Pendahuluan: Cahaya di Tengah Kegelapan Zaman
Dalam sejarah spiritual Jepang, Nichiren Daishonin (1222–1282) berdiri sebagai sosok yang tak tertandingi, seorang reformis agama yang berani, visioner, dan penuh semangat. Hidupnya adalah saga perjuangan tak henti melawan kekuatan korupsi, kesalahpahaman, dan penganiayaan, yang semuanya ia hadapi dengan keyakinan teguh pada kebenaran yang ia temukan. Di tengah zaman yang penuh gejolak di Jepang abad ke-13—periode transisi politik, bencana alam, dan konflik sosial—ajaran-ajaran Buddha yang ada saat itu tampaknya gagal menawarkan solusi nyata bagi penderitaan manusia. Nichiren muncul sebagai pembawa terang, mengklaim telah mengungkap inti sejati dari ajaran Buddha Sakyamuni, sebuah kebenaran yang ia yakini mampu membawa kedamaian dan kebahagiaan universal.
Kisah Nichiren Daishonin bukan sekadar catatan biografi seorang tokoh sejarah; ini adalah narasi tentang keberanian spiritual, ketahanan di hadapan adversitas, dan keyakinan tak tergoyahkan pada potensi inheren setiap individu untuk mencapai pencerahan. Ia bukan hanya seorang sarjana Buddha yang brilian, melainkan juga seorang praktisi yang tak kenal lelah, yang menguji ajarannya melalui pengalaman pribadinya yang pahit dan manis. Dari pengasingan di pulau terpencil hingga ancaman eksekusi, Nichiren tetap teguh, menggunakan setiap tantangan sebagai kesempatan untuk memperdalam pemahamannya dan memperkuat tekadnya.
Artikel ini akan menelusuri secara mendalam perjalanan hidup Nichiren Daishonin, dari kelahirannya yang sederhana hingga proklamasi ajaran revolusionernya. Kita akan menyelami inti dari doktrin-doktrinnya yang mendalam, seperti Nam-myoho-renge-kyo, Gohonzon, dan Ichinen Sanzen, serta bagaimana ajaran-ajaran ini membentuk sebuah jalan menuju pencerahan yang relevan bahkan di zaman modern. Lebih jauh lagi, kita akan melihat bagaimana warisan Nichiren terus hidup dan berkembang, memengaruhi jutaan orang di seluruh dunia, mendorong mereka untuk mencari kebahagiaan sejati, membangun masyarakat yang damai, dan mewujudkan potensi tertinggi dalam diri mereka.
Melalui pemahaman yang komprehensif tentang Nichiren Daishonin, kita tidak hanya belajar tentang sejarah Buddhis, tetapi juga mendapatkan wawasan tentang keberanian untuk berdiri membela kebenaran, kekuatan transformatif keyakinan, dan janji abadi pencerahan yang tersedia bagi semua, tanpa memandang latar belakang atau kondisi hidup. Ini adalah kisah seorang manusia yang, melalui perjuangan pribadinya, membuka jalan bagi kebahagiaan kolektif, sebuah cahaya yang terus bersinar menerangi jalan kita.
Kehidupan Awal dan Pencarian Kebenaran
Kelahiran dan Masa Kecil
Nichiren Daishonin lahir pada tanggal 16 Februari di sebuah desa nelayan kecil bernama Kominato, provinsi Awa (sekarang bagian dari prefektur Chiba), Jepang. Nama lahirnya adalah Zennichimaro. Lingkungan kelahirannya yang sederhana, jauh dari pusat-pusat keagamaan atau kekuasaan, mungkin telah membentuk perspektifnya yang unik dan kemampuannya untuk melihat Buddhisme dari sudut pandang rakyat jelata. Pada masa itu, Buddhisme seringkali terbatas pada kalangan bangsawan dan biara-biara besar, sementara masyarakat umum hanya mendapatkan sedikit akses terhadap ajaran-ajaran yang mendalam.
Sejak usia muda, Zennichimaro menunjukkan kecerdasan luar biasa dan semangat bertanya yang tak puas. Ia menyaksikan penderitaan yang meluas di sekitarnya: kelaparan, penyakit, bencana alam, dan ketidakstabilan politik. Pengamatan ini menumbuhkan dalam dirinya keinginan kuat untuk menemukan solusi abadi bagi penderitaan umat manusia, sebuah tujuan yang ia yakini hanya dapat dicapai melalui ajaran Buddha.
Masuk Biara dan Pendidikan Awal
Pada usia 12 tahun, Zennichimaro masuk biara Seicho-ji, sebuah kuil Tendai di dekat desanya, untuk memulai studinya tentang Buddhisme. Di sana, ia mengambil nama Zesho-bo Rencho. Lingkungan biara memberinya akses ke berbagai sutra dan komentar, dan ia belajar dengan tekun di bawah bimbingan para guru terkemuka. Ia mempelajari ajaran-ajaran dari berbagai aliran Buddhis yang dominan pada masa itu, termasuk Tendai, Shingon, Zen, dan Tanah Murni (Jodo/Pure Land).
Pendidikannya tidak terbatas pada Seicho-ji. Dalam pencarian kebenaran yang lebih mendalam, ia melakukan perjalanan ke berbagai pusat pembelajaran Buddhis terkemuka di Jepang, termasuk Kamakura, pusat pemerintahan saat itu, dan Gunung Hiei, markas besar aliran Tendai, serta Gunung Koya, pusat aliran Shingon. Ia menghabiskan bertahun-tahun membaca dan menelaah seluruh kanon Buddhis, sebuah usaha yang sangat melelahkan dan jarang dilakukan oleh para biksu pada masanya. Tujuannya adalah untuk menemukan ajaran paling penting dan esensial dari Buddha Sakyamuni yang dapat menyelamatkan semua orang dari penderitaan.
Krisis Spiritual dan Penemuan Sutra Teratai
Meskipun ia telah mengabdikan dirinya pada studi yang luas, Rencho menemukan bahwa berbagai aliran Buddhis pada zamannya seringkali saling bertentangan dan mengklaim sebagai ajaran tertinggi. Banyak dari mereka juga mengabaikan praktik yang dapat diakses oleh masyarakat umum, berfokus pada ritual-ritual kompleks atau praktik meditasi yang sulit. Ia melihat bahwa Buddhisme telah terpecah-pecah dan kehilangan esensinya, sehingga tidak lagi mampu memberikan pencerahan yang dijanjikan kepada semua orang.
Krisis spiritual ini mendorongnya untuk menyelami lebih dalam kitab-kitab suci, membandingkan ajaran, dan mencari benang merah yang mengikat seluruh ajaran Buddha. Setelah bertahun-tahun penelitian intensif, Rencho sampai pada sebuah kesimpulan revolusioner: bahwa Sutra Teratai (Myoho-renge-kyo) adalah inti sejati dari ajaran Buddha Sakyamuni, dan bahwa Nam-myoho-renge-kyo (Devosi pada Sutra Teratai) adalah praktik utama untuk mencapai pencerahan di Zaman Akhir Dharma (Mappo).
Penemuan ini bukan hanya sebuah kesimpulan akademis, melainkan sebuah keyakinan yang mendalam dan transformatif yang mengubah arah hidupnya. Ia menyadari bahwa Sutra Teratai mengajarkan prinsip kesetaraan fundamental, bahwa semua makhluk hidup memiliki potensi Buddha yang inheren, dan bahwa pencerahan dapat dicapai di kehidupan ini oleh siapa saja, tanpa memandang status sosial, jenis kelamin, atau latar belakang pendidikan.
"Saya tidak memiliki keinginan lain selain untuk menyebarkan satu ajaran ini dan dengan demikian membalas budi sejati kepada Buddha Sakyamuni. Walaupun tidak ada satu pun orang yang mendukung saya, saya akan melakukan ini demi Dharma." — Sebuah intisari dari semangat Nichiren Daishonin
Proklamasi Ajaran dan Tantangan Awal
Deklarasi Agung di Seicho-ji
Pada tanggal 28 April, Rencho, yang kini berusia 32 tahun, mengambil langkah berani untuk mengumumkan temuannya kepada dunia. Di aula utama biara Seicho-ji, di hadapan guru-gurunya dan sejumlah besar biksu serta umat awam, ia secara terang-terangan menyatakan bahwa Nam-myoho-renge-kyo adalah ajaran tertinggi dan universal, dan bahwa aliran-aliran Buddhis lain yang menyimpang dari Sutra Teratai adalah ajaran yang salah dan tidak mampu membawa kebahagiaan sejati. Pada saat inilah ia mengubah namanya menjadi Nichiren, yang berarti "Matahari Teratai," melambangkan terang pencerahan yang ia bawa ke dalam Zaman Akhir Dharma.
Tindakannya ini adalah sebuah tantangan langsung terhadap otoritas agama dan politik yang mapan. Pada masa itu, kritik terbuka terhadap ajaran Buddhis lain dianggap sebagai penghinaan serius dan seringkali berujung pada hukuman berat. Namun, Nichiren tidak gentar. Ia yakin bahwa kebenaran harus diungkapkan demi kebaikan semua orang. Proklamasi ini menandai titik balik dalam sejarah Buddhisme Jepang dan awal dari serangkaian panjang penganiayaan yang akan ia hadapi sepanjang hidupnya.
Rissho Ankoku Ron: Sebuah Peringatan untuk Bangsa
Pada usia 39 tahun, Nichiren menulis salah satu karya terpentingnya, "Rissho Ankoku Ron" (Pencerahan Negara Melalui Penegakan Dharma Sejati). Dalam risalah ini, ia secara tajam mengkritik ketergantungan pemerintah dan rakyat pada ajaran-ajaran yang menyimpang dari Sutra Teratai, terutama aliran Tanah Murni, yang ia yakini menyebabkan keruntuhan moral dan spiritual bangsa. Ia berargumen bahwa bencana-bencana alam yang terus-menerus melanda Jepang—gempa bumi, kelaparan, wabah penyakit, dan ancaman invasi dari luar (khususnya Mongol)—adalah akibat langsung dari penolakan terhadap Dharma Sejati.
Nichiren mempresentasikan Rissho Ankoku Ron kepada otoritas pemerintah di Kamakura, mendesak mereka untuk meninggalkan ajaran-ajaran yang salah dan mengadopsi Nam-myoho-renge-kyo sebagai praktik utama. Ia bahkan berani menubuatkan bahwa jika nasihatnya tidak didengarkan, Jepang akan menghadapi bencana yang lebih besar, termasuk invasi asing. Prediksi ini kemudian terbukti benar dengan dua kali upaya invasi Mongol, yang secara dramatis menguatkan klaim Nichiren di mata para pengikutnya.
Alih-alih disambut dengan penerimaan, Rissho Ankoku Ron justru memicu gelombang permusuhan yang lebih besar dari kalangan biksu aliran lain dan para pejabat pemerintah yang dipengaruhi oleh mereka. Ini adalah titik awal dari serangkaian penganiayaan dan pengasingan yang akan menandai sebagian besar kehidupannya.
Penganiayaan dan Pengasingan: Ujian Keyakinan
Hidup Nichiren Daishonin adalah rangkaian panjang penganiayaan yang tak terhitung jumlahnya, yang ia hadapi dengan ketabahan luar biasa. Setiap penganiayaan bukan hanya ujian fisik dan mental, tetapi juga kesempatan baginya untuk memperdalam pemahaman akan ajaran Buddha dan untuk menunjukkan kekokohan keyakinannya. Ia menganggap penganiayaan ini sebagai validasi bahwa ia sedang menyebarkan Dharma Sejati, sesuai dengan nubuat dalam Sutra Teratai tentang kesulitan yang akan dihadapi oleh mereka yang menyebarkan ajaran di Zaman Akhir Dharma.
1. Penganiayaan Matsubagayatsu
Segera setelah ia mempresentasikan Rissho Ankoku Ron, para biksu dari aliran Tanah Murni yang merasa terancam dengan ajaran Nichiren menghasut otoritas untuk menghukumnya. Pada malam tanggal 27 Agustus, sekelompok biksu fanatik, dengan dukungan dari pemerintah, menyerbu kediamannya di Matsubagayatsu, Kamakura, berniat untuk membunuhnya. Nichiren berhasil melarikan diri, tetapi kejadian ini menandai awal dari penganiayaan sistematis terhadap dirinya dan para pengikutnya.
Penganiayaan ini menegaskan bahwa ajaran Nichiren bukan sekadar teori akademis, melainkan sebuah kekuatan yang menantang status quo dan memprovokasi reaksi keras. Ia mulai menyadari bahwa ia tidak hanya berhadapan dengan perbedaan pandangan agama, tetapi juga dengan kekuatan politik dan sosial yang ingin mempertahankan dominasi mereka.
2. Pengasingan Izu
Pada bulan Mei, pemerintah Kamakura mengeluarkan perintah untuk mengasingkan Nichiren ke Semenanjung Izu yang terpencil. Ini adalah pengasingan pertamanya. Di sana, ia menghadapi kesulitan hidup yang ekstrem, terputus dari para pengikutnya, dan terus-menerus diancam oleh penduduk setempat yang dipengaruhi oleh para biksu lain. Namun, Nichiren tidak menyerah. Ia menggunakan waktu pengasingan ini untuk menulis dan mengajar beberapa pengikut yang berani mendatanginya, semakin memperkuat landasan ajarannya.
Di Izu, ia menunjukkan kemampuannya untuk berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat, dari nelayan hingga pejabat lokal. Ia mengubah hati beberapa penduduk setempat, menunjukkan bahwa pesannya tentang kebahagiaan universal dapat diterima oleh siapa saja yang terbuka terhadap kebenaran.
3. Insiden Komatsubara
Setelah pengasingan Izu berakhir, Nichiren kembali ke Kamakura dan melanjutkan aktivitasnya menyebarkan ajaran. Namun, pada bulan November, saat ia melakukan perjalanan ke kampung halamannya di Awa, ia diserang secara mendadak di Komatsubara oleh sekelompok orang yang dipimpin oleh Tojo Kagenobu, seorang tuan tanah lokal yang fanatik dan dipengaruhi oleh biksu-biksu aliran Tanah Murni. Dalam serangan brutal ini, salah satu pengikutnya, Kyonin-bo, tewas, dan Nichiren sendiri menderita luka serius di kepala dan lengan. Insiden ini adalah salah satu yang paling kejam dalam hidupnya, menunjukkan betapa berbahayanya menyebarkan Dharma Sejati.
Meskipun terluka parah, Nichiren tidak menunjukkan kebencian. Sebaliknya, ia melihat insiden ini sebagai kesempatan untuk menguji keyakinannya dan mengukuhkan tekadnya. Ia menyadari bahwa penderitaan adalah bagian tak terpisahkan dari misi kehidupannya dan bahwa setiap kesulitan membawanya lebih dekat kepada pencerahan.
4. Penganiayaan Tatsunokuchi dan Dorongan Sado
Ini adalah penganiayaan paling dramatis dan hampir merenggut nyawa Nichiren. Pada bulan September, pemerintah Kamakura, di bawah tekanan dari para biksu lain dan pejabat, menangkap Nichiren dengan tuduhan menghasut dan mengancam negara. Ia dibawa ke Tatsunokuchi, di luar Kamakura, untuk dieksekusi. Pada saat-saat terakhir sebelum pedang algojo diayunkan, sebuah fenomena tak biasa—cahaya terang di langit atau kilat—menyebabkan para prajurit ketakutan dan menghentikan eksekusi. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai "Penolakan Pedang Tatsunokuchi," sebuah mukjizat yang diyakini oleh para pengikutnya.
Meskipun eksekusi dibatalkan, pemerintah memutuskan untuk mengasingkannya lagi, kali ini ke Pulau Sado yang terpencil dan sangat keras. Pengasingan Sado adalah periode yang sangat sulit, penuh dengan kelaparan, cuaca ekstrem, dan ancaman dari para pembenci. Namun, ironisnya, ini juga menjadi periode paling produktif bagi Nichiren. Di Sado, ia menulis beberapa risalahnya yang paling penting dan mendalam, termasuk "Kaimoku Sho" (Pembukaan Mata) dan "Kanjin Honzon Sho" (Objek Pemujaan untuk Kontemplasi Pikiran), yang merinci konsep Gohonzon dan esensi ajaran Lotus Sutra. Di sinilah ia mengungkapkan identitasnya sebagai Buddha Sejati di Zaman Akhir Dharma.
Melalui penganiayaan Tatsunokuchi dan pengasingan Sado, Nichiren melampaui identitasnya sebagai seorang guru agama biasa. Ia memahami bahwa ia sedang mewujudkan nubuat Sutra Teratai dan bahwa ia adalah Bodhisattva Bumi yang ditugaskan untuk menyebarkan Dharma Sejati. Ini adalah "dorongan" (casting off) identitas sementara dan pengungkapan identitas sejati atau "identitas primordial" sebagai Buddha. Dari titik ini, ajarannya menjadi lebih mendalam dan universal.
"Ketahuilah, jika ajaran-ajaran Buddha adalah kebenaran, maka tidak ada orang yang dapat menghindari kesulitan." — Sebuah ajaran penting dari Nichiren Daishonin.
Doktrin Inti Nichiren Daishonin: Fondasi Kebahagiaan
Ajaran Nichiren Daishonin berpusat pada pemahaman mendalam tentang Sutra Teratai dan penerapannya secara praktis dalam kehidupan sehari-hari. Ia menyintesis ribuan jilid ajaran Buddha menjadi praktik yang sederhana namun mendalam yang dapat diakses oleh semua orang. Doktrin-doktrin utamanya membentuk fondasi bagi transformasi diri dan masyarakat.
1. Nam-myoho-renge-kyo: Esensi Hidup
Nam-myoho-renge-kyo adalah inti dari ajaran Nichiren Daishonin dan praktik utama bagi para pengikutnya. Ini bukan sekadar mantra atau doa, melainkan perwujudan dari Hukum Universal kehidupan itu sendiri. Mari kita telusuri makna setiap bagiannya:
- Nam (Devotion): Berasal dari bahasa Sansekerta "namas," yang berarti "pengabdian" atau "ketaatan." Ini menunjukkan sikap seseorang yang menghormati dan menyatu dengan hukum kehidupan. Ini bukan pengabdian buta, tetapi pengabdian yang lahir dari pemahaman bahwa hukum ini adalah dasar dari keberadaan kita sendiri.
- Myoho (Mystic Law): Ini adalah dua karakter Jepang, "myo" dan "ho." "Myo" berarti misteri, keajaiban, atau sesuatu yang tidak dapat dipahami dengan pikiran biasa, sementara juga mengandung makna tersembunyi, indah, dan mendalam. "Ho" berarti Dharma, hukum, atau semua fenomena. Jadi, "Myoho" mengacu pada Hukum Mistik, realitas yang mendasari semua fenomena, kekuatan tak terlihat yang menopang alam semesta. Ini adalah hukum yang memungkinkan perubahan dan transformasi, yang memungkinkan kebaikan muncul dari kejahatan dan pencerahan dari ilusi.
- Renge (Lotus Flower): Bunga teratai adalah simbol sentral dalam Buddhisme karena tiga alasan utama:
- Kemurnian dalam Kotoran: Bunga teratai tumbuh dan mekar indah di rawa berlumpur tanpa ternoda oleh lumpur tersebut. Ini melambangkan kemampuan kita untuk mencapai pencerahan dan kebahagiaan di tengah penderitaan dan masalah kehidupan sehari-hari, tanpa harus melarikan diri dari realitas duniawi.
- Simultanitas Sebab dan Akibat: Bunga teratai adalah satu-satunya tanaman yang menghasilkan bunga dan biji (buah) secara bersamaan. Ini melambangkan prinsip "simultanitas sebab dan akibat" (ingu-ichinen), yaitu bahwa potensi Buddha (sebab) dan pencerahan (akibat) sudah ada di dalam diri kita. Kita tidak perlu mencari pencerahan di luar diri kita; itu ada di dalam dan terwujud melalui praktik kita.
- Keindahan dan Kemuliaan: Bunga teratai dianggap sebagai bunga yang paling indah dan mulia, melambangkan keindahan dan kemuliaan dari Dharma Sejati.
- Kyo (Sutra/Suara): Berarti "sutra" atau "ajaran," tetapi juga berarti "suara" atau "getaran." Ini menunjukkan bahwa ajaran Buddha dapat diekspresikan melalui kata-kata dan suara, dan bahwa suara chanting Nam-myoho-renge-kyo itu sendiri adalah manifestasi dari Hukum Mistik. "Kyo" juga melambangkan benang atau untaian, menunjukkan bahwa ajaran Buddha menyatukan semua fenomena dan makhluk hidup, seperti benang yang menghubungkan semua hal dalam sebuah tenunan.
Secara keseluruhan, Nam-myoho-renge-kyo adalah ekspresi verbal dari Hukum Mistik yang mendasari kehidupan dan alam semesta, yang memungkinkan semua orang untuk mengaktualisasikan kondisi Buddha mereka yang inheren. Praktik chanting Nam-myoho-renge-kyo disebut "Daimoku." Melalui Daimoku, seseorang menyelaraskan kehidupannya dengan Hukum Universal, mengaktifkan potensi Buddha dalam dirinya, dan mengatasi segala kesulitan, mengubah karma menjadi misi, serta penderitaan menjadi kebahagiaan.
Nichiren Daishonin mengajarkan bahwa chanting Nam-myoho-renge-kyo adalah kunci untuk membuka kebijaksanaan, keberanian, dan kasih sayang yang inheren dalam setiap individu. Ini adalah praktik yang sederhana namun mendalam, dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja, tanpa memerlukan ritual yang rumit atau pengetahuan yang mendalam tentang filsafat Buddhis.
2. Gohonzon: Objek Pemujaan
Gohonzon adalah objek pemujaan dalam Nichiren Buddhisme. Ini adalah gulungan kaligrafi yang ditulis oleh Nichiren Daishonin sendiri, berpusat pada karakter Nam-myoho-renge-kyo, yang diapit oleh nama-nama berbagai dewa pelindung, bodhisattva, dan bahkan tokoh-tokoh jahat dari ajaran Buddha. Gohonzon adalah perwujudan visual dari kondisi Buddha Nichiren Daishonin, dan pada saat yang sama, berfungsi sebagai cermin yang memantulkan kondisi Buddha inheren dalam diri para praktisi.
Nichiren mengajarkan bahwa Gohonzon bukanlah dewa yang harus disembah, melainkan representasi visual dari Hukum Mistik yang ada di dalam kehidupan setiap individu. Dengan memusatkan perhatian pada Gohonzon saat chanting Daimoku, para pengikut dapat menyatukan kehidupan mereka dengan Hukum Mistik, mengeluarkan potensi Buddha mereka, dan mewujudkan kebahagiaan di kehidupan ini. Gohonzon membantu memfokuskan pikiran dan hati, memungkinkan praktisi untuk mengalami dan mengaktualisasikan "Ichinen Sanzen" (Tiga Ribu Alam dalam Satu Momen Kehidupan) dalam diri mereka.
Pentingnya Gohonzon terletak pada kemampuannya untuk berfungsi sebagai "pusat" di mana kehidupan praktisi menyatu dengan alam semesta. Ini adalah "titik temu" di mana kesadaran individu dan kebijaksanaan kosmik berinteraksi, memfasilitasi transformasi batin dan eksternal. Gohonzon bukanlah objek magis, melainkan alat untuk membantu praktisi mengakses kekuatan spiritual yang sudah ada di dalam diri mereka.
3. Ichinen Sanzen: Tiga Ribu Alam dalam Satu Momen Kehidupan
Ichinen Sanzen, atau "Tiga Ribu Alam dalam Satu Momen Kehidupan," adalah konsep filosofis yang mendalam yang menjelaskan seluruh realitas fenomena dalam satu momen kehidupan seseorang. Meskipun merupakan doktrin Tendai, Nichiren Daishonin menafsirkan dan mempraktikkannya dengan cara yang jauh lebih praktis dan relevan.
Konsep ini didasarkan pada:
- Sepuluh Kondisi Kehidupan (Jikkai): Ini adalah sepuluh potensi atau keadaan kehidupan yang dapat dialami seseorang dalam satu momen, mulai dari Neraka (penderitaan ekstrem) hingga Kebuddhaan (kebahagiaan absolut, kebijaksanaan, dan kasih sayang). Sepuluh kondisi ini tidak statis atau terpisah, melainkan dinamis dan saling mencakup.
- Sepuluh Faktor Universal (Junyoze): Setiap kondisi kehidupan memiliki sepuluh faktor yang menjelaskan bagaimana kehidupan itu terwujud. Ini termasuk sifat (karakteristik), substansi (hakikat), potensi (kemampuan laten), efek laten (pengaruh internal), sebab utama (motif), sebab sekunder (faktor pendorong eksternal), efek (hasil langsung), pembalasan (hasil jangka panjang), awal dan akhir yang sama (koherensi seluruh proses), dan kesamaan semua ini dari awal hingga akhir.
- Tiga Alam Eksistensi (San Seken): Setiap Sepuluh Kondisi Kehidupan dan Sepuluh Faktor Universal terwujud dalam tiga alam yang berbeda:
- Alam Lima Agregat: Individu itu sendiri (fisik dan mental).
- Alam Makhluk Hidup: Hubungan antarindividu dan masyarakat.
- Alam Lingkungan: Lingkungan fisik dan sosial tempat seseorang hidup.
Ketika Sepuluh Kondisi Kehidupan (10) dikalikan dengan Sepuluh Faktor Universal (10) dan Tiga Alam Eksistensi (3), kita mendapatkan 3.000 (10 x 10 x 3 = 3.000). Ichinen Sanzen mengajarkan bahwa seluruh realitas ini, dengan segala kompleksitas dan keragamannya, terkandung dalam satu momen pikiran atau kehidupan kita. Ini berarti bahwa potensi untuk mengalami kondisi Buddha, atau sebaliknya, penderitaan yang paling dalam, ada di dalam diri kita setiap saat. Praktik Nam-myoho-renge-kyo memungkinkan kita untuk mengarahkan hidup kita menuju kondisi Buddha, memanifestasikan kebijaksanaan dan kasih sayang di setiap momen.
Ichinen Sanzen menekankan bahwa kebahagiaan dan penderitaan bukan berasal dari luar, melainkan manifestasi dari kondisi batin kita. Dengan mengubah kondisi batin kita melalui praktik Buddhis, kita dapat mengubah segalanya dalam hidup kita—hubungan, pekerjaan, kesehatan, dan bahkan lingkungan kita. Ini adalah doktrin yang memberdayakan, menegaskan bahwa kita memiliki kendali atas nasib kita sendiri.
4. Kosen-rufu: Perdamaian Dunia Melalui Buddhisme
Kosen-rufu adalah tujuan akhir dari ajaran Nichiren Daishonin, yang berarti "penyebaran luas" (kosen) dan "kedamaian dan keamanan bagi semua makhluk" (rufu). Ini bukan sekadar penyebaran ajaran ke seluruh dunia, tetapi mewujudkan masyarakat yang damai, adil, dan sejahtera, di mana setiap individu dapat mencapai potensi penuhnya dan hidup bahagia. Kosen-rufu mencakup transformasi individu, transformasi masyarakat, dan transformasi dunia.
Nichiren Daishonin yakin bahwa dengan menyebarkan dan mempraktikkan Hukum Mistik secara luas, orang-orang akan mengembangkan sifat Buddha mereka, yang pada gilirannya akan mengarah pada penciptaan masyarakat yang berdasarkan pada kebijaksanaan, kasih sayang, dan rasa hormat terhadap martabat kehidupan. Kosen-rufu adalah visi utopis namun dapat dicapai, di mana penderitaan diatasi bukan hanya pada tingkat individu, tetapi juga pada tingkat global.
Konsep ini mengajarkan bahwa perubahan sejati dimulai dari dalam diri. Ketika individu-individu mengubah kehidupan mereka sendiri, mereka secara otomatis mulai memengaruhi lingkungan mereka, keluarga mereka, komunitas mereka, dan akhirnya, seluruh dunia. Kosen-rufu adalah aspirasi untuk menciptakan dunia di mana semua orang dapat menikmati kebahagiaan sejati dan di mana perdamaian abadi menjadi kenyataan.
Ini bukan tentang memaksakan agama kepada orang lain, melainkan tentang menciptakan lingkungan di mana setiap orang dapat menemukan kebahagiaan sejati mereka sendiri, yang pada akhirnya akan berkontribusi pada kebahagiaan semua. Kosen-rufu adalah komitmen terhadap martabat kehidupan dan keyakinan akan potensi tak terbatas umat manusia.
5. Esho Funi: Kesatuan Hidup dan Lingkungan
Esho Funi adalah prinsip yang menyatakan bahwa "kehidupan dan lingkungannya tidaklah terpisah." "E" mengacu pada lingkungan, sedangkan "sho" mengacu pada kehidupan itu sendiri. "Funi" berarti "dua tetapi tidak dua," yang menunjukkan bahwa meskipun kehidupan dan lingkungannya tampak berbeda, mereka pada dasarnya adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Prinsip ini mengajarkan bahwa kehidupan individu tidak dapat dipisahkan dari lingkungan tempat ia hidup. Kondisi batin seseorang memengaruhi lingkungannya, dan sebaliknya, lingkungannya memengaruhi kondisi batin seseorang. Misalnya, jika seseorang memancarkan kondisi kehidupan yang positif dan penuh vitalitas, ia akan cenderung menciptakan lingkungan yang positif di sekitarnya. Sebaliknya, lingkungan yang rusak atau tidak harmonis dapat memengaruhi kondisi mental dan fisik seseorang.
Esho Funi memiliki implikasi mendalam untuk pemahaman kita tentang tanggung jawab lingkungan dan sosial. Ini menegaskan bahwa masalah-masalah lingkungan bukanlah masalah eksternal yang terpisah dari kita, melainkan cerminan dari kondisi batin kolektif umat manusia. Untuk mengatasi krisis lingkungan, kita harus mengubah hati dan pikiran kita, mengembangkan kebijaksanaan dan kasih sayang yang lebih besar.
Prinsip ini juga berarti bahwa tidak ada yang disebut "korban" sepenuhnya. Meskipun kita mungkin menghadapi kesulitan dari lingkungan kita, kita selalu memiliki kekuatan untuk mengubah bagaimana kita bereaksi terhadapnya dan bagaimana kita memengaruhinya. Dengan mengubah kehidupan batin kita melalui praktik Buddhisme, kita dapat mengubah nasib kita dan menciptakan lingkungan yang lebih baik.
6. Shikishin Funi: Kesatuan Tubuh dan Pikiran
Mirip dengan Esho Funi, Shikishin Funi berarti "tubuh dan pikiran (roh) tidaklah terpisah." "Shiki" mengacu pada aspek fisik atau jasmani kehidupan, dan "shin" mengacu pada aspek spiritual, mental, atau rohani. "Funi" sekali lagi menunjukkan bahwa keduanya adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan, meskipun tampak berbeda.
Doktrin ini menolak dualisme Barat yang memisahkan tubuh dan pikiran secara radikal. Dalam Buddhisme Nichiren, tubuh dan pikiran adalah dua aspek dari entitas kehidupan yang sama. Kesehatan fisik memengaruhi kondisi mental, dan kondisi mental memengaruhi kesehatan fisik. Misalnya, stres dan kecemasan dapat menyebabkan penyakit fisik, sementara penyakit fisik dapat memengaruhi suasana hati dan kejernihan pikiran.
Implikasi praktis dari Shikishin Funi adalah bahwa untuk mencapai kesehatan dan kebahagiaan sejati, kita harus merawat kedua aspek kehidupan kita—fisik dan spiritual. Praktik Buddhisme Nichiren, dengan chanting Nam-myoho-renge-kyo, bertujuan untuk mengharmoniskan tubuh dan pikiran, membawa vitalitas ke dalam tubuh dan ketenangan serta kebijaksanaan ke dalam pikiran. Ketika tubuh dan pikiran berada dalam keselarasan, seseorang dapat berfungsi pada tingkat optimal, mengatasi kesulitan, dan menikmati kebahagiaan yang mendalam.
Prinsip ini juga menyoroti pentingnya hidup di saat ini (here and now) dan merangkul seluruh keberadaan kita sebagai satu kesatuan. Tidak ada gunanya mencari pencerahan di luar tubuh atau meninggalkan dunia fisik untuk mencari kebahagiaan spiritual. Pencerahan terjadi ketika kita mengintegrasikan tubuh dan pikiran kita, dan menjalani kehidupan kita sepenuhnya.
7. Hossha Renge: Orang Biasa Adalah Buddha Sejati
Hossha Renge, atau "Membuka Bunga Teratai dan Memanifestasikan Buddha," adalah prinsip yang mengajarkan bahwa setiap orang biasa (bonpu) memiliki potensi Buddha yang inheren. Ini adalah salah satu doktrin paling revolusioner dari Nichiren Daishonin, yang secara langsung menantang pandangan tradisional bahwa pencerahan hanya dapat dicapai oleh sedikit orang terpilih setelah bertahun-tahun praktik yang ketat atau dalam kehidupan mendatang.
Nichiren mengajarkan bahwa seperti bunga teratai yang mekar dari lumpur, kondisi Buddha kita tersembunyi di balik ilusi dan penderitaan kehidupan sehari-hari. Melalui praktik Nam-myoho-renge-kyo, kita dapat "membuka" bunga teratai itu dan memanifestasikan kondisi Buddha kita yang inheren di kehidupan ini, dalam tubuh ini. Ini berarti bahwa kita tidak perlu menjadi biksu atau biksuni, atau menarik diri dari masyarakat, untuk mencapai pencerahan.
Prinsip ini menegaskan martabat dan nilai yang tak terbatas dari setiap individu. Tidak peduli seberapa rendah atau menderita kondisi seseorang, ia selalu memiliki potensi untuk menjadi seorang Buddha yang tercerahkan. Ini adalah ajaran yang sangat demokratis dan memberdayakan, yang memberi harapan kepada semua orang, tanpa memandang latar belakang, status sosial, atau kesalahan di masa lalu.
Hossha Renge adalah janji bahwa setiap individu dapat mengubah karma mereka, mengatasi penderitaan, dan mencapai kebahagiaan mutlak di kehidupan ini. Ini adalah inti dari "humanisme Buddhis" Nichiren, yang menempatkan manusia dan potensi mereka sebagai pusat dari ajaran.
8. Keunggulan Sutra Teratai
Sebagai fondasi dari semua ajarannya, Nichiren Daishonin dengan tegas menyatakan bahwa Sutra Teratai (Myoho-renge-kyo) adalah ajaran tertinggi dan paling komprehensif dari Buddha Sakyamuni. Ia menafsirkannya sebagai satu-satunya sutra yang mengungkapkan "kebenaran hakiki" tentang kehidupan, yaitu bahwa semua makhluk hidup memiliki potensi Buddha dan bahwa pencerahan dapat dicapai oleh siapa saja.
Ia berpendapat bahwa sutra-sutra lain hanyalah "ajaran-ajaran provisional" yang disesuaikan dengan kapasitas orang-orang pada masa itu, sementara Sutra Teratai adalah "ajaran sejati" yang membuka jalan universal menuju pencerahan. Keunggulan Sutra Teratai terletak pada dua poin utama:
- Doktrin Pencerahan Universal: Sutra Teratai secara eksplisit menyatakan bahwa semua orang, tanpa kecuali, dapat mencapai Kebuddhaan. Ini termasuk wanita, orang-orang jahat, dan mereka yang dianggap tidak mampu oleh ajaran-ajaran sebelumnya.
- Pencerahan di Kehidupan Ini (Sokushin Jobutsu): Sutra ini juga mengajarkan bahwa pencerahan tidak perlu menunggu kehidupan mendatang atau memerlukan praktik yang ekstrem, tetapi dapat dicapai "sekarang" dan "di sini" oleh orang biasa.
Nichiren percaya bahwa di Zaman Akhir Dharma, ketika orang-orang telah kehilangan kemampuan untuk memahami ajaran-ajaran kompleks, inti dari Sutra Teratai—yaitu Nam-myoho-renge-kyo—adalah satu-satunya praktik yang efektif untuk membangkitkan potensi Buddha dalam diri setiap orang.
Penekanannya pada Sutra Teratai bukan karena dogmatisme, melainkan karena ia melihatnya sebagai satu-satunya ajaran yang secara komprehensif menjelaskan prinsip-prinsip kehidupan, memberikan harapan bagi semua orang, dan menawarkan metode praktis untuk mewujudkan pencerahan dalam kehidupan sehari-hari. Baginya, Sutra Teratai adalah cermin yang memantulkan kebenaran fundamental alam semesta dan potensi tak terbatas umat manusia.
Periode Minobu: Penyusunan Ajaran dan Pelatihan Murid
Setelah pengasingan di Sado berakhir, Nichiren Daishonin, meskipun diundang kembali ke Kamakura oleh pemerintah, memilih untuk mengundurkan diri ke Gunung Minobu, sebuah daerah terpencil di Prefektur Yamanashi saat ini. Ia tiba di Minobu pada Mei dan menghabiskan sisa sembilan tahun hidupnya di sana. Periode ini, yang dikenal sebagai periode Minobu, adalah masa yang relatif damai dan sangat produktif, di mana ia mengabdikan dirinya untuk menulis risalah-risalah penting, melatih para muridnya, dan meletakkan dasar bagi kelanjutan ajarannya.
Kehidupan di Gunung Minobu
Di Minobu, Nichiren tinggal di sebuah gubuk sederhana, dikelilingi oleh alam pegunungan. Meskipun ia secara fisik terisolasi dari pusat-pusat kekuasaan dan agama, ia tetap aktif secara intelektual dan spiritual. Para pengikutnya, yang jumlahnya semakin banyak, sering mengunjunginya di Minobu, membawa persembahan dan menerima instruksi darinya. Ini adalah masa di mana hubungan antara Nichiren dan para muridnya semakin mendalam, dan ia membentuk fondasi untuk jaringan pengikut yang kuat yang akan meneruskan misinya.
Meskipun ia telah melewati banyak penganiayaan dan penderitaan, Nichiren tidak menunjukkan kepahitan. Sebaliknya, ia memancarkan kedamaian dan kebijaksanaan yang mendalam, menggunakan pengalamannya untuk mengajar dan menginspirasi orang lain. Ia seringkali menulis surat-surat kepada para pengikutnya, memberikan bimbingan spiritual, dorongan, dan penjelasan rinci tentang ajaran Buddha. Surat-surat ini, yang dikenal sebagai "Gosho" (Tulisan-tulisan Nichiren Daishonin), kini menjadi teks-teks dasar bagi para pengikutnya.
Penulisan Karya-karya Penting
Minobu adalah tempat di mana banyak dari ajaran-ajaran Nichiren Daishonin dikodifikasi dan diperjelas. Selain melanjutkan penjelasan tentang Nam-myoho-renge-kyo dan Gohonzon, ia menulis banyak risalah penting yang membentuk kerangka teoritis dan praktis Nichiren Buddhisme. Beberapa di antaranya meliputi:
- "Senji Sho" (Memilih Waktu yang Tepat): Menjelaskan pentingnya menyebarkan ajaran Buddha sesuai dengan kemampuan dan waktu, menegaskan bahwa Zaman Akhir Dharma adalah waktu untuk praktik Sutra Teratai.
- "Ho-on Sho" (Membalas Budi): Sebuah surat yang ia tulis sebagai ungkapan terima kasih kepada gurunya, Dozen-bo, dan di dalamnya ia menjelaskan ajaran esensialnya dengan sangat jelas.
- "Pilihan Waktu" (Kaimoku Sho dan Kanjin Honzon Sho adalah fondasinya): Ia terus-menerus menekan pentingnya menyebarkan ajaran di waktu yang tepat, yaitu di Zaman Akhir Dharma, ketika ajaran-ajaran provisional lainnya telah kehilangan efektivitasnya.
Melalui tulisan-tulisannya, Nichiren tidak hanya menjelaskan filosofi Buddhis, tetapi juga memberikan pedoman praktis bagi kehidupan sehari-hari. Ia menekankan pentingnya keyakinan yang teguh, praktik yang konsisten, dan studi yang mendalam. Ia juga mengajarkan bagaimana mengubah karma, menghadapi kesulitan, dan mencapai kebahagiaan dalam hidup ini.
Pelatihan Murid dan Penerus
Salah satu kontribusi terpenting Nichiren pada periode Minobu adalah pelatihan intensif para muridnya, yang ia sebut sebagai "Enam Pendeta Senior." Murid-murid ini adalah penerus yang ia tunjuk untuk melanjutkan penyebaran Dharma Sejati setelah kematiannya. Ia tidak hanya mengajar mereka filsafat Buddhis, tetapi juga menanamkan semangat keberanian, ketabahan, dan kasih sayang yang telah ia tunjukkan sepanjang hidupnya.
Ia menetapkan pedoman untuk bagaimana ajaran harus disebarkan dan dijaga kemurniannya, memastikan bahwa Buddhisme Nichiren akan terus berkembang dan memberikan manfaat bagi generasi mendatang. Hubungan antara Nichiren dan murid-muridnya tidak hanya terbatas pada hubungan guru-murid formal, melainkan juga hubungan spiritual yang mendalam, di mana ia membimbing mereka untuk mengembangkan kondisi Buddha mereka sendiri.
Wafat dan Warisan Awal
Pada bulan September, kesehatan Nichiren Daishonin mulai memburuk. Ia meninggalkan Minobu untuk mencari perawatan medis di Hot Springs di Hitachi. Namun, dalam perjalanannya, ia berhenti di rumah salah satu pengikutnya, Ikegami Munenaka, di Musashi (sekarang bagian dari Tokyo). Di sana, ia memberikan instruksi terakhir kepada para muridnya, menunjuk Nikko Shonin sebagai penerus utamanya, dan meninggal dunia pada tanggal 13 Oktober. Kata-kata terakhirnya dilaporkan menekankan pentingnya melanjutkan Kosen-rufu dan melindungi Dharma Sejati.
Meskipun ia telah meninggal dunia, warisannya baru saja dimulai. Para muridnya membawa abunya kembali ke Minobu dan mendirikan Kuil Kuon-ji sebagai kuil utama bagi Buddhisme Nichiren. Dari sana, ajaran-ajarannya mulai menyebar, meskipun tidak selalu tanpa tantangan dan perpecahan internal di antara berbagai sekolah yang muncul dari ajarannya.
Periode Minobu adalah penutup yang agung bagi kehidupan yang penuh perjuangan, di mana Nichiren Daishonin mengonsolidasikan ajarannya, melatih penerusnya, dan memastikan bahwa benih Kebahagiaan Universal yang ia tanam akan terus tumbuh dan berkembang untuk generasi yang akan datang.
Warisan dan Pengaruh: Cahaya Abadi Nichiren Daishonin
Wafatnya Nichiren Daishonin bukanlah akhir dari ajarannya, melainkan awal dari babak baru dalam penyebarannya. Warisannya tidak hanya terbatas pada Jepang, tetapi telah menyebar ke seluruh dunia, memengaruhi jutaan orang dan menginspirasi gerakan perdamaian dan kebahagiaan universal.
Perkembangan Nichiren Buddhisme di Jepang
Setelah kematian Nichiren, ajarannya terus disebarkan oleh para muridnya, terutama oleh Nikko Shonin, yang ia tunjuk sebagai penerus utamanya. Namun, seperti halnya banyak gerakan keagamaan besar, interpretasi dan praktik ajarannya mulai berkembang menjadi berbagai sekolah dan sekte. Beberapa sekolah yang muncul antara lain Nichiren Shu, Nichiren Honshu, Kempon Hokke Shu, dan lainnya, masing-masing dengan penekanan dan praktik yang sedikit berbeda, tetapi semuanya berakar pada ajaran Nichiren Daishonin dan Sutra Teratai.
Meskipun terjadi perpecahan, esensi ajaran Nichiren—keyakinan pada Nam-myoho-renge-kyo, Gohonzon, dan potensi Buddha setiap individu—tetap menjadi benang merah yang kuat. Selama berabad-abad, Nichiren Buddhisme tetap menjadi kekuatan spiritual yang signifikan di Jepang, terutama di kalangan masyarakat umum, yang tertarik pada pesan kesetaraan dan pemberdayaan yang ditawarkannya.
Pada abad ke-20, salah satu perkembangan paling signifikan dalam sejarah Nichiren Buddhisme adalah munculnya gerakan-gerakan awam yang beranggotakan jutaan orang, yang bertujuan untuk menerapkan ajaran Nichiren dalam kehidupan sehari-hari dan menyebarkan Kosen-rufu secara global. Gerakan-gerakan ini, yang terbesar adalah Soka Gakkai, telah membawa ajaran Nichiren Daishonin melampaui batas-batas Jepang dan menyentuh hati orang-orang di seluruh dunia.
Dampak Global dan Relevansi Modern
Saat ini, ajaran Nichiren Daishonin telah menemukan resonansi yang mendalam di lebih dari 190 negara dan wilayah di seluruh dunia. Daya tariknya terletak pada pesan universalnya yang tidak terbatas pada budaya atau etnis tertentu. Beberapa aspek kunci yang membuatnya relevan di dunia modern adalah:
- Pemberdayaan Individu: Di zaman di mana banyak orang merasa tidak berdaya, ajaran Nichiren menegaskan bahwa setiap individu memiliki potensi tak terbatas untuk menciptakan nilai dan mengubah nasibnya. Ini memberikan harapan dan kepercayaan diri.
- Tanggung Jawab Pribadi: Ajaran tentang Ichinen Sanzen dan Esho Funi menekankan bahwa kebahagiaan dan penderitaan kita berasal dari kondisi kehidupan kita sendiri dan bahwa kita bertanggung jawab atas lingkungan kita. Ini mendorong inisiatif dan tindakan positif.
- Fokus pada Duniawi: Buddhisme Nichiren tidak mengharuskan seseorang untuk melarikan diri dari dunia atau kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, ia mengajarkan bahwa pencerahan dicapai "di dalam" dan "melalui" tantangan kehidupan. Ini menarik bagi orang-orang yang ingin menemukan makna spiritual tanpa meninggalkan tanggung jawab mereka.
- Aktivisme untuk Perdamaian: Konsep Kosen-rufu mendorong para pengikut untuk secara aktif berkontribusi pada penciptaan perdamaian dunia, penghapusan senjata nuklir, perlindungan lingkungan, dan pembangunan masyarakat yang berkeadilan. Ini menjadikan Nichiren Buddhisme sebagai kekuatan yang relevan dalam mengatasi masalah global.
- Dialog dan Toleransi: Meskipun Nichiren sendiri mengkritik ajaran-ajaran lain, pengikut modernnya menekankan pentingnya dialog antaragama dan toleransi. Mereka percaya bahwa dengan berbagi kebijaksanaan dan pengalaman, kita dapat membangun jembatan pemahaman dan perdamaian.
- Transformasi Karma: Ajaran tentang "mengubah racun menjadi obat" (hendoku iyaku) meyakinkan orang bahwa bahkan pengalaman paling menyakitkan pun dapat diubah menjadi sumber pertumbuhan dan pencerahan. Ini memberikan perspektif yang kuat untuk menghadapi kesulitan.
Pengaruh Nichiren Daishonin dapat dilihat dalam upaya perdamaian global, dialog lintas budaya, dan pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan. Gerakan yang terinspirasi olehnya telah mempromosikan budaya perdamaian, penghargaan terhadap martabat kehidupan, dan pemberdayaan perempuan serta minoritas. Ini menunjukkan bahwa ajaran-ajaran yang disebarkannya delapan abad yang lalu masih memiliki kekuatan transformatif untuk membentuk masa depan yang lebih baik.
Warisan Nichiren Daishonin adalah tentang keberanian untuk berdiri membela kebenaran, keyakinan pada potensi tak terbatas setiap individu, dan tekad untuk mewujudkan perdamaian sejati di dunia. Ia mengajarkan bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk menjadi cahaya bagi diri mereka sendiri dan bagi orang lain, dan bahwa melalui upaya kolektif, kita dapat membangun dunia yang lebih baik.
"Bunga yang paling indah adalah hati manusia yang termulia." — Sebuah kutipan yang menggambarkan inti ajaran Nichiren Daishonin tentang nilai kemanusiaan.
Kesimpulan: Sebuah Legenda Abadi dan Inspirasi Tanpa Batas
Dari desa nelayan sederhana di Awa hingga puncak Gunung Minobu yang sunyi, kehidupan Nichiren Daishonin adalah sebuah epos spiritual yang penuh perjuangan, penemuan, dan keteguhan tak tergoyahkan. Ia muncul di tengah zaman yang kacau balau, tidak hanya sebagai seorang sarjana Buddhis yang brilian, tetapi juga sebagai seorang nabi, seorang reformis, dan seorang pejuang kebenaran yang tidak gentar menghadapi penganiayaan paling brutal.
Melalui keyakinannya yang mendalam pada Sutra Teratai, ia mengungkap inti sejati dari ajaran Buddha Sakyamuni, merumuskannya ke dalam praktik sederhana namun mendalam: chanting Nam-myoho-renge-kyo. Ajaran-ajarannya yang revolusioner—mengenai Gohonzon sebagai cermin kondisi Buddha, Ichinen Sanzen yang menjelaskan bahwa seluruh alam semesta ada dalam diri kita, Esho Funi yang menyatukan hidup dan lingkungannya, serta Hossha Renge yang menyatakan bahwa orang biasa pun adalah Buddha sejati—telah memberdayakan jutaan orang untuk mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan dan mengaktualisasikan potensi tertinggi mereka.
Nichiren Daishonin mengajarkan kita bahwa pencerahan bukanlah tujuan yang jauh atau eksklusif, melainkan keadaan hidup yang dapat dicapai oleh siapa saja, di mana saja, di kehidupan ini. Ia menunjukkan melalui teladannya bahwa tantangan dan penganiayaan bukanlah hambatan, melainkan pupuk yang memperkuat keyakinan dan memperdalam kebijaksanaan. Semangat "tidak menyerah" dan "berjuang demi kebenaran" adalah inti dari warisan yang ia tinggalkan.
Visi Kosen-rufu-nya—perdamaian dunia dan kebahagiaan universal yang dicapai melalui transformasi individu—tetap menjadi aspirasi yang kuat bagi para pengikutnya di seluruh dunia. Di abad ke-21, di tengah krisis global dan perpecahan sosial, ajaran Nichiren Daishonin menawarkan peta jalan yang relevan dan praktis menuju dunia yang lebih damai, adil, dan berbelas kasih. Ia mengingatkan kita bahwa perubahan sejati dimulai dari dalam diri kita, dari revolusi manusia dalam hati setiap individu.
Lebih dari sekadar sebuah sistem kepercayaan, Nichiren Buddhisme adalah filosofi kehidupan yang mengajarkan kita untuk menghargai martabat setiap individu, untuk mengatasi kesulitan dengan keberanian dan harapan, dan untuk secara aktif berkontribusi pada penciptaan nilai dalam masyarakat. Kisah Nichiren Daishonin adalah bukti abadi dari kekuatan keyakinan, kekuatan keberanian, dan kekuatan transformatif dari sebuah ajaran yang berani menantang kegelapan untuk membawa cahaya. Ia adalah sebuah legenda abadi, yang ajarannya terus menginspirasi generasi demi generasi untuk membangun dunia yang lebih baik, satu hati pada satu waktu.