Muzara'ah adalah salah satu bentuk akad syirkah atau kerja sama dalam bidang pertanian yang telah dikenal dan dipraktikkan dalam sejarah Islam. Secara fundamental, muzara'ah melibatkan pembagian hasil panen antara pemilik lahan dan penggarap lahan, sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Konsep ini mencerminkan prinsip keadilan dan saling membantu dalam ekonomi Islam, di mana sumber daya yang ada (lahan) digabungkan dengan tenaga kerja (penggarap) untuk menghasilkan kemaslahatan bersama. Artikel ini akan mengupas tuntas muzara'ah, mulai dari definisi, dasar hukum, rukun dan syarat, perbedaan pendapat ulama, hingga relevansinya dalam konteks pertanian modern, dengan tujuan memberikan pemahaman komprehensif tentang praktik ekonomi Islam yang vital ini.
Definisi dan Latar Belakang Muzara'ah
Secara etimologi, kata muzara'ah (مزارعة) berasal dari bahasa Arab, dari akar kata zara'a (زرع) yang berarti menanam atau menyemai. Dalam konteks fiqih muamalah, muzara'ah dapat diartikan sebagai akad kerja sama antara pemilik lahan pertanian dengan penggarap lahan, di mana benih berasal dari salah satu pihak, dan hasil panen akan dibagi di antara keduanya berdasarkan nisbah atau persentase yang disepakati bersama. Ini adalah bentuk syirkah (perkongsian) di mana salah satu pihak menyediakan tanah dan pihak lain menyediakan tenaga kerja.
Perbedaan mendasar antara muzara'ah dengan praktik sewa menyewa lahan pertanian (ijarah) terletak pada pembagian risikonya. Dalam ijarah, penggarap membayar sewa tetap kepada pemilik lahan, tanpa memandang berhasil atau tidaknya panen. Sementara dalam muzara'ah, risiko kegagalan panen ditanggung bersama oleh kedua belah pihak, karena pembagian hasilnya bergantung pada ada atau tidaknya panen. Jika tidak ada panen, tidak ada hasil yang dibagi, sehingga kedua belah pihak sama-sama merasakan dampak kerugian.
Sejarah praktik muzara'ah telah ada jauh sebelum kedatangan Islam. Masyarakat pra-Islam, terutama di wilayah yang subur seperti Jazirah Arab, Mesir, dan Syam, telah mempraktikkan berbagai bentuk kerja sama dalam pertanian. Namun, Islam datang untuk menyempurnakan dan menata ulang praktik-praktik tersebut agar sesuai dengan prinsip keadilan, kejujuran, dan penghindaran dari praktik riba atau eksploitasi. Nabi Muhammad ﷺ sendiri pernah mempraktikkan muzara'ah dengan kaum Yahudi di Khaibar, memberikan mereka hak untuk mengelola tanah dengan bagian hasil tertentu, menunjukkan kebolehan dan keabsahan akad ini dalam Islam.
Dasar Hukum Muzara'ah dalam Islam
Para ulama fiqih memiliki pandangan yang beragam mengenai dasar hukum muzara'ah, namun mayoritas membolehkannya dengan syarat dan ketentuan tertentu. Sumber hukum utama yang menjadi landasan adalah Al-Qur'an, Sunnah Nabi, Ijma' (konsensus ulama), dan Qiyas (analogi).
1. Al-Qur'an
Meskipun tidak ada ayat Al-Qur'an yang secara eksplisit menyebutkan kata "muzara'ah," prinsip-prinsip umum yang mendukungnya dapat ditemukan. Misalnya, anjuran untuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa (QS. Al-Ma'idah: 2), serta larangan memakan harta orang lain dengan cara yang batil (QS. An-Nisa: 29). Muzara'ah, jika dilakukan dengan adil, merupakan bentuk tolong-menolong yang sah dan bermanfaat.
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS. Al-Ma'idah: 2)
Ayat ini menjadi landasan umum bagi semua bentuk muamalah yang mengarah pada kebaikan dan kerjasama, termasuk muzara'ah.
2. Sunnah Nabi Muhammad ﷺ
Hadits-hadits Nabi Muhammad ﷺ memberikan dasar yang lebih konkret mengenai muzara'ah. Yang paling terkenal adalah praktik Nabi dengan penduduk Khaibar.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyerahkan kebun kurma dan tanah Khaibar kepada kaum Yahudi untuk mereka kerjakan, dengan syarat mereka mendapatkan separuh dari hasil panen yang keluar dari kebun tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ membolehkan kerja sama dalam pertanian dengan sistem bagi hasil. Praktik ini berlanjut pada masa Khulafaur Rasyidin, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, yang semuanya mempraktikkan dan membolehkan akad muzara'ah.
Namun, terdapat juga beberapa hadits yang seemingly melarang praktik menyewakan tanah dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen. Contohnya:
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menyewakan tanah." (HR. Muslim)
Hadits-hadits yang tampak kontradiktif ini menjadi salah satu penyebab perbedaan pendapat di kalangan ulama, yang akan kita bahas lebih lanjut. Para ulama umumnya menafsirkan hadits larangan tersebut sebagai larangan terhadap bentuk ijarah (sewa) yang mengandung unsur ketidakadilan atau gharar (ketidakjelasan) yang berlebihan, seperti menyewakan sebagian tanah dengan hasil dari bagian tanah tersebut, sementara bagian lain menjadi milik pemilik. Jika sistem bagi hasil bersifat umum dan jelas, maka itu dibolehkan.
3. Ijma' (Konsensus Ulama)
Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai beberapa detail, secara umum ada semacam konsensus di kalangan para sahabat dan tabi'in bahwa muzara'ah itu sah dan boleh dipraktikkan, terutama berdasarkan tindakan Nabi di Khaibar. Praktik ini kemudian terus berlanjut di berbagai wilayah Islam, menunjukkan penerimaan luas terhadap konsep ini.
4. Qiyas (Analogi)
Sebagian ulama juga melakukan analogi muzara'ah dengan akad mudharabah (bagi hasil keuntungan usaha), di mana satu pihak menyediakan modal dan pihak lain menyediakan tenaga kerja. Dalam muzara'ah, tanah dianalogikan sebagai modal dan tenaga penggarap sebagai kerja. Oleh karena mudharabah diperbolehkan, maka muzara'ah juga seharusnya diperbolehkan karena memiliki prinsip keadilan dan berbagi risiko yang serupa.
Rukun dan Syarat Muzara'ah
Agar akad muzara'ah sah dan mengikat, harus terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu. Mayoritas ulama menyepakati rukun-rukun utama muzara'ah, meskipun ada sedikit variasi dalam penekanannya.
Rukun Muzara'ah:
- Dua Pihak yang Berakad (العاقدان): Yaitu pemilik lahan (shahibul ardhi) dan penggarap lahan (amil atau muzari'). Keduanya harus cakap hukum (baligh, berakal, dan tidak di bawah paksaan) serta memiliki kebebasan bertindak atas harta mereka.
- Lahan Pertanian (الأرض): Lahan yang akan digarap harus jelas batas-batasnya, dapat ditanami, dan diketahui kondisinya (subur atau tidak). Lahan juga harus diserahkan kepada penggarap untuk dikelola.
- Benih (البذر): Benih tanaman yang akan ditanam harus jelas jenisnya, jumlahnya, dan dapat menghasilkan panen yang diharapkan. Sumber benih ini menjadi salah satu poin perbedaan pendapat ulama.
- Pekerjaan/Tenaga (العمل): Adalah pekerjaan menggarap lahan, mulai dari persiapan tanah, penanaman, pemeliharaan, hingga panen. Tanggung jawab dan jenis pekerjaan yang dilakukan penggarap harus jelas.
- Hasil Panen (الثمرة): Hasil panen yang akan dibagi haruslah merupakan hasil dari lahan yang digarap dan benih yang ditanam. Pembagian hasil ini harus berupa persentase atau nisbah yang jelas, bukan jumlah nominal tertentu.
- Shighat Akad (صيغة العقد): Yaitu ijab dan qabul (penawaran dan penerimaan) yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak untuk melakukan akad muzara'ah. Ini bisa berupa lisan, tulisan, atau isyarat yang jelas.
Syarat-Syarat Muzara'ah:
Selain rukun-rukun di atas, muzara'ah juga memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi:
- Kelayakan Lahan: Lahan harus layak untuk ditanami dan menghasilkan panen. Jika lahan tidak subur atau tidak memungkinkan untuk ditanami, akad menjadi batal.
- Jenis Tanaman: Jenis tanaman yang akan ditanam harus disepakati oleh kedua belah pihak. Tidak boleh ada ketidakjelasan yang dapat menyebabkan perselisihan di kemudian hari.
- Jangka Waktu: Jangka waktu akad harus jelas dan cukup untuk proses penanaman hingga panen. Ini menghindari perselisihan di tengah jalan atau setelah panen.
- Benih Jelas: Benih harus jelas kepemilikannya (dari pemilik lahan atau penggarap) dan kualitasnya.
- Pekerjaan Jelas: Tanggung jawab dan tugas penggarap harus dijelaskan secara rinci. Apakah meliputi semua pekerjaan atau ada bagian yang ditanggung pemilik lahan (misalnya irigasi).
- Nisbah Pembagian Hasil yang Jelas: Ini adalah syarat yang paling krusial. Pembagian hasil harus dalam bentuk persentase (misalnya 50:50, 60:40, 70:30) yang telah disepakati di awal. Tidak boleh berupa jumlah tetap (misalnya 1 ton gandum untuk pemilik lahan) atau hasil dari bagian lahan tertentu, karena ini mengandung unsur gharar (ketidakpastian) yang dilarang dalam Islam. Nisbah ini harus ditetapkan atas dasar hasil panen secara keseluruhan.
- Tidak Ada Syarat yang Membatalkan: Tidak ada syarat-syarat lain yang disertakan dalam akad yang bertentangan dengan syariat Islam atau merugikan salah satu pihak secara tidak adil.
Perbedaan Pendapat Ulama tentang Muzara'ah
Meskipun praktik muzara'ah telah ada sejak zaman Nabi Muhammad ﷺ, para ulama dari berbagai mazhab memiliki perbedaan pendapat yang signifikan mengenai kebolehan dan syarat-syaratnya. Perbedaan ini terutama berkisar pada interpretasi hadits-hadits yang mendukung dan melarang, serta pada masalah kepemilikan benih dan pembagian hasil.
1. Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi, yang dipelopori oleh Imam Abu Hanifah, pada awalnya memandang bahwa muzara'ah adalah akad yang fasid (rusak) atau batil, kecuali dalam beberapa kondisi tertentu. Alasan utama pandangan ini adalah adanya unsur gharar (ketidakpastian) dalam hasil panen, yang dianggap menyerupai spekulasi. Mereka berargumen bahwa tidak ada jaminan panen, dan jika tidak ada panen, maka tenaga kerja penggarap menjadi sia-sia tanpa imbalan, atau pemilik lahan tidak mendapatkan hasil dari tanahnya. Mereka juga berpegang pada hadits-hadits yang melarang menyewakan tanah. Namun, kemudian murid-murid Abu Hanifah seperti Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani membolehkan muzara'ah, dengan syarat benih berasal dari pemilik lahan. Jika benih dari penggarap, maka akadnya batil.
Rincian Pandangan Hanafi:
- Awalnya Dilarang (oleh Abu Hanifah): Karena mengandung gharar dan qiyasnya pada ijarah (sewa) tanah yang hasilnya tidak pasti.
- Kemudian Dibolehkan (oleh Abu Yusuf dan Muhammad): Dengan syarat benih dari pemilik tanah. Jika benih dari penggarap, maka akadnya batil.
- Alasan Kebolehan: Berdasarkan praktik Nabi di Khaibar, namun mereka menafsirkannya sebagai bentuk ijaarah (sewa) tanah yang di bayar dengan sebagian hasil, bukan murni syirkah. Mereka melihatnya sebagai kasus khusus atau pengecualian.
- Konsekuensi jika Batil: Jika muzara'ah dianggap batil, maka penggarap berhak mendapatkan upah yang layak (ujratul mitsl) atas pekerjaannya, dan seluruh hasil panen menjadi milik pemilik lahan.
2. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki, yang didirikan oleh Imam Malik bin Anas, adalah salah satu mazhab yang paling tegas dalam membolehkan muzara'ah. Mereka tidak melihat adanya unsur gharar yang signifikan yang dapat membatalkan akad ini, selama nisbah pembagian hasil jelas dan disepakati di awal. Mereka berpegangan kuat pada praktik Nabi Muhammad ﷺ di Khaibar dan praktik para sahabat setelah beliau. Bagi mereka, muzara'ah adalah bentuk syirkah yang sah dan bermanfaat.
Rincian Pandangan Maliki:
- Dibolehkan Secara Luas: Muzara'ah dianggap sah dan dianjurkan, bahkan bila benih berasal dari penggarap atau dari pemilik lahan.
- Syarat Utama: Nisbah pembagian hasil harus jelas dan disepakati di awal.
- Kepemilikan Benih: Tidak menjadi masalah siapa yang menyediakan benih.
- Alasan Kebolehan: Berlandaskan kuat pada hadits Nabi tentang Khaibar dan praktik para sahabat yang berkelanjutan, yang menunjukkan bahwa ini adalah sunnah yang diamalkan.
3. Mazhab Syafi'i
Mazhab Syafi'i, yang didirikan oleh Imam Asy-Syafi'i, memiliki pandangan yang cenderung melarang muzara'ah kecuali dalam beberapa kondisi spesifik yang sangat sempit. Mereka cenderung melihat muzara'ah sebagai akad ijarah (sewa menyewa) tanah dengan imbalan bagian dari hasil panen, yang dianggap mengandung gharar. Menurut mereka, hasil panen adalah sesuatu yang belum ada (ma'dum) dan tidak pasti, sehingga menjadikannya sebagai objek pembayaran sewa adalah tidak sah. Namun, mereka membolehkan bentuk musaqah (bagi hasil kebun yang sudah ada pohonnya) dan murabahah (jual beli dengan keuntungan yang disepakati).
Pandangan Syafi'i sangat menekankan prinsip ketiadaan gharar dan kejelasan objek akad. Mereka berpendapat bahwa hadits Khaibar adalah pengecualian atau kasus khusus yang tidak dapat dianalogikan secara umum, atau bahwa itu adalah bentuk ijarah yang dibayar dengan uang tunai (dinar atau dirham), bukan hasil panen.
Rincian Pandangan Syafi'i:
- Pada Dasarnya Dilarang: Muzara'ah dianggap batil karena mengandung unsur gharar dalam hasil panen yang belum ada dan tidak pasti.
- Dasar Larangan: Menganalogikannya dengan ijarah yang tidak boleh dibayar dengan sesuatu yang belum wujud.
- Hadits Khaibar: Ditafsirkan sebagai pengecualian hukum khusus untuk Khaibar atau sebagai ijarah dengan imbalan tunai, bukan bagi hasil panen. Atau bahkan ada yang menafsirkannya sebagai bentuk pemberian Nabi, bukan akad murni.
- Konsekuensi jika Batil: Jika akad muzara'ah dianggap batil, penggarap berhak mendapatkan upah yang setara (ujratul mitsl) untuk pekerjaannya, dan seluruh hasil panen menjadi milik pemilik lahan.
4. Mazhab Hanbali
Mazhab Hanbali, yang didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, membolehkan muzara'ah secara luas, mirip dengan Mazhab Maliki. Mereka sangat berpegangan pada sunnah Nabi Muhammad ﷺ, termasuk praktik beliau di Khaibar. Bagi mereka, hadits Khaibar adalah dalil yang kuat dan jelas tentang kebolehan muzara'ah. Mereka tidak melihat adanya gharar yang membatalkan, karena risiko telah ditanggung bersama dan nisbah pembagian hasil telah disepakati di awal.
Rincian Pandangan Hanbali:
- Dibolehkan Secara Luas: Muzara'ah dianggap sah, baik benih berasal dari pemilik lahan maupun dari penggarap.
- Syarat Utama: Pembagian hasil harus dalam nisbah yang jelas dan disepakati di awal.
- Alasan Kebolehan: Berpegangan teguh pada hadits Nabi tentang Khaibar sebagai dasar utama yang sahih dan kuat. Mereka juga mempertimbangkan kebutuhan praktis masyarakat.
Dari perbedaan pandangan ini, terlihat bahwa Mazhab Maliki dan Hanbali memiliki pandangan yang lebih longgar dan membolehkan muzara'ah secara umum, sedangkan Mazhab Hanafi membolehkan dengan syarat benih dari pemilik lahan, dan Mazhab Syafi'i cenderung melarang kecuali dalam kondisi yang sangat terbatas. Namun, dalam konteks praktik kontemporer, banyak lembaga keuangan syariah dan masyarakat muslim modern cenderung mengikuti pandangan yang membolehkan, dengan penekanan pada kejelasan akad, transparansi, dan keadilan dalam pembagian hasil.
Perbandingan Muzara'ah dengan Akad Syariah Lain
Untuk memahami muzara'ah dengan lebih baik, penting untuk membandingkannya dengan akad-akad syariah lain yang sering kali memiliki kemiripan, terutama dalam konteks pertanian dan investasi.
1. Muzara'ah vs. Ijarah (Sewa)
Perbedaan paling fundamental antara muzara'ah dan ijarah dalam pertanian adalah pada sifat imbalan dan pembagian risiko.
- Ijarah (Sewa):
- Imbalan: Pemilik lahan menerima sewa berupa uang tunai atau barang yang jumlahnya telah disepakati secara tetap, tidak peduli berhasil atau tidaknya panen.
- Risiko: Seluruh risiko panen (gagal atau berhasil) ditanggung sepenuhnya oleh penyewa (penggarap). Jika panen gagal, penyewa tetap harus membayar sewa.
- Objek Akad: Manfaat atau penggunaan lahan (hak guna).
- Muzara'ah:
- Imbalan: Pemilik lahan dan penggarap menerima bagian (nisbah) dari hasil panen yang jumlahnya tidak tetap, melainkan bergantung pada volume panen.
- Risiko: Risiko kegagalan panen ditanggung bersama oleh pemilik lahan dan penggarap. Jika panen gagal total, tidak ada hasil yang dibagi, dan tidak ada pihak yang menuntut ganti rugi (selain biaya yang telah dikeluarkan sesuai kesepakatan).
- Objek Akad: Kerjasama untuk menghasilkan panen dari lahan.
Kesimpulannya, ijarah lebih cocok untuk situasi di mana penggarap ingin menanggung risiko penuh dan membayar biaya tetap untuk penggunaan lahan, sementara muzara'ah lebih sesuai untuk berbagi risiko dan hasil antara pemilik lahan dan penggarap.
2. Muzara'ah vs. Musaqah (Bagi Hasil Kebun)
Musaqah adalah akad yang sangat mirip dengan muzara'ah, tetapi dengan perbedaan fokus objek akadnya.
- Musaqah:
- Objek Akad: Kebun yang sudah ditanami pohon buah-buahan (misalnya kurma, anggur), di mana pemilik kebun menyerahkan pengelolaan kebun kepada penggarap untuk menyirami, memelihara, dan memetik hasilnya.
- Pekerjaan Penggarap: Terbatas pada pemeliharaan pohon yang sudah ada.
- Benih: Tidak ada isu benih karena pohon sudah ada.
- Pembagian Hasil: Dari buah-buahan yang dipanen dari pohon-pohon tersebut, dengan nisbah yang disepakati.
- Muzara'ah:
- Objek Akad: Lahan kosong atau lahan yang perlu ditanami tanaman baru (misalnya padi, gandum, jagung).
- Pekerjaan Penggarap: Meliputi seluruh proses pertanian, mulai dari penyiapan lahan, penanaman benih, pemeliharaan, hingga panen.
- Benih: Isu kepemilikan benih menjadi penting dan merupakan salah satu poin perbedaan pendapat ulama.
- Pembagian Hasil: Dari hasil tanaman yang ditanam di lahan tersebut, dengan nisbah yang disepakati.
Secara umum, musaqah adalah bentuk khusus dari muzara'ah yang diterapkan pada kebun buah. Banyak ulama yang membolehkan musaqah bahkan jika mereka memiliki keraguan tentang muzara'ah, karena musaqah dianggap memiliki dasar yang lebih kuat dalam sunnah dan lebih kecil unsur gharar-nya (karena pohon sudah ada).
3. Muzara'ah vs. Mudharabah (Bagi Hasil Usaha)
Mudharabah adalah akad syirkah dalam perdagangan atau usaha jasa, yang sering dijadikan analogi untuk muzara'ah.
- Mudharabah:
- Pihak: Shahibul Maal (pemilik modal uang) dan Mudharib (pengelola modal/tenaga kerja).
- Objek Akad: Modal uang dan tenaga/keahlian untuk diinvestasikan dalam suatu usaha.
- Pembagian Hasil: Keuntungan dari usaha dibagi berdasarkan nisbah yang disepakati. Kerugian modal ditanggung shahibul maal, kerugian tenaga ditanggung mudharib (kecuali ada kelalaian).
- Fokus: Perdagangan, jasa, atau investasi non-pertanian.
- Muzara'ah:
- Pihak: Shahibul Ardhi (pemilik lahan) dan Amil/Muzari' (penggarap/tenaga kerja).
- Objek Akad: Lahan dan tenaga/keahlian untuk diinvestasikan dalam pertanian.
- Pembagian Hasil: Hasil panen dibagi berdasarkan nisbah yang disepakati. Kerugian (misalnya gagal panen) ditanggung bersama oleh kedua belah pihak secara proporsional sesuai nisbah (tidak ada hasil yang dibagi).
- Fokus: Pertanian.
Analogi antara mudharabah dan muzara'ah sering digunakan untuk memperkuat argumen kebolehan muzara'ah, di mana lahan diibaratkan sebagai modal dan pekerjaan penggarap sebagai tenaga. Keduanya sama-sama menekankan prinsip berbagi risiko dan berbagi hasil, mendorong kolaborasi dan keadilan dalam ekonomi.
Hikmah dan Manfaat Muzara'ah
Muzara'ah, sebagai sebuah akad dalam fiqih muamalah, bukan hanya sekadar transaksi ekonomi, melainkan juga mengandung hikmah dan manfaat yang luas bagi individu dan masyarakat.
1. Mewujudkan Keadilan Ekonomi
Prinsip utama muzara'ah adalah pembagian hasil berdasarkan nisbah yang disepakati, bukan sewa tetap. Ini memastikan keadilan bagi kedua belah pihak. Jika panen melimpah, keduanya menikmati keuntungan. Jika panen gagal, keduanya menanggung kerugian, sehingga tidak ada satu pihak pun yang dirugikan secara sepihak. Pemilik lahan tidak terbebani kewajiban sewa jika tidak ada hasil, dan penggarap tidak merasa usahanya sia-sia karena akan mendapatkan bagian jika panen berhasil.
2. Mengoptimalkan Pemanfaatan Lahan Tidur
Banyak pemilik lahan yang tidak memiliki waktu, tenaga, atau keahlian untuk menggarap lahannya sendiri. Muzara'ah memungkinkan lahan-lahan tidur ini menjadi produktif. Melalui akad ini, lahan yang tidak termanfaatkan dapat diolah oleh penggarap yang memiliki keahlian dan semangat kerja, sehingga meningkatkan produktivitas pertanian secara keseluruhan.
3. Mendorong Produktivitas dan Efisiensi
Karena hasil yang diperoleh penggarap bergantung pada keberhasilan panen, ada insentif kuat bagi penggarap untuk bekerja dengan sebaik-baiknya, menggunakan metode terbaik, dan merawat tanaman dengan penuh perhatian. Ini secara langsung berkontribusi pada peningkatan produktivitas dan efisiensi dalam pertanian. Pemilik lahan juga termotivasi untuk menyediakan lahan yang baik dan sarana pendukung lainnya.
4. Mengurangi Pengangguran dan Memberdayakan Petani
Muzara'ah membuka peluang kerja bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan tetapi memiliki keahlian dan tenaga di bidang pertanian. Ini memberdayakan petani penggarap, memberikan mereka sumber penghasilan yang bermartabat dan peluang untuk meningkatkan taraf hidup. Ini juga membantu mengurangi masalah pengangguran di sektor pedesaan.
5. Memperkuat Solidaritas Sosial
Hubungan antara pemilik lahan dan penggarap dalam muzara'ah adalah hubungan kemitraan, bukan hubungan majikan-buruh semata. Keduanya bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu keberhasilan panen. Hal ini dapat memperkuat ikatan sosial dan rasa saling percaya di antara anggota masyarakat, menciptakan komunitas yang lebih kohesif.
6. Mencegah Eksploitasi dan Riba
Dengan melarang penetapan imbalan tetap yang tidak mempertimbangkan risiko dan hasil, muzara'ah melindungi penggarap dari eksploitasi yang mungkin terjadi dalam sistem sewa menyewa konvensional yang kaku. Selain itu, dengan berlandaskan pada prinsip berbagi hasil nyata, muzara'ah terhindar dari praktik riba dan spekulasi yang dilarang dalam Islam.
7. Mendukung Ketahanan Pangan
Dengan mendorong pemanfaatan lahan secara optimal dan meningkatkan produktivitas pertanian, muzara'ah secara tidak langsung berkontribusi pada ketahanan pangan suatu daerah atau negara. Produksi pangan yang stabil dan berkelanjutan adalah fondasi penting bagi kesejahteraan masyarakat.
8. Fleksibilitas dan Adaptabilitas
Akad muzara'ah menawarkan fleksibilitas dalam penentuan nisbah pembagian hasil, yang dapat disesuaikan dengan kondisi lokal, jenis tanaman, tingkat risiko, dan kontribusi masing-masing pihak. Ini memungkinkan akad untuk beradaptasi dengan berbagai konteks dan kebutuhan pertanian.
Tantangan dan Relevansi Muzara'ah Kontemporer
Meskipun memiliki banyak hikmah dan manfaat, implementasi muzara'ah di era modern juga dihadapkan pada sejumlah tantangan. Namun, dengan inovasi dan adaptasi, akad ini tetap sangat relevan untuk mendukung pertanian yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Tantangan Muzara'ah di Era Modern:
- Ketidakpastian Pasar: Fluktuasi harga komoditas pertanian yang tinggi dapat mempengaruhi pendapatan kedua belah pihak, meskipun risiko ini sudah dibagi. Penggarap mungkin menghadapi kesulitan jika harga jual rendah.
- Bencana Alam dan Hama: Risiko kegagalan panen akibat bencana alam (banjir, kekeringan) atau serangan hama tetap menjadi ancaman besar. Meskipun risiko ditanggung bersama, kerugian finansial bisa signifikan.
- Teknologi dan Modal: Pertanian modern seringkali membutuhkan investasi besar dalam teknologi (mesin, irigasi canggih) dan modal kerja (pupuk, pestisida). Pemilik lahan dan penggarap perlu bersepakat siapa yang menanggung biaya ini dan bagaimana dampaknya pada nisbah bagi hasil.
- Legalitas dan Dokumentasi: Di banyak negara, sistem hukum agraria dan kontrak mungkin tidak secara eksplisit mengakui muzara'ah, atau memerlukan adaptasi agar sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku, terutama dalam hal penyelesaian sengketa. Dokumentasi akad yang jelas dan mengikat menjadi sangat penting.
- Kualitas Benih dan Lahan: Menentukan kualitas benih dan kondisi lahan secara objektif bisa menjadi tantangan. Kurangnya transparansi atau informasi yang tidak akurat dapat memicu perselisihan.
- Trust and Transparancy: Keberhasilan muzara'ah sangat bergantung pada kepercayaan dan transparansi antara pemilik lahan dan penggarap. Potensi kecurangan dalam melaporkan hasil panen atau biaya operasional dapat merusak akad.
Relevansi dan Potensi Implementasi Kontemporer:
Meskipun ada tantangan, muzara'ah tetap sangat relevan dan memiliki potensi besar untuk dikembangkan dalam pertanian modern, terutama dalam konteks:
- Pertanian Berbasis Komunitas: Muzara'ah dapat menjadi model ideal untuk pertanian berbasis komunitas atau koperasi, di mana beberapa pemilik lahan dan penggarap bekerja sama untuk mencapai skala ekonomi yang lebih besar.
- Pembiayaan Pertanian Syariah: Lembaga keuangan syariah dapat mengintegrasikan muzara'ah sebagai produk pembiayaan pertanian. Bank syariah bisa bertindak sebagai pemilik lahan (jika mereka memiliki aset lahan pertanian) atau sebagai penyedia modal awal untuk benih dan biaya operasional, kemudian membagi hasil dengan penggarap.
- Ketahanan Pangan dan Pembangunan Pedesaan: Dengan mendorong pemanfaatan lahan secara efisien dan memberdayakan petani, muzara'ah dapat berperan kunci dalam strategi ketahanan pangan nasional dan pembangunan ekonomi pedesaan.
- Pertanian Berkelanjutan (Sustainable Agriculture): Prinsip berbagi risiko dalam muzara'ah dapat mendorong praktik pertanian yang lebih berkelanjutan. Misalnya, jika hasil panen sangat bergantung pada kesehatan tanah, kedua belah pihak akan termotivasi untuk mengadopsi praktik pertanian organik atau minim kerusakan lingkungan.
- Integrasi dengan Teknologi: Teknologi modern (misalnya, sensor tanah, irigasi tetes, drone untuk pemantauan) dapat diintegrasikan dalam muzara'ah. Biaya teknologi ini dapat diperhitungkan dalam biaya operasional yang ditanggung bersama, atau salah satu pihak menyediakan teknologi sebagai bagian dari kontribusinya.
- Pendidikan dan Pelatihan: Pengembangan muzara'ah juga memerlukan program pendidikan dan pelatihan bagi pemilik lahan dan penggarap tentang manajemen pertanian, praktik terbaik, dan prinsip-prinsip akad syariah.
- Sertifikasi Halal untuk Produk Pertanian: Implementasi muzara'ah yang sesuai syariah dapat mendukung proses sertifikasi halal bagi produk pertanian, menambah nilai jual dan daya saing di pasar global.
Untuk suksesnya implementasi muzara'ah di masa kini, diperlukan:
- Akad yang Jelas dan Komprehensif: Menentukan secara rinci hak dan kewajiban masing-masing pihak, nisbah bagi hasil, siapa yang menanggung biaya apa (benih, pupuk, alat, air, tenaga kerja tambahan), mekanisme penyelesaian sengketa, dan durasi akad.
- Transparansi Penuh: Pencatatan yang akurat tentang biaya, hasil panen, dan penjualan harus transparan dan dapat diakses oleh kedua belah pihak.
- Asuransi Pertanian Syariah: Untuk mitigasi risiko bencana alam yang ekstrem, asuransi pertanian syariah (takaful) dapat dipertimbangkan sebagai pelengkap muzara'ah.
- Peran Pemerintah/Lembaga: Pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat dapat memfasilitasi akad muzara'ah, memberikan pelatihan, dan menyediakan akses ke pasar atau teknologi.
Dengan demikian, muzara'ah bukanlah sekadar warisan masa lalu, melainkan sebuah model ekonomi pertanian yang adaptif dan relevan untuk menghadapi tantangan pangan dan ekonomi di masa depan, selaras dengan nilai-nilai keadilan dan keberkahan dalam Islam.
Kesimpulan
Muzara'ah adalah akad kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan penggarap dengan sistem bagi hasil. Praktik ini memiliki akar kuat dalam syariat Islam, terutama berdasarkan sunnah Nabi Muhammad ﷺ yang mempraktikkannya dengan penduduk Khaibar. Meskipun terdapat perbedaan pandangan di kalangan mazhab fiqih mengenai kebolehan dan syarat-syaratnya—dengan Mazhab Maliki dan Hanbali membolehkannya secara luas, Mazhab Hanafi dengan syarat tertentu, dan Mazhab Syafi'i cenderung melarang—prinsip keadilan, berbagi risiko, dan optimalisasi sumber daya menjadi inti dari akad ini.
Muzara'ah menawarkan banyak hikmah dan manfaat, antara lain mewujudkan keadilan ekonomi, mengoptimalkan pemanfaatan lahan tidur, mendorong produktivitas, mengurangi pengangguran, memperkuat solidaritas sosial, serta mencegah eksploitasi dan praktik riba. Dalam konteks kontemporer, muzara'ah tetap sangat relevan sebagai model pertanian yang berkelanjutan dan berkeadilan, meskipun dihadapkan pada tantangan seperti ketidakpastian pasar dan kebutuhan akan teknologi modern.
Untuk implementasi yang berhasil di era modern, muzara'ah memerlukan akad yang jelas, transparansi penuh, serta dukungan dari teknologi dan lembaga terkait. Dengan demikian, muzara'ah bukan hanya sebuah konsep teoritis, melainkan sebuah solusi praktis untuk membangun sistem pertanian yang kuat, adil, dan bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat, selaras dengan tujuan syariah (maqashid syariah) dalam mewujudkan kemaslahatan umat.