Mengenal Pagar Betis: Sejarah, Makna, dan Relevansinya Kini
Dalam narasi sejarah dan sosial Indonesia, frasa "Pagar Betis" menempati posisi yang unik sekaligus penuh kontroversi. Lebih dari sekadar susunan kata, istilah ini merujuk pada sebuah taktik militer dan politik yang melibatkan mobilisasi massal warga sipil untuk tujuan-tujuan tertentu, terutama dalam konteks operasi keamanan. Meskipun seringkali diasosiasikan dengan periode kelam konflik bersenjata dan pelanggaran hak asasi manusia, pemahaman mendalam tentang "Pagar Betis" adalah kunci untuk mengurai kompleksitas sejarah bangsa, memahami dinamika kekuasaan, serta merenungkan implikasi etis dan kemanusiaan dari sebuah strategi yang mengerikan.
Artikel ini akan menelusuri sejarah "Pagar Betis" dari akar-akarnya yang mungkin telah ada sejak masa kerajaan, pengadaptasiannya di era kolonial, hingga puncaknya pada masa awal kemerdekaan dan penumpasan berbagai pemberontakan di Indonesia. Kita akan membahas bagaimana taktik ini diimplementasikan, tujuan yang ingin dicapai, serta dampaknya yang mendalam—baik secara militer, sosial, maupun psikologis—terutama bagi mereka yang terlibat secara paksa. Lebih lanjut, kita juga akan melihat bagaimana istilah ini bermetamorfosis menjadi metafora dalam konteks non-militer kontemporer, serta mengapa penting bagi kita untuk terus mengkaji dan belajar dari fenomena "Pagar Betis" demi mencegah terulangnya tragedi di masa depan.
Sejarah Pagar Betis: Jejak Langkah dari Masa ke Masa
"Pagar Betis" bukanlah sebuah inovasi taktik yang muncul tiba-tiba. Konsep mobilisasi massa untuk kepentingan pertahanan atau penyerangan telah lama dikenal dalam peradaban manusia. Di Nusantara, akar-akar praktik serupa dapat ditemukan jauh sebelum istilah modern ini dikenal.
Akar Tradisional Nusantara: Mobilisasi Massa dalam Kerajaan Kuno
Sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa, Sumatera, atau wilayah lain di Indonesia, kerap mencatat pengerahan rakyat dalam jumlah besar untuk tujuan militer. Baik untuk membangun benteng, mengangkut logistik, atau bahkan sebagai bagian dari pasukan infanteri yang berjumlah besar. Dalam konteks ini, partisipasi masyarakat seringkali didasari oleh sistem feodal, kesetiaan kepada raja atau pemimpin lokal, dan terkadang juga ancaman. Namun, mobilisasi ini umumnya masih berada dalam kerangka partisipasi yang relatif terstruktur, meskipun sifatnya wajib.
Penduduk desa secara tradisional memiliki peran penting dalam pertahanan wilayah mereka sendiri. Mereka membentuk semacam "kekuatan rakyat" yang dapat dimobilisasi dengan cepat untuk menghadapi ancaman lokal, seperti serangan dari kelompok lain atau hewan buas. Meskipun belum berbentuk "pagar betis" seperti yang kita kenal kemudian, konsep pengerahan massal dan penggunaan tubuh manusia sebagai "perisai" atau "penghalang" sudah menjadi bagian dari pemikiran strategis tradisional.
Dalam konteks perang konvensional masa itu, masyarakat sipil, terutama laki-laki dewasa, seringkali direkrut menjadi prajurit cadangan atau pasukan pembantu. Mereka bisa saja digunakan untuk menutupi rute pelarian musuh, mengamankan daerah yang baru direbut, atau bahkan hanya sebagai unjuk kekuatan angka. Namun, yang membedakan dengan "Pagar Betis" modern adalah intensitas paksaan, skala, dan posisi mereka yang seringkali ditempatkan langsung di garis depan sebagai "tameng hidup" tanpa perlengkapan memadai.
Era Kolonial Belanda: Adaptasi Taktik oleh Kekuatan Asing
Ketika kekuatan kolonial Belanda mulai menancapkan pengaruhnya di Nusantara, mereka menghadapi perlawanan sporadis namun gigih dari berbagai kelompok pribumi. Dalam upaya menumpas pemberontakan, VOC dan kemudian pemerintah kolonial Hindia Belanda, mengadaptasi dan memodifikasi berbagai taktik, termasuk mobilisasi lokal. Mereka seringkali memanfaatkan struktur hierarki lokal yang sudah ada—seperti raja, bupati, atau kepala desa—untuk mengerahkan tenaga rakyat.
Mobilisasi ini seringkali digunakan untuk membangun infrastruktur (jalan, jembatan, perkebunan) melalui sistem kerja paksa (heerendiensten atau rodi), namun juga diterapkan dalam operasi militer. Penduduk setempat dipaksa untuk menjadi penunjuk jalan, pengangkut perbekalan, atau bahkan menjadi bagian dari "barisan manusia" untuk mengejar atau mengepung pejuang pribumi. Contohnya adalah dalam Perang Diponegoro atau penumpasan Aceh, di mana pasukan kolonial seringkali melibatkan penduduk lokal yang mereka kuasai untuk membantu operasi militer mereka, terkadang dengan iming-iming, namun lebih sering dengan paksaan dan ancaman.
Perubahan signifikan terjadi pada masa ini: partisipasi yang tadinya mungkin didasari kesetiaan tradisional, kini bergeser menjadi paksaan murni di bawah ancaman sanksi kolonial. Warga sipil ditempatkan dalam posisi yang sangat rentan, terjepit di antara dua kekuatan yang bertikai, dan seringkali menjadi korban pertama.
Masa Revolusi Kemerdekaan dan Awal Kemerdekaan: Dilema Bangsa yang Baru
Periode Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945-1949) menjadi saksi penggunaan "Pagar Betis" oleh kedua belah pihak: baik oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan laskar-laskar pejuang untuk mempertahankan wilayah dari agresi Belanda, maupun oleh Belanda dalam upaya merebut kembali kendali. Di sinilah istilah "Pagar Betis" mulai menemukan bentuk dan konotasi modernnya yang mengerikan.
Pasca-kemerdekaan, ketika Indonesia dihadapkan pada serangkaian pemberontakan internal yang mengancam keutuhan bangsa, "Pagar Betis" menjadi taktik yang semakin sering digunakan oleh pemerintah Republik Indonesia, khususnya TNI. Salah satu contoh paling ikonik dan sering disebut adalah dalam kampanye penumpasan pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di Jawa Barat.
Kampanye Penumpasan DI/TII di Jawa Barat
Pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Kartosuwiryo berlangsung selama lebih dari satu dekade (1949-1962) dan merupakan ancaman serius bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah Jawa Barat, yang bergunung-gunung dan berhutan lebat, menjadi basis utama pergerakan DI/TII. Medannya yang sulit sangat menguntungkan gerilyawan, membuat operasi militer konvensional menjadi tidak efektif. Para pemberontak seringkali bersembunyi di hutan dan pegunungan, hidup berdampingan, atau bahkan mendapatkan dukungan dari sebagian kecil masyarakat pedesaan.
Untuk mengatasi masalah ini, TNI meluncurkan Operasi Bharatayudha pada tahun 1960. Dalam operasi inilah taktik "Pagar Betis" diterapkan secara besar-besaran dan sistematis. Ribuan, bahkan puluhan ribu, warga sipil dari desa-desa sekitar, sebagian besar laki-laki dewasa, dipaksa untuk membentuk barisan panjang, berjejer rapat, dan bergerak maju menyisir hutan serta pegunungan. Mereka bertindak sebagai "dinding hidup" untuk mendorong, mengepung, dan memojokkan pasukan DI/TII. Tujuan utamanya adalah mempersempit ruang gerak pemberontak, memutus jalur logistik mereka, dan memaksa mereka keluar dari persembunyian.
Keterlibatan warga sipil ini seringkali di bawah ancaman. Mereka dipaksa untuk meninggalkan ladang dan keluarga mereka, kadang hanya berbekal seadanya. Kondisi mereka sangat memprihatinkan: kelaparan, kelelahan, dan ketakutan menjadi teman sehari-hari. Mereka juga rentan terhadap serangan balasan dari DI/TII, yang tentu saja tidak akan segan-segan menembak barisan "Pagar Betis" yang bergerak maju. Banyak laporan dan kesaksian mengindikasikan bahwa taktik ini menimbulkan banyak korban di kalangan sipil, baik karena tembakan, penyakit, kelaparan, maupun kelelahan ekstrem.
Operasi "Pagar Betis" memang berhasil dalam menekan ruang gerak DI/TII, puncaknya dengan tertangkapnya Kartosuwiryo pada tahun 1962. Namun, keberhasilan militer ini harus dibayar mahal dengan penderitaan dan trauma yang mendalam bagi ribuan warga sipil yang dipaksa terlibat. Taktik ini menyoroti dilema moral dan etika yang dihadapi sebuah negara yang baru merdeka dalam menjaga keutuhan wilayahnya, namun dengan konsekuensi kemanusiaan yang sangat berat.
Tragedi 1965 dan Dampaknya
Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965 diikuti oleh gelombang kekerasan anti-komunis yang masif di seluruh Indonesia. Dalam konteks penumpasan anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), konsep "Pagar Betis" juga muncul dalam bentuk yang berbeda, namun dengan esensi mobilisasi massa untuk tujuan keamanan. Meskipun tidak selalu berupa barisan manusia yang bergerak secara militeristik, mobilisasi massa anti-PKI—baik oleh militer, kelompok agama, maupun organisasi masyarakat—juga dapat dianggap sebagai "pagar betis" dalam pengertian yang lebih luas.
Masyarakat desa, terutama di daerah-daerah yang dianggap kuat pengaruh PKI, dipaksa untuk menunjukkan loyalitas kepada rezim baru. Mereka didorong untuk ikut serta dalam penangkapan, pengamanan, atau bahkan penghukuman terhadap orang-orang yang dituduh komunis. Mekanisme paksaan ini tidak selalu bersifat militer langsung, melainkan seringkali melalui tekanan sosial, ancaman keamanan, atau propaganda intensif. Mereka yang menolak dianggap sebagai simpatisan PKI dan terancam nasib serupa.
Dalam beberapa kasus, memang terjadi pengerahan massa secara fisik untuk "membersihkan" suatu wilayah dari pengaruh komunis, atau untuk mengawasi dan mengisolasi desa-desa yang dicurigai. Ini menciptakan iklim teror dan ketakutan yang membuat partisipasi masyarakat menjadi pilihan yang "terpaksa" demi keselamatan diri dan keluarga mereka. Pengalaman 1965 meninggalkan luka mendalam dalam memori kolektif bangsa, di mana "pagar betis" dalam bentuk mobilisasi ideologis dan fisik berkontribusi pada skala kekerasan yang tak terbayangkan.
Taktik dan Implementasi "Pagar Betis"
Untuk memahami mengapa "Pagar Betis" dianggap sebagai taktik yang brutal namun "efektif" dalam konteks tertentu, penting untuk mengurai cara kerjanya, tujuan yang ingin dicapai, serta sumber daya yang terlibat.
Definisi Operasional: Barisan Manusia sebagai Senjata
Secara operasional, "Pagar Betis" adalah taktik pengepungan dan penyisiran wilayah yang melibatkan pengerahan sejumlah besar warga sipil yang diorganisir dalam barisan rapat. Barisan ini dapat membentang puluhan kilometer, dengan setiap individu berdiri berdekatan satu sama lain, membentuk semacam "dinding hidup."
- Pembentukan Rantai Manusia: Warga sipil (laki-laki dewasa, kadang juga remaja) diinstruksikan untuk berbaris secara berurutan, seringkali berpegangan tangan atau bahu-membahu, untuk memastikan tidak ada celah.
- Pengepungan dan Penyisiran: Barisan ini kemudian bergerak maju secara serentak, menyisir area tertentu (misalnya hutan, perkebunan, atau pegunungan). Tujuannya adalah untuk "menjaring" atau "mendorong" musuh keluar dari persembunyian mereka ke arah pasukan militer yang sudah siaga.
- Fungsi Intelijen dan Pengawasan: Selain sebagai penghalang fisik, barisan ini juga berfungsi sebagai mata dan telinga. Setiap pergerakan mencurigakan atau penemuan jejak musuh akan dilaporkan. Tekanan psikologis yang ditimbulkan oleh ribuan orang yang bergerak maju juga dapat memaksa musuh untuk membuat kesalahan atau menyerah.
Modus Operandi: Mekanisme Mobilisasi dan Logistik
Implementasi "Pagar Betis" yang masif membutuhkan mekanisme mobilisasi yang terstruktur, meskipun seringkali dipaksakan, serta dukungan logistik yang rumit.
- Mekanisme Mobilisasi:
- Perintah Militer: Keputusan untuk menggunakan "Pagar Betis" biasanya datang dari komando militer tertinggi di wilayah operasi.
- Instruksi Pemerintah Daerah: Pemerintah daerah (gubernur, bupati, camat, kepala desa) kemudian diperintahkan untuk mengerahkan warga di wilayah yurisdiksi mereka.
- Peran Pemimpin Lokal: Kepala desa atau tokoh masyarakat memainkan peran kunci dalam mengidentifikasi, mengumpulkan, dan mengorganisir warga. Mereka seringkali berada di bawah tekanan besar dari militer untuk memenuhi kuota yang ditetapkan. Penolakan dari pemimpin lokal dapat berakibat fatal bagi mereka dan komunitasnya.
- Ancaman dan Propaganda: Warga diancam dengan hukuman (penjara, siksaan, bahkan kematian) jika menolak berpartisipasi. Propaganda tentang bahaya musuh (misalnya, DI/TII sebagai "pengacau keamanan" atau PKI sebagai "penghianat bangsa") juga digunakan untuk menciptakan justifikasi partisipasi.
- Logistik:
- Pengaturan Massa: Ribuan orang harus diatur dan diarahkan. Ini seringkali dilakukan oleh personel militer atau paramiliter yang mengawasi barisan.
- Perbekalan: Kebutuhan dasar seperti makanan, air, dan obat-obatan seringkali sangat minim. Warga seringkali harus membawa bekal sendiri atau mengandalkan bantuan seadanya dari pihak militer atau komunitas yang dilalui. Kondisi ini seringkali menyebabkan kelaparan, dehidrasi, dan penyakit.
- Perlindungan dan Keamanan: Warga sipil dalam "Pagar Betis" tidak dilengkapi dengan senjata atau perlindungan. Mereka sepenuhnya terekspos terhadap risiko serangan dari musuh. Militer biasanya beroperasi di belakang atau di sisi barisan "Pagar Betis" untuk memberikan perlindungan, namun efektivitasnya sering diragukan, terutama di medan yang sulit.
- Peran Militer vs. Peran Sipil: Militer berfungsi sebagai otak operasi dan kekuatan penyerang/penangkap utama, sementara warga sipil adalah "alat" atau "perisai" yang mendorong musuh ke dalam perangkap militer.
Keunggulan dan Kelemahan Taktik
Dari sudut pandang militer yang sempit, "Pagar Betis" memiliki beberapa "keunggulan" dalam kondisi tertentu, namun kelemahannya jauh lebih banyak, terutama dari perspektif kemanusiaan.
- Keunggulan (bagi Militer):
- Kekuatan Massa: Jumlah yang sangat besar dapat menutupi area yang luas, sehingga sulit bagi musuh untuk menembus atau menyelinap.
- Mengurangi Ruang Gerak Musuh: Efektif untuk mengisolasi dan mempersempit wilayah persembunyian gerilyawan di medan yang sulit dipantau.
- Efek Psikologis: Kehadiran ribuan orang yang bergerak maju dapat menimbulkan tekanan mental pada musuh, mendorong mereka untuk menyerah atau melarikan diri ke area yang sudah dikendalikan militer.
- "Perisai Hidup": Tanpa disadari atau tidak, warga sipil ini berfungsi sebagai tameng yang menghalangi musuh menyerang langsung pasukan militer di belakang mereka.
- Kelemahan (terutama dari sudut pandang Kemanusiaan dan Etika):
- Pelanggaran HAM Berat: Ini adalah penggunaan warga sipil sebagai alat perang, melanggar prinsip-prinsip hukum humaniter internasional dan hak asasi manusia.
- Efisiensi Rendah: Warga sipil tidak terlatih secara militer, tidak disiplin seperti tentara, dan tidak memiliki motivasi tempur. Ini membuat operasi berjalan lambat, tidak efisien, dan rentan terhadap kepanikan.
- Risiko Korban Sipil: Warga sipil sangat rentan terhadap serangan balik musuh, kecelakaan di medan yang sulit, kelaparan, dan penyakit. Jumlah korban sipil seringkali sangat tinggi.
- Trauma Sosial: Menciptakan trauma mendalam bagi individu dan komunitas yang dipaksa terlibat. Memecah belah masyarakat karena ada yang pro dan kontra terhadap taktik ini, atau bahkan saling mencurigai.
- Citra Buruk: Meskipun mungkin efektif dalam jangka pendek, taktik ini meninggalkan noda hitam pada citra militer dan pemerintah di mata masyarakat lokal dan internasional.
Dimensi Sosial dan Kemanusiaan: Sebuah Sisi Gelap
Di balik efektivitas militer "Pagar Betis", tersembunyi sebuah kisah pilu tentang penderitaan manusia, pelanggaran hak asasi, dan trauma kolektif yang mendalam. Aspek sosial dan kemanusiaan adalah jantung dari kritik terhadap taktik ini.
Partisipasi Paksa dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Elemen sentral dari "Pagar Betis" adalah paksaan. Warga sipil tidak memiliki pilihan untuk menolak. Penolakan seringkali berarti tuduhan sebagai simpatisan musuh, yang bisa berujung pada penangkapan, penyiksaan, atau bahkan eksekusi. Konteks ini menciptakan situasi di mana hak-hak dasar manusia diabaikan secara total:
- Kebebasan Bergerak dan Kehidupan Pribadi: Warga dipaksa meninggalkan rumah, keluarga, dan pekerjaan mereka, kadang selama berminggu-minggu, mengganggu mata pencarian dan kehidupan sosial mereka.
- Hak atas Keamanan dan Hidup: Mereka ditempatkan dalam situasi yang sangat berbahaya, menjadi target potensial bagi kedua belah pihak yang bertikai.
- Larangan Kerja Paksa: Mobilisasi ini jelas merupakan bentuk kerja paksa yang melanggar konvensi-konvensi internasional.
- Status dalam Hukum Internasional: Warga sipil secara tegas dilindungi oleh Hukum Humaniter Internasional (HHI), termasuk Konvensi Jenewa, yang melarang penggunaan warga sipil sebagai tameng atau dalam operasi militer. "Pagar Betis" secara langsung melanggar prinsip-prinsip ini, menempatkan non-kombatan dalam peran kombatan secara paksa.
Kesaksian dari para penyintas "Pagar Betis" kerap menceritakan tentang kondisi yang tidak manusiawi: makanan yang kurang, minimnya air minum, tidak adanya fasilitas sanitasi, penyakit yang mudah menular, dan kelelahan ekstrem. Banyak yang jatuh sakit atau meninggal dunia bukan karena tembakan musuh, melainkan karena kondisi yang brutal dan minimnya perawatan medis.
Dampak Psikologis dan Trauma
Dampak "Pagar Betis" tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga meninggalkan luka psikologis yang dalam, baik bagi mereka yang dipaksa berpartisipasi maupun bagi masyarakat yang ditargetkan.
- Pada Peserta:
- Ketakutan dan Kecemasan: Pengalaman berada di garis depan perang tanpa senjata dan perlindungan menciptakan ketakutan yang mendalam.
- Rasa Bersalah dan Dilema Moral: Beberapa mungkin merasa bersalah karena telah membantu pihak militer, atau karena melihat penderitaan sesama warga sipil. Dilema moral muncul ketika mereka dipaksa melawan sesama bangsa, bahkan tetangga mereka sendiri yang dituduh pemberontak.
- Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD): Pengalaman traumatis ini dapat menyebabkan PTSD, mimpi buruk, kilas balik, dan kesulitan beradaptasi kembali dengan kehidupan normal.
- Pada Masyarakat yang Ditargetkan:
- Teror dan Kehancuran Sosial: Operasi "Pagar Betis" menciptakan iklim teror, memecah belah komunitas, dan merusak kepercayaan sosial.
- Stigmatisasi: Keluarga yang anggota keluarganya ditangkap atau dibunuh dalam operasi ini seringkali mengalami stigmatisasi.
- Warisan Trauma Lintas Generasi: Cerita dan pengalaman "Pagar Betis" diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, membentuk memori kolektif yang pahit dan seringkali belum terselesaikan. Ketakutan terhadap otoritas militer dan pemerintah bisa bertahan lama.
Pemisahan Sosial dan Konflik Internal
Penggunaan "Pagar Betis" juga memiliki dampak merusak pada kohesi sosial dalam masyarakat lokal. Ini seringkali memecah belah komunitas, menciptakan garis batas antara "kita" dan "mereka", bahkan di antara tetangga dan keluarga.
- Tuduhan Pengkhianatan dan Kolaborasi: Warga sipil yang dipaksa ikut "Pagar Betis" terkadang dituduh oleh pemberontak atau simpatisan mereka sebagai kolaborator militer. Sebaliknya, mereka yang menolak atau dicurigai enggan sering dicap sebagai simpatisan musuh oleh militer atau pemerintah.
- Perpecahan Komunitas: Ketidakpercayaan dan kecurigaan menyebar. Desa-desa bisa terpecah berdasarkan siapa yang berpartisipasi dan siapa yang tidak, atau siapa yang memiliki hubungan dengan salah satu pihak yang bertikai.
- Dampak Jangka Panjang pada Kohesi Sosial: Luka-luka ini membutuhkan waktu sangat lama untuk pulih, dan bahkan mungkin tidak pernah sepenuhnya sembuh, terutama jika tidak ada proses rekonsiliasi dan pengungkapan kebenaran yang memadai.
Pagar Betis dalam Berbagai Bentuk dan Konteks Kontemporer
Meskipun operasi militer "Pagar Betis" dalam skala besar yang melibatkan ribuan warga sipil mungkin sudah jarang terjadi di Indonesia saat ini, konsepnya masih relevan dalam dua bentuk utama: sebagai taktik serupa dalam konflik yang lebih terlokalisasi, dan sebagai metafora dalam wacana publik.
Konflik di Aceh dan Papua: Penggunaan Serupa dalam Konflik Terisolasi
Pasca-penumpasan DI/TII, Indonesia masih menghadapi beberapa konflik bersenjata internal, seperti konflik di Aceh dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan di Papua dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Dalam beberapa operasi militer di wilayah ini, laporan tentang pengerahan warga sipil, meskipun mungkin tidak dalam skala "Pagar Betis" Jawa Barat, tetap muncul.
- Aceh (Konflik GAM): Selama masa Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh (1989-1998) dan operasi-operasi keamanan pasca-DOM, ada laporan-laporan tentang mobilisasi penduduk desa untuk membantu militer dalam mencari dan mengepung anggota GAM. Warga sipil dipaksa untuk ikut dalam operasi penyisiran hutan, menunjukkan jalan, atau membantu logistik. Seperti kasus DI/TII, ini juga menimbulkan korban sipil dan trauma. Bedanya, di Aceh, skala mobilisasi mungkin lebih terlokalisasi dan terpecah belah, tidak se-masif dan se-terstruktur seperti di Jawa Barat.
- Papua (Konflik OPM): Hingga saat ini, konflik antara pasukan keamanan Indonesia dan OPM di Papua terus berlangsung. Meskipun terminologi "Pagar Betis" jarang digunakan secara eksplisit, konsep mobilisasi warga sipil untuk membantu aparat keamanan kadang terjadi. Hal ini bisa dalam bentuk pengerahan warga untuk menjaga pos keamanan, melaporkan aktivitas OPM, atau membantu dalam operasi pencarian. Lagi-lagi, ini menempatkan warga sipil dalam posisi yang sangat rentan, terjepit di tengah konflik yang berkepanjangan.
Perbedaan utama dalam konteks Aceh dan Papua dibandingkan dengan DI/TII adalah bahwa kesadaran akan hak asasi manusia dan pengawasan internasional semakin meningkat. Hal ini membuat praktik "Pagar Betis" skala besar menjadi jauh lebih sulit dilakukan tanpa menimbulkan kecaman luas.
Pagar Betis sebagai Metafora: Transformasi Makna
Menariknya, istilah "Pagar Betis" telah bermetamorfosis menjadi sebuah metafora dalam bahasa Indonesia kontemporer, seringkali digunakan dalam konteks non-militer.
- Dalam Konteks Pengamanan VVIP: Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan barisan petugas keamanan (polisi, TNI, atau Paspampres) yang berjejer rapat untuk melindungi pejabat tinggi atau tamu negara dari kerumunan. Dalam konteks ini, maknanya bergeser dari paksaan menjadi "perlindungan" atau "penjagaan ketat."
- Dalam Olahraga: Di dunia sepak bola, istilah "pagar betis" digunakan untuk menggambarkan barisan pemain yang berdiri di depan gawang untuk menghalau tendangan bebas lawan. Ini adalah penggunaan yang paling populer dan tidak bermuatan negatif.
- Dalam Konteks Dukungan Politik atau Sosial: Kadang-kadang, istilah ini juga digunakan secara kiasan untuk menggambarkan dukungan massa yang kuat terhadap suatu kebijakan, figur politik, atau gerakan sosial, seolah-olah massa tersebut "membentengi" atau "melindungi" tujuan tersebut. Contoh: "Rakyat membentuk pagar betis mendukung program pemerintah."
- Perbandingan dengan Mobilisasi Massa Lain: Penting untuk membedakan "Pagar Betis" yang asli (paksaan militer) dengan bentuk mobilisasi massa lainnya.
- Wajib Militer (Konkripsi): Meskipun melibatkan pengerahan warga, wajib militer memiliki dasar hukum yang jelas, pelatihan militer, dan status sebagai kombatan. Ini sangat berbeda dengan "Pagar Betis" yang melibatkan sipil tanpa pelatihan dan perlindungan.
- Demonstrasi Massal: Demonstrasi adalah ekspresi kebebasan berpendapat dan partisipasi sukarela, meskipun kadang diwarnai tekanan atau mobilisasi terorganisir, namun jarang melibatkan paksaan fisik di garis depan konflik bersenjata.
Transformasi makna ini menunjukkan bagaimana sebuah istilah dengan konotasi historis yang kelam dapat diadopsi dan diadaptasi dalam wacana publik. Namun, penting untuk tidak melupakan akar-akar historisnya yang penuh penderitaan, terutama ketika menggunakan istilah ini secara metaforis. Kesadaran akan sejarah "Pagar Betis" dapat membantu kita memahami nuances dan implikasinya yang lebih dalam.
Kritik dan Perdebatan Seputar "Pagar Betis"
Sejak kemunculannya, terutama pasca-kemerdekaan, taktik "Pagar Betis" selalu menjadi subjek kritik dan perdebatan sengit, baik dari sudut pandang hak asasi manusia, etika, maupun sejarah.
Sudut Pandang Hak Asasi Manusia Internasional
Secara tegas, "Pagar Betis" melanggar beberapa prinsip dasar Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional (HHI) yang diakui secara universal:
- Larangan Penggunaan Warga Sipil sebagai Tameng: Protokol Tambahan I dan II Konvensi Jenewa tahun 1949 secara eksplisit melarang penggunaan penduduk sipil atau individu sipil untuk melindungi poin, area, atau pasukan militer dari serangan. "Pagar Betis" secara langsung melakukan hal ini, menempatkan warga sipil di garis depan sebagai perisai hidup.
- Larangan Kerja Paksa: Warga sipil yang dipaksa berpartisipasi dalam "Pagar Betis" adalah korban kerja paksa, yang melanggar Konvensi ILO (Organisasi Buruh Internasional) tentang Kerja Paksa.
- Hak atas Hidup, Kebebasan, dan Keamanan Pribadi: Mengabaikan hak fundamental setiap individu untuk hidup, bebas dari penangkapan sewenang-wenang, dan memiliki keamanan pribadi.
- Tanggung Jawab Negara: Negara memiliki kewajiban untuk melindungi warga negaranya, bukan justru menempatkan mereka dalam bahaya. Penggunaan "Pagar Betis" merupakan kegagalan negara dalam memenuhi tanggung jawab ini.
Banyak organisasi HAM internasional telah mengutuk penggunaan taktik semacam ini. Laporan-laporan dari Amnesty International, Human Rights Watch, dan Komnas HAM Indonesia sendiri, seringkali mencatat kasus-kasus pelanggaran hak asasi dalam operasi militer di mana warga sipil dipaksa terlibat.
Sudut Pandang Sejarah dan Etika
Perdebatan etis dan historis mengenai "Pagar Betis" seringkali berkutat pada pertanyaan-pertanyaan sulit:
- Justifikasi dalam Keadaan Darurat: Beberapa pihak, terutama dari kalangan militer atau pemerintah masa lalu, mungkin berargumen bahwa "Pagar Betis" adalah taktik yang diperlukan dalam situasi darurat negara yang mengancam keutuhan bangsa. Mereka mungkin mengklaim bahwa tujuan akhir (penumpasan pemberontakan) menghalalkan cara. Namun, pandangan ini secara luas ditolak oleh prinsip-prinsip etika perang modern yang menekankan jus in bello (keadilan dalam perang), yang salah satunya adalah prinsip pembedaan antara kombatan dan non-kombatan.
- Pengorbanan Rakyat: Mengapa rakyat sipil yang tidak terlibat dalam konflik harus menanggung beban terberat dari perang? Ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang moralitas pengorbanan rakyat demi kepentingan negara, terutama ketika pengorbanan itu dipaksakan.
- Perlunya Rekonsiliasi dan Pengakuan Sejarah: Bagi banyak pihak, penting untuk mengakui bahwa "Pagar Betis" adalah bagian dari sejarah kelam yang harus diakui, diungkapkan kebenarannya, dan menjadi pelajaran. Tanpa pengakuan ini, luka dan trauma kolektif sulit disembuhkan.
Upaya Rekonsiliasi dan Pengungkapan Kebenaran
Dalam beberapa tahun terakhir, telah ada upaya-upaya, meskipun seringkali terbatas, untuk melakukan rekonsiliasi dan pengungkapan kebenaran terkait peristiwa-peristiwa kekerasan masa lalu di Indonesia, termasuk yang terkait dengan "Pagar Betis."
- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM): Komnas HAM telah melakukan penyelidikan dan mengeluarkan laporan mengenai berbagai pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk yang terkait dengan operasi militer di Aceh dan Papua, di mana mobilisasi warga sipil turut disinggung.
- Organisasi Masyarakat Sipil dan Akademisi: Berbagai organisasi masyarakat sipil dan peneliti akademis terus mendokumentasikan kesaksian, melakukan penelitian, dan mengadvokasi pengungkapan kebenaran serta keadilan bagi korban.
- Pentingnya Edukasi Sejarah: Salah satu tujuan utama dari upaya ini adalah untuk memastikan bahwa generasi mendatang memahami sejarah kelam ini, agar tidak terulang kembali. Edukasi yang jujur dan komprehensif tentang peristiwa seperti "Pagar Betis" adalah fundamental untuk membangun masyarakat yang lebih menghargai hak asasi manusia dan perdamaian.
Perdebatan ini tidak hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana Indonesia melihat dirinya di masa kini dan bagaimana ia ingin dikenang di masa depan. Pengakuan terhadap penderitaan yang disebabkan oleh "Pagar Betis" adalah langkah penting menuju penyembuhan dan pembangunan identitas nasional yang lebih kuat dan berlandaskan keadilan.
Refleksi dan Warisan "Pagar Betis" bagi Bangsa Indonesia
Setelah menelusuri perjalanan panjang dan kompleks "Pagar Betis", saatnya untuk merenungkan warisan yang ditinggalkan oleh taktik ini bagi bangsa Indonesia. "Pagar Betis" bukan hanya sebatas halaman hitam dalam buku sejarah, tetapi ia membentuk memori kolektif, memengaruhi pandangan masyarakat terhadap negara, militer, dan hak asasi manusia.
Bagaimana Pengalaman "Pagar Betis" Membentuk Memori Kolektif
Memori kolektif bangsa Indonesia terhadap "Pagar Betis" adalah jalinan rumit antara trauma, ketakutan, dan terkadang, pembenaran atas nama kedaulatan negara. Bagi sebagian besar generasi yang mengalami langsung, "Pagar Betis" adalah pengalaman yang mengerikan, meninggalkan bekas luka yang sulit terhapus. Cerita-cerita tentang kelaparan, ketakutan akan serangan, dan paksaan untuk meninggalkan keluarga, diwariskan secara lisan, membentuk kesadaran historis yang sarat emosi.
Bagi generasi selanjutnya, pemahaman tentang "Pagar Betis" mungkin lebih didasarkan pada narasi resmi atau cerita yang didengar, yang terkadang kurang lengkap atau disensor. Hal ini menciptakan celah dalam pemahaman sejarah dan potensi untuk mengulang kesalahan masa lalu. Pentingnya narasi yang jujur dan berimbang sangat krusial untuk mengisi celah ini dan memastikan bahwa pengalaman pahit tersebut tidak dilupakan, namun justru menjadi pelajaran berharga.
Fenomena ini juga menunjukkan bagaimana kekuatan negara dapat memobilisasi, atau lebih tepatnya memaksakan, partisipasi masyarakat dalam konflik internal. Hal ini turut membentuk persepsi masyarakat terhadap kekuasaan dan otoritas, di mana pengalaman masa lalu seringkali menciptakan ketidakpercayaan terhadap janji perlindungan dan jaminan hak asasi.
Pelajaran yang Dapat Dipetik tentang Penggunaan Kekuasaan dan Hak Asasi Manusia
Pengalaman "Pagar Betis" memberikan beberapa pelajaran penting bagi bangsa Indonesia:
- Kewajiban Negara untuk Melindungi Warga Sipil: Pelajaran paling fundamental adalah bahwa negara, dalam situasi apapun, memiliki kewajiban utama untuk melindungi warga sipilnya. Penggunaan taktik yang menempatkan warga sipil dalam bahaya langsung dan tanpa perlindungan adalah pelanggaran mendasar terhadap kewajiban ini. Integritas wilayah dan keamanan nasional tidak boleh dicapai dengan mengorbankan hak-hak dasar dan kemanusiaan warganya sendiri.
- Batas Penggunaan Kekuasaan: "Pagar Betis" adalah contoh ekstrem tentang bagaimana kekuasaan dapat digunakan secara melampaui batas, terutama dalam situasi darurat atau konflik. Hal ini mengingatkan kita akan pentingnya mekanisme kontrol, pengawasan, dan akuntabilitas atas penggunaan kekuatan oleh aparat negara. Tanpa batas dan akuntabilitas, potensi penyalahgunaan kekuasaan akan selalu ada.
- Dampak Jangka Panjang Trauma Konflik: Taktik ini menunjukkan bahwa konflik tidak hanya meninggalkan korban fisik, tetapi juga luka psikologis dan sosial yang mendalam. Mengatasi trauma ini memerlukan lebih dari sekadar mengakhiri konflik; dibutuhkan proses penyembuhan, pengakuan, dan keadilan.
- Pentingnya Supremasi Hukum dan Hak Asasi Manusia: Peristiwa "Pagar Betis" menegaskan kembali bahwa prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia harus dijunjung tinggi, bahkan—atau terutama—dalam kondisi yang paling sulit. Keadaan darurat tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Melihat ke Depan: Upaya Membangun Masyarakat yang Lebih Adil dan Damai
Warisan "Pagar Betis" mendorong kita untuk terus berupaya membangun masyarakat yang lebih adil, damai, dan menghormati hak asasi manusia. Ini bukan tugas yang mudah, tetapi esensial untuk masa depan bangsa.
- Meningkatkan Kesadaran dan Pendidikan: Edukasi yang transparan tentang sejarah "Pagar Betis" dan dampaknya harus terus digalakkan. Ini termasuk dalam kurikulum pendidikan, diskusi publik, dan karya-karya seni. Dengan memahami masa lalu, kita dapat mencegah terulangnya praktik-praktik serupa.
- Penguatan Institusi Demokrasi dan Hukum: Institusi demokrasi yang kuat, termasuk sistem peradilan yang independen dan parlemen yang efektif, sangat penting untuk memastikan akuntabilitas negara dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
- Mendorong Rekonsiliasi: Bagi komunitas yang pernah mengalami langsung dampak "Pagar Betis", proses rekonsiliasi yang inklusif dan sensitif sangat dibutuhkan. Ini bisa berarti pengakuan resmi atas penderitaan, permintaan maaf, atau bahkan bentuk reparasi simbolis.
- Peran Generasi Muda: Generasi muda memiliki peran krusial dalam memahami dan memproses sejarah ini. Mereka adalah pembawa obor masa depan, yang harus memastikan bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan selalu menjadi landasan berbangsa dan bernegara. Dengan kritis mempelajari sejarah, mereka dapat menjadi penjaga yang efektif terhadap potensi tirani dan kekerasan.
Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, memiliki tanggung jawab moral untuk menunjukkan bahwa pembangunan dan keamanan dapat dicapai tanpa mengorbankan martabat dan hak-hak dasar warganya. Pengalaman "Pagar Betis" adalah pengingat yang kuat akan harga mahal dari melalaikan prinsip-prinsip ini.
Penutup: Menjaga Kemanusiaan di Tengah Tantangan
"Pagar Betis" adalah sebuah istilah yang lebih dari sekadar nama taktik militer; ia adalah cerminan dari kompleksitas sejarah, pilihan-pilihan sulit di tengah konflik, dan dampak abadi dari tindakan kekerasan terhadap kemanusiaan. Dari akar tradisionalnya, adaptasi kolonial, hingga puncaknya dalam operasi penumpasan pemberontakan pasca-kemerdekaan, "Pagar Betis" telah meninggalkan jejak luka yang mendalam dalam benak bangsa Indonesia.
Kita telah melihat bagaimana taktik ini, yang melibatkan mobilisasi paksa ribuan warga sipil sebagai "dinding hidup," berhasil secara militer namun dengan harga kemanusiaan yang sangat mahal. Penderitaan fisik, trauma psikologis, dan perpecahan sosial yang diakibatkannya masih terasa hingga kini. Dari sudut pandang hak asasi manusia dan etika, "Pagar Betis" adalah sebuah pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip universal tentang perlindungan warga sipil dalam konflik.
Meskipun istilah ini kini sering digunakan secara metaforis dalam konteks non-militer, penting bagi kita untuk selalu mengingat akar historisnya yang kelam. Mengkaji "Pagar Betis" adalah upaya untuk memahami masa lalu, mengenali kesalahan, dan belajar dari sejarah. Ini adalah sebuah pengingat bahwa keamanan nasional tidak boleh mengorbankan kemanusiaan, dan bahwa setiap individu memiliki hak fundamental yang tidak boleh dilanggar, bahkan dalam situasi paling darurat sekalipun.
Dengan mengakui, memahami, dan merefleksikan pengalaman "Pagar Betis", bangsa Indonesia dapat bergerak maju dengan lebih bijaksana, membangun fondasi yang lebih kuat untuk perdamaian, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Mari kita pastikan bahwa pelajaran dari masa lalu tidak pernah dilupakan, agar praktik-praktik yang merendahkan martabat manusia tidak akan pernah terulang lagi di bumi pertiwi ini.