Ilustrasi Kisah Nabi Yusuf Sebuah ilustrasi yang menggambarkan elemen-elemen dari mimpi Nabi Yusuf: sebelas bintang, matahari, dan bulan sabit. Surat Yusuf Ilustrasi Sebelas Bintang, Matahari, dan Bulan dari Kisah Nabi Yusuf

Surat Yusuf: Kisah Terbaik dalam Al-Qur'an

Surat Yusuf adalah surah ke-12 dalam Al-Qur'an yang terdiri dari 111 ayat. Surah ini diturunkan di Mekkah dan secara unik menceritakan satu kisah secara utuh dari awal hingga akhir, yaitu kisah Nabi Yusuf 'alaihissalam. Allah SWT menyebutnya sebagai "Ahsanul Qasas" atau kisah yang terbaik, karena sarat dengan pelajaran tentang kesabaran, keimanan, pengampunan, dan kebijaksanaan takdir ilahi.

Bacaan Lengkap Surat Yusuf (Arab, Latin, dan Terjemahan)

Berikut adalah bacaan lengkap Surat Yusuf beserta transliterasi latin, terjemahan dalam bahasa Indonesia, dan sedikit pembahasan untuk setiap bagiannya, agar kita dapat merenungi makna dan hikmah yang terkandung di dalamnya.

Bagian 1: Mimpi Nabi Yusuf dan Kedengkian Saudara-saudaranya (Ayat 1-20)

Kisah ini dimulai dengan sebuah mimpi agung yang dilihat oleh Yusuf kecil. Mimpi ini menjadi pemicu dari serangkaian peristiwa yang akan menguji keimanan dan kesabaran seluruh keluarganya. Kedengkian yang timbul di hati saudara-saudaranya membawa mereka pada sebuah rencana jahat, namun di balik itu semua, rencana Allah SWT yang maha indah sedang berjalan.

Ayat 1-3

الۤرٰ ۗ تِلْكَ اٰيٰتُ الْكِتٰبِ الْمُبِيْنِۗ ۝ اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ قُرْءٰنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ ۝ نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ اَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَآ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ هٰذَا الْقُرْاٰنَۙ وَاِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهٖ لَمِنَ الْغٰفِلِيْنَ ۝

Alif-Lām-Rā, tilka āyātul-kitābil-mubīn. Innā anzalnāhu qur'ānan ‘arabiyyal la‘allakum ta‘qilūn. Naḥnu naquṣṣu ‘alaika aḥsanal-qaṣaṣi bimā auḥainā ilaika hāżal-qur'ān, wa in kunta min qablihī laminal-gāfilīn. 1. Alif Lām Rā. Inilah ayat-ayat Kitab (Al-Qur’an) yang jelas. 2. Sesungguhnya Kami menurunkannya (Kitab itu) sebagai Al-Qur’an berbahasa Arab agar kamu mengerti. 3. Kami menceritakan kepadamu (Nabi Muhammad) kisah terbaik dengan mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu. Sesungguhnya engkau sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang tidak mengetahui.

Allah membuka surah ini dengan huruf-huruf muqatta'ah yang maknanya hanya diketahui oleh-Nya, menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah wahyu ilahi. Ayat-ayat ini menjadi pengantar bahwa sebuah kisah besar akan diceritakan, sebuah "kisah terbaik" (Ahsanul Qasas). Kisah ini diturunkan dalam bahasa Arab yang fasih agar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang mau menggunakan akalnya. Ini adalah penegasan bahwa Nabi Muhammad SAW sebelumnya tidak mengetahui detail kisah ini, membuktikan bahwa Al-Qur'an adalah murni wahyu dari Allah SWT.

Ayat 4

اِذْ قَالَ يُوْسُفُ لِاَبِيْهِ يٰٓاَبَتِ اِنِّيْ رَاَيْتُ اَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَّالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَاَيْتُهُمْ لِيْ سٰجِدِيْنَ ۝

Iż qāla yūsufu li'abīhi yā abati innī ra'aitu aḥada ‘asyara kaukabaw wasy-syamsa wal-qamara ra'aituhum lī sājidīn. 4. (Ingatlah) ketika Yusuf berkata kepada ayahnya (Ya‘qub), “Wahai ayahku, sesungguhnya aku telah (bermimpi) melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan. Kulihat semuanya sujud kepadaku.”

Inilah titik awal dari seluruh narasi. Mimpi Yusuf bukanlah mimpi biasa, melainkan sebuah wahyu dalam bentuk simbol. Sebelas bintang melambangkan saudara-saudaranya, matahari adalah ibunya, dan bulan adalah ayahnya, Nabi Ya'qub. Sujud di sini bukanlah sujud penyembahan, melainkan sujud penghormatan yang kelak akan terbukti di akhir kisah. Mimpi ini adalah pertanda kenabian dan kedudukan tinggi yang akan diraih Yusuf di masa depan.

Ayat 5-6

قَالَ يٰبُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُءْيَاكَ عَلٰٓى اِخْوَتِكَ فَيَكِيْدُوْا لَكَ كَيْدًا ۗاِنَّ الشَّيْطٰنَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ ۝ وَكَذٰلِكَ يَجْتَبِيْكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْوِيْلِ الْاَحَادِيْثِ وَيُتِمُّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكَ وَعَلٰٓى اٰلِ يَعْقُوْبَ كَمَآ اَتَمَّهَا عَلٰٓى اَبَوَيْكَ مِنْ قَبْلُ اِبْرٰهِيْمَ وَاِسْحٰقَۗ اِنَّ رَبَّكَ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ࣖ ۝

Qāla yā bunayya lā taqṣuṣ ru'yāka ‘alā ikhwatika fa yakīdū laka kaidā, innasy-syaiṭāna lil-insāni ‘aduwwum mubīn. Wa każālika yajtabīka rabbuka wa yu‘allimuka min ta'wīlil-aḥādīṡi wa yutimmu ni‘matahū ‘alaika wa ‘alā āli ya‘qūba kamā atammahā ‘alā abawaika min qablu ibrāhīma wa isḥāq, inna rabbaka ‘alīmun ḥakīm. 5. Dia (ayahnya) berkata, “Wahai anakku, janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, nanti mereka membuat tipu daya (untuk membinasakan)-mu. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang jelas bagi manusia.” 6. Demikianlah Tuhanmu memilihmu (untuk menjadi nabi), mengajarkan kepadamu sebagian dari takwil mimpi, dan menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya‘qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakannya kepada kedua kakekmu sebelumnya, (yaitu) Ibrahim dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Nabi Ya'qub, dengan kebijaksanaan seorang ayah dan seorang nabi, segera memahami makna mimpi tersebut. Beliau tahu bahwa mimpi itu akan memicu kedengkian di hati putra-putranya yang lain, yang sudah merasa iri pada Yusuf. Nasihatnya adalah bentuk perlindungan dan kasih sayang. Beliau juga memberikan kabar gembira bahwa Allah telah memilih Yusuf, akan memberinya ilmu menafsirkan mimpi (ta'wil al-ahadits), dan akan menyempurnakan nikmat kenabian kepadanya, melanjutkan garis keturunan para nabi besar: Ibrahim dan Ishaq.

Ayat 7-10

لَقَدْ كَانَ فِيْ يُوْسُفَ وَاِخْوَتِهٖٓ اٰيٰتٌ لِّلسَّاۤىِٕلِيْنَ ۝ اِذْ قَالُوْا لَيُوْسُفُ وَاَخُوْهُ اَحَبُّ اِلٰٓى اَبِيْنَا مِنَّا وَنَحْنُ عُصْبَةٌ ۗاِنَّ اَبَانَا لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍۙ ۝ اقْتُلُوْا يُوْسُفَ اَوِ اطْرَحُوْهُ اَرْضًا يَخْلُ لَكُمْ وَجْهُ اَبِيْكُمْ وَتَكُوْنُوْا مِنْۢ بَعْدِهٖ قَوْمًا صٰلِحِيْنَ ۝ قَالَ قَاۤىِٕلٌ مِّنْهُمْ لَا تَقْتُلُوْا يُوْسُفَ وَاَلْقُوْهُ فِيْ غَيٰبَتِ الْجُبِّ يَلْتَقِطْهُ بَعْضُ السَّيَّارَةِ اِنْ كُنْتُمْ فٰعِلِيْنَ ۝

Laqad kāna fī yūsufa wa ikhwatihī āyātul lis-sā'ilīn. Iż qālū layūsufu wa akhūhu aḥabbu ilā abīnā minnā wa naḥnu ‘uṣbah, inna abānā lafī ḍalālim mubīn. Iqtulū yūsufa awiṭraḥūhu arḍay yaklu lakum wajhu abīkum wa takūnū mim ba‘dihī qauman ṣāliḥīn. Qāla qā'ilum minhum lā taqtulū yūsufa wa alqūhu fī gayābatil-jubbi yaltaqiṭhu ba‘ḍus-sayyārati in kuntum fā‘ilīn. 7. Sungguh, dalam (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi para penanya. 8. Ketika mereka berkata, “Sungguh, Yusuf dan saudaranya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita daripada kita, padahal kita adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita benar-benar dalam kekeliruan yang nyata.” 9. “Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu tempat (yang jauh) agar perhatian ayahmu tercurah kepadamu, dan setelah itu kamu menjadi orang-orang yang saleh.” 10. Salah seorang di antara mereka berkata, “Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkan saja dia ke dasar sumur agar dia dipungut oleh sebagian musafir, jika kamu hendak berbuat.”

Ayat-ayat ini mengungkap akar masalah: kecemburuan dan perasaan tidak adil. Saudara-saudara Yusuf merasa ayah mereka lebih mencintai Yusuf dan Bunyamin. Perasaan ini, yang dibisiki oleh setan, membutakan hati mereka hingga mereka sampai pada pemikiran yang mengerikan: membunuh atau membuang adik mereka sendiri. Mereka bahkan menipu diri sendiri dengan berpikir bahwa setelah melakukan kejahatan ini, mereka bisa bertaubat dan menjadi "orang-orang saleh". Ini adalah contoh klasik dari rasionalisasi dosa. Namun, masih ada secercah nurani pada salah satu dari mereka yang mengusulkan untuk tidak membunuhnya, melainkan hanya membuangnya ke sumur. Ini adalah pilihan yang "lebih ringan", tetapi tetap merupakan sebuah kezaliman yang luar biasa.

Ayat 11-14

قَالُوْا يٰٓاَبَانَا مَا لَكَ لَا تَأْمَنَّا عَلٰى يُوْسُفَ وَاِنَّا لَهٗ لَنٰصِحُوْنَ ۝ اَرْسِلْهُ مَعَنَا غَدًا يَّرْتَعْ وَيَلْعَبْ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ ۝ قَالَ اِنِّيْ لَيَحْزُنُنِيْٓ اَنْ تَذْهَبُوْا بِهٖ وَاَخَافُ اَنْ يَّأْكُلَهُ الذِّئْبُ وَاَنْتُمْ عَنْهُ غٰفِلُوْنَ ۝ قَالُوْا لَىِٕنْ اَكَلَهُ الذِّئْبُ وَنَحْنُ عُصْبَةٌ اِنَّآ اِذًا لَّخٰسِرُوْنَ ۝

Qālū yā abānā mā laka lā ta'mannā ‘alā yūsufa wa innā lahū lanāṣiḥūn. Arsilhu ma‘anā gaday yarta‘ wa yal‘ab wa innā lahū laḥāfiẓūn. Qāla innī layaḥzununī an tażhabū bihī wa akhāfu ay ya'kulahuż-żi'bu wa antum ‘anhu gāfilūn. Qālū la'in akalahuż-żi'bu wa naḥnu ‘uṣbatun innā iżal lakhāsirūn. 11. Mereka berkata, “Wahai ayah kami, mengapa engkau tidak memercayai kami terhadap Yusuf, padahal sesungguhnya kami benar-benar menginginkan kebaikan baginya? 12. Biarkanlah dia pergi bersama kami besok pagi agar dia bersenang-senang dan bermain, dan sesungguhnya kami benar-benar akan menjaganya.” 13. Dia (Ya‘qub) berkata, “Sesungguhnya kepergianmu bersamanya sangat menyedihkanku dan aku khawatir serigala akan memakannya, sedangkan kamu lengah darinya.” 14. Mereka berkata, “Demi Allah, jika serigala benar-benar memakannya, padahal kami adalah satu golongan (yang kuat), sungguh, kami kalau begitu adalah orang-orang yang rugi.”

Di sinilah tipu daya mereka dimulai. Mereka mendekati ayah mereka dengan kata-kata manis dan penuh kepura-puraan, mempertanyakan mengapa sang ayah tidak mempercayai mereka. Nabi Ya'qub, dengan firasatnya yang tajam, mengungkapkan kekhawatirannya. Beliau tidak menuduh mereka, tetapi menyuarakan ketakutan akan bahaya dari luar, yaitu serigala. Ironisnya, kekhawatiran yang beliau sebutkan inilah yang kemudian mereka gunakan sebagai alibi. Janji palsu mereka untuk menjaga Yusuf dengan sekuat tenaga menunjukkan betapa dalamnya niat buruk yang tersembunyi di balik ucapan mereka.

Ayat 15-18

فَلَمَّا ذَهَبُوْا بِهٖ وَاَجْمَعُوْٓا اَنْ يَّجْعَلُوْهُ فِيْ غَيٰبَتِ الْجُبِّۚ وَاَوْحَيْنَآ اِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِاَمْرِهِمْ هٰذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ ۝ وَجَاۤءُوْٓ اَبَاهُمْ عِشَاۤءً يَّبْكُوْنَ ۝ قَالُوْا يٰٓاَبَانَآ اِنَّا ذَهَبْنَا نَسْتَبِقُ وَتَرَكْنَا يُوْسُفَ عِنْدَ مَتَاعِنَا فَاَكَلَهُ الذِّئْبُۚ وَمَآ اَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَّنَا وَلَوْ كُنَّا صٰدِقِيْنَ ۝ وَجَاۤءُوْ عَلٰى قَمِيْصِهٖ بِدَمٍ كَذِبٍۗ قَالَ بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ اَنْفُسُكُمْ اَمْرًاۗ فَصَبْرٌ جَمِيْلٌۗ وَاللّٰهُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ ۝

Falammā żahabū bihī wa ajma‘ū ay yaj‘alūhu fī gayābatil-jubb, wa auḥainā ilaihi latunabbi'annahum bi'amrihim hāżā wa hum lā yasy‘urūn. Wa jā'ū abāhum ‘isyā'ay yabkūn. Qālū yā abānā innā żahabnā nastabiqu wa taraknā yūsufa ‘inda matā‘inā fa akalahuż-żi'b, wa mā anta bimu'minil lanā wa lau kunnā ṣādiqīn. Wa jā'ū ‘alā qamīṣihī bidamin każib, qāla bal sawwalat lakum anfusukum amrā, fa ṣabrun jamīl, wallāhul-musta‘ānu ‘alā mā taṣifūn. 15. Maka, ketika mereka membawanya pergi dan bersepakat memasukkannya ke dasar sumur, Kami wahyukan kepadanya, “Engkau kelak pasti akan menceritakan perbuatan mereka ini kepada mereka, sedangkan mereka tidak menyadarinya.” 16. Kemudian, mereka datang kepada ayah mereka pada waktu petang sambil menangis. 17. Mereka berkata, “Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu serigala memakannya. Engkau tentu tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami berkata benar.” 18. Mereka datang dengan baju gamisnya (yang dilumuri) darah palsu. Dia (Ya‘qub) berkata, “Sebenarnya hanya dirimulah yang memandang baik urusan (yang buruk) itu. Maka, (kesabaranku) adalah kesabaran yang baik. Allah adalah tempat memohon pertolongan atas apa yang kamu ceritakan.”

Rencana jahat itu pun dilaksanakan. Yusuf yang kecil dan tak berdaya dibuang ke dalam sumur. Namun, di titik terendah dalam hidupnya, Allah tidak meninggalkannya. Allah mewahyukan kepadanya sebuah janji: kelak, ia akan menceritakan perbuatan ini kepada saudara-saudaranya dalam posisi yang mulia, sementara mereka tidak mengenalinya. Ini adalah peneguhan hati bagi Yusuf dan janji pertolongan ilahi. Sementara itu, saudara-saudaranya melancarkan sandiwara yang sempurna: tangisan palsu di waktu isya, cerita bohong tentang serigala, dan bukti palsu berupa baju gamis yang dilumuri darah (bukan darah manusia, dan bajunya tidak robek). Namun, Nabi Ya'qub, dengan firasat seorang nabi, tidak tertipu. Beliau tahu ada yang tidak beres. Alih-alih marah dan menghukum, beliau memilih jalan "sabar yang indah" (shabrun jamil), yaitu kesabaran tanpa keluh kesah, sambil menyerahkan segalanya kepada Allah sebagai penolong sejati.

Ayat 19-20

وَجَاۤءَتْ سَيَّارَةٌ فَاَرْسَلُوْا وَارِدَهُمْ فَاَدْلٰى دَلْوَهٗۗ قَالَ يٰبُشْرٰى هٰذَا غُلٰمٌۗ وَاَسَرُّوْهُ بِضَاعَةًۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢبِمَا يَعْمَلُوْنَ ۝ وَشَرَوْهُ بِثَمَنٍۢ بَخْسٍ دَرَاهِمَ مَعْدُوْدَةٍۗ وَكَانُوْا فِيْهِ مِنَ الزَّاهِدِيْنَ ࣖ ۝

Wa jā'at sayyāratun fa arsalū wāridahum fa adlā dalwah, qāla yā busyrā hāżā gulām, wa asarrūhu biḍā‘ah, wallāhu ‘alīmum bimā ya‘malūn. Wa syarauhu biṡamanim bakhsin darāhima ma‘dūdah, wa kānū fīhi minaz-zāhidīn. 19. Datanglah sekelompok musafir. Mereka menyuruh seorang pengambil airnya, lalu dia menurunkan timbanya. Dia berkata, “Oh, kabar gembira! Ini seorang anak laki-laki.” Kemudian, mereka menyembunyikannya sebagai barang dagangan. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. 20. Mereka menjualnya dengan harga murah, (yaitu) beberapa dirham saja, sebab mereka tidak tertarik kepadanya.

Pertolongan Allah datang dalam bentuk yang tak terduga. Sebuah kafilah dagang yang lewat menemukan Yusuf. Mereka melihatnya bukan sebagai anak yang tersesat, melainkan sebagai "barang dagangan" yang bisa mendatangkan keuntungan. Mereka menjualnya dengan harga yang sangat murah, menunjukkan bahwa mereka tidak melihat nilai istimewa pada dirinya. Babak baru dalam kehidupan Yusuf pun dimulai: dari anak kesayangan seorang nabi menjadi seorang budak yang diperjualbelikan. Ini adalah bagian dari rencana Allah untuk membawanya ke Mesir, tempat takdir besarnya menanti.

Bagian 2: Ujian di Rumah Al-Aziz dan Keteguhan Iman (Ayat 21-35)

Setelah dijual sebagai budak, Yusuf dibeli oleh seorang pembesar Mesir, Al-Aziz. Di sinilah ia tumbuh dewasa menjadi seorang pemuda yang tampan dan berakhlak mulia. Namun, ujian yang lebih besar menantinya, yaitu ujian syahwat dan fitnah dari istri Al-Aziz. Keteguhan imannya diuji hingga batas maksimal, membawanya dari istana ke penjara.

Ayat 21-22

وَقَالَ الَّذِى اشْتَرٰىهُ مِنْ مِّصْرَ لِامْرَاَتِهٖٓ اَكْرِمِيْ مَثْوٰىهُ عَسٰٓى اَنْ يَّنْفَعَنَآ اَوْ نَتَّخِذَهٗ وَلَدًاۗ وَكَذٰلِكَ مَكَّنَّا لِيُوْسُفَ فِى الْاَرْضِ وَلِنُعَلِّمَهٗ مِنْ تَأْوِيْلِ الْاَحَادِيْثِۗ وَاللّٰهُ غَالِبٌ عَلٰٓى اَمْرِهٖ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ ۝ وَلَمَّا بَلَغَ اَشُدَّهٗٓ اٰتَيْنٰهُ حُكْمًا وَّعِلْمًاۗ وَكَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ ۝

Wa qālal-lażisytarāhu mim miṣra limra'atihī akrimī maṡwāhu ‘asā ay yanfa‘anā au nattakhiżahū waladā, wa każālika makkannā liyūsufa fil-arḍi wa linu‘allimahū min ta'wīlil-aḥādīṡ, wallāhu gālibun ‘alā amrihī wa lākinna akṡaran-nāsi lā ya‘lamūn. Wa lammā balaga asyuddahū ātaināhu ḥukmaw wa ‘ilmā, wa każālika najzil-muḥsinīn. 21. Orang dari Mesir yang membelinya berkata kepada istrinya, “Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik! Semoga dia bermanfaat bagi kita atau kita pungut dia sebagai anak.” Demikianlah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di negeri (Mesir) dan agar Kami ajarkan kepadanya sebagian dari takwil mimpi. Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. 22. Ketika dia telah cukup dewasa, Kami berikan kepadanya Hukmah (kenabian) dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

Allah menunjukkan kuasa-Nya. Yusuf, yang dibuang oleh saudara-saudaranya, justru ditempatkan di rumah seorang pembesar yang memperlakukannya dengan baik. Al-Aziz melihat potensi dalam diri Yusuf dan berniat mengangkatnya sebagai anak. Ayat ini menegaskan bahwa inilah cara Allah memberikan "kedudukan" (tamkin) kepada Yusuf di bumi Mesir. Rencana Allah selalu berjalan, meskipun manusia seringkali tidak menyadarinya. Seiring berjalannya waktu, ketika Yusuf mencapai usia dewasa, Allah menganugerahinya "hukm" (kebijaksanaan, kenabian) dan "‘ilm" (ilmu pengetahuan). Ini adalah balasan bagi orang-orang yang senantiasa berbuat baik (muhsinin), bahkan dalam kondisi terburuk sekalipun.

Ayat 23-24

وَرَاوَدَتْهُ الَّتِيْ هُوَ فِيْ بَيْتِهَا عَنْ نَّفْسِهٖ وَغَلَّقَتِ الْاَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ ۗقَالَ مَعَاذَ اللّٰهِ اِنَّهٗ رَبِّيْٓ اَحْسَنَ مَثْوَايَۗ اِنَّهٗ لَا يُفْلِحُ الظّٰلِمُوْنَ ۝ وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهٖۗ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَآ اَنْ رَّاٰ بُرْهَانَ رَبِّهٖۗ كَذٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوْۤءَ وَالْفَحْشَاۤءَۗ اِنَّهٗ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِيْنَ ۝

Wa rāwadat-hul-latī huwa fī baitihā ‘an nafsihī wa gallaqatil-abwāba wa qālat haita lak, qāla ma‘āżallāh, innahū rabbī aḥsana maṡwāy, innahū lā yufliḥuẓ-ẓālimūn. Wa laqad hammat bih, wa hamma bihā laulā ar ra'ā burhāna rabbih, każālika linaṣrifa ‘an-hus-sū'a wal-faḥsyā', innahū min ‘ibādinal-mukhlaṣīn. 23. Perempuan (istri tuannya) yang di rumahnya Yusuf tinggal menggodanya. Dia menutup pintu-pintu, lalu berkata, “Marilah mendekat kepadaku.” Yusuf berkata, “Aku berlindung kepada Allah. Sesungguhnya Tuhanku (Al-Aziz) telah memperlakukanku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang yang zalim tidak akan beruntung.” 24. Sungguh, perempuan itu telah berkehendak kepadanya (Yusuf) dan Yusuf pun berkehendak kepadanya seandainya dia tidak melihat tanda (burhan) dari Tuhannya. Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sesungguhnya dia (Yusuf) termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.

Ini adalah puncak ujian di rumah Al-Aziz. Istri tuannya, yang terpikat oleh ketampanan dan kemuliaan Yusuf, mencoba menggodanya untuk berbuat zina. Ia menciptakan situasi yang sangat sulit untuk ditolak: hanya berdua, pintu-pintu terkunci. Namun, Yusuf menunjukkan keteguhan iman yang luar biasa. Ia segera berlindung kepada Allah ("Ma'adzallah") dan mengingat kebaikan tuannya, Al-Aziz, yang ia sebut sebagai "rabbi" (tuanku). Ia sadar bahwa mengkhianati kepercayaan itu adalah sebuah kezaliman. Ayat 24 menjelaskan gejolak batin yang terjadi. Godaan itu nyata, namun Yusuf diselamatkan oleh "burhan" atau petunjuk dari Tuhannya, yang membuatnya berpaling dari perbuatan keji. Ini adalah bukti bahwa Yusuf termasuk hamba Allah yang "mukhlasin", yaitu orang-orang yang ikhlas dan diselamatkan oleh Allah dari perbuatan dosa.

Ayat 25-29

وَاسْتَبَقَا الْبَابَ وَقَدَّتْ قَمِيْصَهٗ مِنْ دُبُرٍ وَّاَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَا الْبَابِۗ قَالَتْ مَا جَزَاۤءُ مَنْ اَرَادَ بِاَهْلِكَ سُوْۤءًا اِلَّآ اَنْ يُّسْجَنَ اَوْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ ۝ قَالَ هِيَ رَاوَدَتْنِيْ عَنْ نَّفْسِيْ وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِّنْ اَهْلِهَاۚ اِنْ كَانَ قَمِيْصُهٗ قُدَّ مِنْ قُبُلٍ فَصَدَقَتْ وَهُوَ مِنَ الْكٰذِبِيْنَ ۝ وَاِنْ كَانَ قَمِيْصُهٗ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ فَكَذَبَتْ وَهُوَ مِنَ الصّٰدِقِيْنَ ۝ فَلَمَّا رَاٰ قَمِيْصَهٗ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ قَالَ اِنَّهٗ مِنْ كَيْدِكُنَّۗ اِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيْمٌ ۝ يُوْسُفُ اَعْرِضْ عَنْ هٰذَا وَاسْتَغْفِرِيْ لِذَنْۢبِكِۖ اِنَّكِ كُنْتِ مِنَ الْخٰاطِـِٕيْنَ ࣖ ۝

Wastabaqal-bāba wa qaddat qamīṣahū min duburiw wa alfayā sayyidahā ladal-bāb, qālat mā jazā'u man arāda bi'ahlika sū'an illā ay yusjana au ‘ażābun alīm. Qāla hiya rāwadatnī ‘an nafsī wa syahida syāhidum min ahlihā, in kāna qamīṣuhū qudda min qubulin fa ṣadaqat wa huwa minal-kāżibīn. Wa in kāna qamīṣuhū qudda min duburin fa każabat wa huwa minaṣ-ṣādiqīn. Falammā ra'ā qamīṣahū qudda min duburin qāla innahū min kaidikunn, inna kaidakunna ‘aẓīm. Yūsufu a‘riḍ ‘an hāżā, wastagfirī liżambik, innaki kunti minal-khāṭi'īn. 25. Keduanya berlomba menuju pintu dan perempuan itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak. Keduanya mendapati suami perempuan itu di depan pintu. Perempuan itu berkata, “Apakah balasan terhadap orang yang bermaksud buruk terhadap istrimu selain dipenjarakan atau (dihukum dengan) siksa yang pedih?” 26. Dia (Yusuf) berkata, “Dia yang menggodaku.” Seorang saksi dari keluarga perempuan itu memberikan kesaksian, “Jika baju gamisnya koyak di bagian depan, maka perempuan itu benar dan dia (Yusuf) termasuk para pembohong. 27. Dan jika baju gamisnya koyak di bagian belakang, maka perempuan itulah yang bohong dan dia (Yusuf) termasuk orang-orang yang benar.” 28. Maka, ketika dia (suami perempuan itu) melihat baju gamisnya koyak di bagian belakang, dia berkata, “Sesungguhnya ini termasuk tipu dayamu (wahai para perempuan). Sungguh, tipu dayamu benar-benar hebat.” 29. “Yusuf, lupakanlah ini dan (wahai istriku,) mohonlah ampunan atas dosamu. Sesungguhnya engkau termasuk orang-orang yang bersalah.”

Ketika Yusuf berusaha lari menuju pintu, istri Al-Aziz menarik bajunya dari belakang hingga robek. Tepat pada saat itu, Al-Aziz muncul. Dalam kepanikan, sang istri memutarbalikkan fakta dan menuduh Yusuf yang mencoba berbuat tidak senonoh. Ini adalah fitnah yang keji. Yusuf pun membela diri. Kebenaran terungkap melalui bukti fisik yang logis, yang disampaikan oleh seorang saksi bijak dari keluarga wanita itu. Jika baju robek di depan, berarti Yusuf yang menyerang. Jika robek di belakang, berarti Yusuf yang lari dan dikejar. Al-Aziz, melihat bukti baju yang robek di belakang, menyadari kebenaran. Ia mengakui bahwa ini adalah tipu daya istrinya. Meskipun demikian, untuk menutupi aib keluarganya, ia hanya meminta Yusuf untuk melupakan kejadian itu dan menyuruh istrinya bertaubat. Masalah ini tidak diselesaikan secara adil, yang kelak akan berakibat pada dipenjarakannya Yusuf.

Ayat 30-35

وَقَالَ نِسْوَةٌ فِى الْمَدِيْنَةِ امْرَاَتُ الْعَزِيْزِ تُرَاوِدُ فَتٰىهَا عَنْ نَّفْسِهٖۚ قَدْ شَغَفَهَا حُبًّاۗ اِنَّا لَنَرٰىهَا فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ ۝ ... (hingga ayat 35)

فَلَمَّا سَمِعَتْ بِمَكْرِهِنَّ اَرْسَلَتْ اِلَيْهِنَّ وَاَعْتَدَتْ لَهُنَّ مُتَّكَاً وَّاٰتَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِّنْهُنَّ سِكِّيْنًا وَّقَالَتِ اخْرُجْ عَلَيْهِنَّ ۚ فَلَمَّا رَاَيْنَهٗٓ اَكْبَرْنَهٗ وَقَطَّعْنَ اَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَاشَ لِلّٰهِ مَا هٰذَا بَشَرًاۗ اِنْ هٰذَآ اِلَّا مَلَكٌ كَرِيْمٌ ۝ قَالَتْ فَذٰلِكُنَّ الَّذِيْ لُمْتُنَّنِيْ فِيْهِۗ وَلَقَدْ رَاوَدْتُّهٗ عَنْ نَّفْسِهٖ فَاسْتَعْصَمَ ۗوَلَىِٕنْ لَّمْ يَفْعَلْ مَآ اٰمُرُهٗ لَيُسْجَنَنَّ وَلَيَكُوْنًا مِّنَ الصّٰغِرِيْنَ ۝ قَالَ رَبِّ السِّجْنُ اَحَبُّ اِلَيَّ مِمَّا يَدْعُوْنَنِيْٓ اِلَيْهِ ۚوَاِلَّا تَصْرِفْ عَنِّيْ كَيْدَهُنَّ اَصْبُ اِلَيْهِنَّ وَاَكُنْ مِّنَ الْجٰهِلِيْنَ ۝ فَاسْتَجَابَ لَهٗ رَبُّهٗ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ ۝ ثُمَّ بَدَا لَهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ مَا رَاَوُا الْاٰيٰتِ لَيَسْجُنُنَّهٗ حَتّٰى حِيْنٍ ࣖ ۝

Wa qāla niswatun fil-madīnatimra'atul-‘azīzi turāwidu fatāhā ‘an nafsih, qad syagafahā ḥubbā, innā lanarāhā fī ḍalālim mubīn. ... (hingga ayat 35) ... Qāla rabbis-sijnu aḥabbu ilayya mimmā yad‘ūnanī ileh, wa illā taṣrif ‘annī kaidahunna aṣbu ilaihinna wa akum minal-jāhilīn. Fastajāba lahū rabbuhū fa ṣarafa ‘anhu kaidahunn, innahū huwas-samī‘ul-‘alīm. Ṡumma badā lahum mim ba‘di mā ra'awul-āyāti layasjununnahū ḥattā ḥīn. 30. Para perempuan di kota itu berkata, “Istri Al-Aziz menggoda pelayannya. Cintanya benar-benar telah melandanya. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata.” 31. Maka, ketika perempuan itu mendengar cercaan mereka, diundangnyalah para perempuan itu dan disediakannya tempat duduk bagi mereka. Dianugerahkannya kepada masing-masing mereka sebilah pisau, (kemudian) dia berkata (kepada Yusuf), “Keluarlah di hadapan mereka.” Ketika para perempuan itu melihatnya, mereka terpesona kepadanya, lalu mereka melukai tangannya (sendiri) seraya berkata, “Mahasempurna Allah, ini bukanlah manusia. Ini benar-benar seorang malaikat yang mulia.” 32. Dia (istri Al-Aziz) berkata, “Itulah orangnya yang menyebabkan kamu mencelaku. Sungguh, aku benar-benar telah menggodanya, tetapi dia menolak. Sungguh, jika tidak melakukan apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan dipenjarakan dan benar-benar akan termasuk orang yang hina.” 33. Dia (Yusuf) berkata, “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka. Jika Engkau tidak menghindarkan tipu daya mereka dariku, niscaya aku akan cenderung kepada mereka dan aku tentu akan termasuk orang-orang yang bodoh.” 34. Maka, Tuhannya memperkenankan doanya dan Dia menghindarkannya dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. 35. Kemudian, timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai waktu tertentu.

Berita skandal ini menyebar di kalangan para wanita bangsawan. Untuk membela diri dan menunjukkan betapa tampannya Yusuf, istri Al-Aziz mengundang mereka ke sebuah jamuan. Saat mereka sedang mengupas buah, ia menyuruh Yusuf keluar. Ketampanan Yusuf begitu luar biasa hingga para wanita itu, tanpa sadar, melukai tangan mereka sendiri dengan pisau. Di hadapan mereka semua, istri Al-Aziz dengan bangga mengakui perbuatannya dan secara terbuka mengancam Yusuf: turuti kemauannya atau masuk penjara. Di tengah tekanan yang hebat ini, Yusuf berdoa kepada Allah. Ia lebih memilih penjara ("as-sijnu ahabbu ilayya") daripada terjerumus dalam maksiat. Ia memohon perlindungan Allah dari tipu daya mereka. Allah pun mengabulkan doanya. Meskipun Al-Aziz dan para pembesar lainnya tahu Yusuf tidak bersalah, demi menjaga reputasi dan meredam gosip, mereka memutuskan untuk memenjarakannya. Ini adalah sebuah ketidakadilan, namun bagi Yusuf, ini adalah pilihan yang lebih baik dan merupakan bagian dari skenario ilahi yang lebih besar.

Bagian 3: Dakwah di Penjara dan Kemampuan Menafsirkan Mimpi (Ayat 36-53)

Penjara menjadi madrasah baru bagi Nabi Yusuf. Di tempat yang gelap dan sempit ini, cahayanya justru semakin bersinar. Ia tidak hanya bersabar, tetapi juga aktif berdakwah, mengajak para tahanan untuk menyembah Allah Yang Maha Esa. Kemampuannya menafsirkan mimpi menjadi jalan pembuka bagi takdirnya yang lebih besar.

Ayat 36-42

وَدَخَلَ مَعَهُ السِّجْنَ فَتَيٰنِۗ قَالَ اَحَدُهُمَآ اِنِّيْٓ اَرٰىنِيْٓ اَعْصِرُ خَمْرًا ۖوَقَالَ الْاٰخَرُ اِنِّيْٓ اَرٰىنِيْٓ اَحْمِلُ فَوْقَ رَأْسِيْ خُبْزًا تَأْكُلُ الطَّيْرُ مِنْهُ ۗ نَبِّئْنَا بِتَأْوِيْلِهٖ ۚاِنَّا نَرٰىكَ مِنَ الْمُحْسِنِيْنَ ۝ ... (hingga ayat 42)

يٰصَاحِبَيِ السِّجْنِ ءَاَرْبَابٌ مُّتَفَرِّقُوْنَ خَيْرٌ اَمِ اللّٰهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ ۗ ۝ ... (hingga ayat 42)

Wa dakhala ma‘ahus-sijna fatayān, qāla aḥaduhumā innī arānī a‘ṣiru khamrā, wa qālal-ākharu innī arānī aḥmilu fauqa ra'sī khubzan ta'kuluṭ-ṭairu minh, nabbi'nā bita'wīlih, innā narāka minal-muḥsinīn. ... (hingga ayat 42) ... Yā ṣāḥibayis-sijni a'arbābum mutafarriqūna khairun amillāhul-wāḥidul-qahhār. ... (hingga ayat 42) 36. Masuklah bersamanya ke dalam penjara dua orang pemuda. Salah satunya berkata, “Sesungguhnya aku bermimpi memeras anggur.” Yang lain berkata, “Adapun aku bermimpi membawa roti di atas kepalaku. Sebagiannya dimakan burung.” (Keduanya berkata,) “Jelaskanlah kepada kami takwilnya. Sesungguhnya kami melihatmu termasuk orang-orang yang berbuat baik.” ... 39. “Wahai kedua teman sepenjaraku, manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” ... 41. “Wahai kedua teman sepenjaraku, salah seorang di antara kamu akan bertugas menyediakan minuman khamar bagi tuannya dan yang lain akan disalib, lalu burung akan memakan sebagian kepalanya. Telah diputuskan perkara yang kamu berdua tanyakan.” 42. Dia (Yusuf) berkata kepada orang yang diyakininya akan selamat di antara keduanya, “Jelaskanlah keadaanku kepada tuanmu.” Akan tetapi, setan menjadikannya lupa untuk menjelaskan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena itu, dia (Yusuf) tetap dalam penjara beberapa tahun lamanya.

Dua pemuda, pelayan raja, masuk penjara bersama Yusuf. Mereka terkesan dengan kepribadian Yusuf yang mulia ("muhsinin") dan meminta tolong untuk ditafsirkan mimpi mereka. Sebelum menjawab, Yusuf menggunakan kesempatan ini untuk berdakwah. Ia mengajukan pertanyaan retoris yang kuat: lebih baik mana menyembah banyak tuhan yang lemah atau menyembah Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa? Ini adalah prioritas seorang nabi: tauhid di atas segalanya. Setelah menyampaikan pesan dakwah, barulah ia menafsirkan mimpi mereka dengan akurat. Yang memeras anggur akan bebas dan kembali menjadi pelayan raja, sedangkan yang membawa roti akan dihukum mati. Yusuf kemudian menitipkan pesan kepada yang akan bebas agar menyebut namanya di hadapan raja. Namun, karena campur tangan setan, pemuda itu lupa. Akibatnya, Yusuf harus tinggal di penjara selama beberapa tahun lagi. Ini mengajarkan bahwa pertolongan manusia bisa saja terlupakan, namun pertolongan Allah akan datang pada waktu yang paling tepat.

Ayat 43-49

وَقَالَ الْمَلِكُ اِنِّيْٓ اَرٰى سَبْعَ بَقَرٰتٍ سِمَانٍ يَّأْكُلُهُنَّ سَبْعٌ عِجَافٌ وَّسَبْعَ سُنْۢبُلٰتٍ خُضْرٍ وَّاُخَرَ يٰبِسٰتٍۗ يٰٓاَيُّهَا الْمَلَاُ اَفْتُوْنِيْ فِيْ رُءْيَايَ اِنْ كُنْتُمْ لِلرُّءْيَا تَعْبُرُوْنَ ۝ ... (hingga ayat 49)

Wa qālal-maliku innī arā sab‘a baqarātin simāniy ya'kuluhunna sab‘un ‘ijāfuw wa sab‘a sumbulātin khuḍriw wa ukhara yābisāt, yā ayyuhal-mala'u aftūnī fī ru'yāya in kuntum lir-ru'yā ta‘burūn. ... (hingga ayat 49) 43. Raja berkata (kepada para pemuka kaumnya), “Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus, serta tujuh tangkai (gandum) yang hijau dan (tujuh tangkai) lainnya yang kering. Wahai para pemuka kaum, jelaskanlah kepadaku tentang takwil mimpiku jika kamu dapat menakwilkan mimpi.” ... 49. “Kemudian, setelah itu akan datang tahun ketika manusia diberi hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras (anggur).”

Jalan keluar bagi Yusuf akhirnya terbuka melalui sebuah mimpi, kali ini mimpi Raja Mesir. Raja bermimpi aneh tentang sapi gemuk yang dimakan sapi kurus dan gandum hijau yang dilahap gandum kering. Para penasihat istana tidak mampu menafsirkannya. Saat itulah pelayan yang dulu pernah satu sel dengan Yusuf teringat akan kemampuannya. Ia segera pergi ke penjara untuk bertanya kepada Yusuf. Tanpa ragu dan tanpa syarat, Yusuf memberikan tafsir yang sangat detail dan solutif: akan datang tujuh tahun masa subur, diikuti oleh tujuh tahun masa paceklik yang dahsyat. Yusuf tidak hanya menafsirkan, ia juga memberikan strategi manajemen krisis: simpanlah hasil panen selama masa subur untuk menghadapi masa paceklik. Mimpi ini bukan lagi tentang nasib pribadi, melainkan tentang nasib sebuah bangsa.

Ayat 50-53

وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُوْنِيْ بِهٖ ۚفَلَمَّآ اَجَاۤءَهُ الرَّسُوْلُ قَالَ ارْجِعْ اِلٰى رَبِّكَ فَسْـَٔلْهُ مَا بَالُ النِّسْوَةِ الّٰتِيْ قَطَّعْنَ اَيْدِيَهُنَّ ۗاِنَّ رَبِّيْ بِكَيْدِهِنَّ عَلِيْمٌ ۝ قَالَ مَا خَطْبُكُنَّ اِذْ رَاوَدْتُّنَّ يُوْسُفَ عَنْ نَّفْسِهٖۗ قُلْنَ حَاشَ لِلّٰهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ مِنْ سُوْۤءٍۗ قَالَتِ امْرَاَتُ الْعَزِيْزِ الْـٰٔنَ حَصْحَصَ الْحَقُّۖ اَنَا۠ رَاوَدْتُّهٗ عَنْ نَّفْسِهٖ وَاِنَّهٗ لَمِنَ الصّٰدِقِيْنَ ۝ ذٰلِكَ لِيَعْلَمَ اَنِّيْ لَمْ اَخُنْهُ بِالْغَيْبِ وَاَنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِيْ كَيْدَ الْخَاۤىِٕنِيْنَ ۝ وَمَآ اُبَرِّئُ نَفْسِيْۚ اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ ۢ بِالسُّوْۤءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْۗ اِنَّ رَبِّيْ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ۝

Wa qālal-maliku'tūnī bih, falammā jā'ahur-rasūlu qālarji‘ ilā rabbika fas'alhu mā bālun-niswatil-lātī qaṭṭa‘na aidiyahunn, inna rabbī bikaidihinna ‘alīm. Qāla mā khaṭbukunna iż rāwattunna yūsufa ‘an nafsih, qulna ḥāsya lillāhi mā ‘alimnā ‘alaihi min sū', qālatimra'atul-‘azīzil-āna ḥaṣḥaṣal-ḥaqq, ana rāwattuhū ‘an nafsihī wa innahū laminaṣ-ṣādiqīn. Żālika liya‘lama annī lam akhunhu bil-gaibi wa annallāha lā yahdī kaidal-khā'inīn. Wa mā ubarri'u nafsī, innan-nafsa la'ammāratum bis-sū'i illā mā raḥima rabbī, inna rabbī gafūrur raḥīm. 50. Raja berkata, “Bawalah dia (Yusuf) kepadaku.” Ketika utusan itu datang kepadanya, dia (Yusuf) berkata, “Kembalilah kepada tuanmu dan tanyakan kepadanya bagaimana perihal para perempuan yang telah melukai tangannya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Mengetahui tipu daya mereka.” 51. Dia (raja) berkata (kepada para perempuan itu), “Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf?” Mereka berkata, “Mahasempurna Allah, kami tidak mengetahui satu keburukan pun padanya.” Istri Al-Aziz berkata, “Sekarang jelaslah kebenaran itu. Akulah yang menggodanya dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.” 52. (Yusuf berkata,) “Yang demikian itu agar dia (Al-Aziz) mengetahui bahwa aku benar-benar tidak mengkhianatinya ketika dia tidak ada dan bahwa sesungguhnya Allah tidak meridai tipu daya para pengkhianat. 53. Aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Terkesan dengan tafsir dan solusi dari Yusuf, raja memerintahkan agar ia dibebaskan. Namun, Yusuf menolak untuk keluar begitu saja. Ia tidak mau bebas dengan status sebagai mantan narapidana kasus asusila. Ia menuntut agar nama baiknya dibersihkan terlebih dahulu. Ia meminta raja untuk menginvestigasi kembali kasus para wanita yang melukai tangan mereka. Ini adalah langkah yang sangat cerdas dan bermartabat. Raja pun memanggil para wanita itu, termasuk istri Al-Aziz. Di hadapan raja, kebenaran akhirnya terungkap. Istri Al-Aziz mengaku bahwa dialah yang bersalah dan Yusuf berada di pihak yang benar. Pengakuan ini membersihkan nama Yusuf secara total. Ayat 53 menunjukkan kerendahan hati Yusuf yang luar biasa. Meskipun terbukti tidak bersalah, ia tidak menyombongkan diri. Ia justru mengakui bahwa hawa nafsu selalu condong pada keburukan, dan hanya rahmat Allah yang bisa menyelamatkan seseorang. Ini adalah puncak dari pembersihan nama dan karakter, membuka jalan baginya untuk memegang amanah besar.

Bagian 4: Yusuf Menjadi Bendaharawan Mesir dan Pertemuan dengan Saudara-saudaranya (Ayat 54-93)

Setelah terbukti tidak bersalah dan menunjukkan kecerdasan luar biasa, Yusuf diangkat menjadi pejabat tinggi di Mesir. Ia dipercaya untuk mengelola sumber daya negara dalam menghadapi krisis pangan. Di puncak kekuasaannya inilah, takdir mempertemukannya kembali dengan saudara-saudara yang pernah membuangnya, dalam sebuah skenario yang dirancang dengan sangat indah oleh Allah SWT.

Ayat 54-57

وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُوْنِيْ بِهٖٓ اَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِيْ ۚفَلَمَّا كَلَّمَهٗ قَالَ اِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِيْنٌ اَمِيْنٌ ۝ قَالَ اجْعَلْنِيْ عَلٰى خَزَاۤىِٕنِ الْاَرْضِۚ اِنِّيْ حَفِيْظٌ عَلِيْمٌ ۝ وَكَذٰلِكَ مَكَّنَّا لِيُوْسُفَ فِى الْاَرْضِ يَتَبَوَّاُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاۤءُۗ نُصِيْبُ بِرَحْمَتِنَا مَنْ نَّشَاۤءُ وَلَا نُضِيْعُ اَجْرَ الْمُحْسِنِيْنَ ۝ وَلَاَجْرُ الْاٰخِرَةِ خَيْرٌ لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَ ࣖ ۝

Wa qālal-maliku'tūnī bihī astakhliṣhu linafsī, falammā kallamahū qāla innakal-yauma ladainā makīnun amīn. Qālaj‘alnī ‘alā khazā'inil-arḍ, innī ḥafīẓun ‘alīm. Wa każālika makkannā liyūsufa fil-arḍi yatabawwa'u minḥā haiṡu yasyā', nuṣību biraḥmatinā man nasyā'u wa lā nuḍī‘u ajral-muḥsinīn. Wa la'ajrul-ākhirati khairul lil-lażīna āmanū wa kānū yattaqūn. 54. Raja berkata, “Bawalah dia (Yusuf) kepadaku agar aku memilih dia sebagai orang yang dekat kepadaku.” Ketika dia (raja) telah bercakap-cakap dengannya, dia berkata, “Sesungguhnya engkau mulai hari ini menjadi orang yang berkedudukan tinggi lagi tepercaya di lingkungan kami.” 55. Dia (Yusuf) berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” 56. Demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri ini (Mesir) untuk tinggal di mana saja yang dia kehendaki. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. 57. Sungguh, pahala akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa.

Raja tidak hanya membebaskan Yusuf, tetapi juga mengangkatnya menjadi orang kepercayaan. Yusuf, dengan penuh percaya diri namun tanpa kesombongan, mengajukan diri untuk jabatan yang paling strategis: bendaharawan negara. Ia menyebutkan dua kualifikasi utamanya: "hafizh" (pandai menjaga amanah) dan "‘alim" (memiliki pengetahuan). Ini bukan bentuk kerakusan akan jabatan, melainkan kesadaran bahwa dialah orang yang paling kompeten untuk menyelamatkan negeri dari krisis. Allah pun kembali menegaskan bahwa inilah cara-Nya memberikan "kedudukan" (tamkin) kepada Yusuf. Setelah bertahun-tahun penuh ujian, kini ia berada di puncak kekuasaan. Ayat ini menjadi pengingat bahwa Allah tidak pernah menyia-nyiakan balasan bagi orang yang berbuat baik, baik di dunia maupun di akhirat.

Ayat 58-68

وَجَاۤءَ اِخْوَةُ يُوْسُفَ فَدَخَلُوْا عَلَيْهِ فَعَرَفَهُمْ وَهُمْ لَهٗ مُنْكِرُوْنَ ۝ ... (hingga ayat 68)

Wa jā'a ikhwatu yūsufa fa dakhalū ‘alaihi fa ‘arafahum wa hum lahū munkirūn. ... (hingga ayat 68) 58. Datanglah saudara-saudara Yusuf, lalu mereka masuk menemuinya. Dia (Yusuf) mengenali mereka, sedangkan mereka tidak mengenalinya. ... (hingga ayat 68)

Tujuh tahun paceklik tiba. Kelaparan melanda wilayah sekitar Mesir, termasuk Kanaan, tempat tinggal keluarga Nabi Ya'qub. Saudara-saudara Yusuf datang ke Mesir untuk membeli gandum. Mereka menghadap bendaharawan negara, yang tidak lain adalah Yusuf sendiri. Yusuf langsung mengenali mereka, namun mereka sama sekali tidak mengenalinya. Puluhan tahun telah berlalu, dan mereka tak pernah menyangka adik kecil yang mereka buang ke sumur kini menjadi seorang penguasa Mesir. Yusuf melayani mereka dengan baik, namun ia membuat sebuah syarat: jika mereka ingin membeli gandum lagi, mereka harus membawa serta adik mereka yang bungsu (Bunyamin). Untuk memastikan mereka kembali, Yusuf secara diam-diam memasukkan kembali uang mereka ke dalam karung gandum mereka. Rencana cerdas ini ia rancang untuk bisa bertemu kembali dengan adik kandungnya dan menguji saudara-saudaranya yang lain. Ketika mereka kembali kepada ayah mereka, Nabi Ya'qub, awalnya beliau ragu untuk melepaskan Bunyamin, trauma dengan hilangnya Yusuf. Namun setelah didesak dan mereka bersumpah dengan nama Allah, beliau akhirnya mengizinkan dengan berat hati, seraya berpesan agar mereka masuk ke kota Mesir dari pintu yang berbeda-beda sebagai bentuk ikhtiar, sambil tetap bertawakal penuh kepada Allah.

Ayat 69-76

وَلَمَّا دَخَلُوْا عَلٰى يُوْسُفَ اٰوٰٓى اِلَيْهِ اَخَاهُ قَالَ اِنِّيْٓ اَنَا۠ اَخُوْكَ فَلَا تَبْتَىِٕسْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ۝ ... (hingga ayat 76)

Wa lammā dakhalū ‘alā yūsufa āwā ilaihi akhāh, qāla innī ana akhūka fa lā tabta'is bimā kānū ya‘malūn. ... (hingga ayat 76) 69. Ketika masuk ke (tempat) Yusuf, dia menempatkan saudaranya (Bunyamin) di tempatnya. Dia (Yusuf) berkata, “Sesungguhnya aku adalah saudaramu. Maka, janganlah engkau bersedih atas apa yang telah mereka perbuat.” ... (hingga ayat 76)

Ketika mereka kembali ke Mesir bersama Bunyamin, Yusuf segera memanggil adiknya itu secara pribadi. Ia mengungkapkan jati dirinya dan menenangkan hati Bunyamin. Kemudian, Yusuf menjalankan bagian kedua dari rencananya. Dengan seizin Allah, ia memasukkan piala (alat takar) milik raja ke dalam karung Bunyamin. Setelah mereka pergi, para penjaga menuduh mereka sebagai pencuri. Sesuai kesepakatan dan hukum yang berlaku di keluarga mereka saat itu, hukuman bagi pencuri adalah dirinya dijadikan budak. Ketika karung digeledah dan piala ditemukan di karung Bunyamin, saudara-saudaranya terkejut dan putus asa. Dengan siasat ini, Yusuf berhasil menahan Bunyamin di sisinya secara sah, sesuai dengan hukum yang mereka sepakati sendiri. Ini adalah "tipu daya" yang diilhamkan oleh Allah untuk mencapai tujuan yang baik.

Ayat 77-93

قَالُوْٓا اِنْ يَّسْرِقْ فَقَدْ سَرَقَ اَخٌ لَّهٗ مِنْ قَبْلُ ۗ فَاَسَرَّهَا يُوْسُفُ فِيْ نَفْسِهٖ وَلَمْ يُبْدِهَا لَهُمْ ۚ قَالَ اَنْتُمْ شَرٌّ مَّكَانًا ۖوَاللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا تَصِفُوْنَ ۝ ... (hingga ayat 93)

Qālū iy yasriq faqad saraqa akhul lahū min qabl, fa asarrahā yūsufu fī nafsihī wa lam yubdihā lahum, qāla antum syarrum makānā, wallāhu a‘lamu bimā taṣifūn. ... (hingga ayat 93)

Dalam kepanikan, saudara-saudaranya justru melontarkan tuduhan keji, "Jika dia mencuri, maka saudaranya (Yusuf) dulu juga pernah mencuri." Perkataan ini sangat menyakiti hati Yusuf, namun ia menahannya dan tidak menampakkannya. Mereka memohon agar salah satu dari mereka ditahan sebagai ganti Bunyamin, karena ayah mereka sudah sangat tua. Namun, Yusuf menolaknya. Mereka pun putus asa. Kakak tertua mereka, Rubil, merasa sangat malu dan bersalah. Ia memutuskan untuk tetap tinggal di Mesir sampai ayahnya mengizinkan pulang. Yang lain kembali ke Kanaan dengan membawa berita duka. Mendengar kabar hilangnya Bunyamin, kesedihan Nabi Ya'qub mencapai puncaknya. Matanya menjadi buta karena terus menangis, namun hatinya tetap kokoh dalam iman. Beliau tidak pernah putus asa dari rahmat Allah. Beliau menyuruh anak-anaknya untuk kembali ke Mesir dan mencari kabar tentang Yusuf dan Bunyamin. Ketika mereka kembali menghadap Yusuf dalam keadaan yang sangat memelas, hati Yusuf luluh. Ia pun bertanya, "Tahukah kamu apa yang telah kamu perbuat terhadap Yusuf dan saudaranya?" Seketika itu, mereka sadar. "Apakah engkau benar-benar Yusuf?" tanya mereka. Yusuf menjawab, "Akulah Yusuf, dan ini saudaraku." Di momen puncak ini, Yusuf tidak membalas dendam. Ia justru memaafkan mereka sepenuhnya, "Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni kamu." Ia kemudian memberikan gamisnya untuk diusapkan ke wajah ayahnya, sebagai tanda bahwa ia masih hidup dan sebagai obat atas izin Allah.

Bagian 5: Bertemunya Kembali Keluarga dan Pelajaran Akhir (Ayat 94-111)

Kisah ini mencapai puncaknya dengan momen reuni yang mengharukan. Kesabaran Nabi Ya'qub yang luar biasa berbuah manis. Keluarga yang terpisah selama puluhan tahun akhirnya bersatu kembali. Mimpi Nabi Yusuf di masa kecil menjadi kenyataan, membuktikan kebenaran janji Allah. Surah ini ditutup dengan penegasan bahwa dalam kisah ini terdapat pelajaran berharga bagi orang-orang yang berakal.

Ayat 94-101

وَلَمَّا فَصَلَتِ الْعِيْرُ قَالَ اَبُوْهُمْ اِنِّيْ لَاَجِدُ رِيْحَ يُوْسُفَ لَوْلَآ اَنْ تُفَنِّدُوْنِ ۝ ... (hingga ayat 101)

Wa lammā faṣalatil-‘īru qāla abūhum innī la'ajidu rīḥa yūsufa laulā an tufannidūn. ... (hingga ayat 101) 94. Ketika kafilah itu telah keluar (dari Mesir), ayah mereka berkata, “Sesungguhnya aku benar-benar mencium bau Yusuf seandainya kamu tidak menuduhku pikun.” ... 100. Dia menaikkan kedua orang tuanya ke atas singgasana. Mereka (semua) tunduk bersujud kepadanya (Yusuf). Dia (Yusuf) berkata, “Wahai ayahku, inilah takwil mimpiku yang dahulu itu. Sungguh, Tuhanku telah menjadikannya kenyataan. ... 101. Tuhanku, sungguh Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kekuasaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian takwil mimpi. (Wahai Tuhan) pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat. Wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku dengan orang-orang saleh.”

Ikatan batin seorang ayah begitu kuat. Bahkan sebelum kafilah tiba, Nabi Ya'qub sudah bisa "mencium bau Yusuf". Ketika gamis itu diusapkan ke wajahnya, seketika penglihatannya pulih kembali. Ini adalah mukjizat dari Allah. Seluruh keluarga kemudian berangkat ke Mesir. Pertemuan itu begitu mengharukan. Yusuf menaikkan ayah dan ibunya ke atas singgasana. Lalu, seluruh saudaranya, beserta ayah dan ibunya, bersujud sebagai tanda penghormatan. Mimpi itu telah menjadi kenyataan. Inilah "takwil" dari sebelas bintang, matahari, dan bulan. Di puncak kejayaannya, Yusuf tidak lupa diri. Ia bersyukur kepada Allah atas segala nikmat, mengakui bahwa semua ini adalah karunia-Nya. Doa penutupnya bukanlah meminta kekuasaan lebih, melainkan memohon agar diwafatkan dalam keadaan Islam dan dikumpulkan bersama orang-orang saleh. Ini adalah cita-cita tertinggi seorang hamba yang beriman.

Ayat 102-111

ذٰلِكَ مِنْ اَنْۢبَاۤءِ الْغَيْبِ نُوْحِيْهِ اِلَيْكَۚ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ اِذْ اَجْمَعُوْٓا اَمْرَهُمْ وَهُمْ يَمْكُرُوْنَ ۝ ... (hingga ayat 111)

Żālika min ambā'il-gaibi nūḥīhi ilaika, wa mā kunta ladaihim iż ajma‘ū amrahum wa hum yamkurūn. ... (hingga ayat 111) 102. Itulah sebagian berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad). Engkau tidak berada di samping mereka ketika mereka bersepakat mengatur tipu muslihat (terhadap Yusuf). ... 111. Sungguh, pada kisah-kisah mereka benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal sehat. (Al-Qur’an) ini bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi sebagai pembenar (kitab-kitab) yang sebelumnya, memerinci segala sesuatu, serta sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.

Allah menutup surah ini dengan berbicara langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Allah menegaskan bahwa kisah ini adalah berita gaib yang diwahyukan, bukan karangan Nabi. Ini menjadi bukti kuat kenabian beliau. Ayat-ayat terakhir ini merangkum esensi dari seluruh kisah: bahwa mayoritas manusia tetap tidak akan beriman meskipun bukti telah datang; bahwa para rasul sebelum Nabi Muhammad juga mengalami kesulitan hingga pertolongan Allah datang; dan yang terpenting, bahwa dalam kisah-kisah seperti ini terdapat "ibrah" atau pelajaran yang sangat berharga bagi orang-orang yang mau menggunakan akalnya ("ulil albab"). Al-Qur'an bukanlah dongeng, melainkan petunjuk, pembenar kitab sebelumnya, dan rahmat bagi seluruh alam.

🏠 Kembali ke Homepage