan kisah dengan serangkaian pembunuhan dan pembalasan dendam yang tragis, yang seringkali dikaitkan dengan kutukan keris Mpu Gandring. Ken Arok sendiri akhirnya dibunuh oleh Anusapati, putra Ken Dedes dari Tunggul Ametung, yang ingin membalas kematian ayahnya. Anusapati kemudian dibunuh oleh Tohjaya, putra Ken Arok dari Ken Umang, yang juga termotivasi oleh balas dendam.

Rantai pembunuhan ini berlanjut hingga akhirnya tampuk kekuasaan jatuh ke tangan Ranggawuni (Wisnuwardhana), cucu Anusapati. Pada masa ini, intrik kekuasaan mulai mereda. Wisnuwardhana kemudian digantikan oleh putranya, Kertanegara, raja Singhasari terakhir yang ambisius. Kertanegara dikenal dengan ekspansinya yang jauh, termasuk Ekspedisi Pamalayu ke Sumatera, dan usahanya untuk menyatukan Nusantara di bawah Singhasari. Namun, ambisi ini juga menjadi penyebab kejatuhannya. Ketika sebagian besar pasukannya dikirim ke luar Jawa, Jayakatwang, raja bawahan dari Kediri yang masih memiliki dendam lama terhadap Singhasari, menyerang ibu kota Singhasari. Kertanegara gugur dalam serangan ini, mengakhiri riwayat Kerajaan Singhasari.

3. Lahirnya dan Awal Kerajaan Majapahit

Bagian terakhir Pararaton berfokus pada berdirinya Kerajaan Majapahit. Setelah kejatuhan Singhasari, Raden Wijaya, menantu Kertanegara, berhasil melarikan diri dan mengumpulkan kekuatan. Ia menggunakan strategi cerdik dengan meminta bantuan pasukan Mongol yang datang untuk menuntut balas atas perlakuan Kertanegara terhadap utusan mereka. Raden Wijaya bersekutu dengan Mongol untuk mengalahkan Jayakatwang, dan setelah Jayakatwang tumbang, ia kemudian berbalik menyerang pasukan Mongol dan mengusir mereka dari Jawa. Peristiwa inilah yang membuka jalan bagi Raden Wijaya untuk mendirikan Kerajaan Majapahit pada sebuah hutan di tepi Sungai Brantas.

Pararaton mencatat masa-masa awal Majapahit di bawah Raden Wijaya (yang kemudian bergelar Kertarajasa Jayawardhana) dan suksesi raja-raja awal lainnya, seperti Jayanegara. Periode ini diwarnai oleh berbagai pemberontakan dari para bangsawan dan pejabat istana, seperti pemberontakan Rangga Lawe, Nambi, dan Kuti. Pemberontakan-pemberontakan ini menunjukkan gejolak politik dan perebutan kekuasaan yang intens di awal berdirinya Majapahit.

Simbol bangunan candi atau istana, mewakili kerajaan-kerajaan seperti Singhasari dan Majapahit.

Salah satu tokoh paling menonjol dalam bagian Majapahit Pararaton adalah Mahapatih Gajah Mada. Naskah ini mencatat sumpah legendaris Gajah Mada, yaitu Sumpah Palapa, di mana ia bersumpah untuk tidak menikmati palapa (rempah-rempah atau kenikmatan duniawi) sebelum berhasil menyatukan Nusantara di bawah panji Majapahit. Meskipun detail mengenai masa keemasan Majapahit di bawah Hayam Wuruk tidak sekomprehensif Kakawin Nagarakretagama, Pararaton tetap menyoroti peran sentral Gajah Mada dalam mewujudkan ekspansi Majapahit yang luar biasa.

Bagian akhir Pararaton menjadi lebih ringkas dan seringkali terpotong-potong, memberikan catatan yang kurang detail tentang raja-raja Majapahit selanjutnya hingga masa-masa kemundurannya. Hal ini mungkin karena penulis naskah tidak memiliki akses informasi yang lengkap, atau fokus utamanya adalah pada periode awal pendirian kerajaan dan tokoh-tokoh karismatik yang mengawali dinasti.

Perbandingan dengan Nagarakretagama

Dalam mempelajari sejarah Singhasari dan Majapahit, Pararaton seringkali dibandingkan dengan Kakawin Nagarakretagama (juga dikenal sebagai Desawarnana), sebuah kakawin atau puisi pujian yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada masa pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit. Kedua naskah ini adalah pilar utama sumber sejarah periode tersebut, namun memiliki perbedaan fundamental dalam gaya, tujuan, dan konten.

Nagarakretagama adalah sebuah karya sastra yang indah dan monumental, ditulis pada puncak kejayaan Majapahit. Tujuannya adalah untuk memuji dan mengabadikan kebesaran Raja Hayam Wuruk serta keagungan Kerajaan Majapahit. Karena itu, naskah ini memberikan deskripsi yang sangat detail tentang upacara keagamaan, struktur pemerintahan, wilayah kekuasaan, dan daftar raja-raja yang memerintah, khususnya dari garis keturunan Hayam Wuruk.

Ilustrasi berlian atau permata, melambangkan nilai dan keindahan karya sastra seperti Nagarakretagama.

Sebaliknya, Pararaton, seperti yang telah dijelaskan, adalah sebuah prosa yang lebih sederhana, ditulis mungkin oleh seorang juru tulis atau sejarawan lokal. Tujuannya adalah untuk mencatat silsilah raja-raja dan peristiwa-peristiwa penting yang terkait dengan mereka, namun dengan penekanan yang kuat pada legitimasi kekuasaan melalui asal-usul ilahi atau karisma pribadi. Nagarakretagama cenderung menyajikan versi sejarah yang 'resmi' dan idealis, sementara Pararaton seringkali mengungkapkan intrik, kekerasan, dan aspek-aspek 'duniawi' lainnya yang mungkin tidak akan pernah dicatat dalam sebuah pujian kerajaan.

Perbedaan Kunci:

  1. Gaya dan Tujuan: Nagarakretagama adalah kakawin (puisi) yang sangat formal dan puitis, bertujuan sebagai eulogi (pujian). Pararaton adalah prosa naratif, lebih mirip babad atau kronik, dengan tujuan mencatat silsilah dan peristiwa penting.
  2. Fokus: Nagarakretagama fokus pada Hayam Wuruk dan kebesaran Majapahit, serta deskripsi terperinci tentang kerajaan. Pararaton lebih fokus pada individu-individu yang memerintah, terutama Ken Arok, dan intrik-intrik suksesi.
  3. Akurasi Kronologis: Nagarakretagama dikenal lebih akurat secara kronologis karena ditulis pada masa yang relatif dekat dengan peristiwa yang digambarkan dan oleh seorang pujangga istana yang memiliki akses ke sumber-sumber resmi. Pararaton seringkali memiliki ketidakakuratan kronologis dan mencampuradukkan tahun-tahun peristiwa, menunjukkan kemungkinan bergantung pada tradisi lisan atau ingatan yang kabur.
  4. Unsur Mitos dan Legenda: Pararaton jauh lebih kaya akan unsur mitos, legenda, dan cerita-cerita ajaib, terutama dalam kisah Ken Arok. Nagarakretagama, meskipun tidak sepenuhnya bebas dari unsur mistis, cenderung lebih rasional dan fokus pada aspek politik serta administratif.
  5. Kritik terhadap Penguasa: Pararaton kadang-kadang mengisyaratkan atau secara langsung menceritakan kelemahan dan kekejaman para penguasa (misalnya pembunuhan berantai di Singhasari). Nagarakretagama nyaris tidak pernah mencatat kritik atau hal-hal negatif tentang raja-raja yang dipujinya.

Meskipun demikian, kedua naskah ini saling melengkapi. Nagarakretagama memberikan kerangka kronologis dan informasi struktural yang kuat tentang Majapahit, sementara Pararaton mengisi detail-detail personal, intrik, dan latar belakang legenda yang tidak ditemukan dalam karya Prapanca. Para sejarawan modern menggunakan kedua sumber ini secara hati-hati, membandingkan informasi, dan mencari konsistensi dengan data dari prasasti atau artefak arkeologi untuk membangun gambaran sejarah yang paling akurat.

Aspek Mitos dan Legenda dalam Pararaton

Salah satu ciri paling menonjol dari Pararaton adalah perpaduan antara sejarah dan mitos. Sejak awal, kisah Ken Arok telah diselimuti dengan elemen-elemen supranatural yang kuat, yang memberikan dimensi spiritual dan karismatik pada narasi sejarah. Kehadiran mitos dalam Pararaton bukan sekadar hiasan, melainkan memiliki fungsi penting dalam konteks budaya dan politik Jawa kuno.

1. Legitimasi Kekuasaan Ilahi

Kisah kelahiran Ken Arok sebagai putra Brahma, sang dewa pencipta, adalah contoh klasik bagaimana mitos digunakan untuk memberikan legitimasi ilahi kepada seorang penguasa. Dalam masyarakat Jawa kuno, seorang raja atau pemimpin yang sukses seringkali dianggap memiliki wahyu atau takdir ilahi. Dengan menghubungkan Ken Arok langsung dengan dewa, Pararaton tidak hanya menjelaskan keberhasilannya dalam merebut kekuasaan, tetapi juga membenarkan tindakannya yang keras dan kejam sebagai bagian dari takdir yang lebih besar.

Bintang atau cahaya ilahi, melambangkan wahyu atau legitimasi kekuasaan dalam mitos Jawa.

Demikian pula, cerita tentang Ken Dedes yang memancarkan cahaya di pangkal pahanya adalah simbol kemurnian dan takdir sebagai ibu dari raja-raja. Aura ini menegaskan bahwa keturunan Ken Dedes, terlepas dari siapa ayah biologisnya, ditakdirkan untuk memimpin. Aspek ini sangat penting dalam masyarakat yang sangat percaya pada kekuatan kosmik dan takdir.

2. Kutukan dan Karma Wangsa

Kutukan Mpu Gandring yang menyebabkan kematian tujuh keturunan Ken Arok adalah elemen mitis yang kuat. Ini berfungsi sebagai penjelasan moralistik atas serangkaian pembunuhan dan intrik yang terjadi dalam suksesi Singhasari. Dalam pandangan Jawa, karma atau hukum sebab-akibat adalah konsep yang mendalam. Kutukan ini bukan hanya sekadar ramalan, tetapi juga representasi dari konsekuensi perbuatan Ken Arok yang melanggar etika. Setiap pembunuhan dalam garis keturunan Singhasari seolah-olah mengkonfirmasi dan memenuhi ramalan tersebut, memberikan narasi sebuah nuansa tragis dan fatalistik.

Kisah-kisah seperti ini memberikan pelajaran moral tentang bahaya ambisi yang berlebihan, pengkhianatan, dan konsekuensi tindakan yang tidak adil. Mereka juga membantu menjelaskan mengapa sebuah dinasti mengalami gejolak internal yang begitu parah, mengaitkannya dengan takdir yang telah digariskan oleh sebuah kutukan sakti.

3. Peran Pahlawan Budaya dan Transformasi Sosial

Ken Arok dapat dilihat sebagai sosok pahlawan budaya (cultural hero) yang ambigu. Ia adalah perampok dan pembunuh, tetapi juga seorang pendiri dinasti besar. Kisahnya mencerminkan bagaimana masyarakat memandang tokoh-tokoh yang melanggar norma sosial demi mencapai kekuasaan, tetapi kemudian berhasil membangun sebuah tatanan baru. Transformasi Ken Arok dari penjahat menjadi raja adalah narasi yang kuat tentang kemampuan individu untuk mengubah takdir dan membentuk sejarah.

Mitos-mitos dalam Pararaton juga seringkali berfungsi sebagai penjelasan etiologis, yaitu menjelaskan asal-usul suatu peristiwa atau keadaan. Misalnya, mengapa garis keturunan tertentu naik atau turun, atau mengapa sebuah kerajaan mengalami periode kemakmuran atau kemunduran.

4. Batasan Sejarah dan Kenyataan

Para sejarawan menghadapi tantangan besar dalam memisahkan butir-butir sejarah dari cangkang mitos dalam Pararaton. Meskipun kisah-kisah fantastis seperti kelahiran dewa atau kutukan keris tidak dapat diterima sebagai fakta historis literal, keberadaan mereka menunjukkan bagaimana masyarakat Jawa kuno menginterpretasikan dan memberikan makna pada peristiwa-peristiwa penting. Mitos-mitos ini adalah bagian integral dari cara mereka memahami realitas dan memberikan legitimasi pada tatanan sosial dan politik.

Dengan demikian, Pararaton bukan hanya sekadar catatan kronik, melainkan juga sebuah dokumen kebudayaan yang berharga. Ia memperlihatkan bagaimana sejarah dapat dianyam dengan unsur-unsur spiritual dan legendaris untuk menciptakan sebuah narasi yang tidak hanya informatif, tetapi juga memiliki kekuatan emosional dan makna simbolis yang mendalam bagi masyarakat pada masanya.

Pengaruh dan Warisan Pararaton

Meskipun Pararaton adalah naskah yang terbilang singkat jika dibandingkan dengan epik-epik besar lainnya, pengaruhnya terhadap pemahaman sejarah dan budaya Jawa sangat signifikan. Naskah ini telah membentuk cara pandang banyak orang tentang tokoh-tokoh kunci seperti Ken Arok, Ken Dedes, Gajah Mada, dan raja-raja Singhasari serta Majapahit. Warisannya dapat dilihat dalam berbagai aspek, mulai dari historiografi hingga inspirasi seni dan sastra modern.

1. Pembentukan Narasi Sejarah Nasional

Pada awal kemerdekaan Indonesia, Pararaton bersama Nagarakretagama menjadi salah satu sumber utama bagi para sejarawan nasionalis untuk membangun narasi sejarah kebesaran Indonesia di masa lalu. Kisah-kisah tentang kerajaan-kerajaan besar seperti Singhasari dan Majapahit, dengan tokoh-tokoh ambisius seperti Ken Arok dan negarawan ulung seperti Gajah Mada, digunakan untuk menanamkan rasa bangga akan identitas nasional yang kaya dan memiliki akar sejarah yang panjang. Sumpah Palapa Gajah Mada, yang tercatat dalam Pararaton (walaupun juga dalam sumber lain), menjadi simbol persatuan Nusantara yang terus relevan hingga kini.

Jam atau roda waktu, melambangkan aliran sejarah dan warisan yang abadi.

Meskipun para sejarawan modern telah mengkritisi penggunaan sumber-sumber ini secara unkritis, tidak dapat dimungkiri bahwa Pararaton telah memainkan peran krusial dalam membentuk imajinasi kolektif tentang masa lalu yang agung dan heroik.

2. Inspirasi dalam Seni dan Sastra

Kisah-kisah dramatis dalam Pararaton, terutama yang berkaitan dengan Ken Arok dan intrik Singhasari, telah menjadi sumber inspirasi tak berujung bagi para seniman, penulis, dan sutradara. Banyak novel sejarah, pertunjukan wayang, drama, dan bahkan film atau serial televisi telah mengambil plot atau karakter dari Pararaton. Konflik antara ambisi dan takdir, cinta dan pengkhianatan, serta kutukan dan pembalasan, adalah tema-tema universal yang membuat kisah-kisah ini tetap relevan dan menarik.

Cerita Ken Arok, Ken Dedes, dan Tunggul Ametung, dengan segala kompleksitas moralnya, sering diinterpretasikan ulang untuk merefleksikan isu-isu kontemporer. Hal ini menunjukkan kekuatan naratif Pararaton yang melampaui batas waktu, mampu berbicara kepada audiens dari generasi ke generasi.

3. Studi dan Riset Akademis

Bagi komunitas akademis, Pararaton terus menjadi objek studi yang menarik. Para filolog menganalisis bahasanya untuk memahami evolusi bahasa Jawa, sementara sejarawan mencoba merekonstruksi fakta sejarah dengan membandingkannya dengan sumber-sumber lain seperti prasasti, Nagarakretagama, dan berita-berita Tiongkok. Antropolog dan sosiolog juga tertarik pada bagaimana mitos dan legenda dalam Pararaton merefleksikan struktur sosial, kepercayaan, dan legitimasi kekuasaan masyarakat Jawa kuno.

Debat mengenai akurasi historis Pararaton, bias penulisnya, dan interpretasi atas unsur-unsur mitisnya, terus berlanjut. Studi-studi baru terus muncul, memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang naskah ini dan periode sejarah yang dicakupnya. Ini menunjukkan bahwa Pararaton bukanlah sekadar relik masa lalu, melainkan sebuah dokumen hidup yang terus memprovokasi pemikiran dan penelitian.

4. Pelestarian Nilai Budaya

Melalui Pararaton, kita dapat melihat nilai-nilai budaya Jawa kuno yang masih beresonansi hingga kini. Konsep karma, pentingnya garis keturunan, hubungan antara kekuasaan dan spiritualitas, serta dinamika antara individu dan masyarakat, adalah beberapa contoh nilai yang dapat digali dari naskah ini. Pemahaman akan Pararaton membantu kita menghargai kekayaan intelektual dan spiritual leluhur bangsa Indonesia.

Singkatnya, Pararaton adalah lebih dari sekadar "daftar raja-raja". Ia adalah sebuah mahakarya naratif yang memadukan sejarah, mitos, dan moralitas, memberikan landasan bagi pemahaman kita tentang salah satu periode paling penting dalam sejarah Jawa. Warisannya terus hidup, baik dalam imajinasi kolektif, ekspresi artistik, maupun diskusi akademis, menegaskan posisinya sebagai salah satu pusaka budaya Indonesia yang tak ternilai.

Kritik dan Tantangan dalam Mempelajari Pararaton

Meskipun Pararaton memiliki nilai sejarah dan budaya yang tak terbantahkan, studi dan interpretasinya tidak luput dari berbagai kritik dan tantangan. Para sejarawan dan filolog harus mendekati naskah ini dengan kehati-hatian ekstra karena karakteristiknya yang unik.

1. Masalah Kronologi dan Inkonsistensi Data

Salah satu kritik utama terhadap Pararaton adalah ketidakakuratan kronologisnya. Tanggal-tanggal peristiwa seringkali tidak konsisten atau bahkan bertentangan dengan informasi yang ditemukan dalam sumber lain, seperti prasasti atau Nagarakretagama. Beberapa peristiwa penting dicatat dengan tahun yang berbeda, atau bahkan urutan peristiwa yang keliru. Hal ini menimbulkan kesulitan besar bagi para sejarawan yang berusaha merekonstruksi urutan kejadian yang tepat.

Wajah ragu atau tidak yakin, merepresentasikan tantangan dalam verifikasi akurasi historis Pararaton.

Ketidakakuratan ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor:

2. Bias dan Sudut Pandang Penulis

Sebagai sebuah naskah yang ditulis oleh manusia, Pararaton tidak terlepas dari bias penulisnya. Sudut pandang, kepercayaan, dan tujuan penulis dapat memengaruhi bagaimana peristiwa dicatat atau diinterpretasikan. Misalnya, penekanan pada aspek karma wangsa atau kutukan mungkin mencerminkan pandangan religius dan moral penulis atau masyarakat pada zamannya. Kisah Ken Arok yang penuh intrik dan kekerasan juga mungkin disajikan untuk memberikan pelajaran moral atau untuk menjelaskan mengapa dinasti tertentu mengalami kemunduran.

Penting untuk diingat bahwa tidak ada sumber sejarah yang sepenuhnya netral. Oleh karena itu, Pararaton perlu dianalisis dengan mempertimbangkan konteks penulisan dan kemungkinan bias yang melekat di dalamnya.

3. Pemisahan Fakta dari Fiksi

Tantangan terbesar dalam mempelajari Pararaton adalah memisahkan fakta historis dari unsur mitos dan legenda. Bagaimana kita bisa yakin bahwa Ken Arok adalah tokoh nyata, bukan sekadar karakter mitologis? Bagaimana kita bisa mengidentifikasi peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi dari anekdot-anekdot yang fantastis?

Pendekatan yang biasa digunakan adalah dengan membandingkan Pararaton dengan sumber-sumber lain yang lebih dapat dipercaya secara historis, seperti prasasti, catatan Tiongkok, atau Nagarakretagama. Jika sebuah nama tokoh atau peristiwa muncul secara konsisten dalam beberapa sumber independen, kemungkinan besar itu adalah fakta. Namun, detail-detail yang hanya muncul di Pararaton dan memiliki nuansa supranatural harus didekati dengan skeptisisme historis yang sehat, meskipun tetap diakui sebagai bagian penting dari warisan budaya dan kepercayaan pada masa itu.

4. Interpretasi Bahasa dan Konsep

Bahasa Jawa Tengahan yang digunakan dalam Pararaton, meskipun tidak sekompleks Jawa Kuno, tetap membutuhkan keahlian filologi yang mendalam untuk diinterpretasikan dengan benar. Beberapa istilah atau konsep mungkin memiliki makna yang berbeda pada masa naskah itu ditulis dibandingkan dengan pemahaman modern. Kesalahan dalam interpretasi bahasa bisa berujung pada pemahaman sejarah yang keliru.

Selain itu, konsep-konsep seperti "wahyu" atau "kutukan" harus dipahami dalam kerangka pemikiran masyarakat Jawa kuno, bukan hanya ditolak sebagai takhayul. Memahami bagaimana konsep-konsep ini membentuk pandangan dunia dan tindakan para tokoh adalah kunci untuk mengapresiasi nilai Pararaton secara utuh.

Dengan menyadari kritik dan tantangan ini, para peneliti dapat menggunakan Pararaton sebagai alat yang berharga, bukan sebagai kebenaran mutlak, melainkan sebagai salah satu jendela menuju kompleksitas sejarah dan kebudayaan Jawa kuno.

Penutup

Pararaton adalah sebuah naskah yang luar biasa, sebuah peninggalan berharga dari masa lalu yang terus mempesona dan memprovokasi pemikiran. Sebagai "Kitab Raja-Raja", ia bukan hanya sekadar daftar silsilah, melainkan sebuah tapestry naratif yang merangkai fakta, legenda, mitos, dan moralitas dalam satu kesatuan yang kohesif. Dari kisah epik Ken Arok yang ambisius dan penuh intrik, hingga perjuangan Raden Wijaya mendirikan Majapahit, dan sumpah legendaris Gajah Mada, Pararaton menyuguhkan potret dinamika kekuasaan, takdir, dan ambisi yang membentuk peradaban Jawa.

Meskipun tantangan dalam menafsirkan akurasi historisnya tidak kecil, terutama bila dibandingkan dengan sumber lain seperti Nagarakretagama atau prasasti, nilai Pararaton tidak lantas berkurang. Justru, karakteristik uniknya yang memadukan elemen sejarah dan mitos menjadikannya dokumen yang tak ternilai untuk memahami cara pandang masyarakat Jawa kuno terhadap dunia mereka, legitimasi kekuasaan, dan bagaimana mereka mengabadikan memori kolektif.

Simbol lingkaran tak berujung atau siklus waktu, merepresentasikan keabadian kisah Pararaton.

Dari penemuannya oleh para filolog Belanda hingga perannya dalam membangun narasi sejarah nasional Indonesia, Pararaton terus menginspirasi. Ia menjadi sumber tak terbatas bagi seniman dan sastrawan, serta objek kajian yang mendalam bagi para akademisi. Cerita-cerita di dalamnya mengajarkan kita tentang konsekuensi dari tindakan, pentingnya takdir, dan kompleksitas manusia dalam meraih serta mempertahankan kekuasaan.

Pada akhirnya, Pararaton bukan hanya sebuah buku sejarah, melainkan sebuah cermin kebudayaan yang merefleksikan jiwa masyarakat Jawa pada zamannya. Mempelajari Pararaton berarti menyelami kedalaman pandangan dunia yang menggabungkan realitas dengan supranatural, rasionalitas dengan mistisisme, dan fakta dengan legenda. Ia adalah pengingat bahwa sejarah seringkali lebih dari sekadar catatan tanggal dan nama; ia adalah kisah manusia yang rumit, penuh dengan ambisi, hasrat, dan takdir yang tak terduga, diukir dalam naskah kuno yang berharga ini.

🏠 Kembali ke Homepage