Menjelajahi kehidupan, kampanye militer, reformasi, dan warisan abadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah dunia.
Gambar: Siluet Napoleon Bonaparte, sang kaisar agung.
Sejarah Eropa dan dunia tidak akan lengkap tanpa menelaah secara mendalam sosok Napoleon Bonaparte. Lahir di pulau Corsica, seorang jenderal artileri rendahan yang kemudian bangkit menjadi Kaisar Prancis dan penguasa sebagian besar Eropa, Napoleon adalah perwujudan ambisi, kecemerlangan strategis, dan kejeniusan politik yang jarang tertandingi. Kehidupannya yang singkat namun penuh gejolak meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada peta politik, hukum, dan budaya benua. Artikel ini akan menelusuri perjalanan luar biasa Napoleon, dari masa kecilnya yang sederhana hingga ke puncak kekuasaan dan kejatuhannya yang dramatis, serta menganalisis warisan abadi yang ia tinggalkan.
Pengaruh Napoleon melampaui medan perang. Ia merombak sistem hukum, administrasi, pendidikan, dan hubungan gereja-negara di Prancis dan wilayah-wilayah yang ia taklukkan. Kode Napoleon, reformasi birokrasi, dan gagasan tentang meritokrasi menjadi fondasi bagi banyak negara modern. Namun, ambisinya yang tak terbatas juga memicu serangkaian konflik berdarah yang dikenal sebagai Perang Napoleonik, menelan jutaan nyawa dan mengubah tatanan Eropa secara fundamental. Memahami Napoleon berarti memahami sebuah era transformatif yang membentuk dunia modern.
Napoleon Bonaparte dilahirkan pada 15 Agustus 1769 di Ajaccio, Corsica, hanya setahun setelah pulau tersebut dialihkan dari Republik Genoa ke Prancis. Lingkungan kelahirannya ini memiliki dampak signifikan pada identitas dan pandangan dunianya. Sebagai seorang Corsican, ia tumbuh dengan perasaan sebagai orang luar di Prancis, sering kali menghadapi ejekan dan diskriminasi karena aksen dan latar belakangnya. Keluarga Bonaparte adalah bangsawan kecil Italia yang miskin, dan ayahnya, Carlo Buonaparte, seorang pengacara, mendukung aneksasi Prancis untuk mendapatkan keuntungan politik dan ekonomi bagi keluarganya. Ibunya, Maria Letizia Ramolino, dikenal karena ketegasan dan disiplinnya, sifat-sifat yang tampaknya diwarisi oleh Napoleon.
Pada usia sembilan tahun, Napoleon dikirim ke daratan Prancis untuk mendapatkan pendidikan militer, pertama di perguruan tinggi agama di Autun, kemudian di sekolah militer di Brienne-le-Château. Di Brienne, ia menunjukkan bakat luar biasa dalam matematika dan geografi, mata pelajaran yang vital untuk karier artileri. Namun, ia tetap menjadi sosok yang pendiam dan terisolasi, sering menghabiskan waktu dengan membaca buku tentang sejarah, geografi, dan taktik militer. Ketertarikannya pada tokoh-tokoh besar seperti Alexander Agung dan Julius Caesar mulai terbentuk di masa ini, membayangkan kemungkinan pencapaian serupa untuk dirinya sendiri.
Pendidikan puncaknya datang di École Militaire di Paris, tempat ia lulus sebagai letnan dua di resimen artileri pada usia 16 tahun. Sebagai seorang perwira artileri, ia mendalami ilmu tentang proyektil, benteng, dan strategi perang, yang kelak akan menjadi keunggulan taktisnya. Periode awal ini, meskipun penuh tantangan sosial, membentuk dasar intelektual dan militer Napoleon, mengasah pikiran analitisnya dan menumbuhkan ambisinya yang tak tergoyahkan. Ia adalah seorang pembaca yang rakus, menyerap karya-karya Rousseau, Voltaire, dan pemikir Pencerahan lainnya, yang membentuk pemahamannya tentang politik dan masyarakat, meskipun ia sering menafsirkan ide-ide ini melalui lensa pragmatisme dan kekuasaan.
Ketika Revolusi Prancis meletus, Napoleon, yang pada saat itu adalah seorang perwira muda, berada di Corsica. Awalnya, ia terlibat dalam politik Corsica, mendukung faksi nasionalis yang dipimpin oleh Pasquale Paoli. Namun, pandangan pro-Prancisnya membuat ia berselisih dengan Paoli, dan keluarganya terpaksa melarikan diri ke daratan Prancis pada tahun 1793. Pelarian ini menjadi titik balik, memaksa Napoleon untuk sepenuhnya merangkul identitas Prancis dan mengarahkan ambisinya ke dalam struktur militer Republik Prancis yang baru.
Kesempatan besar pertama Napoleon datang selama Pengepungan Toulon pada tahun 1793. Kota pelabuhan ini telah memberontak melawan Republik dan diduduki oleh pasukan Inggris, Spanyol, dan royalis Prancis. Sebagai kapten artileri, Napoleon merumuskan rencana brilian untuk merebut kembali kota tersebut dengan menempatkan artileri di posisi-posisi kunci yang mendominasi pelabuhan. Keberhasilan strateginya terbukti, dan Toulon jatuh ke tangan Republik. Prestasi ini menarik perhatian komite keamanan publik yang kuat, termasuk Augustin Robespierre, adik dari Maximilien Robespierre. Napoleon dipromosikan menjadi brigadir jenderal pada usia 24 tahun.
Setelah jatuhnya Robespierre pada tahun 1794 dan berakhirnya Rezim Teror, karier Napoleon sempat goyah karena asosiasinya dengan faksi Jacobin yang kalah. Ia bahkan sempat ditangkap. Namun, krisis lain memberinya kesempatan kedua. Pada Oktober 1795, ia dipanggil untuk meredakan pemberontakan royalis di Paris yang mengancam pemerintahan Direktorat. Napoleon dengan sigap menggunakan "meriam peluru anggur" (grape-shot) untuk menembaki massa, secara brutal menumpas pemberontakan. Tindakan ini menyelamatkan Direktorat dan memberinya reputasi sebagai seseorang yang tegas dan efektif dalam menghadapi ancaman internal. Sebagai imbalannya, ia dipromosikan menjadi komandan Tentara Interior dan kemudian, yang lebih penting, menjadi komandan Tentara Prancis di Italia.
Gambar: Simbol pedang dan mahkota, melambangkan kekuasaan militer dan politik.
Penugasan Napoleon untuk memimpin Tentara Italia adalah sebuah misi yang dianggap sulit oleh banyak orang. Pasukannya kurang terlatih, kelaparan, dan tidak memiliki peralatan yang memadai. Namun, Napoleon dengan cepat mengubah situasi ini. Dengan pidato-pidato yang membakar semangat, ia memotivasi pasukannya dan menjanjikan kejayaan serta rampasan perang. Dalam serangkaian kampanye yang menakjubkan, ia mengalahkan Austria dan sekutunya, Piedmont-Sardinia, berkali-kali.
Melalui kemenangannya, Napoleon tidak hanya mengamankan kendali Prancis atas Italia Utara tetapi juga mengubah lanskap politik semenanjung Italia, mendirikan "republik-republik saudari" yang pro-Prancis. Kampanye ini juga menunjukkan kejeniusan Napoleon dalam taktik, kecepatan pergerakan pasukan, dan kemampuan memanfaatkan artileri. Ia tidak hanya memenangkan pertempuran tetapi juga mahir dalam diplomasi, memaksakan Perjanjian Campo Formio pada Austria, yang mengakhiri Perang Koalisi Pertama dan memberikan Prancis wilayah yang signifikan.
Setelah kesuksesannya di Italia, Direktorat, yang khawatir dengan popularitas Napoleon, menugaskannya untuk memimpin ekspedisi ke Mesir. Tujuan resmi adalah untuk mengganggu rute perdagangan Inggris ke India, tetapi juga untuk menjauhkan Napoleon dari panggung politik Prancis. Kampanye ini, meskipun pada akhirnya gagal secara militer, adalah ekspedisi yang ambisius, menggabungkan tujuan militer dengan tujuan ilmiah dan budaya.
Terjebak di Mesir, Napoleon berusaha melakukan reformasi administrasi dan mendirikan lembaga-lembaga ala Prancis. Bersama pasukannya, ia membawa para sarjana dan ilmuwan yang melakukan penemuan signifikan, termasuk penemuan Batu Rosetta, yang menjadi kunci untuk memahami hieroglif Mesir kuno. Namun, kampanye tersebut menghadapi perlawanan keras dari Ottoman dan Inggris, serta wabah penyakit. Setelah serangkaian kekalahan, dan mendengar tentang kekacauan politik di Prancis, Napoleon diam-diam meninggalkan pasukannya di Mesir dan kembali ke Prancis pada tahun 1799, melihat peluang untuk mengambil alih kekuasaan.
Kembalinya Napoleon dari Mesir pada Oktober 1799 disambut dengan antusiasme oleh sebagian besar rakyat Prancis, yang muak dengan korupsi dan ketidakstabilan pemerintahan Direktorat. Prancis berada dalam kekacauan politik dan militer, dengan Direktorat yang lemah dan tidak efektif menghadapi ancaman internal dan eksternal. Napoleon dengan cepat bersekutu dengan Emmanuel Sieyès, salah satu Direktur yang ingin menggulingkan pemerintahan dan membentuk sistem yang lebih kuat.
Pada 9 November 1799 (18 Brumaire menurut kalender Revolusi Prancis), sebuah kudeta militer dilancarkan. Dengan dukungan pasukannya, Napoleon dan para konspirator membubarkan Dewan Lima Ratus dan Dewan Sesepuh. Meskipun ada sedikit perlawanan dan momen-momen genting di mana Napoleon sendiri hampir digagalkan, kudeta tersebut berhasil. Sebuah pemerintahan baru, Konsulat, didirikan, dengan tiga konsul sebagai kepala negara. Napoleon, melalui manuver politik yang cerdik, memastikan dirinya menjadi Konsul Pertama, posisi yang memberinya kekuasaan eksekutif yang luas.
Sebagai Konsul Pertama, Napoleon dengan cepat mengkonsolidasikan kekuasaannya. Ia merancang konstitusi baru (Konstitusi Tahun VIII) yang disetujui melalui plebisit, secara efektif memberikan kekuasaan hampir mutlak kepadanya. Ini menandai berakhirnya periode Revolusi Prancis yang bergolak dan dimulainya era stabilitas, tetapi juga otoritarianisme. Selama periode Konsulat, Napoleon menunjukkan kemampuan luar biasa sebagai administrator dan pembangun negara. Ia memulihkan ketertiban, menekan pemberontakan royalis, dan menstabilkan ekonomi.
Salah satu langkah terpentingnya adalah reformasi sistem hukum yang menghasilkan penyusunan Code Civil, yang kemudian dikenal sebagai Kode Napoleon. Ia juga mendirikan Bank of France untuk menstabilkan keuangan negara, mereformasi sistem pendidikan, dan mengakhiri konflik panjang dengan Gereja Katolik melalui Konkordat 1801 dengan Paus Pius VII. Semua reformasi ini dirancang untuk menciptakan negara Prancis yang kuat, terpusat, dan efisien, sebagian besar dari reformasi tersebut bertahan hingga kini. Keberhasilan ini semakin memperkuat posisinya, dan pada tahun 1802, melalui plebisit lain, ia diangkat menjadi Konsul Seumur Hidup, sebuah langkah yang jelas menuju monarki.
Dengan kekuasaan yang hampir tak terbatas sebagai Konsul Seumur Hidup, langkah selanjutnya bagi Napoleon adalah mengamankan posisinya secara absolut dan dinasti. Ide tentang pembentukan kekaisaran mulai muncul sebagai cara untuk memberikan legitimasi permanen pada kekuasaannya dan mencegah kembalinya monarki Bourbon atau kekacauan republik. Pada Mei 1804, Senat Prancis mengesahkan sebuah dekrit yang menyatakan Napoleon sebagai Kaisar Prancis. Keputusan ini kemudian disetujui oleh rakyat Prancis melalui plebisit dengan dukungan yang luar biasa.
Penobatan Napoleon sebagai Kaisar Napoleon I berlangsung megah pada 2 Desember 1804 di Katedral Notre Dame de Paris, disaksikan oleh Paus Pius VII. Dalam sebuah tindakan simbolis yang berani dan penuh makna, Napoleon mengambil mahkota dari tangan Paus dan memahkotai dirinya sendiri, kemudian memahkotai istrinya, Josephine. Tindakan ini secara jelas menunjukkan bahwa ia tidak berutang kekuasaannya kepada otoritas gerejawi atau warisan ilahi, melainkan kepada kehendak rakyat dan kekuatannya sendiri. Penobatan ini menandai transisi Prancis dari sebuah republik menjadi kekaisaran, sekaligus menempatkan Napoleon setara dengan para penguasa besar Eropa lainnya.
Sebagai Kaisar, Napoleon melanjutkan reformasi domestiknya yang ambisius sambil secara bersamaan memperluas pengaruh Prancis ke seluruh Eropa. Ia menciptakan sebuah aristokrasi baru, yang terdiri dari para jenderal dan pejabat sipil yang berprestasi, bukan berdasarkan keturunan tetapi berdasarkan jasa. Ia memperkuat kontrol terpusat atas pemerintahan, memastikan bahwa setiap aspek administrasi tunduk pada kehendaknya. Kemampuan Napoleon untuk mengelola pemerintahan yang kompleks ini, di tengah perang yang hampir terus-menerus, adalah bukti dari kapasitasnya yang luar biasa sebagai pemimpin.
Era kekaisaran juga melihat puncak kekuatan militer Napoleon. Dengan Grande Armée-nya (Angkatan Darat Agung), ia mengukir serangkaian kemenangan yang menakjubkan melawan koalisi-koalisi Eropa. Ia menciptakan negara-negara satelit dan kerajaan boneka di seluruh Eropa, menempatkan anggota keluarganya atau jenderal setianya di atas takhta-takhta ini. Pengaruh Prancis menyebar dari Semenanjung Iberia hingga Polandia, dan dari Italia hingga negara-negara Jerman. Napoleon memandang dirinya sebagai pembawa obor Pencerahan, menyebarkan ide-ide revolusioner tentang hukum, administrasi, dan meritokrasi, meskipun seringkali melalui penaklukan militer. Puncak kekuasaannya ditandai oleh dominasi Prancis yang tak tertandingi di Eropa, sebuah periode yang mengubah lanskap politik dan sosial benua secara drastis.
Selain kehebatan militer, warisan Napoleon yang paling abadi mungkin terletak pada reformasi sipilnya yang komprehensif. Setelah dekade Revolusi yang kacau, Prancis membutuhkan stabilitas dan sistem yang jelas. Napoleon, dengan pragmatisme dan efisiensinya, menyediakan ini. Reformasi-reformasi ini tidak hanya diberlakukan di Prancis tetapi juga diekspor ke wilayah-wilayah yang ditaklukkan, membentuk dasar bagi banyak negara Eropa modern.
Ini adalah pencapaian terbesar Napoleon di bidang sipil. Diberlakukan pada tahun 1804, Kode Napoleon adalah kumpulan hukum yang komprehensif yang mengkodifikasi hukum perdata Prancis. Sebelum kode ini, Prancis memiliki sistem hukum yang kacau dan beragam, berdasarkan hukum Romawi di selatan dan hukum adat di utara. Kode Napoleon menyatukan semua ini menjadi satu sistem yang rasional dan mudah diakses. Prinsip-prinsip utamanya meliputi:
Kode Napoleon tersebar luas ke negara-negara Eropa lainnya, seperti Belgia, Belanda, Italia, dan Jerman, dan menjadi model bagi sistem hukum di seluruh dunia, termasuk di sebagian besar Amerika Latin, Afrika, dan Asia. Ini adalah pilar fundamental bagi negara hukum modern.
Napoleon merevolusi birokrasi Prancis dengan menciptakan sistem administrasi yang sangat terpusat dan efisien. Ia menunjuk prefek di setiap departemen (provinsi) yang bertanggung jawab langsung kepadanya. Sistem ini memungkinkan kontrol yang ketat dari Paris dan memastikan implementasi kebijakan yang seragam di seluruh negeri. Meritokrasi menjadi prinsip utama; posisi-posisi dalam pemerintahan diberikan berdasarkan bakat dan kemampuan, bukan berdasarkan kelahiran atau status sosial.
Untuk melatih kader-kader yang setia dan kompeten bagi militer dan administrasi, Napoleon mereformasi sistem pendidikan. Ia mendirikan lycées (sekolah menengah umum) yang berorientasi pada disiplin militer dan pengajaran ilmu-ilmu praktis seperti matematika dan sains. Universitas-universitas juga diorganisir ulang di bawah kendali negara. Meskipun fokusnya adalah pada pendidikan kaum laki-laki untuk kepentingan negara, reformasi ini meletakkan dasar bagi sistem pendidikan publik yang lebih terstruktur di Prancis.
Napoleon menstabilkan keuangan negara yang kacau setelah Revolusi. Ia mendirikan Bank of France pada tahun 1800 untuk mengelola mata uang, pinjaman pemerintah, dan stabilitas keuangan. Sistem pajak direformasi agar lebih efisien dan adil, dengan penekanan pada pajak tidak langsung dan kontrol ketat atas pengeluaran. Infrastruktur juga ditingkatkan dengan pembangunan jalan, kanal, dan pelabuhan, yang semuanya bertujuan untuk memfasilitasi perdagangan dan pergerakan pasukan.
Setelah bertahun-tahun konflik antara Gereja Katolik dan negara selama Revolusi, Napoleon mencari rekonsiliasi. Ia menandatangani Konkordat 1801 dengan Paus Pius VII. Perjanjian ini mengakui Katolik sebagai agama mayoritas di Prancis tetapi menegaskan bahwa agama bukanlah agama negara. Negara akan membayar gaji imam, tetapi juga memiliki hak untuk menunjuk uskup. Ini mengakhiri permusuhan, memulihkan perdamaian agama, dan memberikan negara kontrol atas urusan gereja, sekaligus memastikan kebebasan beragama bagi Protestan dan Yahudi.
Singkatnya, reformasi Napoleonik menciptakan fondasi negara Prancis modern dan secara signifikan memengaruhi perkembangan negara-negara lain di Eropa. Mereka mewakili perpaduan antara ide-ide Pencerahan, prinsip-prinsip Revolusi, dan otoritarianisme Napoleon, menghasilkan sistem yang efisien, terpusat, dan rasional.
Era Kekaisaran Napoleon adalah periode konflik yang hampir terus-menerus, dikenal sebagai Perang Napoleonik. Ini adalah serangkaian konflik besar yang melibatkan Prancis melawan berbagai koalisi negara-negara Eropa, terutama Inggris, Austria, Rusia, dan Prusia. Napoleon, dengan Grande Armée-nya yang besar dan terorganisir dengan baik, menunjukkan kejeniusan taktis yang tak tertandingi, menempatkannya di antara para jenderal terbesar dalam sejarah.
Pada tahun 1805, Inggris membentuk Koalisi Ketiga dengan Austria dan Rusia untuk melawan Prancis. Napoleon awalnya merencanakan invasi ke Inggris, tetapi setelah kekalahan angkatan laut Prancis-Spanyol di Pertempuran Trafalgar oleh Laksamana Nelson, ia mengalihkan perhatiannya ke daratan Eropa. Ini adalah awal dari kampanye daratnya yang paling gemilang.
Kemenangan di Austerlitz membuat Prancis semakin dominan. Prusia, yang sebelumnya netral, merasa terancam dan membentuk Koalisi Keempat dengan Rusia dan Inggris pada tahun 1806.
Perjanjian Tilsit, yang ditandatangani antara Napoleon dan Tsar Alexander I di atas rakit di tengah Sungai Neman, merupakan puncak kekuasaan Napoleon. Eropa Barat dan Tengah berada di bawah dominasi Prancis, sementara Rusia menjadi sekutu nominal.
Setelah kegagalan invasi ke Inggris dan kekalahan angkatan lautnya di Trafalgar, Napoleon menyadari bahwa ia tidak dapat mengalahkan Inggris secara militer melalui jalur laut. Sebagai gantinya, ia memutuskan untuk melancarkan perang ekonomi melalui Sistem Kontinental atau Blokade Kontinental.
Diberlakukan dengan Dekrit Berlin pada tahun 1806 dan kemudian diperkuat oleh Dekrit Milan pada tahun 1807, Blokade Kontinental adalah kebijakan yang melarang semua negara Eropa yang dikendalikan atau bersekutu dengan Prancis untuk berdagang dengan Inggris. Tujuannya adalah untuk menghancurkan ekonomi Inggris dengan memblokir ekspor barang-barangnya, yang pada gilirannya akan menyebabkan krisis ekonomi dan politik di Inggris, memaksa mereka untuk menyerah.
Namun, Blokade Kontinental terbukti sulit untuk diterapkan dan memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan:
Meskipun dirancang untuk menghancurkan Inggris, Blokade Kontinental pada akhirnya lebih merugikan Kekaisaran Prancis sendiri, memperpanjang perang dan menguras sumber daya.
Perang Semenanjung (1808-1814) adalah konflik yang sering disebut sebagai "bisul" yang menguras kekuatan Kekaisaran Napoleon. Ini dimulai ketika Napoleon, dalam upayanya menegakkan Blokade Kontinental, mengintervensi urusan internal Portugal dan Spanyol.
Pada tahun 1807, Prancis menginvasi Portugal karena negara tersebut menolak untuk mematuhi Blokade Kontinental. Mengambil keuntungan dari perselisihan di keluarga kerajaan Spanyol, Napoleon kemudian menipu Raja Ferdinand VII dan ayahnya, Charles IV, untuk turun takhta, dan menempatkan saudaranya, Joseph Bonaparte, di takhta Spanyol pada tahun 1808. Tindakan ini memicu kemarahan besar di kalangan rakyat Spanyol.
Rakyat Spanyol, yang setia kepada raja mereka yang digulingkan dan tradisi Katolik mereka, bangkit dalam pemberontakan bersenjata yang brutal. Mereka menggunakan taktik gerilya (guerilla warfare), sebuah istilah yang berasal dari perang ini ("guerra" berarti perang kecil), menyerang garis pasokan Prancis dan unit-unit terisolasi. Milisi dan tentara rakyat Spanyol, meskipun sering dikalahkan dalam pertempuran besar, terus-menerus mengganggu pasukan pendudukan Prancis.
Intervensi Inggris di bawah komando Jenderal Arthur Wellesley (kemudian Duke of Wellington) semakin memperumit situasi bagi Prancis. Pasukan Inggris, yang unggul dalam hal disiplin dan pelatihan, mendukung pasukan Spanyol dan Portugal. Pertempuran-pertempuran besar seperti Talavera, Salamanca, dan Vitoria menunjukkan keunggulan taktis Wellington dan ketidakmampuan Prancis untuk mengamankan kemenangan yang menentukan.
Perang Semenanjung adalah bencana bagi Napoleon. Ia harus mengerahkan ratusan ribu pasukannya – lebih dari 300.000 tentara pada puncaknya – untuk mencoba mengendalikan Semenanjung Iberia. Ini menguras sumber daya manusia dan keuangan Prancis yang sangat besar, mengalihkan perhatian dari ancaman di tempat lain di Eropa, dan memberikan pengalaman militer yang berharga bagi musuh bebuyutannya, Inggris. Konflik ini, dengan kekejaman dan kebrutalannya dari kedua belah pihak, menjadi simbol perlawanan nasional terhadap dominasi Napoleonik dan secara signifikan melemahkan kekaisarannya.
Invasi Rusia pada tahun 1812 adalah titik balik yang menentukan dalam nasib Napoleon dan kekaisarannya. Hubungan antara Prancis dan Rusia telah memburuk sejak Perjanjian Tilsit. Rusia merasa dirugikan oleh Blokade Kontinental yang melumpuhkan perdagangannya dengan Inggris, dan khawatir dengan ekspansi Napoleon ke Polandia, yang dianggap sebagai wilayah kepentingan Rusia. Napoleon, di sisi lain, menganggap Rusia sebagai penghalang terakhir menuju dominasi penuh atas Eropa.
Pada Juni 1812, Napoleon memimpin Grande Armée, sebuah pasukan multinasional yang terdiri dari sekitar 600.000 tentara, melintasi Sungai Neman menuju Rusia. Ini adalah pasukan terbesar yang pernah berkumpul di Eropa. Rencana Napoleon adalah untuk mengalahkan pasukan Rusia dalam satu atau dua pertempuran besar yang menentukan, seperti yang biasa ia lakukan di Eropa Barat. Namun, Rusia mengadopsi taktik bumi hangus, mundur terus-menerus dan menghancurkan semua sumber daya yang mungkin bisa dimanfaatkan oleh pasukan Prancis, menarik mereka semakin jauh ke pedalaman Rusia.
Setelah Borodino, Napoleon memasuki Moskow yang terbakar pada pertengahan September. Namun, ia menemukan kota itu ditinggalkan dan dibakar oleh Rusia, meninggalkannya tanpa perbekalan atau tempat tinggal bagi pasukannya di tengah musim dingin yang mendekat. Tanpa tanda-tanda penyerahan Rusia dan dengan perbekalan yang menipis, Napoleon dipaksa untuk memerintahkan penarikan mundur pasukannya pada bulan Oktober.
Penarikan mundur dari Rusia berubah menjadi bencana total. Musim dingin Rusia yang brutal, kelaparan, penyakit, dan serangan terus-menerus dari pasukan Cossack dan milisi Rusia, menghancurkan Grande Armée. Ribuan tentara tewas karena kedinginan, kelelahan, dan kelaparan. Banyak yang meninggalkan senjata mereka. Dari 600.000 tentara yang memulai invasi, hanya sekitar 100.000 yang berhasil kembali, dan sebagian besar dari mereka tidak lagi dalam kondisi untuk bertempur. Invasi Rusia benar-benar menghancurkan kekuatan militer inti Napoleon dan memberikan pukulan fatal terhadap mitos tak terkalahkannya.
Bencana di Rusia memicu serangkaian peristiwa yang dengan cepat menyebabkan kejatuhan Napoleon. Negara-negara Eropa yang telah lama berada di bawah dominasi Prancis melihat ini sebagai kesempatan untuk bangkit kembali. Pada tahun 1813, Prusia, Rusia, Austria, dan Swedia membentuk Koalisi Keenam, bertekad untuk mengakhiri kekuasaan Napoleon.
Meskipun Napoleon berhasil membangun kembali pasukan, mereka sebagian besar terdiri dari rekrutan baru yang tidak berpengalaman (dikenal sebagai Marie-Louise, merujuk pada permaisurinya). Ia menghadapi musuh yang jauh lebih banyak dan lebih berpengalaman.
Setelah Leipzig, pasukan Koalisi mulai menyerbu Prancis. Meskipun Napoleon menunjukkan kejeniusan taktisnya yang lama dalam mempertahankan Prancis dengan pasukannya yang lebih kecil dalam Kampanye Enam Hari, ia tidak dapat menghentikan gelombang pasukan Koalisi yang tak terhitung jumlahnya. Paris jatuh pada Maret 1814.
Para marsekal dan jenderal Napoleon, melihat bahwa perang telah kalah dan Prancis hancur, menolak untuk melanjutkan perjuangan. Mereka menekan Napoleon untuk turun takhta. Pada 6 April 1814, Napoleon secara resmi turun takhta tanpa syarat demi putranya, tetapi Koalisi menolak, menuntut penyerahan total. Akhirnya, pada 11 April 1814, Napoleon menandatangani Perjanjian Fontainebleau, yang mengasingkannya ke pulau Elba, sebuah pulau kecil di lepas pantai Italia, dan memberinya gelar kaisar atas Elba.
Keluarga Bourbon dipulihkan ke takhta Prancis dalam diri Louis XVIII. Dunia mengira era Napoleon telah berakhir, tetapi mereka salah besar.
Meskipun diasingkan di Elba, Napoleon tetap mengikuti perkembangan di Prancis. Ia menyadari bahwa rakyat Prancis tidak puas dengan pemerintahan restorasi Bourbon di bawah Louis XVIII, yang dianggap otoriter, korup, dan mencoba mengembalikan banyak hak istimewa aristokrasi lama. Tentara Prancis, khususnya, merindukan kepemimpinan Napoleon. Dengan informasi intelijen yang baik dan keberanian yang luar biasa, Napoleon melihat peluang untuk merebut kembali kekuasaan.
Pada 26 Februari 1815, Napoleon melarikan diri dari Elba dengan sekitar 1.000 tentara setianya. Ia mendarat di Juan-les-Pins, Prancis selatan, pada 1 Maret. Perjalanannya menuju Paris adalah sebuah pawai kemenangan yang menakjubkan. Pasukan yang dikirim untuk menangkapnya, termasuk Marsekal Ney yang sebelumnya berjanji akan membawa Napoleon "di dalam sangkar besi," malah berbalik arah dan bergabung dengannya. Rakyat Prancis, terutama kaum petani dan veteran perang, menyambutnya dengan antusiasme yang luar biasa. Louis XVIII melarikan diri dari Paris, dan pada 20 Maret 1815, Napoleon memasuki ibu kota tanpa menembakkan satu peluru pun.
Periode ini, yang dikenal sebagai "Seratus Hari" (La Cent Jours), dimulai dengan kembalinya Napoleon ke Paris dan berakhir dengan kekalahan terakhirnya. Segera setelah merebut kembali takhta, Napoleon berusaha meyakinkan kekuatan-kekuatan Eropa bahwa ia hanya menginginkan perdamaian dan akan menghormati batas-batas yang disepakati sebelumnya. Namun, negara-negara Koalisi (Inggris, Rusia, Austria, Prusia) tidak mempercayainya. Mereka menyatakan Napoleon sebagai penjahat dan segera membentuk Koalisi Ketujuh, bersumpah untuk menghancurkannya untuk selamanya.
Menyadari bahwa perang tidak dapat dihindari, Napoleon dengan cepat mulai membangun kembali pasukannya. Ia memobilisasi kembali veteran, merekrut pasukan baru, dan mengorganisir kembali birokrasi. Ia juga mencoba untuk memberikan konstitusi yang lebih liberal, dikenal sebagai "Acte Additionnel," dalam upaya untuk mendapatkan dukungan populer dan menenangkan kaum liberal.
Napoleon memutuskan untuk mengambil inisiatif. Dengan pasukannya yang baru terbentuk, sekitar 125.000 orang, ia berencana untuk menyerang pasukan Koalisi di Belgia secara terpisah sebelum mereka bisa menyatukan kekuatan. Ini adalah pertaruhan terakhirnya, sebuah kampanye militer yang akan menentukan nasibnya dan nasib Eropa.
Kampanye Seratus Hari mencapai puncaknya di Belgia pada bulan Juni 1815. Napoleon berniat untuk mengalahkan pasukan Inggris di bawah Duke of Wellington dan pasukan Prusia di bawah Marsekal Blücher secara terpisah sebelum mereka dapat bergabung. Ia hampir berhasil.
Serangan terakhir dari Pengawal Kekaisaran (Imperial Guard) yang legendaris, yang memimpin serangan putus asa, dipukul mundur, dan kekalahan Prancis menjadi total. Ribuan tentara tewas, terluka, atau ditangkap. Napoleon melarikan diri dari medan perang dalam kekacauan, menyadari bahwa segalanya telah berakhir. Ia mencoba untuk mengumpulkan dukungan di Paris, tetapi Dewan Perwakilan Rakyat menolak untuk mendukungnya lebih lanjut.
Pada 22 Juni 1815, Napoleon secara definitif turun takhta untuk kedua kalinya. Ia kemudian mencoba melarikan diri ke Amerika Serikat, tetapi blokade angkatan laut Inggris membuatnya mustahil. Ia akhirnya menyerahkan diri kepada Kapten Frederick Maitland dari kapal HMS Bellerophon, berharap akan diperlakukan sebagai tahanan perang oleh Inggris. Namun, kekuatan-kekuatan Koalisi bertekad untuk memastikan Napoleon tidak akan pernah lagi mengancam perdamaian Eropa.
Napoleon diasingkan ke pulau terpencil Saint Helena di Samudra Atlantik Selatan, sebuah lokasi yang jauh dan sulit dijangkau, untuk mencegah pelarian lain. Ia menghabiskan enam tahun terakhir hidupnya di sana, ditemani oleh sejumlah kecil pengikut setia. Di sana, ia menulis memoar-memoarnya, yang membantu membentuk citra dirinya bagi generasi mendatang. Kondisi di St. Helena sulit, dan ia sering berselisih dengan gubernur Inggris, Sir Hudson Lowe.
Napoleon Bonaparte meninggal pada 5 Mei 1821 di Saint Helena, pada usia 51 tahun. Penyebab kematiannya menjadi subjek banyak spekulasi, meskipun konsensus modern menunjukkan kanker perut, kemungkinan besar sama dengan penyebab kematian ayahnya. Dengan kematiannya, berakhir sudah salah satu babak paling dramatis dan transformatif dalam sejarah Eropa.
Kematian Napoleon di St. Helena tidak mengakhiri pengaruhnya. Bahkan dalam kematian, ia tetap menjadi tokoh kontroversial dan mempesona, meninggalkan warisan yang kompleks dan abadi yang terus diperdebatkan hingga kini. Jenazahnya akhirnya dikembalikan ke Prancis pada tahun 1840 dan dimakamkan dengan kehormatan militer penuh di Les Invalides, Paris, sebuah pengakuan atas perannya yang tak terbantahkan dalam sejarah Prancis.
Sebagai ahli strategi militer, Napoleon tak tertandingi. Taktiknya, seperti konsentrasi kekuatan, kecepatan pergerakan, penggunaan artileri yang inovatif, dan pemanfaatan medan, masih dipelajari di akademi militer di seluruh dunia. Konsep corps d'armée, yang menggabungkan berbagai cabang militer dalam unit mandiri, merevolusi organisasi militer. Kemenangan-kemenangannya di Austerlitz dan Jena-Auerstedt tetap menjadi contoh klasik dari kejeniusan taktis. Namun, ambisinya juga menyebabkan kematian jutaan orang dan kehancuran yang tak terhitung di seluruh Eropa.
Warisan terpenting Napoleon di bidang sipil adalah Kode Napoleon. Kode ini, dengan penekanannya pada kesetaraan di mata hukum, hak milik, dan sekularisme, menjadi dasar bagi hukum perdata di banyak negara di seluruh dunia. Reformasi administrasinya yang terpusat dan meritokratis membentuk struktur negara Prancis modern dan menginspirasi pembentukan birokrasi yang efisien di tempat lain. Ia mengakhiri feodalisme di banyak wilayah Eropa dan menyebarkan gagasan tentang Pencerahan dan Revolusi Prancis, seperti kedaulatan rakyat dan kebebasan individu (walaupun ia sendiri sering menekan kebebasan politik).
Meskipun Napoleon adalah seorang penakluk, ia secara tidak sengaja memicu kebangkitan nasionalisme di negara-negara yang ia taklukkan. Perlawanan terhadap dominasi Prancis, seperti di Spanyol, Prusia, dan Rusia, menumbuhkan rasa identitas nasional yang kuat. Pembubaran Kekaisaran Romawi Suci oleh Napoleon juga memfasilitasi unifikasi Jerman dan Italia di kemudian hari. Ia menghancurkan struktur kuno monarki absolut dan feodalisme, membuka jalan bagi munculnya negara-bangsa modern.
Napoleon adalah sosok yang sangat kontroversial. Bagi sebagian orang, ia adalah tiran yang haus kekuasaan, penyebab perang dan penderitaan tak terhingga. Bagi yang lain, ia adalah pembaharu yang brilian, pembawa modernitas, dan pelindung prinsip-prinsip Revolusi. Ia adalah seorang otokrat yang percaya pada efisiensi dan ketertiban di atas kebebasan politik. Namun, ia juga sangat dicintai oleh pasukannya dan mampu menginspirasi kesetiaan yang luar biasa.
Dalam budaya populer, Napoleon telah diromantisasi dan dikritik. Ia menjadi inspirasi bagi para pemimpin militer dan politisi, sementara para penulis dan seniman telah menggambarkannya dalam berbagai cara, dari pahlawan tragis hingga diktator yang kejam. Warisannya adalah cerminan dari kompleksitas manusia dan ambivalensi kekuasaan. Ia mengubah peta Eropa, merombak sistem hukum dan administrasi, dan meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada dunia. Meskipun kekaisarannya tidak bertahan lama, ide-ide dan dampaknya tetap relevan hingga saat ini, menjadikan Napoleon Bonaparte sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dan menarik dalam sejarah manusia.
Napoleon Bonaparte adalah sosok paradoks: seorang revolusioner dan seorang otokrat, seorang pembaharu dan seorang penakluk. Ia muncul dari kekacauan Revolusi Prancis untuk membangun sebuah kekaisaran yang membentang di sebagian besar Eropa, mendikte kebijakan, dan merombak tatanan lama. Kejeniusan militernya, yang diwujudkan dalam serangkaian kampanye yang gemilang, menempatkannya di antara para komandan terhebat sepanjang masa. Namun, ambisinya yang tak terbatas dan keyakinannya yang teguh pada takdirnya sendiri akhirnya membawanya pada kejatuhan yang spektakuler.
Di luar medan perang, warisan Napoleon adalah fondasi bagi banyak aspek dunia modern. Kode Napoleon, reformasi administrasi, dan penekanannya pada meritokrasi adalah pilar-pilar yang bertahan lama, membentuk negara-bangsa, sistem hukum, dan birokrasi yang efisien. Ia adalah katalisator bagi kebangkitan nasionalisme di Eropa, menghancurkan sisa-sisa feodalisme dan monarki absolut, sehingga secara tidak sengaja menyiapkan panggung untuk unifikasi Jerman dan Italia.
Kisah Napoleon adalah tentang kemajuan dan kehancuran, tentang kejeniusan manusia dan kelemahan yang tragis. Ia adalah arsitek dan penghancur, seorang tokoh yang tak hanya membentuk zamannya tetapi juga terus memicu perdebatan dan imajinasi hingga berabad-abad setelah kematiannya. Bayangan Napoleon Bonaparte tetap melayang di atas sejarah, sebagai pengingat akan kekuatan individu untuk mengubah dunia, baik untuk kebaikan maupun untuk kekacauan.