Hadis Mursal: Pengertian, Hukum, dan Pandangannya dalam Islam

Ilustrasi gulungan atau kitab sebagai simbol transmisi ilmu Hadis dan sumber pengetahuan Islam.

Dalam khazanah keilmuan Islam, Hadis menempati posisi sentral sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an. Hadis merupakan perkataan, perbuatan, persetujuan (taqrir), atau sifat-sifat Nabi Muhammad ﷺ, yang menjadi pedoman utama bagi umat Muslim dalam menjalani kehidupan. Untuk memastikan otentisitas dan keabsahan Hadis, para ulama Hadis telah mengembangkan berbagai metode dan disiplin ilmu yang dikenal sebagai 'Ulumul Hadis atau Musthalahul Hadis. Ilmu ini mengklasifikasikan Hadis berdasarkan sanad (rantai perawi) dan matan (teks Hadis), serta menilai kualitas Hadis dari segi kekuatan dan kelemahannya.

Salah satu kategori Hadis yang menjadi objek kajian intensif dan perdebatan panjang di kalangan ulama adalah Hadis Mursal. Istilah mursal merujuk pada Hadis yang sanadnya terputus pada bagian Sahabat, di mana seorang Tabi'i (generasi setelah Sahabat) meriwayatkan langsung dari Nabi ﷺ tanpa menyebutkan Sahabat yang menjadi perantaranya. Status hukum Hadis Mursal ini menjadi krusial karena menyangkut validitas Hadis tersebut sebagai hujjah (dalil) dalam penetapan hukum Islam. Perbedaan pandangan mengenai Mursal telah membentuk variasi dalam metode istinbath (pengambilan hukum) di berbagai madzhab fiqh dan mazhab Hadis.

Artikel ini akan mengkaji Hadis Mursal secara komprehensif, dimulai dari definisi etimologis dan terminologisnya, klasifikasi, hingga pandangan berbagai madzhab ulama Hadis dan fiqh terkait hukum penerimaannya. Kita akan menelusuri argumen-argumen yang mendasari perbedaan pandangan tersebut, syarat-syarat penerimaan Hadis Mursal, serta implikasinya dalam praktik keagamaan dan penetapan hukum Islam. Pemahaman yang mendalam tentang Hadis Mursal tidak hanya memperkaya wawasan keilmuan Hadis, tetapi juga membantu kita mengapresiasi keragaman pendekatan dalam warisan intelektual Islam yang kaya.

1. Pengertian Hadis Mursal

1.1. Pengertian Etimologis (Bahasa)

Kata "mursal" (مُرْسَل) berasal dari akar kata bahasa Arab "arsala" (أَرْسَلَ), yang berarti "melepaskan", "mengutus", atau "membiarkan sesuatu lepas". Dalam konteks ini, kata "mursal" dapat diartikan sebagai "yang dilepaskan" atau "yang diutus". Penamaan Hadis Mursal dengan istilah ini memiliki relevansi kuat dengan kondisinya, yaitu sanadnya yang "dilepaskan" atau "terputus" dari sebagian perawinya. Penggunaan metafora "kuda yang dilepaskan tali kekangnya" juga seringkali digunakan untuk menggambarkan Hadis Mursal, menyiratkan bahwa ia "bebas" dari ikatan sanad yang lengkap, sehingga lebih sulit untuk dikendalikan atau dipastikan keasliannya seperti kuda tanpa kendali. Ini menunjukkan adanya elemen ketidakpastian dalam statusnya.

Secara bahasa, seolah-olah perawi yang meriwayatkan Hadis tersebut telah "melepaskan" atau "menjatuhkan" salah satu nama perawi dari rantai sanadnya. Konsep pelepasan ini menjadi kunci dalam memahami mengapa Mursal menjadi kategori yang diperdebatkan. Pelepasan ini bisa berarti pelepasan yang disengaja karena suatu alasan, atau pelepasan karena ketidaktahuan perawi tentang identitas perawi yang gugur. Dalam kedua kasus, ia meninggalkan celah yang perlu dianalisis secara kritis oleh para ahli Hadis.

1.2. Pengertian Terminologis (Istilah)

Dalam terminologi ilmu Hadis, Hadis Mursal didefinisikan sebagai: "Hadis yang diriwayatkan oleh seorang Tabi'i (generasi setelah Sahabat) secara langsung dari Nabi ﷺ, tanpa menyebutkan Sahabat yang menjadi perantara antara Tabi'i tersebut dengan Nabi ﷺ."

Definisi ini menunjuk pada suatu Hadis yang memenuhi kriteria spesifik: perawinya adalah seorang Tabi'i, yaitu individu yang bertemu dengan Sahabat Nabi ﷺ dan menerima Hadis dari mereka, namun ia sendiri tidak pernah bertemu Nabi ﷺ secara langsung. Ketika Tabi'i ini mengatakan, "Rasulullah ﷺ bersabda..." atau "Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda...", padahal ia tidak pernah mendengar langsung dari Nabi ﷺ, maka secara otomatis ada satu perawi yang gugur dari sanad. Perawi yang gugur inilah yang secara ideal adalah seorang Sahabat Nabi ﷺ, karena Sahabat adalah satu-satunya generasi yang mendengar langsung dari Nabi ﷺ dan menjadi perantara bagi Tabi'i. Ketidakjelasan mengenai identitas Sahabat ini – apakah memang Sahabat atau ada kemungkinan perawi lain yang kurang terpercaya – menjadi inti permasalahan dalam Hadis Mursal dan memicu perbedaan pandangan ulama.

Struktur sanad Hadis Mursal dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabi'i ← Nabi ﷺ

Sedangkan, seharusnya sanadnya adalah:

Tabi'i ← Sahabat ← Nabi ﷺ

Perlu dicatat bahwa definisi ini berlaku untuk Mursal dalam pengertian umumnya yang menjadi subjek perdebatan tentang keabsahannya. Ada beberapa nuansa dan definisi yang lebih spesifik yang akan dibahas kemudian, seperti Mursal Sahabi yang memiliki hukum dan kedudukan yang berbeda dalam ilmu Hadis dan umumnya diterima tanpa keraguan serius.

2. Klasifikasi Hadis Mursal dan Jenis Putusnya Sanad

Meskipun definisi dasar Hadis Mursal tampak lugas, ada beberapa nuansa dan klasifikasi yang membedakan jenis putusnya sanad dalam konteks ini, serta hubungannya dengan jenis Hadis dha'if lainnya. Pemahaman terhadap klasifikasi ini sangat penting untuk menilai tingkat kelemahan Hadis dan metode penanganannya oleh ulama Hadis.

2.1. Mursal Tabi'i (Mursal Umum)

Ini adalah bentuk Mursal yang paling umum dan menjadi fokus utama perdebatan ulama. Yaitu, ketika seorang Tabi'i, baik Tabi'i senior (kibar at-Tabi'in) maupun Tabi'i junior (shighar at-Tabi'in), meriwayatkan Hadis langsung dari Nabi ﷺ tanpa menyebutkan nama Sahabat. Contohnya, jika Sa'id bin al-Musayyab (seorang Tabi'i besar) berkata, "Rasulullah ﷺ bersabda..." tanpa menyebutkan Sahabat yang ia dengar darinya. Dalam kasus ini, putusnya sanad terletak pada perawi yang seharusnya Sahabat, dan karena itulah timbul keraguan yang mendalam di kalangan ahli Hadis. Putusnya ini dianggap mengurangi keotentikan karena adanya mata rantai yang hilang, dan kualitas mata rantai yang hilang itu tidak dapat dipastikan.

2.2. Mursal Sahabi

Mursal Sahabi adalah Hadis yang diriwayatkan oleh seorang Sahabat, tetapi ia tidak mendengar Hadis tersebut langsung dari Nabi ﷺ, melainkan dari Sahabat lain, atau dari Tabi'i, atau ia belum lahir pada saat kejadian Hadis tersebut namun ia meriwayatkannya seolah-olah mendengar langsung dari Nabi ﷺ. Meskipun secara teknis ada "putus" dalam mendengar langsung dari Nabi ﷺ, Mursal Sahabi tidak dianggap Mursal dalam pengertian yang dha'if oleh jumhur ulama Hadis. Ada beberapa alasan kuat untuk ini:

Oleh karena itu, ketika ulama Hadis membahas Hadis Mursal dan hukumnya, mereka umumnya merujuk pada Mursal Tabi'i, bukan Mursal Sahabi, karena Mursal Sahabi sudah dianggap kokoh dan diterima.

2.3. Perbedaan Mursal dengan Jenis Hadis Dha'if Lainnya yang Sanadnya Terputus

Selain Mursal, ada beberapa jenis Hadis dha'if lain yang juga memiliki putusnya sanad. Membedakannya membantu dalam memahami tingkat kelemahan dan metode penanganannya:

Pentingnya membedakan antara jenis-jenis putusnya sanad ini terletak pada tingkat kelemahan Hadis dan metode penanganannya oleh ulama Hadis. Hadis Mursal, karena putusnya hanya pada satu perawi yang diasumsikan seorang Sahabat, seringkali dianggap memiliki derajat kelemahan yang lebih ringan dibandingkan Mu'dal atau Mu'allaq, namun tetap menimbulkan perdebatan sengit tentang status hujjahnya.

3. Hukum dan Kedudukan Hadis Mursal dalam Perspektif Ulama

Hukum Hadis Mursal, apakah dapat diterima sebagai hujjah atau tidak, adalah salah satu masalah paling pelik dan paling banyak diperdebatkan dalam ilmu Hadis dan Ushul Fiqh. Perbedaan pandangan ini sangat signifikan, mempengaruhi cara madzhab fiqh dalam mengambil hukum dan membentuk kekayaan metodologi dalam istinbath. Berikut adalah ringkasan pandangan ulama besar dan madzhab-madzhab utama, beserta argumen yang mendalam untuk setiap posisi.

3.1. Jumhur Muhadditsin (Mayoritas Ahli Hadis)

Mayoritas ahli Hadis, termasuk Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Yahya bin Ma'in, Imam Abu Zur'ah, dan Imam Abu Hatim, menganggap Hadis Mursal sebagai Hadis dha'if dan tidak dapat dijadikan hujjah secara mutlak. Pendapat ini juga dipegang oleh Imam Asy-Syafi'i dalam pandangan barunya (Qaul Jadid) dan Imam Ahmad bin Hanbal dalam banyak kasus. Mereka menekankan prinsip fundamental dalam ilmu Hadis: sanad yang bersambung dan perawi yang adil serta dhabit (kuat hafalannya).

Argumentasi Jumhur Muhadditsin:

  1. **Inqita' Sanad (Terputusnya Sanad) sebagai Cacat Mendasar:** Pokok permasalahan Hadis Mursal adalah adanya putusnya sanad. Kaidah dasar ilmu Hadis menyatakan bahwa Hadis harus memiliki sanad yang bersambung (muttasil) dari perawi pertama hingga Nabi ﷺ. Putusnya sanad menyebabkan ketidakpastian (jahalah) terhadap identitas perawi yang gugur. Para muhadditsin sangat ketat dalam memeriksa sanad karena mereka meyakini bahwa sanad adalah "bagian dari agama". Tanpa sanad yang kokoh, keaslian Hadis tidak dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya.
  2. **Ketidakpastian Kualitas Perawi yang Gugur:** Ini adalah argumen sentral mereka. Ketika seorang Tabi'i meriwayatkan Hadis dari Nabi ﷺ tanpa menyebutkan perantara, kita tidak tahu siapa perantara tersebut. Meskipun diasumsikan perantara itu adalah Sahabat, namun ada kemungkinan perantara itu adalah Tabi'i lain yang lemah (dha'if), atau bahkan majhul (tidak dikenal). Tidak ada jaminan mutlak bahwa perawi yang gugur itu pasti Sahabat atau Tabi'i tsiqah. Sebagian Tabi'in diketahui memiliki kebiasaan mursal dari perawi yang lemah. Jika perawi yang gugur itu dha'if atau majhul, maka Hadis tersebut secara otomatis menjadi dha'if, dan jika mursal diterima tanpa verifikasi, berarti Hadis dha'if bisa saja lolos.
  3. **Prinsip Kehati-hatian dalam Riwayat:** Dalam menjaga kemurnian Sunnah, ahli Hadis sangat mengutamakan kehati-hatian (ihtiyat). Mengesampingkan prinsip sanad muttasil akan membuka pintu bagi masuknya Hadis-Hadis yang keabsahannya diragukan, yang berpotensi mencemari kemurnian ajaran Islam. Mereka percaya bahwa lebih baik menolak Hadis yang diragukan daripada menerima Hadis yang mungkin bukan dari Nabi ﷺ.
  4. **Adanya Hadis Mursal yang Ditemukan Muttasilnya dan Ternyata Dha'if:** Para muhadditsin telah menemukan banyak kasus di mana Hadis yang awalnya diriwayatkan secara mursal dari satu jalur, kemudian ditemukan riwayat muttasilnya dari jalur lain, dan ternyata sanad muttasil tersebut mengandung perawi yang dha'if. Ini menjadi bukti empiris yang kuat bahwa keraguan terhadap Hadis Mursal adalah beralasan dan bahwa putusnya sanad memang berpotensi menyembunyikan kelemahan.
  5. **Praktek Tabi'in yang Beragam:** Tidak semua Tabi'in memiliki standar yang sama dalam meriwayatkan. Ada yang sangat ketat, ada pula yang lebih longgar. Oleh karena itu, menerima semua mursal dari semua Tabi'in secara mutlak adalah gegabah.

Bagi jumhur muhadditsin, Hadis Mursal hanya dapat diterima jika didukung oleh qarinah (indikator penguat) yang kuat, seperti adanya riwayat muttasil dari jalur lain (syahid atau mutaba'at), atau jika perawi Mursal itu dikenal sangat teliti dan tidak meriwayatkan kecuali dari orang tsiqah. Tanpa penguat, Hadis Mursal tetap tergolong dha'if.

3.2. Imam Abu Hanifah dan Madzhab Hanafi

Imam Abu Hanifah dan para pengikut Madzhab Hanafi memiliki pandangan yang berbeda. Mereka menerima Hadis Mursal sebagai hujjah dan mengamalkannya secara mutlak, asalkan perawi Mursal tersebut adalah seorang Tabi'i yang tsiqah (terpercaya). Pandangan ini menunjukkan kepercayaan yang tinggi terhadap integritas ulama Tabi'in.

Argumentasi Madzhab Hanafi:

  1. **Ke-Tsiqahan Perawi Mursal (Tabi'i yang Terpercaya):** Argumen utama mereka adalah bahwa seorang Tabi'i yang dikenal tsiqah, adil, dan jujur tidak akan meriwayatkan Hadis kecuali dari seorang perawi yang juga tsiqah. Mereka sangat berhati-hati dalam menjaga Sunnah Nabi ﷺ dan tidak mungkin akan menjatuhkan nama seorang perawi kecuali jika perawi tersebut memang Sahabat (yang keadilannya sudah pasti) atau Tabi'i lain yang sangat terpercaya. Kehati-hatian mereka adalah jaminan.
  2. **Jaminan Ke-'Adilan Sahabat:** Jika perawi yang gugur adalah seorang Sahabat, maka ketidakjelasan identitasnya tidak menjadi masalah karena semua Sahabat Nabi ﷺ dianggap adil ('udul) dan tsiqah oleh Ahlussunnah wal Jama'ah. Dengan demikian, tidak ada keraguan tentang integritas perawi yang gugur tersebut. Tidak ada risiko bahwa perawi yang gugur adalah orang yang tidak layak dipercaya.
  3. **Kebutuhan untuk Istinbath Hukum:** Banyak hukum dan sunnah Nabi ﷺ yang penting dan fundamental diriwayatkan melalui jalur mursal. Menolak semua Hadis Mursal secara mutlak akan menyebabkan hilangnya sebagian besar sumber hukum dan praktik Sunnah Nabi ﷺ yang penting, yang mana umat Islam sangat membutuhkan. Madzhab Hanafi sangat menekankan penerapan Hadis untuk istinbath hukum dan cenderung mencari dalil dari setiap riwayat yang memungkinkan.
  4. **Praktek Ulama Salaf:** Sebagian ulama salaf, termasuk para Sahabat dan Tabi'in, juga banyak menggunakan Hadis Mursal dalam fatwa dan pengajaran mereka. Ini menunjukkan adanya penerimaan Hadis Mursal dalam praktek awal Islam dan menjadi preseden yang kuat.

Meskipun menerima secara mutlak, mereka tetap melihat kualitas Tabi'i yang meriwayatkan. Jika Tabi'i tersebut dikenal sering mursal dari perawi dha'if, maka mursalnya akan diteliti lebih lanjut. Namun, prinsip umumnya adalah menerima jika perawinya tsiqah.

3.3. Imam Malik bin Anas dan Madzhab Maliki

Imam Malik juga menerima Hadis Mursal sebagai hujjah, bahkan beliau banyak meriwayatkan Hadis Mursal dalam kitabnya, *Al-Muwatta'*. Namun, penerimaan beliau memiliki beberapa syarat dan pertimbangan khusus yang mencerminkan kekhasan madzhab Maliki.

Argumentasi dan Syarat Madzhab Maliki:

  1. **Kualitas Perawi Mursal dan Kedudukan Ulama Madinah:** Imam Malik menerima Hadis Mursal jika diriwayatkan oleh Tabi'i yang tsiqah, terutama dari kalangan ulama Madinah. Ini karena ulama Madinah pada masanya dianggap sebagai pewaris langsung Sunnah Nabi ﷺ dan mereka sangat selektif dalam meriwayatkan Hadis. Tinggal di Madinah, pusat wahyu dan tempat Nabi ﷺ serta para Sahabat tinggal, memberikan mereka kedudukan istimewa dalam menjaga Sunnah.
  2. **'Amal Ahlul Madinah (Amalan Penduduk Madinah):** Ini adalah prinsip fundamental dalam madzhab Maliki. Jika Hadis Mursal didukung oleh amalan mayoritas penduduk Madinah yang secara turun-temurun mengikuti praktik Nabi ﷺ dan Sahabat, maka Hadis Mursal tersebut semakin kuat untuk diterima. Amalan ahli Madinah dianggap sebagai transmisi Sunnah yang hidup dan autentik, yang memiliki bobot lebih tinggi daripada sekadar riwayat Hadis secara tekstual. Bahkan, Imam Malik terkadang mendahulukan amalan ahli Madinah daripada Hadis Ahad yang muttasil tetapi tidak didukung amalan tersebut.
  3. **Tidak Bertentangan dengan Hadis Muttasil yang Kuat:** Hadis Mursal tidak boleh bertentangan dengan Hadis muttasil yang sanadnya shahih dan lebih kuat. Jika ada pertentangan, Hadis muttasil lebih didahulukan karena memiliki keunggulan dalam kebersambungan sanad.
  4. **Tidak Ada Riwayat Mursal Lain yang Bertentangan:** Jika tidak ada Hadis Mursal lain yang bertentangan dengan Hadis Mursal yang sedang diteliti, maka itu menambah kekuatan untuk diterima.

Bagi Imam Malik, gabungan antara Tabi'i yang tsiqah, keaslian sumber dari Madinah, dan amalan ahli Madinah menjadi penguat utama bagi Hadis Mursal. Ini menunjukkan pendekatan yang holistik, tidak hanya terpaku pada sanad tekstual tetapi juga pada praktik yang hidup.

3.4. Imam Asy-Syafi'i dan Madzhab Syafi'i

Imam Asy-Syafi'i memiliki dua pandangan yang berbeda mengenai Hadis Mursal, dikenal sebagai Qaul Qadim (pendapat lama) dan Qaul Jadid (pendapat baru), yang mencerminkan evolusi pemikirannya.

3.4.1. Qaul Qadim (Pendapat Lama)

Pada awalnya, ketika beliau berada di Irak, Imam Asy-Syafi'i cenderung menerima Hadis Mursal dengan syarat-syarat yang cukup ketat, mirip dengan pendekatan yang memperkuat Mursal. Syarat-syarat tersebut antara lain:

Pendekatan ini menunjukkan kehati-hatian, namun tetap membuka pintu penerimaan jika ada penguat yang cukup kuat, menunjukkan bahwa putusnya sanad bukanlah halangan mutlak jika ada dukungan lain.

3.4.2. Qaul Jadid (Pendapat Baru)

Setelah pindah ke Mesir dan melakukan kajian ulang yang mendalam, pandangan Imam Asy-Syafi'i berubah dan menjadi lebih ketat. Beliau cenderung tidak menerima Hadis Mursal sebagai hujjah secara mutlak, kecuali dalam kondisi yang sangat terbatas. Posisi ini lebih selaras dengan pandangan jumhur muhadditsin dan menjadi pandangan dominan dalam madzhab Syafi'i saat ini.

Beliau berargumen bahwa putusnya sanad tetap merupakan kelemahan yang signifikan, dan ketidakpastian perawi yang gugur adalah masalah serius. Meskipun semua Sahabat adalah adil, Tabi'i bisa saja meriwayatkan dari Tabi'i lain yang lemah, atau bahkan dari seorang yang bukan Sahabat. Beliau menekankan pentingnya sanad muttasil sebagai jaminan otentisitas Hadis dan kehati-hatian maksimal dalam menerima riwayat.

Dalam Qaul Jadid, Imam Asy-Syafi'i hanya menerima Mursal jika ditemukan salah satu dari empat penguat berikut:

  1. Diriwayatkan dari jalur lain secara muttasil yang shahih.
  2. Diriwayatkan dari jalur lain secara mursal, tetapi oleh perawi yang berbeda dan tsiqah.
  3. Didukung oleh fatwa Sahabat atau mayoritas ulama.
  4. Diterima oleh mayoritas ulama dan mereka menjadikannya dalil, menunjukkan penerimaan umum.

Jika salah satu dari empat syarat penguat ini terpenuhi, maka Hadis Mursal tersebut dapat naik derajatnya dan dapat dijadikan hujjah. Jika tidak, maka statusnya tetap dha'if dan tidak dapat dijadikan dalil. Pandangan kedua inilah yang dominan dalam madzhab Syafi'i saat ini, yang sangat menekankan pentingnya sanad yang utuh.

3.5. Imam Ahmad bin Hanbal dan Madzhab Hanbali

Imam Ahmad bin Hanbal memiliki pendekatan yang mirip dengan Imam Asy-Syafi'i dalam Qaul Jadid-nya, tetapi dengan fleksibilitas yang lebih besar dalam kasus-kasus tertentu. Beliau juga cenderung menganggap Hadis Mursal dha'if dan tidak bisa dijadikan hujjah secara mutlak, namun membuka ruang untuk penerimaan dengan syarat-syarat tertentu.

Argumentasi Madzhab Hanbali:

Secara umum, madzhab Hanbali lebih konservatif dalam menerima Mursal dibandingkan Hanafi atau Maliki, dan menuntut adanya penguat yang signifikan sebelum dapat dijadikan hujjah.

3.6. Ringkasan Perbedaan Pandangan

Perbedaan pandangan ini, meskipun tampak kompleks, dapat diringkas sebagai berikut:

Perbedaan ini bukan hanya soal suka atau tidak suka, melainkan berpijak pada metodologi dan prinsip-prinsip Ushul Fiqh yang berbeda, mencerminkan kekayaan intelektual dalam Islam.

4. Dalil dan Argumen Mendalam Masing-masing Madzhab

Untuk memahami lebih jauh mengapa perbedaan pandangan ini muncul dan mengapa setiap madzhab berpegang teguh pada posisinya, kita perlu menyelami argumen-argumen yang lebih mendalam dari setiap madzhab. Perbedaan ini bukan hanya soal preferensi, melainkan berpijak pada interpretasi dalil, prinsip-prinsip Ushul Fiqh, dan metodologi kritik Hadis yang berbeda secara fundamental.

4.1. Argumen Bagi yang Menolak (Jumhur Muhadditsin, Syafi'i Qaul Jadid, Hanbali Mayoritas)

Pihak yang menolak Hadis Mursal sebagai hujjah secara mutlak, mendasarkan argumen mereka pada prinsip-prinsip ketat dalam periwayatan Hadis yang telah menjadi pondasi ilmu Hadis. Mereka sangat mengutamakan keaslian dan kebersambungan sanad.

  1. **Prinsip Sanad Muttasil (Bersambung) sebagai Syarat Dasar Penerimaan Hadis:** Ini adalah pilar utama ilmu Hadis. Untuk Hadis dianggap shahih atau hasan, sanadnya harus muttasil (bersambung) dari perawi pertama hingga Nabi ﷺ, tanpa ada putus. Hadis Mursal jelas-jelas tidak memenuhi syarat ini karena adanya putus sanad antara Tabi'i dan Nabi ﷺ. Kaidah dasar Hadis adalah: "Al-Isnad minad din, lawla al-isnad laqala man sya'a ma sya'a" (Sanad adalah bagian dari agama. Kalau bukan karena sanad, niscaya setiap orang akan mengatakan apa saja yang ia mau). Tanpa sanad yang kokoh, Hadis tidak dapat dipertanggungjawabkan keasliannya dan berpotensi menjadi pintu masuk bagi pemalsuan.
  2. **Adanya Jahalah (Ketidakjelasan) pada Perawi yang Gugur:** Ini adalah inti dari keraguan. Ketika seorang Tabi'i meriwayatkan Hadis dari Nabi ﷺ tanpa menyebutkan perantara, kita tidak tahu siapa perantara tersebut. Meskipun diasumsikan perantara itu adalah Sahabat, namun ada kemungkinan perantara itu adalah Tabi'i lain yang lemah (dha'if), atau bahkan majhul (tidak dikenal). Jika perantara itu dha'if atau majhul, maka Hadis tersebut secara otomatis menjadi dha'if. Mengapa Tabi'i menggugurkan nama perantara? Bisa jadi karena perantara itu memang tidak tsiqah, atau memiliki cacat lain yang sengaja disembunyikan (tadlis). Tidak bisa dipastikan bahwa setiap Tabi'i hanya meriwayatkan dari tsiqah. Imam Muslim dalam mukadimah Shahih-nya menyatakan bahwa tujuan menyebutkan sanad adalah untuk memastikan integritas perawi. Jika ada perawi yang digugurkan, maka tujuan ini tidak tercapai, dan menyebabkan riwayat tersebut tidak dapat diandalkan sepenuhnya.
  3. **Praktik Tabi'in itu Sendiri yang Beragam:** Sebagian Tabi'in memang meriwayatkan dari Sahabat, tetapi juga dari Tabi'in lain atau bahkan dari Ahli Kitab. Tidak semua Tabi'in memiliki standar yang sama dalam periwayatan. Ada Tabi'in yang dikenal sering melakukan tadlis (menyembunyikan cacat sanad atau perawi) atau irsal (meriwayatkan secara mursal dari orang yang bukan Sahabat atau dari perawi yang dha'if). Oleh karena itu, kita tidak bisa secara otomatis berasumsi bahwa perawi yang gugur itu pasti Sahabat atau Tabi'i tsiqah. Keragaman ini menuntut kehati-hatian ekstra.
  4. **Adanya Hadis Mursal yang Ditemukan Muttasilnya dan Ternyata Dha'if:** Para muhadditsin telah melakukan penelitian ekstensif dan menemukan banyak kasus di mana Hadis yang awalnya diriwayatkan secara mursal, kemudian ditemukan sanad muttasilnya dari jalur lain, dan ternyata sanad muttasil tersebut mengandung perawi yang dha'if. Ini menjadi bukti empiris yang kuat bahwa keraguan terhadap Mursal Hadis adalah beralasan dan bahwa putusnya sanad memang berpotensi menyembunyikan kelemahan, bukan hanya nama Sahabat yang keadilannya pasti.
  5. **Perintah untuk Bertabayyun (Verifikasi):** Al-Qur'an memerintahkan untuk bertabayyun (memverifikasi) jika datang berita dari orang fasik (QS. Al-Hujurat: 6). Meskipun ayat ini terkait orang fasik, prinsip tabayyun menekankan pentingnya kepastian sumber dan informasi. Dalam konteks Hadis, putusnya sanad menghalangi tabayyun yang sempurna, karena salah satu mata rantai informasi tersembunyi.

4.2. Argumen Bagi yang Menerima (Hanafi, Maliki, Syafi'i Qaul Qadim)

Pihak yang menerima Hadis Mursal, baik secara mutlak maupun dengan syarat, memiliki argumen yang kuat berdasarkan pemahaman mereka tentang integritas perawi Tabi'i, kebutuhan akan dalil dalam fiqh, dan praktek ulama salaf. Mereka melihat bahwa kelemahan Hadis Mursal dapat diatasi atau ditoleransi dalam kondisi tertentu.

  1. **Ke-Tsiqahan Perawi Mursal (Tabi'i Besar):** Argumen utama adalah kepercayaan penuh terhadap Tabi'i yang meriwayatkan Hadis Mursal, terutama Tabi'i besar (kibar at-Tabi'in) yang dikenal sebagai ulama yang tsiqah, adil, hafizh, dan wara' (saleh). Diasumsikan bahwa seorang Tabi'i yang tsiqah tidak akan meriwayatkan kecuali dari perawi yang tsiqah pula. Mereka sangat berhati-hati dalam menjaga Sunnah Nabi ﷺ dan tidak mungkin akan menjatuhkan nama seorang perawi kecuali jika perawi tersebut memang Sahabat (yang keadilannya mutlak) atau Tabi'i lain yang sangat masyhur ket-tsiqahannya dan tidak diragukan. Kehati-hatian mereka sendiri dianggap sebagai jaminan.
  2. **Semua Sahabat adalah Adil (Jika yang Gugur Sahabat):** Jika perawi yang gugur adalah seorang Sahabat, maka ketidakjelasan identitasnya tidak menjadi masalah karena semua Sahabat Nabi ﷺ dianggap adil ('udul) oleh Ahlussunnah wal Jama'ah. Kepercayaan pada keadilan Sahabat menghilangkan kekhawatiran tentang perawi yang gugur tersebut, karena tidak mungkin seorang Sahabat berdusta. Dengan demikian, jika diasumsikan yang gugur adalah Sahabat, maka Hadis Mursal itu tidak memiliki cacat berarti.
  3. **Kebutuhan untuk Istinbath Hukum dan Pelestarian Sunnah:** Banyak hukum-hukum syara' dan praktik Sunnah yang penting diriwayatkan melalui jalur mursal. Jika semua Hadis Mursal ditolak secara mutlak, maka akan banyak kekosongan dalam perundang-undangan Islam (fiqh) dan Sunnah Nabi ﷺ tidak akan terpelihara dengan sempurna. Madzhab-madzhab fiqh sangat mengandalkan Hadis untuk istinbath hukum, dan menolak sejumlah besar Hadis Mursal akan mengurangi basis dalil mereka secara drastis, sehingga mempersulit penetapan hukum dalam banyak masalah.
  4. **Praktek Ulama Salaf:** Banyak ulama dari generasi Sahabat dan Tabi'in yang menggunakan Hadis Mursal sebagai hujjah dan berfatwa dengannya. Sebagai contoh, Said bin al-Musayyab, salah satu Tabi'i paling mulia, banyak meriwayatkan Mursal, dan mursal-nya dianggap memiliki kekuatan khusus oleh sebagian ulama. Imam Malik juga banyak menggunakan Mursal dalam Al-Muwatta'nya. Praktek ini menunjukkan adanya penerimaan Hadis Mursal di kalangan ulama salaf yang merupakan generasi terbaik dan paling dekat dengan Nabi ﷺ.
  5. **Keberadaan Jalur Penguat (Bagi yang Bersyarat):** Bagi madzhab seperti Syafi'i (Qaul Qadim) dan Maliki, penerimaan Mursal sangat bergantung pada adanya penguat. Ini menunjukkan bahwa mereka menyadari kelemahan intrinsik Mursal tetapi melihat bahwa kelemahan itu dapat ditutupi oleh faktor eksternal. Penguat ini bisa berupa riwayat muttasil lain, mursal lain dari jalur berbeda, atau amalan ulama. Ini adalah pendekatan tengah yang berusaha menggabungkan kehati-hatian sanad dengan kebutuhan dalil.
  6. **Fokus pada Matan (Teks) Hadis:** Sebagian ulama fiqh lebih fokus pada matan Hadis dan apakah isinya sesuai dengan prinsip-prinsip umum syariat atau telah diterima secara luas, daripada semata-mata pada kebersambungan sanad. Bagi mereka, jika matan Hadis Mursal tidak bertentangan dengan Al-Qur'an atau Hadis shahih lainnya, dan didukung oleh ijtihad ulama, maka ia memiliki bobot.

5. Syarat-syarat Penerimaan Hadis Mursal

Bagi ulama yang menerima Hadis Mursal, baik secara mutlak maupun dengan persyaratan, mereka menetapkan beberapa kondisi agar Mursal tersebut dapat diterima sebagai hujjah. Syarat-syarat ini bervariasi antara madzhab, namun secara umum mencerminkan upaya untuk meminimalkan risiko ketidakpastian yang melekat pada Hadis Mursal dan untuk memastikan bahwa Hadis tersebut memiliki dukungan yang memadai.

5.1. Syarat Umum Penerimaan (Bagi yang Berpendapat Menerima dengan Syarat)

Syarat-syarat berikut ini seringkali disebutkan oleh Imam Asy-Syafi'i (dalam Qaul Qadim dan sebagian Qaul Jadid-nya), Imam Ahmad, dan juga dipertimbangkan oleh Imam Malik dalam pendekatan mereka terhadap Hadis Mursal:

  1. **Perawi Mursal adalah Tabi'i Tsiqah dan Besar (Kibar at-Tabi'in):** Tabi'i tersebut harus dikenal sebagai seorang ulama yang jujur, adil, hafizh (kuat hafalannya), dan sangat teliti dalam periwayatan Hadis. Mereka harus termasuk Tabi'in generasi awal yang hidup pada masa Sahabat masih banyak dan dikenal memiliki kredibilitas tinggi. Contoh yang sering disebut adalah Sa'id bin al-Musayyab, Ibrahim an-Nakha'i, dan Hasan al-Bashri. Mursal dari Tabi'i yang junior atau yang tidak dikenal ketelitiannya tidak akan diterima, karena risiko adanya perawi dha'if di antara mereka lebih tinggi.
  2. **Tabi'i Tersebut Tidak Meriwayatkan kecuali dari Tsiqah:** Tabi'i yang mursal harus memiliki reputasi tidak pernah meriwayatkan Hadis kecuali dari perawi yang tsiqah dan dapat dipercaya. Ia juga harus bersih dari praktik tadlis (menyembunyikan cacat sanad atau perawi) yang dapat menimbulkan keraguan. Jika seorang Tabi'i dikenal sering melakukan tadlis atau meriwayatkan dari perawi dha'if, maka mursalnya akan ditolak secara mutlak, karena putusnya sanad dalam kasus tersebut sangat mungkin menyembunyikan kelemahan.
  3. **Tidak Bertentangan dengan Hadis Muttasil yang Lebih Kuat:** Hadis Mursal tidak boleh bertentangan dengan Hadis muttasil yang sanadnya shahih dan lebih kuat. Jika ada pertentangan, Hadis muttasil lebih didahulukan karena memiliki keunggulan dalam kebersambungan sanad dan kepastian perawinya. Kaidah ini adalah prinsip dasar dalam tarjih (mengunggulkan) Hadis.
  4. **Adanya Riwayat Lain yang Menguatkan:** Ini adalah syarat yang paling penting dan sering menjadi penentu dalam penerimaan Hadis Mursal oleh madzhab yang bersyarat. Bentuk penguat bisa bermacam-macam dan semakin banyak penguat, semakin kuat pula Hadis Mursal tersebut:
    • **Riwayat Muttasil dari Jalur Lain (Syahid atau Mutaba'at):** Hadis Mursal tersebut ditemukan memiliki sanad muttasil dari jalur perawi lain yang shahih atau hasan, meskipun matan (teks)-nya serupa. Ini disebut syahid jika Hadis serupa diriwayatkan dari Sahabat yang berbeda, atau mutaba'at jika Hadis serupa diriwayatkan dari Sahabat yang sama namun dengan jalur sanad yang berbeda. Adanya jalur muttasil mengkonfirmasi bahwa matan Hadis tersebut memang memiliki asal-usul yang shahih dari Nabi ﷺ.
    • **Riwayat Mursal Lain dari Jalur Berbeda:** Hadis Mursal tersebut juga diriwayatkan secara mursal oleh Tabi'i lain, dari jalur sanad yang berbeda. Ini memberikan kesan bahwa Hadis tersebut memiliki sumber yang beragam, meskipun kedua-duanya mursal. Jika beberapa Tabi'i besar meriwayatkannya secara mursal, ini bisa menunjukkan bahwa Hadis tersebut memang tersebar di kalangan Tabi'in.
    • **Didukung oleh Amalan Ulama atau Fatwa Sahabat:** Jika isi Hadis Mursal tersebut telah menjadi praktik yang umum di kalangan ulama Salaf, atau didukung oleh fatwa dari Sahabat Nabi ﷺ. Ini sangat ditekankan dalam madzhab Maliki dengan konsep 'amal ahlul Madinah, di mana praktik penduduk Madinah dianggap sebagai transmisi Sunnah yang hidup.
    • **Didukung oleh Qiyas atau Prinsip Umum Syara':** Dalam beberapa kasus, jika Hadis Mursal selaras dengan prinsip-prinsip umum syariat, maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat), atau didukung oleh qiyas yang kuat. Namun, ini lebih kepada aspek fiqhiyyah dalam istinbath hukum daripada kritik Hadis murni.

5.2. Mursal Sa'id bin al-Musayyab

Secara khusus, mursal dari Sa'id bin al-Musayyab (salah satu Tabi'i besar dari Madinah dan menantu Abu Hurairah) seringkali diberikan perhatian khusus oleh para ulama. Banyak ulama menganggap mursal Sa'id bin al-Musayyab memiliki kekuatan lebih dan cenderung diterima, bahkan oleh mereka yang sangat ketat dalam menerima mursal lainnya. Ini karena Sa'id bin al-Musayyab dikenal sebagai Tabi'i yang sangat mulia, sangat teliti, dan ia diperkirakan tidak meriwayatkan secara mursal kecuali dari Sahabat atau dari jalur yang sangat tsiqah. Imam Ahmad bahkan menyatakan bahwa "Mursal Sa'id bin al-Musayyab itu shahih". Ini adalah pengecualian yang diakui oleh beberapa ulama yang sangat ketat dalam menerima mursal lainnya, menunjukkan bahwa kualitas perawi mursal sangat penting dalam penilaian.

6. Implikasi Fiqhiyyah dan Historis dari Perbedaan Penerimaan Mursal

Perbedaan pandangan ulama mengenai hukum Hadis Mursal memiliki implikasi yang sangat besar dalam berbagai bidang, terutama dalam penetapan hukum fiqh, studi Hadis, dan pemahaman sejarah perkembangan pemikiran Islam. Perbedaan ini bukan hanya sekadar teori, melainkan memiliki dampak praktis yang signifikan dalam kehidupan umat Islam.

6.1. Implikasi dalam Istinbath Hukum Fiqh

Implikasi yang paling nyata terlihat dalam perbedaan pandangan fiqhiyyah antar madzhab. Madzhab Hanafi dan Maliki, yang lebih cenderung menerima Hadis Mursal (dengan atau tanpa syarat), memiliki basis dalil yang lebih luas dibandingkan madzhab Syafi'i dan Hanbali (dalam pandangan dominan mereka) yang lebih ketat. Ini menciptakan keragaman hukum dan fatwa:

6.2. Implikasi dalam Studi Hadis dan Klasifikasinya

Bagi ulama Hadis, perbedaan pandangan tentang Mursal membentuk metodologi mereka dalam meneliti dan mengklasifikasikan Hadis. Ini juga mempengaruhi bagaimana kitab-kitab Hadis disusun dan dipahami:

6.3. Implikasi Historis dan Perkembangan Pemikiran

Perdebatan seputar Hadis Mursal juga mencerminkan perkembangan metodologi keilmuan Islam sepanjang sejarah, dari generasi Sahabat hingga ulama-ulama berikutnya:

7. Mursal dalam Konteks Hadis Lain dan Contoh Aplikasi

Untuk memahami Mursal secara lebih holistik, penting untuk melihatnya dalam konteks Hadis-Hadis lain dan bagaimana para ulama mengaplikasikan pandangan mereka dalam menilai dan menggunakan riwayat tersebut. Ini melibatkan kajian terhadap bagaimana Mursal diperlakukan dalam berbagai koleksi Hadis dan contoh-contoh spesifik yang sering menjadi rujukan.

7.1. Mursal dalam Kitab-Kitab Hadis

Sebagaimana disebutkan, kitab-kitab Hadis memiliki pendekatan yang berbeda terhadap Mursal, mencerminkan metodologi penyusunnya:

7.2. Contoh Hadis Mursal yang Populer

Berikut adalah beberapa contoh Hadis Mursal yang sering disebut dalam literatur Hadis, yang menggambarkan bagaimana mereka diperlakukan dan diperdebatkan:

1. **Mursal Sa'id bin al-Musayyab tentang Waktu Shalat:**

Dari Sa'id bin al-Musayyab, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, "Tidak ada shalat setelah Shubuh sampai matahari terbit, dan tidak ada shalat setelah Ashar sampai matahari terbenam."

Hadis ini diriwayatkan secara mursal oleh Sa'id bin al-Musayyab dari Nabi ﷺ. Meskipun mursal, namun Hadis ini memiliki banyak syawahid (penguat) dari jalur muttasil yang shahih, diriwayatkan oleh Sahabat-sahabat lain seperti Abu Sa'id al-Khudri dan Abu Hurairah. Oleh karena itu, Hadis ini diterima oleh jumhur ulama dan hukum larangan shalat pada waktu-waktu tersebut menjadi ijma' (konsensus) ulama. Ini adalah contoh Hadis Mursal yang diterima dan diamalkan karena adanya penguat yang sangat kuat.

2. **Mursal Hasan al-Bashri tentang Talak Tiga:**

Dari Hasan al-Bashri, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, "Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya tiga kali dalam satu majelis, maka itu adalah tiga talak."

Hasan al-Bashri adalah seorang Tabi'i yang mulia, namun beliau dikenal sering meriwayatkan Hadis Mursal, dan mursalnya tidak selalu didukung oleh riwayat muttasil yang kuat. Oleh karena itu, mursal beliau seringkali diteliti lebih lanjut. Dalam kasus talak tiga dalam satu majelis, hukumnya masih diperdebatkan di kalangan ulama fiqh. Sebagian madzhab (seperti Hanafi dan Maliki) cenderung memandang Hadis Mursal ini sebagai dasar bahwa talak tiga dalam satu majelis jatuh sebagai tiga talak, sementara madzhab lain (seperti Syafi'i dan Hanbali) berpegang pada riwayat muttasil yang menilainya sebagai talak satu, atau menuntut Hadis mursal ini didukung penguat lain. Ini menunjukkan bagaimana mursal bisa menjadi penyebab perbedaan hukum.

3. **Mursal 'Atha' bin Abi Rabah tentang Hamba Sahaya Berzina:**

Dari 'Atha' bin Abi Rabah, bahwa Nabi ﷺ bersabda tentang seorang hamba sahaya yang berzina: "Jika ia berzina, maka pukullah ia (cambuklah ia), jika ia berzina lagi, maka pukullah ia, jika ia berzina lagi, maka juallah ia meskipun dengan tali rambut."

Hadis ini diriwayatkan secara mursal oleh 'Atha' bin Abi Rabah. Namun, ditemukan pula riwayat muttasilnya dari Abu Hurairah. Ini menunjukkan bahwa Hadis Mursal seringkali memiliki 'ushul' (asal) yang muttasil, yang menegaskan kembali pentingnya penelitian sanad secara komprehensif. Jika ditemukan jalur muttasilnya yang shahih, maka kelemahan mursalnya teratasi.

8. Mursal Khafi (Tersembunyi) dan Mursal Jali (Jelas)

Dalam ilmu Hadis, putusnya sanad tidak selalu mudah dikenali. Oleh karena itu, para ulama membedakan antara mursal yang jelas dan mursal yang tersembunyi. Perbedaan ini penting karena tingkat kesulitan dalam mengidentifikasi putusnya sanad akan mempengaruhi metode kritik dan penilaian Hadis.

8.1. Mursal Jali (مُرْسَلٌ جَلِيٌّ)

Mursal Jali adalah Hadis Mursal yang putusnya sanad sangat jelas dan mudah dikenali oleh ahli Hadis. Ini terjadi ketika seorang Tabi'i meriwayatkan langsung dari Nabi ﷺ, padahal secara historis Tabi'i tersebut belum pernah bertemu Nabi ﷺ. Alasan putusnya sangat transparan: Tabi'i tersebut tidak sezaman dengan Nabi ﷺ, atau ia masih sangat kecil pada saat Nabi ﷺ wafat, sehingga secara akal tidak mungkin ia mendengar langsung dari Nabi ﷺ. Jenis mursal inilah yang menjadi fokus utama dalam pembahasan Hadis Mursal yang telah kita bahas secara panjang lebar. Contohnya adalah mursal-mursal dari Sa'id bin al-Musayyab, Hasan al-Bashri, Ibrahim an-Nakha'i, dll., yang mana mereka adalah Tabi'in dan tidak pernah bertemu Nabi ﷺ.

Identifikasi Mursal Jali relatif lebih mudah karena hanya perlu memeriksa biografi perawi Tabi'i tersebut untuk memastikan bahwa ia tidak sezaman dengan Nabi ﷺ atau tidak pernah bertemu dengan beliau.

8.2. Mursal Khafi (مُرْسَلٌ خَفِيٌّ)

Mursal Khafi adalah Hadis Mursal yang putusnya sanad tidak mudah dikenali dan bersifat tersembunyi (khafi). Ini terjadi ketika seorang perawi meriwayatkan dari seorang syaikh (guru) yang pernah ia temui atau hidup sezaman dengannya, tetapi ia tidak pernah mendengar Hadis tersebut secara langsung dari syaikh tersebut. Melainkan, ia meriwayatkannya dari orang lain yang mendengar dari syaikh itu, namun ia tidak menyebutkan perantara itu seolah-olah ia mendengar langsung.

Terdapat dua bentuk Mursal Khafi:

  1. **Perawi Sezaman dan Pernah Bertemu, tapi Tidak Mendengar Hadis Tertentu:** Seorang perawi hidup sezaman dengan syaikh dan pernah bertemu dengannya, namun Hadis spesifik yang diriwayatkan secara mursal ini tidak pernah ia dengar langsung dari syaikh tersebut. Ia menerimanya melalui perantara yang ia gugurkan.
  2. **Perawi Sezaman tapi Tidak Pernah Bertemu:** Seorang perawi hidup sezaman dengan syaikh namun tidak pernah bertemu dengannya. Kemudian ia meriwayatkan Hadis dari syaikh tersebut seolah-olah ia mendengar langsung.

Mursal Khafi lebih sulit untuk diidentifikasi dan seringkali membutuhkan penelitian mendalam dari para ahli 'ilal Hadith (ahli Hadis yang mengkaji cacat tersembunyi). Ia sangat mirip dengan Hadis Mudallas (Hadis yang perawinya melakukan tadlis, yaitu menyembunyikan cacat sanad atau perawi dha'if dengan mengesankan telah mendengar langsung). Hukum Mursal Khafi adalah dha'if, dan ulama sangat berhati-hati terhadapnya karena sifatnya yang menipu dan memerlukan keahlian khusus untuk mengungkap cacatnya. Untuk mengungkap Mursal Khafi, para ulama harus membandingkan jalur-jalur sanad yang berbeda, melihat kebiasaan perawi dalam meriwayatkan, dan memeriksa pernyataan perawi lain yang mungkin menyebutkan perantara yang digugurkan.

9. Pandangan Kontemporer dan Relevansi Hadis Mursal

Dalam era modern, studi Hadis terus berkembang dengan metodologi baru dan tantangan kontemporer. Hadis Mursal tetap menjadi topik yang relevan dalam diskusi keilmuan Islam, baik dalam konteks penelitian Hadis murni maupun dalam aplikasinya terhadap fiqh dan pemikiran Islam modern.

9.1. Pendekatan Modern dalam Studi Hadis Mursal

Sarjana Hadis kontemporer, sambil menghormati warisan klasik dan metodologi yang telah mapan, kadang-kadang menerapkan pendekatan yang lebih kritis, komparatif, atau multidisiplin untuk memahami Hadis Mursal:

9.2. Relevansi dalam Fiqh Modern

Dalam fiqh modern, Hadis Mursal masih memiliki relevansi, terutama dalam konteks madzhab yang masih menggunakannya sebagai dalil. Namun, kecenderungan umum adalah untuk lebih berhati-hati dan mengedepankan prinsip kehati-hatian:

10. Kesimpulan

Hadis Mursal adalah salah satu kategori Hadis dha'if yang paling menarik, kompleks, dan banyak diperdebatkan dalam ilmu Hadis. Definisi umumnya adalah Hadis yang sanadnya terputus pada bagian Sahabat, di mana seorang Tabi'i meriwayatkan langsung dari Nabi ﷺ tanpa menyebutkan perantara Sahabat.

Perdebatan mengenai hukum dan kedudukan Hadis Mursal telah berlangsung selama berabad-abad di antara ulama Islam, dan telah menghasilkan berbagai pandangan yang berbeda yang mencerminkan kekayaan metodologi dalam Ushul Fiqh dan ilmu Hadis:

Perbedaan pandangan ini bukanlah sebuah kekurangan dalam warisan intelektual Islam, melainkan kekayaan metodologi yang mencerminkan upaya maksimal para ulama untuk menjaga, memahami, dan mengamalkan ajaran Islam secara teliti. Setiap madzhab memiliki argumentasi yang kuat yang didasarkan pada prinsip-prinsip Ushul Fiqh dan ilmu Hadis mereka masing-masing. Syarat-syarat penguat Hadis Mursal, seperti keberadaan syawahid dan mutaba'at (jalur riwayat lain yang menguatkan), memainkan peran penting dalam menaikkan derajat Hadis Mursal dari status dha'if menjadi dapat diterima atau bahkan menjadi hujjah.

Memahami Hadis Mursal dan perdebatan seputar hukumnya sangat fundamental bagi siapa pun yang ingin mendalami ilmu Hadis dan Ushul Fiqh. Ini mengajarkan kita tentang kompleksitas transmisi pengetahuan dalam Islam, pentingnya kritik sanad, dan keragaman pendekatan dalam mencapai kebenaran. Pada akhirnya, studi Hadis Mursal mengingatkan kita akan kehati-hatian yang luar biasa dari para ulama dalam menjaga kemurnian Sunnah Nabi Muhammad ﷺ, yang merupakan pilar kedua dalam bangunan syariat Islam. Ia juga menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan, tujuan utama adalah untuk memastikan bahwa ajaran yang disampaikan adalah yang paling otentik dan paling dapat diandalkan dari Nabi ﷺ.

🏠 Kembali ke Homepage