Panduan Lengkap Niat Puasa 9 Muharram (Tasu'a)
Bulan Muharram merupakan salah satu dari empat bulan haram (suci) dalam kalender Islam, di mana setiap amal ibadah dilipatgandakan pahalanya. Di antara amalan yang sangat dianjurkan pada bulan ini adalah berpuasa sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram.” Salah satu puasa sunnah yang memiliki keistimewaan khusus di bulan Muharram adalah puasa Tasu'a, yang dilaksanakan pada tanggal 9 Muharram.
Puasa ini memiliki kaitan erat dengan puasa Asyura pada tanggal 10 Muharram. Melaksanakan puasa Tasu'a menjadi penyempurna dan pembeda dari kebiasaan ibadah umat lain pada masanya. Artikel ini akan membahas secara mendalam dan komprehensif mengenai niat puasa 9 Muharram, lengkap dengan lafal, arti, sejarah, keutamaan, serta panduan praktis pelaksanaannya agar kita dapat menjalankan ibadah ini dengan pemahaman yang utuh dan keyakinan yang kuat.
Lafal Niat Puasa 9 Muharram (Tasu'a)
Niat merupakan rukun fundamental dalam setiap ibadah. Ia adalah penentu sah atau tidaknya suatu amalan, sekaligus pembeda antara satu ibadah dengan ibadah lainnya, serta antara ibadah dengan kebiasaan sehari-hari. Niat bersemayam di dalam hati, namun melafalkannya (talaffuzh) dianjurkan oleh sebagian ulama untuk membantu memantapkan dan mengukuhkan maksud di dalam hati.
Berikut adalah lafal niat yang bisa dibaca saat hendak melaksanakan puasa sunnah Tasu'a pada tanggal 9 Muharram.
نَوَيْتُ صَوْمَ تَاسُوعَاءَ لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma Taasuu'aa-a lilaahi ta'aalaa.
Artinya: "Saya niat puasa Tasu'a karena Allah ta'ala."
Kapan Waktu Membaca Niat Puasa Tasu'a?
Waktu ideal untuk berniat puasa, baik wajib maupun sunnah, adalah pada malam hari sebelum terbit fajar. Ini didasarkan pada hadits yang menyatakan bahwa tidak ada puasa bagi orang yang tidak berniat sebelum fajar. Namun, para ulama memberikan kelonggaran khusus untuk puasa sunnah.
Menurut mayoritas ulama, termasuk mazhab Syafi'i, niat puasa sunnah seperti puasa Tasu'a boleh dilakukan pada siang hari, dengan syarat orang tersebut belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar, seperti makan, minum, atau berhubungan suami istri. Kelonggaran ini didasarkan pada hadits riwayat Aisyah radhiyallahu 'anha, di mana suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, "Apakah engkau punya sesuatu (untuk dimakan)?" Aisyah menjawab, "Tidak." Maka beliau bersabda, "Kalau begitu, aku berpuasa." (HR. Muslim).
Jadi, jika seseorang bangun di pagi hari tanggal 9 Muharram dan belum sarapan atau melakukan pembatal puasa lainnya, kemudian ia teringat atau memutuskan untuk berpuasa Tasu'a, ia boleh langsung berniat dan memulai puasanya sejak saat itu hingga waktu Maghrib tiba.
Sejarah dan Latar Belakang Disyariatkannya Puasa Tasu'a
Untuk memahami keutamaan puasa Tasu'a, kita tidak bisa melepaskannya dari konteks puasa Asyura (10 Muharram). Kisah ini bermula ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah. Beliau mendapati kaum Yahudi di sana berpuasa pada hari kesepuluh bulan Muharram, yang mereka sebut sebagai hari Asyura.
Ketika ditanya mengenai alasan mereka berpuasa, kaum Yahudi menjelaskan bahwa hari itu adalah hari bersejarah yang agung. Itu adalah hari di mana Allah Subhanahu wa Ta'ala menyelamatkan Nabi Musa 'alaihissalam dan kaumnya, Bani Israil, dari kejaran Firaun dan bala tentaranya. Sebagai bentuk syukur atas pertolongan tersebut, Nabi Musa berpuasa pada hari itu, dan tradisi itu mereka teruskan.
Mendengar penjelasan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Musa daripada kalian."
Kemudian, beliau pun berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk turut berpuasa. Ini menunjukkan pengakuan Islam terhadap kenabian Musa dan penghormatan atas hari kemenangan kebenaran atas kebatilan yang Allah berikan kepadanya.
Keinginan untuk Berbeda (Mukhalafah)
Seiring berjalannya waktu, Islam terus berkembang dengan syariat dan identitasnya yang khas. Prinsip untuk berbeda dari tradisi ibadah umat lain (mukhalafah) menjadi salah satu ciri khas ajaran Islam. Para sahabat kemudian menyampaikan kepada Rasulullah bahwa hari Asyura juga diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Timbullah keinginan untuk memiliki ciri khas dalam pelaksanaan ibadah puasa Asyura.
Menanggapi hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan sebuah visi dan rencana agung. Beliau bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma:
"Apabila aku masih hidup pada tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan (juga)." (HR. Muslim)
Inilah cikal bakal disyariatkannya puasa Tasu'a. Sabda ini menunjukkan tekad kuat Rasulullah untuk menambahkan puasa pada tanggal 9 Muharram untuk menyertai puasa tanggal 10 Muharram. Tujuannya jelas: untuk membedakan amalan umat Islam dari amalan Ahli Kitab. Namun, takdir Allah berkehendak lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat sebelum sempat bertemu dengan bulan Muharram di tahun berikutnya. Meskipun beliau belum sempat melaksanakannya, tekad dan sabda beliau sudah menjadi sunnah yang diikuti oleh para sahabat dan umat Islam hingga hari ini.
Oleh karena itu, melaksanakan puasa Tasu'a bukan sekadar ibadah sunnah biasa, tetapi juga sebuah wujud ketaatan kita dalam mengikuti petunjuk dan keinginan Rasulullah untuk menyempurnakan ibadah dan menegaskan identitas keislaman.
Keutamaan dan Manfaat Puasa 9 Muharram
Meskipun hadits spesifik tentang keutamaan menghapus dosa setahun secara eksplisit merujuk pada puasa Asyura, puasa Tasu'a memiliki keutamaan yang tidak terpisahkan darinya. Para ulama menjelaskan beberapa hikmah dan keutamaan dari pelaksanaan puasa pada tanggal 9 Muharram ini.
1. Mengikuti Sunnah dan Tekad Rasulullah
Keutamaan terbesar dari puasa Tasu'a adalah meneladani dan menjalankan apa yang telah dicita-citakan oleh Rasulullah. Meskipun beliau belum sempat melakukannya, niat dan ucapan beliau adalah bagian dari sunnah (dikenal sebagai sunnah hammiyah atau sunnah berbentuk keinginan). Melaksanakannya adalah bukti cinta dan ketaatan kita kepada beliau.
2. Menjadi Pembeda dari Umat Lain
Sebagaimana dijelaskan dalam sejarahnya, hikmah utama puasa Tasu'a adalah untuk menyelisihi atau berbeda dari kebiasaan kaum Yahudi yang hanya berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki identitas yang kuat dan mandiri dalam beribadah, meskipun asal-muasal sebuah amalan memiliki akar sejarah yang sama. Ini mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga kemurnian dan kekhasan syariat Islam.
3. Penyempurna Ibadah Puasa Asyura
Imam an-Nawawi dan ulama lainnya menjelaskan bahwa puasa Tasu'a berfungsi sebagai pelengkap dan penyempurna puasa Asyura. Dengan berpuasa dua hari berturut-turut (tanggal 9 dan 10), seorang muslim keluar dari hukum makruh (kurang disukai) jika hanya berpuasa pada hari Asyura saja. Ini karena berpuasa pada tanggal 10 saja menyerupai amalan kaum Yahudi. Dengan menambahkan tanggal 9, ibadah tersebut menjadi lebih sempurna dan lebih dicintai Allah.
4. Bentuk Kehati-hatian (Ihtiyath)
Berpuasa pada tanggal 9 Muharram juga berfungsi sebagai bentuk kehati-hatian agar tidak terlewat dari keutamaan puasa Asyura. Terkadang, terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan (ru'yatul hilal) yang dapat menyebabkan pergeseran tanggal. Dengan berpuasa pada tanggal 9, seseorang memastikan bahwa ia tidak akan ketinggalan hari Asyura yang sebenarnya jika terjadi kesalahan dalam penghitungan kalender.
5. Meraih Keutamaan Umum Puasa di Bulan Muharram
Setiap hari di bulan Muharram adalah waktu yang istimewa untuk berpuasa. Puasa Tasu'a adalah bagian dari rangkaian puasa di "bulan Allah" ini. Dengan melaksanakannya, kita turut meraih keutamaan umum sebagai puasa terbaik setelah puasa Ramadan, yang menjanjikan pahala besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini adalah kesempatan emas untuk mengumpulkan bekal akhirat dan mendekatkan diri kepada-Nya di awal tahun hijriah.
Panduan Praktis Pelaksanaan Puasa Tasu'a
Pelaksanaan puasa Tasu'a pada dasarnya sama seperti puasa sunnah lainnya. Berikut adalah panduan praktis dari sahur hingga berbuka yang dapat diikuti.
1. Sahur di Akhir Waktu
Sahur adalah makan dan minum sebelum terbit fajar sebagai persiapan untuk berpuasa. Meskipun bukan rukun, sahur sangat dianjurkan karena di dalamnya terdapat keberkahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur itu terdapat berkah." (HR. Bukhari dan Muslim).
Sunnahnya adalah mengakhirkan waktu sahur hingga mendekati waktu imsak atau adzan Subuh. Hal ini memberikan kekuatan lebih untuk menjalani puasa seharian. Konsumsilah makanan yang sehat dan bergizi seimbang, seperti karbohidrat kompleks, protein, serta serat dari buah dan sayur. Jangan lupa untuk minum air putih yang cukup untuk mencegah dehidrasi.
2. Menahan Diri dari Pembatal Puasa
Inti dari puasa adalah menahan diri (imsak) dari segala hal yang membatalkannya, mulai dari terbit fajar (waktu Subuh) hingga terbenam matahari (waktu Maghrib). Hal-hal yang secara fisik membatalkan puasa meliputi:
- Makan dan minum dengan sengaja.
- Memasukkan sesuatu ke dalam rongga tubuh yang terbuka (seperti mulut dan hidung) dengan sengaja.
- Muntah dengan sengaja.
- Berhubungan suami istri di siang hari.
- Keluarnya darah haid atau nifas bagi wanita.
Namun, hakikat puasa tidak hanya sebatas menahan lapar dan dahaga. Puasa yang sempurna adalah puasa yang melibatkan seluruh anggota tubuh. Jagalah lisan dari perkataan dusta, ghibah (menggunjing), dan perkataan sia-sia. Tundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan. Jaga pendengaran dari ucapan yang tidak baik. Gunakan waktu puasa untuk refleksi diri dan meningkatkan kualitas spiritual.
3. Menyegerakan Berbuka (Iftar)
Ketika waktu Maghrib tiba, yang ditandai dengan terbenamnya matahari dan kumandang adzan, sunnahnya adalah untuk segera berbuka puasa. Menunda-nunda berbuka tanpa alasan yang syar'i adalah perbuatan yang kurang disukai.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan untuk berbuka dengan kurma basah (ruthab). Jika tidak ada, maka dengan kurma kering (tamr). Dan jika tidak ada keduanya, maka cukup dengan beberapa teguk air putih. Ini adalah cara berbuka yang ringan dan sesuai sunnah sebelum melaksanakan shalat Maghrib.
Jangan lupakan untuk memanjatkan doa saat berbuka, karena waktu tersebut adalah salah satu waktu mustajab untuk berdoa. Doa yang masyhur dibaca adalah:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Dzahabazh zhoma'u wabtallatil 'uruuqu wa tsabatal ajru insya Allah.
Artinya: "Telah hilang dahaga, telah basah kerongkongan, dan semoga pahala tetap tercurahkan, insya Allah."
4. Memperbanyak Amalan Saleh
Hari puasa adalah hari ibadah. Manfaatkan waktu di tanggal 9 Muharram untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah lainnya. Beberapa amalan yang sangat dianjurkan adalah:
- Membaca Al-Qur'an: Luangkan waktu lebih banyak untuk berinteraksi dengan firman Allah.
- Berdzikir dan Beristighfar: Basahi lisan dengan tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dan memohon ampunan kepada Allah.
- Bersedekah: Memberi makan orang yang berbuka puasa memiliki pahala yang besar. Selain itu, perbanyak sedekah kepada fakir miskin dan anak yatim.
- Menjaga Shalat Berjamaah: Usahakan untuk melaksanakan shalat fardhu tepat waktu dan berjamaah di masjid bagi kaum pria.
Tanya Jawab Seputar Puasa Tasu'a
Berikut adalah beberapa pertanyaan yang sering muncul terkait pelaksanaan puasa 9 Muharram beserta jawabannya berdasarkan pandangan para ulama.
Bolehkah menggabungkan niat puasa Tasu'a dengan puasa ganti (qadha) Ramadan?
Masalah ini merupakan salah satu topik diskusi dalam fiqih. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama:
- Pendapat Pertama: Tidak Boleh Digabungkan. Sebagian ulama berpendapat bahwa puasa qadha Ramadan adalah ibadah wajib yang berdiri sendiri (mustaqil), sementara puasa Tasu'a adalah ibadah sunnah yang juga berdiri sendiri. Keduanya memiliki niat dan tujuan yang berbeda sehingga tidak bisa digabungkan dalam satu amalan. Mereka yang mengikuti pendapat ini harus memilih salah satu: mendahulukan qadha Ramadan atau melaksanakan puasa sunnah Tasu'a. Prioritas utama tentu saja adalah membayar utang puasa wajib.
- Pendapat Kedua: Boleh Digabungkan. Sebagian ulama lain, terutama dari kalangan mazhab Syafi'i, memperbolehkan penggabungan niat. Seseorang bisa berniat untuk puasa qadha Ramadan pada hari Tasu'a, dan ia diharapkan juga mendapatkan pahala puasa sunnah Tasu'a. Logikanya mirip dengan seseorang yang masuk masjid lalu melaksanakan shalat qabliyah (sunnah rawatib) yang sekaligus berfungsi sebagai shalat tahiyatul masjid. Niat utamanya adalah yang wajib (qadha), namun karena dilaksanakan pada hari yang memiliki keutamaan, ia juga mendapat pahala kesunnahan. Namun, pahala yang didapat mungkin tidak sesempurna jika puasa sunnah tersebut dilakukan secara terpisah.
Kesimpulannya, yang paling utama dan keluar dari perbedaan pendapat adalah melaksanakan keduanya secara terpisah. Namun, jika waktu sempit dan seseorang ingin memanfaatkan hari istimewa tersebut untuk membayar utang puasa, maka mengikuti pendapat yang memperbolehkan adalah sebuah kelonggaran. Wallahu a'lam bishawab.
Bagaimana jika tidak sengaja makan atau minum saat berpuasa?
Jika seseorang makan atau minum karena lupa, tidak sengaja, atau dipaksa, maka puasanya tidak batal dan ia wajib melanjutkannya hingga waktu berbuka. Ini adalah bentuk rahmat dari Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang makan atau minum karena lupa padahal ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah-lah yang memberinya makan dan minum." (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun, begitu teringat bahwa ia sedang berpuasa, ia harus segera berhenti makan atau minum dan mengeluarkan sisa makanan dari mulutnya.
Bagaimana jika tanggal 9 Muharram jatuh pada hari Jumat?
Terdapat hadits yang melarang mengkhususkan hari Jumat untuk berpuasa sunnah. Namun, larangan ini berlaku jika seseorang berpuasa pada hari Jumat tanpa ada sebab khusus, melainkan hanya karena menganggap hari Jumat itu sendiri sebagai hari istimewa untuk berpuasa. Jika puasa pada hari Jumat bertepatan dengan puasa sunnah yang rutin dilakukan (seperti puasa Daud) atau puasa sunnah yang memiliki sebab tertentu (seperti puasa Arafah, Asyura, atau Tasu'a), maka hukumnya diperbolehkan dan tidak termasuk dalam larangan. Terlebih lagi, puasa Tasu'a (9 Muharram) dianjurkan untuk digandengkan dengan puasa Asyura (10 Muharram), sehingga puasanya tidak lagi sendirian di hari Jumat.
Bolehkah hanya puasa Tasu'a saja tanpa puasa Asyura?
Boleh dan tetap sah sebagai puasa sunnah di bulan Muharram. Seseorang yang hanya berpuasa pada tanggal 9 Muharram akan mendapatkan pahala puasa sunnah di bulan yang mulia. Namun, ia akan kehilangan keutamaan yang lebih besar, yaitu mengikuti sunnah Rasulullah secara lebih sempurna untuk menyelisihi kaum Yahudi dan meraih pahala spesifik dari puasa Asyura. Puasa Tasu'a pada hakikatnya adalah "pengiring" bagi puasa Asyura. Maka, yang paling ideal dan dianjurkan adalah menggabungkan keduanya.
Penutup: Meraih Kemuliaan di Awal Tahun
Puasa Tasu'a pada tanggal 9 Muharram adalah sebuah ibadah yang sarat dengan nilai sejarah, spiritual, dan ketaatan. Ia bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan sebuah pernyataan cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan melaksanakan apa yang menjadi tekad beliau. Ibadah ini mengajarkan kita tentang pentingnya memiliki identitas sebagai seorang muslim, menyempurnakan amalan, dan senantiasa berhati-hati dalam menjalankan syariat.
Mari kita sambut awal tahun hijriah ini dengan semangat untuk meningkatkan kualitas ibadah. Manfaatkan kesempatan emas di bulan Muharram untuk melaksanakan puasa Tasu'a dan Asyura. Semoga dengan niat yang tulus karena Allah Ta'ala, kita dapat meraih ampunan-Nya, meneladani sunnah Nabi-Nya, dan memulai lembaran baru di tahun yang baru dengan hati yang lebih bersih dan jiwa yang lebih dekat kepada-Nya.