Mengenal Pagar Betis: Sejarah, Makna, dan Relevansinya Kini

Ilustrasi Pagar Betis Beberapa siluet orang membentuk barisan, melambangkan konsep 'Pagar Betis'. PAGAR BETIS
Ilustrasi sederhana konsep "Pagar Betis" sebagai barisan manusia.

Dalam narasi sejarah dan sosial Indonesia, frasa "Pagar Betis" menempati posisi yang unik sekaligus penuh kontroversi. Lebih dari sekadar susunan kata, istilah ini merujuk pada sebuah taktik militer dan politik yang melibatkan mobilisasi massal warga sipil untuk tujuan-tujuan tertentu, terutama dalam konteks operasi keamanan. Meskipun seringkali diasosiasikan dengan periode kelam konflik bersenjata dan pelanggaran hak asasi manusia, pemahaman mendalam tentang "Pagar Betis" adalah kunci untuk mengurai kompleksitas sejarah bangsa, memahami dinamika kekuasaan, serta merenungkan implikasi etis dan kemanusiaan dari sebuah strategi yang mengerikan.

Artikel ini akan menelusuri sejarah "Pagar Betis" dari akar-akarnya yang mungkin telah ada sejak masa kerajaan, pengadaptasiannya di era kolonial, hingga puncaknya pada masa awal kemerdekaan dan penumpasan berbagai pemberontakan di Indonesia. Kita akan membahas bagaimana taktik ini diimplementasikan, tujuan yang ingin dicapai, serta dampaknya yang mendalam—baik secara militer, sosial, maupun psikologis—terutama bagi mereka yang terlibat secara paksa. Lebih lanjut, kita juga akan melihat bagaimana istilah ini bermetamorfosis menjadi metafora dalam konteks non-militer kontemporer, serta mengapa penting bagi kita untuk terus mengkaji dan belajar dari fenomena "Pagar Betis" demi mencegah terulangnya tragedi di masa depan.

Sejarah Pagar Betis: Jejak Langkah dari Masa ke Masa

"Pagar Betis" bukanlah sebuah inovasi taktik yang muncul tiba-tiba. Konsep mobilisasi massa untuk kepentingan pertahanan atau penyerangan telah lama dikenal dalam peradaban manusia. Di Nusantara, akar-akar praktik serupa dapat ditemukan jauh sebelum istilah modern ini dikenal.

Akar Tradisional Nusantara: Mobilisasi Massa dalam Kerajaan Kuno

Sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa, Sumatera, atau wilayah lain di Indonesia, kerap mencatat pengerahan rakyat dalam jumlah besar untuk tujuan militer. Baik untuk membangun benteng, mengangkut logistik, atau bahkan sebagai bagian dari pasukan infanteri yang berjumlah besar. Dalam konteks ini, partisipasi masyarakat seringkali didasari oleh sistem feodal, kesetiaan kepada raja atau pemimpin lokal, dan terkadang juga ancaman. Namun, mobilisasi ini umumnya masih berada dalam kerangka partisipasi yang relatif terstruktur, meskipun sifatnya wajib.

Penduduk desa secara tradisional memiliki peran penting dalam pertahanan wilayah mereka sendiri. Mereka membentuk semacam "kekuatan rakyat" yang dapat dimobilisasi dengan cepat untuk menghadapi ancaman lokal, seperti serangan dari kelompok lain atau hewan buas. Meskipun belum berbentuk "pagar betis" seperti yang kita kenal kemudian, konsep pengerahan massal dan penggunaan tubuh manusia sebagai "perisai" atau "penghalang" sudah menjadi bagian dari pemikiran strategis tradisional.

Dalam konteks perang konvensional masa itu, masyarakat sipil, terutama laki-laki dewasa, seringkali direkrut menjadi prajurit cadangan atau pasukan pembantu. Mereka bisa saja digunakan untuk menutupi rute pelarian musuh, mengamankan daerah yang baru direbut, atau bahkan hanya sebagai unjuk kekuatan angka. Namun, yang membedakan dengan "Pagar Betis" modern adalah intensitas paksaan, skala, dan posisi mereka yang seringkali ditempatkan langsung di garis depan sebagai "tameng hidup" tanpa perlengkapan memadai.

Era Kolonial Belanda: Adaptasi Taktik oleh Kekuatan Asing

Ketika kekuatan kolonial Belanda mulai menancapkan pengaruhnya di Nusantara, mereka menghadapi perlawanan sporadis namun gigih dari berbagai kelompok pribumi. Dalam upaya menumpas pemberontakan, VOC dan kemudian pemerintah kolonial Hindia Belanda, mengadaptasi dan memodifikasi berbagai taktik, termasuk mobilisasi lokal. Mereka seringkali memanfaatkan struktur hierarki lokal yang sudah ada—seperti raja, bupati, atau kepala desa—untuk mengerahkan tenaga rakyat.

Mobilisasi ini seringkali digunakan untuk membangun infrastruktur (jalan, jembatan, perkebunan) melalui sistem kerja paksa (heerendiensten atau rodi), namun juga diterapkan dalam operasi militer. Penduduk setempat dipaksa untuk menjadi penunjuk jalan, pengangkut perbekalan, atau bahkan menjadi bagian dari "barisan manusia" untuk mengejar atau mengepung pejuang pribumi. Contohnya adalah dalam Perang Diponegoro atau penumpasan Aceh, di mana pasukan kolonial seringkali melibatkan penduduk lokal yang mereka kuasai untuk membantu operasi militer mereka, terkadang dengan iming-iming, namun lebih sering dengan paksaan dan ancaman.

Perubahan signifikan terjadi pada masa ini: partisipasi yang tadinya mungkin didasari kesetiaan tradisional, kini bergeser menjadi paksaan murni di bawah ancaman sanksi kolonial. Warga sipil ditempatkan dalam posisi yang sangat rentan, terjepit di antara dua kekuatan yang bertikai, dan seringkali menjadi korban pertama.

Masa Revolusi Kemerdekaan dan Awal Kemerdekaan: Dilema Bangsa yang Baru

Periode Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945-1949) menjadi saksi penggunaan "Pagar Betis" oleh kedua belah pihak: baik oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan laskar-laskar pejuang untuk mempertahankan wilayah dari agresi Belanda, maupun oleh Belanda dalam upaya merebut kembali kendali. Di sinilah istilah "Pagar Betis" mulai menemukan bentuk dan konotasi modernnya yang mengerikan.

Pasca-kemerdekaan, ketika Indonesia dihadapkan pada serangkaian pemberontakan internal yang mengancam keutuhan bangsa, "Pagar Betis" menjadi taktik yang semakin sering digunakan oleh pemerintah Republik Indonesia, khususnya TNI. Salah satu contoh paling ikonik dan sering disebut adalah dalam kampanye penumpasan pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di Jawa Barat.

Kampanye Penumpasan DI/TII di Jawa Barat

Pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Kartosuwiryo berlangsung selama lebih dari satu dekade (1949-1962) dan merupakan ancaman serius bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah Jawa Barat, yang bergunung-gunung dan berhutan lebat, menjadi basis utama pergerakan DI/TII. Medannya yang sulit sangat menguntungkan gerilyawan, membuat operasi militer konvensional menjadi tidak efektif. Para pemberontak seringkali bersembunyi di hutan dan pegunungan, hidup berdampingan, atau bahkan mendapatkan dukungan dari sebagian kecil masyarakat pedesaan.

Untuk mengatasi masalah ini, TNI meluncurkan Operasi Bharatayudha pada tahun 1960. Dalam operasi inilah taktik "Pagar Betis" diterapkan secara besar-besaran dan sistematis. Ribuan, bahkan puluhan ribu, warga sipil dari desa-desa sekitar, sebagian besar laki-laki dewasa, dipaksa untuk membentuk barisan panjang, berjejer rapat, dan bergerak maju menyisir hutan serta pegunungan. Mereka bertindak sebagai "dinding hidup" untuk mendorong, mengepung, dan memojokkan pasukan DI/TII. Tujuan utamanya adalah mempersempit ruang gerak pemberontak, memutus jalur logistik mereka, dan memaksa mereka keluar dari persembunyian.

Keterlibatan warga sipil ini seringkali di bawah ancaman. Mereka dipaksa untuk meninggalkan ladang dan keluarga mereka, kadang hanya berbekal seadanya. Kondisi mereka sangat memprihatinkan: kelaparan, kelelahan, dan ketakutan menjadi teman sehari-hari. Mereka juga rentan terhadap serangan balasan dari DI/TII, yang tentu saja tidak akan segan-segan menembak barisan "Pagar Betis" yang bergerak maju. Banyak laporan dan kesaksian mengindikasikan bahwa taktik ini menimbulkan banyak korban di kalangan sipil, baik karena tembakan, penyakit, kelaparan, maupun kelelahan ekstrem.

Operasi "Pagar Betis" memang berhasil dalam menekan ruang gerak DI/TII, puncaknya dengan tertangkapnya Kartosuwiryo pada tahun 1962. Namun, keberhasilan militer ini harus dibayar mahal dengan penderitaan dan trauma yang mendalam bagi ribuan warga sipil yang dipaksa terlibat. Taktik ini menyoroti dilema moral dan etika yang dihadapi sebuah negara yang baru merdeka dalam menjaga keutuhan wilayahnya, namun dengan konsekuensi kemanusiaan yang sangat berat.

Tragedi 1965 dan Dampaknya

Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965 diikuti oleh gelombang kekerasan anti-komunis yang masif di seluruh Indonesia. Dalam konteks penumpasan anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), konsep "Pagar Betis" juga muncul dalam bentuk yang berbeda, namun dengan esensi mobilisasi massa untuk tujuan keamanan. Meskipun tidak selalu berupa barisan manusia yang bergerak secara militeristik, mobilisasi massa anti-PKI—baik oleh militer, kelompok agama, maupun organisasi masyarakat—juga dapat dianggap sebagai "pagar betis" dalam pengertian yang lebih luas.

Masyarakat desa, terutama di daerah-daerah yang dianggap kuat pengaruh PKI, dipaksa untuk menunjukkan loyalitas kepada rezim baru. Mereka didorong untuk ikut serta dalam penangkapan, pengamanan, atau bahkan penghukuman terhadap orang-orang yang dituduh komunis. Mekanisme paksaan ini tidak selalu bersifat militer langsung, melainkan seringkali melalui tekanan sosial, ancaman keamanan, atau propaganda intensif. Mereka yang menolak dianggap sebagai simpatisan PKI dan terancam nasib serupa.

Dalam beberapa kasus, memang terjadi pengerahan massa secara fisik untuk "membersihkan" suatu wilayah dari pengaruh komunis, atau untuk mengawasi dan mengisolasi desa-desa yang dicurigai. Ini menciptakan iklim teror dan ketakutan yang membuat partisipasi masyarakat menjadi pilihan yang "terpaksa" demi keselamatan diri dan keluarga mereka. Pengalaman 1965 meninggalkan luka mendalam dalam memori kolektif bangsa, di mana "pagar betis" dalam bentuk mobilisasi ideologis dan fisik berkontribusi pada skala kekerasan yang tak terbayangkan.

Taktik dan Implementasi "Pagar Betis"

Untuk memahami mengapa "Pagar Betis" dianggap sebagai taktik yang brutal namun "efektif" dalam konteks tertentu, penting untuk mengurai cara kerjanya, tujuan yang ingin dicapai, serta sumber daya yang terlibat.

Definisi Operasional: Barisan Manusia sebagai Senjata

Secara operasional, "Pagar Betis" adalah taktik pengepungan dan penyisiran wilayah yang melibatkan pengerahan sejumlah besar warga sipil yang diorganisir dalam barisan rapat. Barisan ini dapat membentang puluhan kilometer, dengan setiap individu berdiri berdekatan satu sama lain, membentuk semacam "dinding hidup."

Modus Operandi: Mekanisme Mobilisasi dan Logistik

Implementasi "Pagar Betis" yang masif membutuhkan mekanisme mobilisasi yang terstruktur, meskipun seringkali dipaksakan, serta dukungan logistik yang rumit.

Keunggulan dan Kelemahan Taktik

Dari sudut pandang militer yang sempit, "Pagar Betis" memiliki beberapa "keunggulan" dalam kondisi tertentu, namun kelemahannya jauh lebih banyak, terutama dari perspektif kemanusiaan.

Dimensi Sosial dan Kemanusiaan: Sebuah Sisi Gelap

Di balik efektivitas militer "Pagar Betis", tersembunyi sebuah kisah pilu tentang penderitaan manusia, pelanggaran hak asasi, dan trauma kolektif yang mendalam. Aspek sosial dan kemanusiaan adalah jantung dari kritik terhadap taktik ini.

Partisipasi Paksa dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Elemen sentral dari "Pagar Betis" adalah paksaan. Warga sipil tidak memiliki pilihan untuk menolak. Penolakan seringkali berarti tuduhan sebagai simpatisan musuh, yang bisa berujung pada penangkapan, penyiksaan, atau bahkan eksekusi. Konteks ini menciptakan situasi di mana hak-hak dasar manusia diabaikan secara total:

Kesaksian dari para penyintas "Pagar Betis" kerap menceritakan tentang kondisi yang tidak manusiawi: makanan yang kurang, minimnya air minum, tidak adanya fasilitas sanitasi, penyakit yang mudah menular, dan kelelahan ekstrem. Banyak yang jatuh sakit atau meninggal dunia bukan karena tembakan musuh, melainkan karena kondisi yang brutal dan minimnya perawatan medis.

Dampak Psikologis dan Trauma

Dampak "Pagar Betis" tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga meninggalkan luka psikologis yang dalam, baik bagi mereka yang dipaksa berpartisipasi maupun bagi masyarakat yang ditargetkan.

Pemisahan Sosial dan Konflik Internal

Penggunaan "Pagar Betis" juga memiliki dampak merusak pada kohesi sosial dalam masyarakat lokal. Ini seringkali memecah belah komunitas, menciptakan garis batas antara "kita" dan "mereka", bahkan di antara tetangga dan keluarga.

Pagar Betis dalam Berbagai Bentuk dan Konteks Kontemporer

Meskipun operasi militer "Pagar Betis" dalam skala besar yang melibatkan ribuan warga sipil mungkin sudah jarang terjadi di Indonesia saat ini, konsepnya masih relevan dalam dua bentuk utama: sebagai taktik serupa dalam konflik yang lebih terlokalisasi, dan sebagai metafora dalam wacana publik.

Konflik di Aceh dan Papua: Penggunaan Serupa dalam Konflik Terisolasi

Pasca-penumpasan DI/TII, Indonesia masih menghadapi beberapa konflik bersenjata internal, seperti konflik di Aceh dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan di Papua dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Dalam beberapa operasi militer di wilayah ini, laporan tentang pengerahan warga sipil, meskipun mungkin tidak dalam skala "Pagar Betis" Jawa Barat, tetap muncul.

Perbedaan utama dalam konteks Aceh dan Papua dibandingkan dengan DI/TII adalah bahwa kesadaran akan hak asasi manusia dan pengawasan internasional semakin meningkat. Hal ini membuat praktik "Pagar Betis" skala besar menjadi jauh lebih sulit dilakukan tanpa menimbulkan kecaman luas.

Pagar Betis sebagai Metafora: Transformasi Makna

Menariknya, istilah "Pagar Betis" telah bermetamorfosis menjadi sebuah metafora dalam bahasa Indonesia kontemporer, seringkali digunakan dalam konteks non-militer.

Transformasi makna ini menunjukkan bagaimana sebuah istilah dengan konotasi historis yang kelam dapat diadopsi dan diadaptasi dalam wacana publik. Namun, penting untuk tidak melupakan akar-akar historisnya yang penuh penderitaan, terutama ketika menggunakan istilah ini secara metaforis. Kesadaran akan sejarah "Pagar Betis" dapat membantu kita memahami nuances dan implikasinya yang lebih dalam.

Kritik dan Perdebatan Seputar "Pagar Betis"

Sejak kemunculannya, terutama pasca-kemerdekaan, taktik "Pagar Betis" selalu menjadi subjek kritik dan perdebatan sengit, baik dari sudut pandang hak asasi manusia, etika, maupun sejarah.

Sudut Pandang Hak Asasi Manusia Internasional

Secara tegas, "Pagar Betis" melanggar beberapa prinsip dasar Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional (HHI) yang diakui secara universal:

Banyak organisasi HAM internasional telah mengutuk penggunaan taktik semacam ini. Laporan-laporan dari Amnesty International, Human Rights Watch, dan Komnas HAM Indonesia sendiri, seringkali mencatat kasus-kasus pelanggaran hak asasi dalam operasi militer di mana warga sipil dipaksa terlibat.

Sudut Pandang Sejarah dan Etika

Perdebatan etis dan historis mengenai "Pagar Betis" seringkali berkutat pada pertanyaan-pertanyaan sulit:

Upaya Rekonsiliasi dan Pengungkapan Kebenaran

Dalam beberapa tahun terakhir, telah ada upaya-upaya, meskipun seringkali terbatas, untuk melakukan rekonsiliasi dan pengungkapan kebenaran terkait peristiwa-peristiwa kekerasan masa lalu di Indonesia, termasuk yang terkait dengan "Pagar Betis."

Perdebatan ini tidak hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana Indonesia melihat dirinya di masa kini dan bagaimana ia ingin dikenang di masa depan. Pengakuan terhadap penderitaan yang disebabkan oleh "Pagar Betis" adalah langkah penting menuju penyembuhan dan pembangunan identitas nasional yang lebih kuat dan berlandaskan keadilan.

Refleksi dan Warisan "Pagar Betis" bagi Bangsa Indonesia

Setelah menelusuri perjalanan panjang dan kompleks "Pagar Betis", saatnya untuk merenungkan warisan yang ditinggalkan oleh taktik ini bagi bangsa Indonesia. "Pagar Betis" bukan hanya sebatas halaman hitam dalam buku sejarah, tetapi ia membentuk memori kolektif, memengaruhi pandangan masyarakat terhadap negara, militer, dan hak asasi manusia.

Bagaimana Pengalaman "Pagar Betis" Membentuk Memori Kolektif

Memori kolektif bangsa Indonesia terhadap "Pagar Betis" adalah jalinan rumit antara trauma, ketakutan, dan terkadang, pembenaran atas nama kedaulatan negara. Bagi sebagian besar generasi yang mengalami langsung, "Pagar Betis" adalah pengalaman yang mengerikan, meninggalkan bekas luka yang sulit terhapus. Cerita-cerita tentang kelaparan, ketakutan akan serangan, dan paksaan untuk meninggalkan keluarga, diwariskan secara lisan, membentuk kesadaran historis yang sarat emosi.

Bagi generasi selanjutnya, pemahaman tentang "Pagar Betis" mungkin lebih didasarkan pada narasi resmi atau cerita yang didengar, yang terkadang kurang lengkap atau disensor. Hal ini menciptakan celah dalam pemahaman sejarah dan potensi untuk mengulang kesalahan masa lalu. Pentingnya narasi yang jujur dan berimbang sangat krusial untuk mengisi celah ini dan memastikan bahwa pengalaman pahit tersebut tidak dilupakan, namun justru menjadi pelajaran berharga.

Fenomena ini juga menunjukkan bagaimana kekuatan negara dapat memobilisasi, atau lebih tepatnya memaksakan, partisipasi masyarakat dalam konflik internal. Hal ini turut membentuk persepsi masyarakat terhadap kekuasaan dan otoritas, di mana pengalaman masa lalu seringkali menciptakan ketidakpercayaan terhadap janji perlindungan dan jaminan hak asasi.

Pelajaran yang Dapat Dipetik tentang Penggunaan Kekuasaan dan Hak Asasi Manusia

Pengalaman "Pagar Betis" memberikan beberapa pelajaran penting bagi bangsa Indonesia:

  1. Kewajiban Negara untuk Melindungi Warga Sipil: Pelajaran paling fundamental adalah bahwa negara, dalam situasi apapun, memiliki kewajiban utama untuk melindungi warga sipilnya. Penggunaan taktik yang menempatkan warga sipil dalam bahaya langsung dan tanpa perlindungan adalah pelanggaran mendasar terhadap kewajiban ini. Integritas wilayah dan keamanan nasional tidak boleh dicapai dengan mengorbankan hak-hak dasar dan kemanusiaan warganya sendiri.
  2. Batas Penggunaan Kekuasaan: "Pagar Betis" adalah contoh ekstrem tentang bagaimana kekuasaan dapat digunakan secara melampaui batas, terutama dalam situasi darurat atau konflik. Hal ini mengingatkan kita akan pentingnya mekanisme kontrol, pengawasan, dan akuntabilitas atas penggunaan kekuatan oleh aparat negara. Tanpa batas dan akuntabilitas, potensi penyalahgunaan kekuasaan akan selalu ada.
  3. Dampak Jangka Panjang Trauma Konflik: Taktik ini menunjukkan bahwa konflik tidak hanya meninggalkan korban fisik, tetapi juga luka psikologis dan sosial yang mendalam. Mengatasi trauma ini memerlukan lebih dari sekadar mengakhiri konflik; dibutuhkan proses penyembuhan, pengakuan, dan keadilan.
  4. Pentingnya Supremasi Hukum dan Hak Asasi Manusia: Peristiwa "Pagar Betis" menegaskan kembali bahwa prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia harus dijunjung tinggi, bahkan—atau terutama—dalam kondisi yang paling sulit. Keadaan darurat tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Melihat ke Depan: Upaya Membangun Masyarakat yang Lebih Adil dan Damai

Warisan "Pagar Betis" mendorong kita untuk terus berupaya membangun masyarakat yang lebih adil, damai, dan menghormati hak asasi manusia. Ini bukan tugas yang mudah, tetapi esensial untuk masa depan bangsa.

Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, memiliki tanggung jawab moral untuk menunjukkan bahwa pembangunan dan keamanan dapat dicapai tanpa mengorbankan martabat dan hak-hak dasar warganya. Pengalaman "Pagar Betis" adalah pengingat yang kuat akan harga mahal dari melalaikan prinsip-prinsip ini.

Penutup: Menjaga Kemanusiaan di Tengah Tantangan

"Pagar Betis" adalah sebuah istilah yang lebih dari sekadar nama taktik militer; ia adalah cerminan dari kompleksitas sejarah, pilihan-pilihan sulit di tengah konflik, dan dampak abadi dari tindakan kekerasan terhadap kemanusiaan. Dari akar tradisionalnya, adaptasi kolonial, hingga puncaknya dalam operasi penumpasan pemberontakan pasca-kemerdekaan, "Pagar Betis" telah meninggalkan jejak luka yang mendalam dalam benak bangsa Indonesia.

Kita telah melihat bagaimana taktik ini, yang melibatkan mobilisasi paksa ribuan warga sipil sebagai "dinding hidup," berhasil secara militer namun dengan harga kemanusiaan yang sangat mahal. Penderitaan fisik, trauma psikologis, dan perpecahan sosial yang diakibatkannya masih terasa hingga kini. Dari sudut pandang hak asasi manusia dan etika, "Pagar Betis" adalah sebuah pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip universal tentang perlindungan warga sipil dalam konflik.

Meskipun istilah ini kini sering digunakan secara metaforis dalam konteks non-militer, penting bagi kita untuk selalu mengingat akar historisnya yang kelam. Mengkaji "Pagar Betis" adalah upaya untuk memahami masa lalu, mengenali kesalahan, dan belajar dari sejarah. Ini adalah sebuah pengingat bahwa keamanan nasional tidak boleh mengorbankan kemanusiaan, dan bahwa setiap individu memiliki hak fundamental yang tidak boleh dilanggar, bahkan dalam situasi paling darurat sekalipun.

Dengan mengakui, memahami, dan merefleksikan pengalaman "Pagar Betis", bangsa Indonesia dapat bergerak maju dengan lebih bijaksana, membangun fondasi yang lebih kuat untuk perdamaian, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Mari kita pastikan bahwa pelajaran dari masa lalu tidak pernah dilupakan, agar praktik-praktik yang merendahkan martabat manusia tidak akan pernah terulang lagi di bumi pertiwi ini.

🏠 Kembali ke Homepage