Hawa Dingin dan Padi yang Menguning
Jika saya harus memilih satu ingatan yang mendefinisikan seluruh eksistensi saya, itu bukanlah wajah seseorang atau peristiwa besar yang mengguncang dunia. Itu adalah aroma. Aroma tanah basah setelah hujan sore, bercampur dengan asap kayu bakar dari dapur Emak, dan samar-samar wangi bunga sedap malam yang ditanam di dekat sumur. Itu adalah aroma kampung halaman di jantung Tatar Sunda, tempat di mana nafas pertama saya dihirup dan jiwa saya dibentuk. Tanah ini, Parahyangan, adalah lebih dari sekadar geografis; ia adalah sebuah mantra, sebuah puisi yang diukir oleh gunung, air, dan pepohonan yang tumbuh tegak menghadapi kabut pagi.
Sejak kecil, saya telah diajarkan bahwa hidup adalah sebuah perjalanan yang melingkar, bukan garis lurus. Kita berangkat dari tanah, hidup dengan berkah air dan matahari, dan pada akhirnya, kembali menyatu dengannya. Ajaran ini bukan sekadar filosofi verbal, melainkan terpatri dalam setiap aktivitas: cara menanam padi, cara menghormati sungai yang memberi kehidupan, hingga cara duduk mendengarkan dongeng para sesepuh. Saya adalah produk dari sawah berundak yang hijau, dari keheningan subuh yang dipecah hanya oleh suara kokok ayam jantan dan lantunan azan yang memantul di lembah.
Nama yang diberikan kepada saya—sebut saja Wiranta—adalah nama yang sederhana, namun mengandung harapan agar hidup saya mengalir lurus dan bermanfaat, seperti aliran sungai Citarum yang tak pernah lelah menuju lautan. Namun, perjalanan Wiranta, seperti banyak perjalanan manusia lainnya, dipenuhi liku dan simpangan tak terduga. Ini adalah kisah tentang pencarian makna di antara dua dunia: dunia tradisi yang kokoh dan dunia modernitas yang berderap cepat, semuanya di bawah naungan agung Gunung Tangkuban Parahu yang selalu tampak biru di kejauhan.
Kami tumbuh dalam komunitas yang sangat erat. Hubungan antar tetangga bukan diukur dari jarak rumah, melainkan dari seberapa sering kami berbagi tawa dan air mata. Konsep silih asih, silih asah, silih asuh—saling mengasihi, saling mengasah (membimbing), dan saling mengasuh (melindungi)—bukanlah slogan yang dipajang di dinding, melainkan denyut nadi kehidupan sehari-hari. Jika ada tetangga yang kesulitan, seluruh kampung akan turun tangan. Ketika musim panen tiba, kami bahu-membahu memotong tangkai padi, membiarkan peluh membasahi punggung, karena kami tahu, hasil panen adalah milik bersama, anugerah dari Sang Pencipta yang wajib disyukuri bersama pula.
Ayah saya, seorang petani sekaligus seniman yang tak pernah secara resmi diakui, seringkali menghabiskan malamnya di bale bambu, mengukir patung-patung kecil dari kayu nangka atau memperbaiki bilah-bilah kujang pusaka milik kakek. Ia mengajarkan bahwa setiap benda memiliki rohnya sendiri, setiap pahatan memiliki ceritanya. Kehidupan pedesaan mengajarkan kesabaran, ritme alam, dan yang terpenting, kerendahan hati. Kami adalah butiran debu di kaki gunung yang perkasa, dan kesadaran itu membuat kami selalu ingat untuk tidak sombong, tidak mendahului takdir, dan selalu menghormati yang lebih tua, baik manusia maupun alam.
Ingatan masa kecil selalu dipenuhi oleh suara. Suara riang anak-anak bermain di kali, suara gemericik air irigasi yang mengairi sawah, dan suara suling yang dimainkan oleh Kang Karna saat matahari terbenam, mengantar kami semua ke peraduan. Keindahan itu adalah kekayaan sejati saya. Kekayaan yang tak bisa diukur dengan mata uang, kekayaan yang membentuk fondasi spiritual yang saya bawa ke mana pun kaki melangkah.
Pepeling: Guru di Setiap Langkah Kaki
Pendidikan formal saya dimulai di sebuah bangunan tua dengan atap genteng merah yang lusuh. Namun, pendidikan sejati saya jauh melampaui kurikulum sekolah. Itu datang dari Emak, yang setiap pagi sebelum saya berangkat, selalu membekali saya dengan pepeling—nasihat bijak yang diucapkan dalam bentuk syair pendek. Nasihat itu adalah kompas moral. Salah satu yang paling sering ia ulang adalah, "Jadilah seperti air, Nak. Kuat, namun lentur. Selalu mencari jalan ke bawah, menunjukkan kerendahan hati, tetapi tak pernah berhenti mengalir."
Kakek saya, yang sering dipanggil Abah, adalah sumber kebijaksanaan lain. Abah adalah penjaga cerita. Di bawah rembulan, ia akan duduk di teras sambil menghisap tembakau lintingan, dan kami anak-anak duduk melingkar, terpukau oleh kisah-kisah Prabu Siliwangi, legenda Nyi Roro Kidul, dan asal-usul desa kami. Kisah-kisah ini bukan hanya hiburan; mereka adalah media untuk menanamkan identitas. Mereka mengajarkan kami tentang garis keturunan, tanggung jawab terhadap nama baik keluarga, dan pentingnya menjaga keseimbangan kosmik.
Abah selalu menekankan pentingnya Welas Asih (cinta kasih). Ia berkata bahwa tanpa Welas Asih, ilmu setinggi langit pun hanya akan menjadi beban. "Hidup ini," katanya sambil menunjuk ke langit malam, "adalah panggung wayang golek yang luas. Setiap orang memainkan perannya, dan tugasmu adalah memainkan peranmu dengan kesadaran penuh, tanpa pernah melupakan bahwa dalangnya adalah Yang Maha Kuasa." Filosofi ini, meskipun sederhana dalam penyampaiannya, menuntut kedalaman spiritual yang luar biasa.
Pelajaran tentang harmoni juga diimplementasikan melalui musik. Sejak usia dini, saya tertarik pada Kecapi Suling. Suara kecapi yang lembut dan suling yang merintih adalah bahasa jiwa bagi masyarakat Sunda. Suara itu berbicara tentang kesedihan, kegembiraan, dan kontemplasi mendalam. Saya belajar dari seorang maestro tua, Pak Sura, yang memiliki jari-jari kasar karena bertani tetapi sangat halus saat memetik senar kecapi. Pak Sura mengajarkan bahwa musik bukan tentang menghasilkan suara indah, tetapi tentang rasa. Rasa yang lahir dari kejujuran dan penghayatan terhadap setiap nada.
Berjam-jam saya habiskan di sampingnya, mendengarkan. Ia tidak banyak berbicara, tetapi cara ia memposisikan tangannya, cara ia mengatur napas untuk meniup suling, adalah pelajaran tanpa kata. Ketika nada degung mengalun, itu seolah-olah membawa jiwa kembali ke masa lalu, menyentuh leluhur. Pak Sura menekankan bahwa sebelum memainkan alat musik, kita harus menenangkan hati. Jika hati gelisah, musik yang dihasilkan akan kacau. Ini adalah metafora sempurna untuk kehidupan: sebelum bertindak, tenangkan hati, agar hasil perbuatanmu membawa kedamaian.
Selain seni, ada pula disiplin tubuh, Pencak Silat. Bukan untuk berkelahi, melainkan untuk melatih fokus dan keseimbangan batin. Guru Silat kami mengajarkan bahwa setiap gerakan adalah doa. Sikap kuda-kuda yang kokoh melambangkan keteguhan prinsip, sementara gerakan tangan yang lentur mengajarkan adaptasi terhadap perubahan. Bagian terpenting dari latihan bukan jurus yang rumit, melainkan meditasi di pagi buta, saat kabut masih menyelimuti tanah. Di sana, kami belajar mendengar suara detak jantung kami sendiri, suara alam yang hening, dan membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Kami belajar tentang Harkat dan Martabat. Harkat adalah kehormatan yang diberikan orang lain kepadamu; Martabat adalah kehormatan yang kamu berikan kepada dirimu sendiri. Lelaki Sunda sejati harus mampu menjaga martabatnya, bahkan di tengah kemiskinan atau kesulitan. Ini berarti integritas, tidak mudah menyerah pada godaan sesaat, dan selalu berdiri di atas kebenaran, meskipun itu pahit.
Introspeksi Mendalam Mengenai Filosofi Air dan Tanah
Konsep air (cai) dan tanah (taneuh) dalam pandangan Sunda tidak dapat dipisahkan dari spiritualitas. Air adalah simbol kehidupan, kemurnian, dan pergerakan abadi. Kita diajarkan untuk menghargai setiap tetes air, karena ia berasal dari langit dan kembali ke langit melalui penguapan, mengikuti siklus suci. Ketika kami mandi di pancuran desa, kami tidak hanya membersihkan tubuh, tetapi juga melakukan ritual pembersihan jiwa. Air membuang kekotoran batin, menjanjikan awal yang baru setiap kali ia menyentuh kulit.
Tanah, di sisi lain, adalah ibu pertiwi, tempat kita berpijak, sumber makanan, dan tempat peristirahatan terakhir. Tanah mengajarkan kesabaran tak terbatas. Anda menanam benih hari ini, dan tanah memeliharanya tanpa menuntut balasan segera. Ia berjanji akan memberikan hasil pada waktunya, asalkan kita merawatnya dengan cinta dan rasa hormat. Petani Sunda memiliki ikatan yang sakral dengan ladangnya, hubungan yang jauh melampaui urusan ekonomi semata. Sawah adalah kuil, tempat kerja sekaligus tempat meditasi. Ketika tangan menyentuh lumpur dingin, itu adalah pengingat bahwa kita hanyalah bagian kecil dari ekosistem agung.
Pengajaran ini berulang kali dihayati melalui ritual-ritual kecil. Sebelum memotong pohon, kami harus meminta izin kepada roh yang menjaga pohon itu, menjelaskan mengapa kami membutuhkan kayunya. Sebelum turun ke sawah, kami melakukan tahlilan kecil, memohon berkah agar panen melimpah dan tidak ada hama. Ini adalah cara hidup yang menolak eksploitasi dan memilih koeksistensi harmonis. Filsafat ini tertanam sangat dalam sehingga ketika saya harus meninggalkan desa untuk mencari penghidupan, rasa bersalah karena meninggalkan tanah selalu menghantui.
Sungai Citarum, yang melintasi pinggiran desa kami, adalah guru yang paling konstan. Di pagi hari, saat kabut tipis merayap di permukaannya, ia tampak damai, seperti cermin yang memantulkan langit. Namun, ketika hujan deras turun di hulu, ia bisa berubah menjadi monster yang menyeret segala sesuatu. Ini mengajarkan dualitas kehidupan: ada kedamaian, ada amarah. Ada kemurahan hati, ada bencana. Tugas kita adalah menghormati kedua sisi tersebut, tidak pernah meremehkan kekuatan alam, dan selalu siap menghadapi perubahan tanpa kehilangan jati diri.
Dalam konteks modern, ketika banyak anak muda Sunda terputus dari kearifan leluhur ini, saya merasa berkewajiban untuk menjadi jembatan. Jembatan yang menghubungkan kemudahan teknologi dan kecepatan informasi dengan kedalaman spiritual yang diwariskan oleh para pendahulu. Karena, tanpa akar yang kuat, pohon setinggi apa pun akan mudah tumbang oleh badai sekecil apa pun.
Melangkah Jauh: Ketika Jati Diri Diuji
Keputusan untuk meninggalkan desa adalah salah satu episode paling menyakitkan dalam hidup saya. Bukan karena saya tidak mencintai tanah kelahiran, tetapi karena kebutuhan. Sawah tak lagi mampu menopang semua harapan. Pendidikan saya, yang dibiayai dengan menjual sebagian hasil panen, menuntut saya untuk mengaplikasikannya di tempat yang lebih luas. Kota besar, Jakarta, menjadi mercusuar yang memanggil, menjanjikan kemakmuran, namun juga menyembunyikan ancaman hilangnya identitas.
Saat pertama kali tiba, saya merasa seperti tanaman yang dicabut dari akarnya dan dipaksa tumbuh di beton. Ritme kota sangat berbeda. Tidak ada lagi keheningan yang diselingi suara jangkrik, melainkan deru mesin yang tak pernah padam. Orang-orang bergerak cepat, berbicara tergesa-gesa, dan pandangan mata mereka seringkali kosong, terlepas dari lingkungan sekitar. Di sana, konsep silih asih terasa usang; yang berlaku adalah kompetisi dan individualisme yang tajam.
Saya bekerja di sebuah kantor yang tinggi menjulang, jauh dari pandangan gunung. Tugas-tugas saya bersifat abstrak, berurusan dengan angka dan kertas, berbanding terbalik dengan pekerjaan Ayah yang nyata, yang setiap hari berhadapan langsung dengan elemen-elemen alam. Untuk beberapa waktu, saya berhasil. Saya mendapatkan apa yang dijanjikan kota: penghasilan yang layak, kenyamanan materi. Tetapi, secara perlahan, batin saya mulai kering. Saya rindu bau lumpur, rindu suara suling, rindu sapaan tulus dari orang-orang yang mengenali saya bukan dari jabatan, tetapi dari keturunan.
Ujian terberat di kota adalah mempertahankan integritas. Saya melihat banyak orang yang siap mengorbankan prinsip demi kenaikan pangkat atau kekayaan instan. Prinsip yang diajarkan Abah, tentang Martabat, seringkali dianggap sebagai kelemahan. Ada momen-momen gelap ketika saya hampir tergoda untuk ikut arus, untuk menjadi salah satu dari mereka yang lupa dari mana mereka berasal. Dalam keheningan malam di kamar kos yang sempit, saya akan mengingat kembali syair-syair Emak, mencoba mencari jangkar spiritual agar tidak hanyut dalam gelombang metropolitan yang destruktif.
Saya mulai mencari komunitas. Saya menemukan kantong-kantong kecil kebudayaan Sunda di sudut-sudut kota. Di sana, kami berkumpul, berbicara dalam Bahasa Sunda yang halus, berbagi masakan tradisional, dan yang paling penting, mencoba menjaga agar api tradisi tidak padam. Di sinilah saya menyadari kekuatan sebenarnya dari budaya: ia adalah tali penyelamat. Ia bukan hanya tentang masa lalu; ia adalah cara kita tetap waras, tetap utuh, di tengah kekacauan.
Pencarian Melalui Wayang Golek dan Pupuh
Untuk menenangkan gejolak batin, saya kembali pada Wayang Golek. Saya sering menghadiri pertunjukan yang diselenggarakan di pinggiran kota. Dalang, dengan suaranya yang khas dan kemampuannya menghidupkan karakter boneka kayu, seolah membawa saya pulang sejenak. Cerita-cerita Ramayana atau Mahabarata versi Sunda mengajarkan bahwa konflik moral adalah inti dari keberadaan manusia, dan bahwa kebaikan selalu memerlukan perjuangan yang gigih. Wayang Golek adalah sekolah etika yang bergerak, sebuah ensiklopedia filosofi yang disampaikan melalui kayu dan benang.
Saya belajar bagaimana boneka kayu itu, meskipun kaku, dapat menyampaikan emosi yang mendalam, tergantung pada keahlian Dalang mengendalikan gerak dan dialog. Ini mengajarkan saya tentang Kontrol Diri. Meskipun lingkungan di sekitar saya keras dan tidak adil, saya harus menjadi Dalang bagi diri saya sendiri, mengendalikan reaksi dan memastikan bahwa tindakan saya tetap selaras dengan nilai-nilai yang saya yakini.
Pada saat yang sama, saya mendalami Pupuh—bentuk puisi tradisional Sunda yang terikat pada aturan metrum dan jumlah suku kata. Setiap Pupuh memiliki suasana (watek) yang berbeda, mulai dari sedih, gembira, hingga marah. Menulis dan membaca Pupuh adalah cara saya mengolah emosi yang terpendam. Pupuh Kinanti, misalnya, sering digunakan untuk menyampaikan rasa sayang atau merenung, membawa ketenangan saat hati sedang dilanda badai kekhawatiran akibat tuntutan pekerjaan yang tak henti-henti.
Melalui Pupuh, saya menemukan kembali keindahan bahasa Sunda yang kaya, yang mampu mengungkapkan nuansa emosi yang sulit ditemukan dalam bahasa perkotaan yang serba praktis dan langsung. Bahasa Sunda mengajarkan kesopanan dan penghormatan, di mana pemilihan kata yang tepat menentukan kualitas interaksi sosial. Kota besar, sayangnya, sering menghilangkan lapisan-lapisan keindahan bahasa ini, menggantinya dengan efisiensi yang kering.
Setelah bertahun-tahun berjuang, saya mencapai titik jenuh. Saya telah mengumpulkan cukup modal, baik materi maupun pengalaman, tetapi jiwa saya tidak tenang. Saya menyadari bahwa kemakmuran sejati bukanlah tumpukan uang di bank, melainkan kedamaian hati yang hanya bisa ditemukan saat kita hidup selaras dengan jati diri. Saya mulai merencanakan kepulangan. Keputusan itu disambut dengan keheranan oleh rekan kerja di kota. Mereka menganggap langkah saya sebagai sebuah kemunduran, penyerahan diri terhadap modernitas. Bagi saya, itu adalah kemenangan—kembalinya seorang anak yang hilang ke pangkuan ibunya, ke Tatar Sunda.
Perjalanan pulang bukanlah kegagalan. Itu adalah puncak dari sebuah pencarian. Saya pergi sebagai seorang anak muda yang mencari kekayaan dunia, dan saya kembali sebagai seorang pria yang telah menemukan kekayaan batin. Saya membawa pulang ilmu dan pengalaman kota, tetapi yang lebih penting, saya membawa pulang pemahaman baru tentang betapa tak ternilainya warisan budaya yang saya tinggalkan.
Menyatu dengan Gunung: Pengabdian di Tanah Sunda
Ketika kaki saya kembali menginjak tanah berpasir desa, perbedaan kontrasnya terasa menampar. Udara yang dulu terasa dingin dan murni, kini terasa lebih berharga dari emas. Sambutan Emak dan Abah adalah kehangatan yang tak tertandingi. Mereka tidak menanyakan berapa banyak uang yang saya bawa, melainkan menanyakan apakah hati saya sudah kembali utuh. Jawaban saya adalah ya; hati saya telah sembuh begitu melihat siluet gunung di pagi hari.
Keputusan saya untuk kembali tidak berarti saya menolak modernitas. Sebaliknya, saya mencoba menjembatani keduanya. Saya menggunakan pengalaman saya di dunia korporat untuk membangun koperasi desa yang lebih efisien dan berkelanjutan. Saya membantu para petani memasarkan produk mereka secara langsung ke kota, menghilangkan rantai tengkulak yang selama ini mencekik. Ini adalah implementasi praktis dari Silih Asah—mengasah pengetahuan dan menerapkannya untuk kesejahteraan bersama.
Peran Baru sebagai Penjaga Budaya
Sejak kembali, fokus utama saya beralih dari mencari penghidupan menjadi menjaga kehidupan. Saya mendirikan sebuah sanggar kecil, tempat anak-anak desa belajar Kecapi Suling, Wayang Golek, dan tentu saja, Pepeling. Saya melihat wajah-wajah mereka yang berbinar saat pertama kali memetik senar kecapi, dan itu mengingatkan saya pada diri saya sendiri bertahun-tahun silam.
Tantangan terbesar dalam melestarikan budaya di era digital adalah menarik perhatian generasi muda. Mereka dikepung oleh informasi global yang serba instan. Saya harus mencari cara untuk membuat tradisi terasa relevan, bukan sekadar relik masa lalu. Saya mengajarkan mereka bahwa belajar Sunda adalah tentang belajar menjadi manusia yang utuh. Misalnya, mengajarkan filosofi di balik Kujang—senjata tradisional Sunda. Kujang bukan hanya alat tempur; ia adalah simbol keutamaan, keberanian, dan identitas. Bentuknya yang melengkung melambangkan kerendahan hati dan kemauan untuk membela kebenaran.
Setiap lekuk Kujang memiliki makna spiritual. Salah satu mata pisaunya menghadap ke atas, melambangkan hubungan vertikal manusia dengan Tuhannya. Lekuk lainnya menghadap ke samping, melambangkan hubungan horizontal manusia dengan sesama dan alam. Kujang mengajarkan keseimbangan: keberanian tanpa spiritualitas adalah kekejaman; spiritualitas tanpa keberanian adalah kemunafikan. Ketika saya mengajarkan ini kepada anak-anak, mata mereka yang tadinya skeptis mulai bersinar penuh rasa ingin tahu. Mereka melihat bahwa tradisi bukanlah benda mati, melainkan cetak biru untuk menjalani kehidupan yang bermakna.
Saya juga menghidupkan kembali tradisi lisan, Mantra Pamungkas dan Kawih (lagu tradisional). Kami sering berkumpul di balai desa, melakukan pertunjukan sederhana. Acara ini menjadi perekat sosial yang kuat, mengembalikan rasa memiliki yang sempat hilang ketika banyak warga sibuk dengan ponsel dan televisi mereka. Momen-momen ini adalah pengingat bahwa kebahagiaan sejati seringkali ditemukan dalam kesederhanaan dan kebersamaan.
Refleksi ini membawa saya pada pemahaman yang lebih dalam tentang warisan Sunda. Sunda bukan hanya nama suku, tetapi adalah sikap hidup. Cageur, Bageur, Pinter (Sehat, Baik Hati, Cerdas) adalah triad yang saya coba tanamkan. Kesehatan fisik adalah dasar, kebaikan hati adalah inti moral, dan kecerdasan adalah alat untuk mencapai keduanya. Jika kita hanya cerdas tetapi tidak baik hati, kita akan menjadi bencana. Jika kita hanya baik hati tetapi tidak sehat dan cerdas, kita tidak akan mampu berkontribusi. Keseimbangan ini adalah kunci untuk menjadi urang Sunda yang sejati.
Ketika saya berjalan di pematang sawah di senja hari, kini saya tidak hanya melihat padi. Saya melihat cerminan perjalanan hidup saya. Padi yang tumbuh tegak melawan angin, namun tetap menunduk ketika bulirnya penuh, mengajarkan tentang kerendahan hati di puncak kesuksesan. Saya sekarang adalah seorang penanam—tidak hanya menanam padi di ladang, tetapi juga menanam benih kebijaksanaan di hati generasi berikutnya.
Dulu, saya mengejar ambisi yang berjarak ribuan kilometer. Sekarang, ambisi terbesar saya ada di sini, di tanah ini, di setiap helai napas yang saya hirup di bawah langit Parahyangan yang selalu menyimpan misteri dan janji. Hidup saya adalah otobiografi yang belum selesai, tetapi bab-bab terpentingnya telah ditulis di atas tanah Sunda.
Hening Malam dan Makna Abadi
Kehidupan kini berjalan dengan ritme yang lebih lambat, lebih teratur, dan jauh lebih bermakna. Malam di desa adalah waktu untuk kontemplasi yang mendalam. Jauh dari cahaya artifisial kota, bintang-bintang tampak begitu dekat, mengingatkan kita akan kebesaran alam semesta dan betapa kecilnya keberadaan kita. Dalam keheningan ini, saya sering berdialog dengan diri sendiri, merenungkan setiap langkah yang telah saya ambil, dan menguatkan niat untuk masa depan.
Saya kini memahami sepenuhnya apa yang dimaksud Abah ketika ia mengatakan bahwa manusia harus memiliki ‘Tali Paranti’—tali tradisi yang mengikat kita pada leluhur dan nilai-nilai luhur. Tali Paranti inilah yang mencegah kita menjadi manusia tanpa arah, terombang-ambing oleh tren dan keinginan yang fana. Ini adalah fondasi etika yang memandu keputusan dalam menghadapi setiap masalah modern. Misalnya, ketika desa menghadapi isu lingkungan akibat pembangunan yang serampangan, kami tidak hanya menggunakan hukum formal, tetapi juga merujuk pada hukum adat yang menuntut penghormatan absolut terhadap Leuweung (hutan) dan Cai (air).
Pengalaman panjang ini mengajarkan bahwa kearifan lokal Sunda tidaklah statis, melainkan adaptif. Ia seperti pohon beringin tua yang akarnya menghunjam jauh ke dalam tanah, tetapi ranting-rantingnya bergerak mengikuti arah angin. Kita harus belajar dari masa lalu, hidup di masa kini, dan merencanakan masa depan dengan bijak. Budaya bukan museum yang hanya untuk dilihat, tetapi adalah sungai yang harus terus mengalir, diperkaya oleh setiap generasi baru.
Warisan terpenting yang ingin saya tinggalkan bukan harta benda, melainkan kesadaran pada anak-anak dan cucu-cucu saya bahwa mereka adalah bagian dari sesuatu yang besar, yang berusia ribuan tahun. Bahwa di dalam darah mereka mengalir semangat Siliwangi, semangat yang menghargai keadilan, keberanian, dan kesetiaan pada tanah air. Saya ingin mereka tahu bahwa kemuliaan sejati adalah ketika mereka mampu menjadi manusia yang bermanfaat bagi lingkungan dan sesama, menjunjung tinggi nilai Kasundaan di mana pun mereka berada, bahkan jika suatu saat mereka kembali harus merantau ke belahan bumi lain.
Setiap pagi, saat embun masih membasahi daun, saya berjalan ke pinggiran sawah. Saya berdiri tegak, menghadap ke Timur, menyambut matahari. Di sana, saya merasakan kedamaian total. Kedamaian yang berasal dari penerimaan diri, penerimaan takdir, dan pemahaman bahwa saya telah kembali ke tempat di mana seharusnya saya berada. Otobiografi saya adalah kesaksian bahwa rumah, dalam artian spiritual, selalu menunggu kita kembali, dan bahwa di dalam diri kita, selalu ada Parahyangan yang siap menjadi pelabuhan terakhir.
Maka, jika ada yang bertanya tentang hidup saya, saya akan menjawab bahwa hidup saya adalah melodi Kecapi Suling yang dimainkan di tengah ladang padi. Sebuah melodi yang kadang riang, kadang melankolis, namun selalu jujur dan selalu berakar pada tanah tempat saya dilahirkan. Saya adalah anak Sunda, dan tak ada kehormatan yang lebih besar dari itu.
Di penghujung hari, tugas saya sebagai Wiranta, sebagai anak dari tanah Parahyangan, adalah menjadi saksi dari keindahan dan ketangguhan budaya ini. Untuk menceritakan, tanpa lelah, bahwa di balik kabut tebal yang menyelimuti gunung, tersembunyi filosofi hidup yang abadi. Filosofi yang mengajarkan bahwa kekayaan terbesar kita bukanlah yang kita kumpulkan, melainkan yang kita bagikan. Kekuatan terbesar kita bukanlah otot, melainkan hati yang tulus. Dan rumah sejati kita bukanlah dinding, melainkan jiwa yang damai.
Saya terus memahat, mengukir, dan bercerita. Kisah-kisah leluhur harus terus diceritakan agar tidak hilang ditelan zaman. Kami adalah rantai yang tidak boleh terputus. Saya mengambil peran saya, sebagai mata rantai di masa kini, bertugas menjaga sambungan agar generasi mendatang dapat menarik kekuatan dari sumber yang sama, dari tanah Sunda yang subur dan penuh berkah ini.
Saya telah melihat perputaran zaman, menyaksikan teknologi mengubah wajah dunia, melihat kota tumbuh dan menjadi monster. Tetapi saya juga menyaksikan hal-hal yang tidak berubah: kesetiaan petani pada musim, kelembutan Emak saat memberikan nasihat, dan keagungan Gunung Gede yang tak pernah berpaling. Inilah kebenaran abadi. Dan dalam kebenaran inilah, saya menemukan kelegaan dan kepastian. Otobiografi ini adalah sebuah janji, janji untuk tetap mencintai dan menjaga tanah ini, hingga tiba saatnya saya kembali menjadi bagian dari lumpur dan debu, kembali menyatu dengan Ibu Pertiwi.
Jauh di dalam hutan pinus yang dingin, tempat kabut selalu berlama-lama, terdapat mata air yang tak pernah kering. Mata air itu adalah simbol dari semangat Sunda. Ia mungkin tertutup, tersembunyi, tetapi ia terus mengalir, memberi kehidupan dan kesegaran. Tugas saya, dan tugas setiap orang yang merasa memiliki Parahyangan, adalah memastikan mata air itu tetap jernih dan tak tercemari oleh ambisi yang dangkal. Ini adalah akhir dari refleksi saya, namun bukan akhir dari perjalanan. Perjalanan batin seorang anak Sunda akan terus berlanjut, seiring dengan alunan Degung yang merdu membelah malam.
Setiap detail kecil dalam kehidupan desa kini terasa monumental. Bau hangus dari pembakaran jerami setelah panen adalah parfum yang lebih mahal dari wangi parfum buatan kota. Suara tangisan bayi di malam hari adalah janji kehidupan baru yang lebih berharga dari semua transaksi di bursa saham. Saya kini menjalani hidup dengan indra yang diperbarui, mampu melihat keajaiban dalam hal-hal biasa. Ini adalah berkah dari kepulangan, anugerah dari akar yang tak pernah benar-benar lepas.
Saya sering mengunjungi makam Abah dan Emak. Di sana, saya tidak merasakan kesedihan, melainkan keberadaan mereka yang kuat. Mereka telah menjadi bagian dari tanah. Mereka telah menjadi air yang mengalir di irigasi, udara yang saya hirup. Kematian, dalam pandangan kami, bukanlah akhir, melainkan transformasi, sebuah fase baru dalam siklus abadi yang diajarkan oleh alam. Ketika saya menuangkan air di atas nisan mereka, saya merasa seolah menuangkan air ke dalam diri saya sendiri, meneguhkan komitmen untuk melanjutkan warisan mereka, bukan hanya melalui kata-kata, tetapi melalui tindakan nyata yang berlandaskan Sunda Wiwitan—pandangan hidup yang murni dan luhur.
Maka, ini bukan hanya kisah tentang seorang pria, tetapi kisah tentang sebuah tanah dan jiwa yang terikat padanya. Sebuah otobiografi yang ditulis di antara sawah dan gunung, dengan pena yang terbuat dari bambu, di bawah pengawasan para leluhur yang senantiasa menjaga kami dari balik kabut. Hidup adalah warisan, dan warisan ini adalah tanggung jawab yang harus dipikul dengan bangga dan rendah hati.
Kehidupan di Parahyangan adalah sebuah puisi yang tidak pernah selesai. Setiap hari adalah baris baru, setiap musim adalah bait baru. Dan saya, sebagai penulisnya, berusaha keras untuk memastikan bahwa setiap kata yang tertulis mencerminkan keindahan, ketulusan, dan kekuatan spiritual dari Jati Diri Sunda. Saya mengakhiri tulisan ini dengan senyum, karena saya tahu, saya telah menemukan tempat saya. Tempat di mana gunung dan jiwa bertemu, tempat di mana tradisi adalah masa depan.
Silih asih, silih asah, silih asuh. Tiga kata ini adalah ringkasan dari seluruh refleksi saya. Mereka adalah kunci untuk hidup harmonis, tidak hanya dengan sesama manusia, tetapi juga dengan seluruh ciptaan. Saya telah membawa ajaran ini ke kota, dan membawanya kembali ke desa, dan saya menyadari bahwa nilai-nilai ini universal, dibutuhkan di mana pun. Kegagalan kota seringkali berasal dari hilangnya kemampuan untuk saling mengasihi, saling membimbing, dan saling melindungi. Dengan menerapkan filosofi ini di komunitas kecil saya, saya berharap dapat memberikan kontribusi kecil namun bermakna bagi dunia yang lebih besar.
Ketika saya menutup mata di malam hari, saya tidak lagi mendengar klakson mobil atau sirene. Yang saya dengar adalah suara alam yang menenangkan: desauan angin di pohon kelapa, gemericik air, dan detak jantung saya yang berirama tenang. Ini adalah musik sejati kehidupan. Dan inilah, bagi saya, makna tertinggi dari otobiografi: mencapai keselarasan antara suara luar dan suara dalam, antara takdir dan pilihan, antara tanah dan jiwa.
Generasi muda harus diajarkan untuk tidak takut pada masa lalu. Masa lalu bukanlah beban, melainkan peta harta karun yang menunjukkan letak kebijaksanaan. Kita harus menggali warisan ini, membersihkannya dari debu zaman, dan menggunakannya sebagai penerang di jalan yang gelap. Saya telah menemukan peta harta karun saya, dan harta karun itu adalah tanah, budaya, dan kearifan Sunda. Dan saya berjanji, melalui setiap helai napas, untuk menjaganya tetap berharga.