Ilustrasi Kesatuan Gereja-gereja Kristen: Simbol Oikumenisme, menyatukan keanekaragaman di bawah satu salib.
Oikumenisme, sebuah istilah yang berasal dari bahasa Yunani "oikoumene" yang berarti "seluruh dunia berpenduduk," merujuk pada gerakan historis dan teologis untuk mempromosikan persatuan di antara gereja-gereja Kristen yang berbeda. Lebih dari sekadar upaya untuk mencapai keseragaman struktural atau keseragaman bentuk, oikumenisme adalah panggilan mendalam untuk mewujudkan doa Yesus Kristus agar para pengikut-Nya "menjadi satu" (Yohanes 17:21). Ini adalah sebuah perjalanan kompleks yang melibatkan dialog, kerja sama, dan rekonsiliasi, melintasi batas-batas denominasi yang telah terbentuk selama berabad-abad perpecahan.
Dalam konteks modern, oikumenisme tidak hanya berfokus pada kesatuan internal umat Kristen, tetapi juga sering kali diperluas untuk mencakup dialog yang lebih luas dengan agama-agama lain—meskipun ini lebih spesifik disebut sebagai dialog antaragama. Namun, inti dari oikumenisme tetaplah pencarian kesatuan yang lebih dalam di antara berbagai tradisi Kristen—Katolik Roma, Ortodoks Timur, Protestan dalam berbagai bentuknya, dan gereja-gereja independen lainnya—yang meskipun memiliki satu Tuhan, satu iman, dan satu baptisan, namun sering kali terpisah oleh doktrin, praktik, sejarah, dan budaya. Perpecahan ini telah melemahkan kesaksian gereja di hadapan dunia yang semakin kompleks dan beragam.
Artikel ini akan mengkaji oikumenisme secara mendalam, mulai dari akar sejarahnya yang panjang yang sarat dengan perpecahan, landasan teologis yang menjadi pijakannya sebagai mandat ilahi, berbagai bentuk dan manifestasi gerakannya yang dinamis, tantangan-tantangan besar yang dihadapinya yang menuntut ketekunan, hingga pencapaian-pencapaian signifikan yang telah diraih, serta prospek dan arah masa depannya yang penuh harapan. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman komprehensif tentang mengapa gerakan ini tetap relevan dan vital dalam lanskap keagamaan dunia yang semakin terfragmentasi, namun juga semakin interconnected, di mana suara persatuan yang otentik sangat dibutuhkan.
Sejarah Kekristenan adalah narasi yang kaya akan pertumbuhan, ekspansi geografis, dan inkulturasi yang menakjubkan, tetapi juga diwarnai oleh serangkaian perpecahan dan skisma yang menyakitkan. Memahami latar belakang perpecahan ini sangat penting untuk mengapresiasi kebutuhan dan dorongan di balik gerakan oikumenisme, yang berupaya menyembuhkan luka-luka sejarah tersebut.
Perpecahan pertama yang signifikan dan membentuk dua cabang besar Kekristenan adalah Skisma Timur-Barat pada tahun 1054. Peristiwa ini secara efektif memisahkan Gereja Ortodoks Timur dari Gereja Katolik Roma. Skisma ini bukanlah kejadian tunggal, melainkan klimaks dari akumulasi ketegangan dan perbedaan yang telah berkembang selama berabad-abad di bidang teologis, liturgis, politik, dan budaya. Perbedaan-perbedaan utama meliputi isu Filioque (penambahan frasa "dan Putera" ke dalam Kredo Nicea oleh Gereja Barat, yang ditolak oleh Gereja Timur), klaim supremasi Paus Roma atas seluruh gereja yang tidak diakui oleh para patriark Timur, serta perbedaan praktik liturgis seperti penggunaan roti beragi atau tidak beragi dalam Ekaristi. Meskipun upaya rekonsiliasi dilakukan beberapa kali—seperti Konsili Lyon (1274) dan Konsili Florence (1439)—perpecahan ini terbukti abadi, membentuk dua tradisi Kristen besar yang memiliki akar apostolik yang sama namun berkembang secara independen, dengan teologi dan spiritualitas yang khas.
Lima abad kemudian, Gereja Barat sendiri mengalami perpecahan dahsyat lainnya: Reformasi Protestan pada abad ke-16. Dipimpin oleh tokoh-tokoh karismatik seperti Martin Luther di Jerman, John Calvin di Jenewa, dan Huldrych Zwingli di Swiss, gerakan ini menantang otoritas Paus, doktrin-doktrin tertentu (seperti indulgensi, transubstansiasi dalam Ekaristi, dan peran perbuatan baik dalam keselamatan), serta praktik-praktik gerejawi. Reformasi menghasilkan munculnya berbagai denominasi Protestan yang menekankan 'sola scriptura' (hanya Kitab Suci sebagai otoritas tertinggi), 'sola fide' (hanya iman sebagai dasar pembenaran), dan 'sola gratia' (hanya anugerah Allah sebagai sumber keselamatan). Perpecahan ini tidak hanya memecah belah Kekristenan Eropa tetapi juga memicu perang-perang agama yang menghancurkan dan menciptakan warisan fragmentasi yang mendalam, dengan ribuan denominasi Protestan yang berbeda bermunculan di seluruh dunia, masing-masing dengan penekanan teologis, struktur gerejawi, dan tradisi liturgisnya sendiri. Perpecahan ini berlanjut hingga kini, dengan denominasi-denominasi baru yang terus terbentuk.
Dorongan modern menuju oikumenisme mulai muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ironisnya, gerakan misionaris Kristen di negara-negara non-Kristen turut berperan dalam memunculkan kesadaran akan perlunya kesatuan. Para misionaris sering kali menghadapi kebingungan dan keengganan dari calon penganut yang melihat berbagai denominasi Kristen saling bersaing, mengajarkan doktrin yang berbeda-beda, dan kadang-kadang bahkan menganggap satu sama lain sebagai saingan. Mereka menyadari bahwa perpecahan ini merupakan hambatan serius bagi kesaksian Injil dan misi Kristen di dunia, sebuah kontradiksi terhadap pesan kasih dan persatuan yang mereka bawa.
Titik balik penting adalah Konferensi Misionaris Dunia di Edinburgh pada tahun 1910. Meskipun fokus utamanya adalah strategi misi global, konferensi ini mempertemukan perwakilan dari berbagai gereja Protestan dan Anglikan. Pertemuan ini mengarah pada kesadaran mendalam akan kebutuhan untuk tidak hanya bekerja sama dalam misi tetapi juga untuk bersatu dalam iman dan praktik. Edinburgh 1910 sering dianggap sebagai "tempat lahir" gerakan oikumenis modern. Dari Edinburgh, muncullah berbagai gerakan yang saling melengkapi seperti "Life and Work" (yang berfokus pada kerja sama praktis dalam isu-isu sosial dan etika, dengan semboyan "doktrin memecah, pelayanan menyatukan") dan "Faith and Order" (yang berfokus pada perbedaan dan kesepakatan doktrinal, dengan misi untuk "menyembuhkan perpecahan doktrinal").
Kedua gerakan ini, bersama dengan Dewan Misionaris Internasional, akhirnya bergabung pada tahun 1948 untuk membentuk Dewan Gereja-gereja Sedunia (DGS) atau World Council of Churches (WCC) di Amsterdam, Belanda. DGS menjadi forum sentral bagi ratusan gereja Protestan, Ortodoks, dan Anglikan untuk dialog, kerja sama, dan pencarian kesatuan yang lebih dalam. Sejak pendiriannya, DGS telah menjadi suara yang kuat untuk persatuan Kristen, keadilan sosial, dan perdamaian dunia, melibatkan gereja-gereja anggota dari seluruh benua, dan memfasilitasi banyak dialog teologis penting serta inisiatif kerja sama praktis.
Gereja Katolik Roma awalnya bersikap hati-hati, bahkan kadang-kadang curiga, terhadap gerakan oikumenis modern yang didominasi Protestan pada paruh pertama abad ke-20. Pandangan tradisional Katolik pada saat itu adalah bahwa kesatuan hanya dapat dicapai melalui kembalinya gereja-gereja yang terpisah ke dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik Roma. Namun, hal ini berubah secara dramatis dengan Konsili Vatikan II (1962-1965), sebuah peristiwa monumental dalam sejarah Gereja Katolik.
Konsili ini menandai perubahan paradigma yang signifikan dalam pendekatan Katolik terhadap gereja-gereja Kristen lainnya. Dokumen Konsili, khususnya Dekrit tentang Oikumenisme, Unitatis Redintegratio, secara eksplisit menyatakan komitmen Gereja Katolik terhadap gerakan oikumenis. Dokumen ini mengakui bahwa "gereja-gereja dan komunitas-komunitas gerejawi" lainnya memiliki "unsur-unsur kekudusan dan kebenaran" yang signifikan, dan bahwa Roh Kudus bekerja di dalamnya sebagai "sarana keselamatan" yang efektif. Ini adalah pengakuan revolusioner yang membuka pintu bagi dialog dan kerja sama yang sebelumnya tidak terbayangkan.
Sejak Konsili Vatikan II, Gereja Katolik Roma telah secara aktif terlibat dalam berbagai dialog bilateral dan multilateral dengan gereja-gereja Ortodoks, Protestan, dan Anglikan. Vatikan mendirikan Dewan Kepausan untuk Mempromosikan Persatuan Kristiani, sebuah badan khusus yang bertugas memajukan hubungan oikumenis. Para Paus seperti Yohanes Paulus II, Benediktus XVI, dan Fransiskus telah secara konsisten menegaskan kembali pentingnya oikumenisme, melakukan perjalanan ke seluruh dunia untuk bertemu dengan para pemimpin gereja lain, dan mengeluarkan pernyataan bersama yang signifikan, seperti Tertio Millennio Adveniente dan Ut Unum Sint yang secara khusus membahas komitmen Katolik terhadap kesatuan Kristen. Keterlibatan Katolik telah memberikan dorongan besar bagi gerakan oikumenis secara keseluruhan, membawa dimensi dan kedalaman teologis yang lebih luas.
Di Indonesia, gerakan oikumenisme memiliki konteks yang unik dan vital, mengingat keberagaman agama dan budaya yang tinggi. Dengan keragaman gereja Protestan yang sangat besar (termasuk gereja-gereja suku, gereja-gereja hasil misi, dan gereja-gereja nasional), ditambah kehadiran Gereja Katolik Roma dan beberapa gereja Ortodoks, kebutuhan akan kerja sama dan persatuan sangat terasa, tidak hanya untuk kesaksian internal tetapi juga untuk dialog dengan agama-agama lain dalam semangat kerukunan antarumat beragama.
Badan yang paling menonjol dalam gerakan oikumenisme di Indonesia adalah Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Didirikan pada tahun 1950 (sebelumnya bernama Dewan Gereja-gereja di Indonesia, DGI), PGI menjadi wadah utama bagi gereja-gereja Protestan di Indonesia untuk bersekutu, berdialog, dan bekerja sama dalam berbagai bidang. PGI telah berperan penting dalam mempromosikan persatuan di antara gereja-gereja anggotanya, menyelenggarakan pertemuan-pertemuan, lokakarya, program-program bersama, dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan teologis serta etis yang relevan dengan konteks Indonesia.
Meskipun PGI didominasi Protestan, terdapat juga upaya-upaya dialog dan kerja sama yang signifikan dengan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang mewakili Gereja Katolik Roma di Indonesia. Kerja sama lintas denominasi ini sering kali terwujud dalam isu-isu sosial, advokasi keadilan, pembangunan perdamaian, pelayanan kemanusiaan, dan yang paling penting, dalam dialog antaragama yang lebih luas di tengah masyarakat majemuk Indonesia. Di tingkat lokal, banyak komunitas gereja dari denominasi yang berbeda juga bekerja sama dalam proyek-proyek pelayanan, ibadah bersama, dan perayaan hari-hari raya Kristen. Kehadiran agama-agama lain di Indonesia justru memperkuat urgensi bagi umat Kristen untuk menampilkan persatuan dalam kesaksian mereka.
Sejarah oikumenisme adalah cerminan dari pergumulan manusia dengan perpecahan dan kerinduan ilahi akan kesatuan. Ini bukan sekadar nostalgia akan masa lalu yang hilang, melainkan pengakuan akan panggilan ilahi untuk menghadirkan kesaksian yang lebih kuat dan relevan tentang Kristus di dunia yang terpecah belah, dan untuk mewujudkan kepenuhan gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik.
Gerakan oikumenisme tidak muncul dari kevakuman sosiologis, pragmatisme semata, atau sekadar keinginan untuk efisiensi organisasi; melainkan, ia memiliki akar yang dalam dalam teologi Kristen itu sendiri. Panggilan untuk persatuan bukanlah ide baru, melainkan resonansi dari inti injil dan ajaran Yesus Kristus serta para rasul, sebuah imperatif yang terukir dalam sifat Allah dan gereja-Nya.
Landasan teologis yang paling fundamental dan paling sering dikutip bagi oikumenisme adalah doa agung Yesus dalam Injil Yohanes pasal 17. Dalam doa perpisahan-Nya yang penuh makna, sesaat sebelum penderitaan-Nya, Yesus memohon kepada Bapa untuk murid-murid-Nya dan semua yang akan percaya kepada-Nya: "Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku" (Yohanes 17:21). Doa ini mengungkapkan beberapa kebenaran esensial bagi oikumenisme.
Pertama, kesatuan murid-murid-Nya bukan hanya tujuan internal bagi umat Kristen, tetapi juga merupakan prasyarat esensial bagi kesaksian Injil kepada dunia. Perpecahan umat Kristen mengaburkan pesan Injil, melemahkan kredibilitas gereja, dan menghambat misi penyelamatan Allah. Ketika dunia melihat umat Kristen terpecah belah dan bersaing, pesan kasih dan perdamaian menjadi sulit diterima. Sebaliknya, kesatuan menjadi tanda yang menarik bagi dunia untuk percaya pada Kristus.
Kedua, doa ini juga menunjukkan bahwa model kesatuan yang dicari adalah kesatuan trinitaris—kesatuan dalam keragaman seperti hubungan yang sempurna dan saling mengasihi antara Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Ini bukan keseragaman yang monoton yang menghapus perbedaan dan kekayaan identitas, tetapi kesatuan yang dinamis di mana identitas dan kekhasan masing-masing dipertahankan dalam suatu relasi yang saling mengasihi, saling menghormati, dan saling melengkapi. Kesatuan oikumenis bukanlah tentang menjadikan semua gereja sama, tetapi tentang menyatukan mereka dalam Kristus, bahkan dengan perbedaan-perbedaan yang sah dan memperkaya.
Surat-surat Paulus, khususnya kepada jemaat di Korintus dan Efesus, mengembangkan metafora gereja sebagai "Tubuh Kristus" (1 Korintus 12:12-27; Efesus 4:4-6). Dalam analogi ini, Kristus adalah Kepala, dan semua orang percaya adalah anggota-anggota yang berbeda namun saling terhubung, saling bergantung, dan saling membutuhkan satu sama lain. Keanekaragaman karunia, fungsi, dan karisma dalam gereja tidak dimaksudkan untuk memecah belah atau menciptakan hierarki superioritas, melainkan untuk memperkaya dan membangun tubuh secara keseluruhan, memungkinkan tubuh untuk berfungsi secara optimal.
Perpecahan dalam tubuh Kristus adalah suatu anomali, suatu penyakit, suatu pelanggaran terhadap kehendak Allah dan identitas gereja yang sejati. Perpecahan tidak hanya merusak kesaksian tetapi juga melukai Kristus sendiri yang adalah Kepala Tubuh. Oikumenisme berusaha untuk memulihkan integritas dan fungsi penuh dari tubuh ini, agar setiap anggota dapat berkontribusi secara harmonis. Paulus secara eksplisit menekankan "satu Tubuh dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, yang di atas semua dan melalui semua dan di dalam semua" (Efesus 4:4-6). Ayat-ayat ini menjadi semacam "kredo oikumenis," menyoroti kesamaan fundamental yang jauh lebih besar dan lebih penting daripada perbedaan-perbedaan yang memecah belah umat Kristen.
Bagi banyak tradisi Kristen, sakramen, khususnya baptisan dan Ekaristi (Perjamuan Kudus), adalah tanda-tanda nyata dan sarana yang efektif dari kesatuan. Unitatis Redintegratio dari Konsili Vatikan II dengan jelas mengakui bahwa baptisan adalah "ikatan sakramental persatuan" yang mengikat semua orang yang dibaptis kepada Kristus, bahkan jika mereka mungkin terpisah dalam persekutuan penuh institusional. Oleh karena itu, baptisan yang sah diakui oleh sebagian besar gereja-gereja Kristen sebagai pintu masuk ke dalam tubuh Kristus yang satu, meskipun ada perbedaan dalam teologi dan praktiknya.
Ekaristi, atau Perjamuan Kudus, adalah sakramen kesatuan par excellence, di mana umat Kristen bersatu dengan Kristus dan satu sama lain dalam persekutuan dengan tubuh dan darah-Nya. Perpecahan gereja sering kali berarti perpecahan meja persekutuan, sebuah ironi yang menyakitkan bagi mereka yang merindukan kesatuan penuh dan yang mengakui Ekaristi sebagai puncak kehidupan Kristen. Dialog oikumenis sering kali berupaya untuk menemukan pemahaman bersama tentang Ekaristi yang dapat memungkinkan persekutuan meja yang lebih luas, atau setidaknya pengakuan timbal balik yang lebih besar akan sakramen ini sebagai tanda kehadiran Kristus yang sejati dan sarana anugerah.
Selain sakramen, pewartaan Firman Tuhan—Kitab Suci—juga merupakan landasan penting bagi oikumenisme. Meskipun ada perbedaan dalam interpretasi dan penekanan, Alkitab diakui sebagai otoritas ilahi yang diinspirasi oleh Allah oleh semua gereja Kristen. Melalui studi Alkitab bersama, refleksi teologis, dan ketaatan kepada Firman, gereja-gereja dapat menemukan titik temu dan pemahaman yang lebih dalam tentang kebenaran ilahi yang mereka yakini bersama, serta mengoreksi kesalahpahaman historis.
Sejak Konferensi Edinburgh 1910, oikumenisme juga dipandang sebagai prasyarat penting untuk efektivitas misi gereja di dunia. Yesus sendiri mengaitkan kesaksian kepada dunia dengan kesatuan para pengikut-Nya ("supaya dunia percaya"). Ketika gereja-gereja bersatu dalam tujuan dan kesaksian mereka, pesan Injil menjadi lebih kredibel, lebih kuat, dan lebih berdaya guna. Perpecahan memecah sumber daya, membingungkan mereka yang di luar, dan merusak kesaksian Kristen. Kesatuan oikumenis, oleh karena itu, adalah imperatif misioner—suatu keharusan bukan hanya untuk kesejahteraan gereja tetapi juga untuk penggenapan mandat Ilahi untuk memberitakan Injil kepada segala bangsa.
Landasan teologis ini secara kumulatif menegaskan bahwa oikumenisme bukanlah pilihan opsional atau proyek sampingan yang menyenangkan yang dapat diabaikan. Sebaliknya, ia adalah sebuah kewajiban teologis yang berakar dalam sifat Allah Tritunggal, identitas gereja sebagai Tubuh Kristus, kesakramentalan hidup Kristen, dan perintah misioner Yesus Kristus. Ini adalah refleksi dari kehendak Allah bagi umat-Nya untuk hidup dalam persekutuan, sehingga dunia dapat melihat kasih Kristus dan percaya kepada-Nya.
Gerakan oikumenisme tidak monolitik; ia terwujud dalam berbagai bentuk dan tingkatan, masing-masing berkontribusi pada tujuan kesatuan yang lebih besar. Pendekatan-pendekatan ini sering kali saling melengkapi, menjangkau aspek teologis, praktis, dan spiritual dari kehidupan gereja, mencerminkan kompleksitas dan kekayaan iman Kristen yang ingin disatukan.
Ini adalah bentuk oikumenisme yang paling formal, seringkali paling intelektual, dan kadang-kadang paling menantang. Dialog teologis melibatkan pertemuan-pertemuan yang terstruktur antara teolog dan perwakilan gereja-gereja yang berbeda untuk membahas doktrin, praktik, dan tradisi. Tujuannya adalah untuk mencari pemahaman bersama yang lebih dalam, mengidentifikasi perbedaan yang memecah belah dan kesamaan yang mempersatukan, dan pada akhirnya untuk mengatasi hambatan-hambatan doktrinal terhadap persekutuan penuh. Dialog ini membutuhkan kejujuran, kerendahan hati, dan kesediaan untuk belajar dari tradisi lain.
Selain dialog teologis yang bersifat reflektif, gereja-gereja juga sering bekerja sama dalam bidang-bidang praktis yang tidak secara langsung melibatkan perbedaan doktrinal yang sensitif. Ini sering disebut sebagai "oikumenisme praktis," "oikumenisme di jalan," atau "oikumenisme aksi." Kerja sama ini seringkali membangun kepercayaan dan hubungan pribadi yang pada gilirannya dapat membuka jalan bagi dialog teologis yang lebih sulit.
Doa adalah inti dari setiap gerakan Kristen yang otentik, dan oikumenisme tidak terkecuali. Bentuk oikumenisme ini melibatkan gereja-gereja yang berdoa bersama untuk kesatuan dan saling mendoakan, mengakui bahwa kesatuan adalah anugerah Allah yang harus dicari dalam kerendahan hati dan ketergantungan pada Roh Kudus. Oikumenisme spiritual menekankan bahwa kesatuan sudah ada di dalam Kristus di antara semua orang yang dibaptis, dan bahwa kita dipanggil untuk mewujudkan kesatuan itu secara lebih penuh.
Pembentukan badan-badan oikumenis seperti Dewan Gereja-gereja Sedunia (WCC) di tingkat global, dan PGI di Indonesia, adalah contoh penting dari oikumenisme institusional. Lembaga-lembaga ini menyediakan struktur dan platform formal untuk dialog, kerja sama, dan koordinasi di antara gereja-gereja anggota. Di tingkat regional dan lokal, ada juga dewan-dewan gereja serupa yang memfasilitasi oikumenisme di wilayah geografis tertentu, mengkoordinasikan proyek-proyek bersama, dan menyelenggarakan acara-acara oikumenis.
Bentuk-bentuk oikumenisme ini, baik formal maupun informal, teologis maupun praktis, spiritual maupun institusional, semuanya berkontribusi pada visi kesatuan Kristen yang lebih besar. Mereka bekerja secara sinergis untuk mendekatkan gereja-gereja, mengatasi perbedaan, dan memungkinkan kesaksian yang lebih kredibel kepada dunia yang sangat membutuhkan harapan dan perdamaian.
Meskipun oikumenisme adalah panggilan ilahi dan telah membuat kemajuan signifikan, perjalanan menuju kesatuan penuh tidaklah mudah. Ada banyak tantangan dan hambatan yang terus-menerus menguji komitmen gereja-gereja terhadap tujuan ini. Tantangan-tantangan ini berakar dalam sejarah, teologi, budaya, dan bahkan dinamika sosial kontemporer. Memahami tantangan-tantangan ini sangat penting untuk merumuskan strategi oikumenis yang efektif dan realistis, yang mengakui kompleksitas dan sensitivitas isu-isu yang terlibat.
Ini adalah inti dari banyak perpecahan historis dan tetap menjadi hambatan terbesar yang paling sulit diatasi. Meskipun ada banyak kesamaan dalam iman Kristen fundamental (misalnya, kepercayaan pada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, Alkitab sebagai Firman Tuhan), perbedaan-perbedaan penting dalam doktrin terus memisahkan gereja-gereja dan mencegah persekutuan penuh. Beberapa isu utama yang seringkali menjadi batu sandungan meliputi:
Mengatasi perbedaan doktrinal ini memerlukan dialog yang sabar, cermat, dan seringkali membutuhkan reformulasi yang kreatif atau pengakuan akan "hierarki kebenaran" (seperti yang diusulkan oleh Konsili Vatikan II), di mana beberapa doktrin lebih sentral bagi iman Kristen daripada yang lain.
Selain doktrin, perbedaan dalam tradisi ibadah, praktik liturgis, dan ekspresi budaya iman juga dapat menjadi penghalang yang signifikan. Selama berabad-abad, gereja-gereja telah mengembangkan cara-cara unik dalam beribadah, merayakan sakramen, dan menjalani kehidupan Kristen. Bagi banyak jemaat, tradisi ini tidak hanya sekadar praktik, tetapi sangat identik dengan identitas denominasional dan spiritual mereka.
Oikumenisme tidak bertujuan untuk menghapus keragaman ini, tetapi untuk menemukan cara agar keragaman dapat dirayakan dan dihargai dalam kesatuan yang lebih besar. Ini membutuhkan penghargaan yang mendalam terhadap tradisi orang lain dan kesediaan untuk memperkaya diri sendiri dengan yang terbaik dari tradisi lain.
Meskipun para pemimpin gereja, teolog, dan aktivis oikumenis mungkin berkomitmen pada oikumenisme, seringkali ada resistensi, ketidakpedulian, atau kurangnya pemahaman di tingkat jemaat atau umat awam. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor:
Untuk berhasil, oikumenisme perlu melibatkan seluruh umat percaya, bukan hanya para ahli. Pendidikan yang inklusif, pengalaman bersama yang positif, dan kesaksian nyata tentang manfaat kerja sama dapat membantu mengatasi hambatan ini dan menumbuhkan "budaya oikumenis" di akar rumput.
Di zaman modern, perbedaan dalam pandangan etika sosial dan moralitas juga menjadi hambatan yang semakin besar, bahkan seringkali lebih memecah belah daripada isu doktrinal tradisional. Isu-isu seperti homoseksualitas, penahbisan perempuan, aborsi, euthanasia, dan pernikahan sesama jenis telah menciptakan perpecahan baru bahkan di dalam denominasi tertentu, apalagi antar denominasi. Gereja-gereja yang memiliki pandangan yang sangat berbeda pada isu-isu ini seringkali merasa sulit untuk menemukan landasan bersama untuk kerja sama yang erat, bahkan jika mereka setuju pada doktrin-doktrin inti, karena isu-isu etika ini menyentuh inti pandangan dunia dan moralitas komunitas.
Dalam beberapa konteks, gereja-gereja masih terlibat dalam praktik proselitisme, yaitu upaya aktif dan seringkali agresif untuk mengkonversi anggota dari denominasi Kristen lain ke denominasi mereka sendiri. Ini sering kali dirasakan sebagai ancaman, pengkhianatan, dan pelanggaran terhadap etika oikumenis oleh gereja-gereja yang menjadi sasaran, merusak kepercayaan dan menghambat upaya oikumenis yang tulus. Persaingan untuk anggota, sumber daya, atau pengaruh di komunitas tertentu juga dapat merusak semangat kerja sama dan menciptakan antagonisme.
Dalam sejarah, perpecahan gereja seringkali terkait erat dengan faktor politik dan nasionalisme. Gereja-gereja Ortodoks, misalnya, seringkali terstruktur sepanjang garis nasional atau etnis (misalnya, Gereja Ortodoks Rusia, Gereja Ortodoks Yunani). Di beberapa negara, gereja-gereja telah menjadi simbol identitas nasional dan budaya yang kuat. Melepaskan afiliasi ini atau mengaburkan batas-batasnya dapat menjadi sangat sulit karena melibatkan identitas budaya dan politik yang dalam dan perasaan loyalitas yang kuat. Konflik politik dapat dengan mudah memperburuk perpecahan gerejawi.
Mengatasi tantangan-tantangan ini membutuhkan kesabaran yang luar biasa, kasih karunia, keberanian untuk menghadapi kebenaran yang tidak nyaman, dan komitmen yang tak tergoyahkan terhadap panggilan Yesus untuk kesatuan. Ini adalah perjalanan panjang yang terus-menerus menuntut pertobatan, pembaharuan, dan keterbukaan dari semua pihak yang terlibat dalam gerakan oikumenis.
Meskipun menghadapi banyak tantangan yang mengakar dan kompleks, gerakan oikumenisme telah mencapai banyak hal yang patut dirayakan. Dampaknya terasa dalam berbagai aspek kehidupan gerejawi dan global, membawa gereja-gereja lebih dekat satu sama lain, meningkatkan saling pengertian dan penghormatan, serta memperkuat kesaksian Kristen di dunia. Pencapaian ini adalah bukti nyata bahwa Roh Kudus sedang bekerja untuk menyembuhkan luka-luka perpecahan.
Salah satu pencapaian terbesar oikumenisme adalah peningkatan drastis dalam saling pengertian, penghormatan, dan rekonsiliasi memori antara gereja-gereja. Sebelum gerakan oikumenis modern, stereotip negatif, prasangka yang diwarisi secara turun-temurun, dan bahkan permusuhan sering mendominasi cara gereja-gereja memandang satu sama lain. Dialog dan pertemuan oikumenis telah membantu membongkar tembok-tembok kesalahpahaman ini, memungkinkan gereja-gereja untuk saling mengenal "sebagaimana adanya," bukan berdasarkan karikatur sejarah.
Hubungan pribadi yang terjalin antara para pemimpin gereja dari berbagai tradisi adalah buah yang tak ternilai dari gerakan oikumenis, menciptakan fondasi kepercayaan yang kuat yang esensial untuk mengatasi perbedaan yang lebih sulit.
Melalui dialog teologis yang intensif dan sabar, beberapa perbedaan doktrinal yang historis telah berhasil diatasi atau setidaknya ditemukan titik temu yang signifikan. Ini adalah prestasi luar biasa mengingat berabad-abad perpecahan dan konflik teologis.
Kesepakatan-kesepakatan ini menunjukkan bahwa rekonsiliasi doktrinal, meskipun sulit, bukanlah hal yang mustahil dan dapat membawa gereja-gereja lebih dekat menuju persekutuan penuh, meskipun langkah-langkah selanjutnya mungkin memerlukan waktu.
Oikumenisme telah secara signifikan memperkuat kerja sama gereja-gereja dalam menghadapi tantangan dunia yang mendesak. Daripada bersaing dan memecah belah sumber daya, gereja-gereja sering menemukan bahwa mereka jauh lebih efektif dan berdampak ketika bekerja sama.
Kerja sama praktis ini tidak hanya membawa manfaat nyata bagi dunia, tetapi juga secara bersamaan memperdalam hubungan dan kepercayaan antara gereja-gereja yang terlibat, membangun jembatan persahabatan dan pengertian.
Minggu Doa Sedunia untuk Persatuan Kristiani adalah contoh paling nyata dari pertumbuhan oikumenisme spiritual. Jutaan orang Kristen dari berbagai tradisi sekarang bersatu dalam doa setiap tahun, memohon kepada Allah untuk kesatuan yang penuh. Ini menciptakan kesadaran global akan tujuan oikumenis dan menumbuhkan kerinduan akan persatuan di tingkat jemaat dan pribadi.
Di luar minggu khusus ini, banyak komunitas lokal secara teratur mengadakan ibadah oikumenis, kelompok belajar Alkitab bersama, dan acara-acara spiritual lainnya yang melibatkan anggota dari berbagai gereja. Ini memperkuat ikatan persaudaraan dan spiritualitas bersama, membantu umat Kristen melihat satu sama lain sebagai saudara dan saudari dalam Kristus.
Meskipun masih ada kasus proselitisme yang tidak etis, gerakan oikumenisme telah berkontribusi pada penurunan praktik proselitisme yang agresif dan tidak etis di antara gereja-gereja anggota WCC dan gereja-gereja yang terlibat dalam dialog oikumenis. Ada pemahaman yang lebih besar bahwa upaya untuk 'mencuri' anggota dari gereja Kristen lain adalah kontraproduktif terhadap tujuan kesatuan dan merusak kesaksian Injil. Banyak gereja telah mengadopsi pedoman etika untuk misi yang menghormati otonomi dan integritas denominasi lain.
Secara keseluruhan, pencapaian oikumenisme menunjukkan bahwa meskipun jalan menuju kesatuan penuh mungkin panjang dan berliku, kemajuan signifikan telah dibuat. Ini adalah bukti bahwa melalui kasih, dialog, ketekunan, dan kebergantungan pada Roh Kudus, gereja-gereja dapat mengatasi perpecahan masa lalu dan bergerak maju menuju masa depan yang lebih bersatu dalam Kristus, demi kemuliaan Allah dan kesaksian dunia.
Gerakan oikumenisme adalah proses yang dinamis dan berkelanjutan, sebuah perjalanan yang belum mencapai tujuannya, tetapi terus bergerak maju. Meskipun banyak yang telah dicapai, jalan di depan masih panjang, penuh dengan harapan yang diperbarui dan tantangan baru yang terus bermunculan. Pertanyaan tentang "bagaimana kesatuan itu akan terlihat" masih terus menjadi subjek perdebatan, refleksi teologis, dan doa yang mendalam.
Salah satu perdebatan sentral dan paling kompleks dalam oikumenisme adalah tentang sifat kesatuan yang diinginkan dan model kesatuan yang paling tepat. Apakah tujuannya adalah kesatuan struktural yang penuh, di mana semua gereja berada di bawah satu kepemimpinan, memiliki doktrin, liturgi, dan praktik yang sama persis (sering disebut sebagai model "kesatuan organik" atau "kesatuan penyerapan")? Atau apakah kesatuan yang lebih realistis dan diinginkan adalah "kesatuan dalam keragaman yang direkonsiliasi," di mana gereja-gereja mempertahankan identitas denominasional mereka yang unik, kekayaan tradisi, dan ekspresi budaya yang sah, namun berada dalam persekutuan penuh satu sama lain, mengakui satu sama lain sebagai gereja sejati, dan berbagi meja persekutuan?
Masa depan oikumenisme kemungkinan akan terus mengeksplorasi model-model ini, mencari keseimbangan yang tepat antara kesatuan esensial dari iman Kristen dan kekayaan ekspresi yang beragam, serta mempertimbangkan bagaimana kesatuan ini terwujud secara kontekstual di berbagai wilayah dan budaya di dunia.
Di abad ke-21, gereja-gereja dihadapkan pada serangkaian tantangan global yang kompleks yang tidak dapat mereka hadapi secara efektif sendiri-sendiri. Krisis iklim, ketidakadilan ekonomi global yang semakin lebar, pengungsian massal, konflik bersenjata yang berkepanjangan, kebangkitan ekstremisme ideologis, dan ancaman pandemi membutuhkan respons yang terkoordinasi dan bersatu dari komunitas Kristen di seluruh dunia. Oikumenisme menyediakan platform dan motivasi untuk respons bersama ini.
Menanggapi tantangan-tantangan ini secara bersama-sama tidak hanya merupakan tindakan altruistik, tetapi juga merupakan cara untuk menghidupkan kesaksian oikumenis dan memperdalam hubungan antar gereja, menunjukkan kepada dunia bahwa iman Kristen memiliki relevansi yang kuat.
Masa depan oikumenisme sangat bergantung pada keterlibatan dan komitmen generasi muda. Seringkali, generasi muda kurang terbebani oleh perpecahan historis dan lebih terbuka terhadap kolaborasi lintas denominasi, melihat nilai dalam kesatuan untuk menghadapi tantangan masa depan. Mendorong pengalaman oikumenis di kalangan anak muda, baik melalui kegiatan bersama, proyek pelayanan, studi Alkitab, atau program pertukaran, sangat penting untuk menumbuhkan mentalitas oikumenis sejak dini.
Selain itu, oikumenisme perlu diperkuat di tingkat lokal, di akar rumput. Kesatuan di tingkat global atau nasional tidak akan berkelanjutan jika tidak ada dukungan, pemahaman, dan partisipasi di tingkat jemaat dan paroki. Ini berarti mendorong gereja-gereja lokal untuk berinteraksi, berdoa bersama, bekerja sama dalam pelayanan kepada komunitas mereka, dan saling mengenal satu sama lain sebagai tetangga Kristen. Oikumenisme bukan hanya tugas bagi para pemimpin, tetapi panggilan bagi setiap umat percaya.
Meskipun oikumenisme secara ketat merujuk pada kesatuan di antara gereja-gereja Kristen, banyak gereja melihat dialog antaragama sebagai perpanjangan alami dari semangat oikumenis mereka, terutama dalam konteks masyarakat pluralistik. Dalam masyarakat yang semakin majemuk, kemampuan umat Kristen untuk berdialog secara konstruktif dan penuh hormat dengan umat agama lain adalah esensial untuk pembangunan perdamaian, pengertian bersama, dan kerja sama dalam isu-isu etika dan sosial. Meskipun dialog antaragama memiliki tujuan yang berbeda dari oikumenisme, semangat keterbukaan, pengertian, dan pencarian kebenaran yang sama mendasarinya.
Akhirnya, masa depan oikumenisme menuntut transformasi diri yang berkelanjutan dan pertobatan oikumenis dari setiap gereja dan setiap umat percaya. Ini adalah proses di mana setiap gereja harus secara jujur mempertanyakan peran mereka sendiri dalam perpecahan dan bersedia untuk belajar dari gereja lain, melepaskan prasangka, dan membuka diri terhadap cara-cara baru dalam memahami iman dan praktik Kristen. Ini bukan tentang satu gereja "menelan" yang lain, melainkan tentang semua gereja bertumbuh bersama menuju kepenuhan Kristus, yang adalah kepala dari Tubuh yang satu. Ini membutuhkan kesediaan untuk mengakui dosa-dosa perpecahan di masa lalu dan untuk bergerak maju dalam semangat rekonsiliasi dan kasih.
Perjalanan oikumenisme adalah perjalanan iman yang berkelanjutan dan tidak pernah berakhir. Ini adalah pengakuan yang rendah hati bahwa Kristus tidak terbagi, dan bahwa gereja-Nya dipanggil untuk mencerminkan kesatuan-Nya di dunia. Dengan harapan yang teguh, doa yang tak henti-henti, dialog yang berani, dan kerja sama yang gigih, gereja-gereja dapat terus bergerak maju menuju kesatuan yang diinginkan Yesus Kristus, sehingga dunia dapat percaya pada Injil kasih dan keselamatan.
Oikumenisme adalah lebih dari sekadar sebuah gerakan; ia adalah sebuah disposisi hati yang mengakar, sebuah komitmen teologis yang mendalam, dan sebuah misi praktis yang mengakar kuat dalam doa Yesus Kristus sendiri untuk kesatuan murid-murid-Nya. Sepanjang sejarah yang panjang dan bergejolak, gereja-gereja Kristen telah mengalami perpecahan yang mendalam, meninggalkan warisan fragmentasi yang menyakitkan, yang tidak hanya melemahkan kesaksian Injil tetapi juga menghambat misi ilahi gereja di dunia.
Namun, dalam dua abad terakhir, telah muncul kembali dorongan yang kuat dan semakin intensif untuk menyembuhkan luka-luka perpecahan ini. Dimulai dengan konferensi-konferensi misionaris awal yang menyadari ironi persaingan denominasi di ladang misi, puncaknya dalam pembentukan Dewan Gereja-gereja Sedunia sebagai forum global untuk persatuan, serta perubahan paradigma yang monumental dalam Gereja Katolik Roma melalui Konsili Vatikan II, gerakan oikumenis telah berkembang menjadi sebuah kekuatan global yang berupaya merajut kembali benang-benang persatuan yang terputus.
Landasan teologis oikumenisme sangat kuat, bersandar pada visi gereja sebagai Tubuh Kristus yang satu dengan Kristus sebagai Kepalanya, panggilan untuk kesatuan yang mencerminkan pola kesatuan Trinitas Ilahi, dan imperatif misioner yang menyatakan bahwa kesaksian dunia tentang Kristus secara intrinsik bergantung pada kesatuan umat percaya. Dari dialog teologis yang mendalam yang berupaya mengatasi perbedaan doktrinal, hingga kerja sama praktis yang luas dalam menghadapi tantangan-tantangan global yang mendesak, dari doa bersama yang tulus untuk persatuan hingga inisiatif oikumenis yang hidup di tingkat lokal, oikumenisme bermanifestasi dalam berbagai cara yang saling melengkapi dan memperkaya.
Tentu saja, jalan menuju kesatuan penuh ini tidaklah tanpa rintangan yang signifikan. Perbedaan doktrinal yang mengakar dalam sejarah, tradisi dan budaya gerejawi yang kuat, kurangnya antusiasme atau pemahaman di tingkat jemaat, dan isu-isu etika kontemporer yang memecah belah terus menjadi tantangan yang menuntut kesabaran dan kebijaksanaan. Namun, pencapaian-pencapaian yang telah diraih—seperti peningkatan saling pengertian dan penghormatan, kesepakatan doktrinal yang signifikan (misalnya, Pernyataan Bersama tentang Doktrin Pembenaran), dan kerja sama yang luas dalam misi dan pelayanan di seluruh dunia—memberikan bukti nyata akan kekuatan Roh Kudus yang bekerja secara terus-menerus untuk menyatukan umat-Nya.
Masa depan oikumenisme akan terus menuntut keberanian untuk menghadapi kebenaran, kerendahan hati untuk belajar dari yang lain, dan komitmen yang gigih terhadap panggilan Yesus. Ini melibatkan eksplorasi model kesatuan yang beragam dan inklusif, penguatan oikumenisme di tingkat akar rumput jemaat, keterlibatan aktif generasi muda sebagai agen perubahan, dan respons bersama yang terkoordinasi terhadap tantangan-tantangan global yang mendesak. Lebih dari segalanya, ini membutuhkan pertobatan oikumenis yang berkelanjutan—kesediaan setiap gereja untuk merefleksikan peran mereka sendiri dalam perpecahan di masa lalu dan masa kini, serta untuk membuka diri terhadap anugerah pembaruan, rekonsiliasi, dan persatuan sejati yang datang dari Allah.
Oikumenisme adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan akhir yang statis yang dapat dicapai sekali untuk selamanya. Ini adalah sebuah proses yang dinamis, sebuah kerinduan yang terus-menerus akan kepenuhan kesatuan yang telah dianugerahkan Kristus kepada gereja-Nya, namun yang belum sepenuhnya terwujud di dunia. Melalui setiap langkah dialog yang jujur, setiap tindakan kerja sama yang tulus, dan setiap doa yang dipanjatkan dari hati untuk persatuan, gereja-gereja semakin mendekat pada visi ilahi tersebut. Dengan demikian, mereka dimampukan untuk memberikan kesaksian yang lebih kuat, lebih utuh, dan lebih kredibel tentang Injil Kristus kepada dunia yang merindukan harapan, kasih, dan perdamaian sejati.
Semoga perjalanan oikumenis ini terus berlanjut, dibimbing dan diinspirasi oleh Roh Kudus, sampai semua orang percaya menjadi satu, sesuai dengan doa dan kehendak Tuhan kita Yesus Kristus.