Mubah: Memahami Kelapangan Hukum Islam dalam Hidup Sehari-hari
Islam, sebagai agama yang sempurna, mengatur setiap aspek kehidupan manusia dengan sangat rinci, mulai dari ibadah hingga muamalah. Dalam kerangka hukum Islam, atau yang dikenal sebagai syariat, terdapat lima kategori hukum utama yang menentukan status setiap perbuatan atau tindakan manusia. Kelima kategori ini adalah Wajib (harus dilakukan), Sunnah/Mandub (dianjurkan), Haram (dilarang keras), Makruh (dianjurkan untuk dihindari), dan Mubah (boleh dilakukan). Di antara kelima kategori ini, "mubah" seringkali menjadi yang paling fleksibel dan memberikan ruang kelapangan bagi umat Muslim dalam menjalani kehidupannya.
Meskipun mubah menempati posisi yang "netral" dalam spektrum hukum Islam, pemahaman yang mendalam tentang konsep ini sangatlah krusial. Kelalaian dalam memahami mubah dapat menyebabkan dua ekstrem: terlalu ketat dalam beragama, mengharamkan sesuatu yang sebenarnya diizinkan, atau sebaliknya, terlalu longgar, menganggap semua hal mubah tanpa batasan syar'i. Artikel ini akan mengupas tuntas konsep mubah, mulai dari pengertian, posisinya dalam syariat, kaidah-kaidah fiqih yang melandasinya, contoh-contoh praktis, hingga bagaimana niat dapat mengubah status hukum suatu perbuatan mubah. Kami juga akan membahas hikmah di balik kategori ini serta kesalahpahaman umum yang sering terjadi.
1. Pengertian dan Posisi Mubah dalam Syariat Islam
1.1. Definisi Etimologi dan Terminologi
Secara etimologi (bahasa), kata "mubah" berasal dari bahasa Arab, بَاحَ – يَبُوحُ – بَوْحًا yang berarti 'membolehkan', 'mengizinkan', atau 'menampakkan'. Dari akar kata yang sama, muncul pula kata 'ibahah' (kebolehan) dan 'tabahha' (dibolehkan). Konsep ini mengindikasikan adanya kelapangan dan tidak adanya pembatasan.
Secara terminologi (istilah syar'i), para ulama fiqih dan ushul fiqih mendefinisikan mubah sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang apabila dilakukan tidak akan mendatangkan pahala, dan apabila ditinggalkan tidak akan mendatangkan dosa atau siksa. Dengan kata lain, mubah adalah perbuatan yang keberadaan dan ketiadaannya sama di mata syariat. Seseorang bebas memilih untuk melakukan atau tidak melakukannya tanpa konsekuensi hukum di akhirat.
Dalam beberapa literatur fiqih, mubah juga sering disebut dengan istilah 'halal' atau 'jaiz' ketika merujuk pada kebolehan secara umum yang tidak terkait dengan kewajiban atau anjuran. Namun, perlu dicatat bahwa istilah 'halal' memiliki makna yang lebih luas, mencakup segala sesuatu yang diizinkan, termasuk yang wajib, sunnah, maupun mubah itu sendiri.
1.2. Perbedaan Mubah dengan Kategori Hukum Lain
Untuk memahami mubah secara komprehensif, penting untuk membedakannya dengan empat kategori hukum lainnya dalam Islam:
- Wajib (Fardhu): Perbuatan yang harus dilakukan. Meninggalkannya berdosa, melakukannya berpahala. Contoh: shalat lima waktu, puasa Ramadhan.
- Sunnah (Mandub/Mustahab): Perbuatan yang dianjurkan. Melakukannya berpahala, meninggalkannya tidak berdosa. Contoh: shalat rawatib, puasa Senin Kamis.
- Haram: Perbuatan yang dilarang keras. Melakukannya berdosa, meninggalkannya berpahala. Contoh: minum khamar, mencuri.
- Makruh: Perbuatan yang dianjurkan untuk dihindari. Meninggalkannya berpahala, melakukannya tidak berdosa (namun mengurangi kesempurnaan). Contoh: makan bawang mentah sebelum ke masjid, tidur setelah Ashar.
Mubah berbeda dengan keempatnya karena tidak ada konsekuensi pahala maupun dosa yang melekat secara intrinsik pada perbuatannya. Namun, seperti yang akan kita bahas nanti, niat dan konteks dapat mengubah status hukum suatu perbuatan mubah.
1.3. Dalil-dalil Umum yang Mengindikasikan Kebolehan
Konsep mubah didasarkan pada salah satu kaidah fiqih fundamental: "Al-Ashlu fil-ashya' al-ibahah hatta yadullad dalilu 'ala at-tahrim" (Asal segala sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkan). Kaidah ini mengacu pada prinsip bahwa Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu di bumi ini untuk kemaslahatan dan manfaat manusia, kecuali yang secara spesifik dilarang oleh dalil syariat yang shahih (Al-Qur'an dan Sunnah).
Beberapa ayat Al-Qur'an yang menjadi dasar kaidah ini antara lain:
- Surah Al-Baqarah ayat 29: "Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu..."
- Surah Al-A'raf ayat 32: "Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pula yang mengharamkan) rezeki yang baik-baik?"
Ayat-ayat ini secara eksplisit menunjukkan bahwa Allah SWT tidak bermaksud untuk memberatkan hamba-Nya dengan banyak larangan, melainkan memberikan kelapangan dalam banyak hal. Justru, yang terbatas adalah hal-hal yang diharamkan, dan selain itu adalah mubah.
2. Kaidah-kaidah Fiqih Terkait Mubah
2.1. "Al-Ashlu fil-ashya' al-ibahah hatta yadullad dalilu 'ala at-tahrim"
Ini adalah kaidah emas dalam memahami mubah. Artinya, "Asal dari segala sesuatu (selain ibadah) adalah boleh, sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya." Kaidah ini memberikan landasan yang kuat bagi kebebasan bertindak dan berkreasi dalam Islam, selama tidak melanggar batasan syariat.
Penerapan kaidah ini sangat luas, terutama dalam bidang muamalah (interaksi sosial, ekonomi, politik), adat istiadat, dan teknologi. Jika ada sesuatu yang baru muncul (misalnya, teknologi baru, jenis makanan baru, bentuk transaksi baru), maka secara default hukumnya adalah mubah, kecuali ada dalil khusus dari Al-Qur'an atau Hadis yang melarangnya. Ini berbeda dengan masalah ibadah, di mana kaidahnya adalah "Al-Ashlu fil-ibadah at-tahrim hatta yadullad dalilu 'ala al-amr" (Asal dari ibadah adalah haram/tidak boleh sampai ada dalil yang memerintahkannya).
Kaidah ini juga menunjukkan kemudahan (yusr) dalam syariat Islam. Islam tidak datang untuk mempersulit, melainkan untuk memberikan kemudahan bagi umatnya. Allah SWT berfirman, "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" (QS. Al-Baqarah: 185).
2.2. "Ad-Dharurat Tubihul Mahzhurat"
Kaidah ini berarti, "Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang diharamkan." Meskipun kaidah ini lebih banyak berkaitan dengan hal-hal haram, namun ia relevan dalam konteks mubah karena menunjukkan fleksibilitas hukum syariat di bawah kondisi tertentu. Sesuatu yang asalnya mubah bisa menjadi wajib jika darurat (misalnya makan minum yang mubah menjadi wajib untuk bertahan hidup), dan sesuatu yang haram bisa menjadi mubah karena darurat (misalnya makan daging babi untuk bertahan hidup ketika tidak ada makanan lain).
Kaidah ini menegaskan bahwa tujuan utama syariat adalah menjaga kemaslahatan (kesejahteraan) manusia, termasuk menjaga lima hal pokok (maqashid syariah): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ketika salah satu dari ini terancam, maka hukum dapat bergeser untuk menjaga kemaslahatan tersebut.
2.3. "Al-Hukmu Yadurru Ma'al 'Illah Wujudan Wa 'Adaman"
Artinya, "Hukum itu berputar bersama ilahnya (sebab hukum), ada dan tiadanya." Kaidah ini menjelaskan bahwa hukum syariat terkait dengan 'illah (sebab atau alasan) yang melandasinya. Jika 'illah ada, hukumnya berlaku; jika 'illah tidak ada, hukumnya tidak berlaku. Ini penting dalam memahami bagaimana status mubah dapat bergeser.
Misalnya, jika ada suatu perbuatan yang asalnya mubah, tetapi karena niat atau konteksnya ia menjadi sebab terjadinya sesuatu yang haram, maka hukumnya bisa berubah. Contoh: makan-makan adalah mubah. Namun jika makan-makan itu menjadi 'illah' atau sebab seseorang menjadi kekenyangan dan malas shalat, atau menyebabkan pemborosan yang dilarang, maka status mubahnya bisa bergeser ke makruh atau bahkan haram tergantung tingkat kerugiannya.
Kaidah ini menekankan pentingnya mempertimbangkan niat, tujuan, dan konsekuensi dari perbuatan mubah. Ia mengajak umat Muslim untuk tidak hanya melihat perbuatan itu sendiri, tetapi juga dampaknya secara keseluruhan.
3. Contoh-contoh Mubah dalam Kehidupan Sehari-hari
Sebagian besar aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari berada dalam kategori mubah. Ini adalah bentuk rahmat Allah yang memberikan kelapangan bagi hamba-Nya. Berikut adalah beberapa contoh:
3.1. Pakaian
Memilih warna, model, bahan, dan gaya pakaian adalah mubah, selama memenuhi syarat-syarat syariat (menutup aurat, tidak transparan, tidak ketat menampakkan lekuk tubuh, tidak menyerupai lawan jenis secara berlebihan, dan tidak menyerupai pakaian khas non-Muslim yang bertentangan dengan syariat). Seseorang boleh memilih untuk mengenakan pakaian tradisional, modern, atau apa pun yang ia sukai, asalkan tetap dalam koridor syariat. Tidak ada pahala khusus karena memilih warna hijau, dan tidak ada dosa karena memilih warna biru. Semua itu mubah.
3.2. Makanan dan Minuman
Memilih jenis makanan dan minuman, cara memasaknya, bumbu-bumbu yang digunakan, atau waktu makannya adalah mubah, selama bahan-bahan tersebut halal dan thoyyib (baik). Islam tidak membatasi umatnya pada jenis makanan tertentu, kecuali yang secara eksplisit diharamkan seperti daging babi, darah, bangkai, dan minuman keras. Seseorang bebas memilih antara nasi, roti, kentang, atau jenis makanan pokok lainnya. Ia juga bebas memilih antara teh, kopi, jus, atau air putih, asalkan tidak memabukkan.
3.3. Pekerjaan/Profesi
Memilih jenis pekerjaan atau profesi adalah mubah, selama pekerjaan tersebut halal dan tidak melanggar syariat. Islam tidak membatasi seseorang untuk menjadi petani, pedagang, dokter, insinyur, guru, seniman, atau profesi lainnya. Yang terpenting adalah profesi tersebut dilakukan dengan cara yang benar, jujur, tidak mengandung unsur riba, penipuan, atau perbuatan haram lainnya. Menjadi seorang seniman lukis adalah mubah, selama lukisan tersebut tidak mengandung unsur haram seperti makhluk bernyawa yang lengkap atau pornografi. Menjadi seorang programmer adalah mubah, asalkan tidak mengembangkan aplikasi yang memfasilitasi kemaksiatan.
3.4. Rekreasi/Hiburan
Berekreasi, berolahraga, atau mencari hiburan adalah mubah, bahkan bisa menjadi sunnah jika niatnya untuk menguatkan fisik dan mental agar lebih giat beribadah atau bekerja. Contohnya adalah jalan-jalan ke taman, berenang, bermain sepak bola, membaca buku fiksi, menonton film yang mendidik, atau mendengarkan musik yang tidak melalaikan dari Allah dan tidak mengandung lirik/tema yang haram. Batasan-batasan dalam rekreasi adalah tidak berlebihan, tidak melalaikan kewajiban, tidak mengandung kemaksiatan, dan tidak menimbulkan kerusakan.
3.5. Gaya Hidup dan Kebiasaan
Banyak aspek gaya hidup dan kebiasaan sehari-hari yang termasuk dalam kategori mubah:
- Dekorasi rumah: Memilih warna cat, jenis perabot, tata letak, asalkan tidak ada patung bernyawa yang diagungkan.
- Transportasi: Memilih jenis kendaraan (mobil, motor, sepeda, transportasi umum) adalah mubah.
- Hobi: Mengoleksi perangko, berkebun, memancing, fotografi, selama tidak ada unsur haram di dalamnya.
- Waktu tidur: Jam berapa seseorang tidur dan bangun adalah mubah, meskipun ada anjuran (sunnah) untuk tidur lebih awal dan bangun untuk qiyamul lail atau shalat Subuh.
4. Transformasi Hukum dari Mubah ke Kategori Lain
Salah satu aspek paling menarik dari konsep mubah adalah kemampuannya untuk bertransformasi menjadi kategori hukum lain (wajib, sunnah, makruh, atau haram) tergantung pada niat, tujuan, dan konsekuensi perbuatan tersebut. Ini menunjukkan kedalaman dan fleksibilitas syariat Islam.
4.1. Mubah Menjadi Wajib
Sesuatu yang asalnya mubah bisa menjadi wajib jika dilakukan untuk memenuhi suatu kewajiban syar'i atau untuk mempertahankan diri dari bahaya yang mengancam jiwa.
- Makan dan minum: Asalnya mubah, tetapi menjadi wajib jika seseorang harus makan dan minum untuk mempertahankan hidupnya agar tidak mati kelaparan/kehausan, atau agar memiliki energi untuk beribadah (seperti shalat dan puasa fardhu) dan bekerja mencari nafkah bagi keluarga.
- Tidur: Asalnya mubah, tetapi menjadi wajib jika seseorang sangat mengantuk dan berisiko membahayakan diri sendiri atau orang lain (misalnya saat mengemudi) jika tidak tidur.
- Berobat: Asalnya mubah, tetapi menjadi wajib jika penyakit yang diderita mengancam jiwa atau menyebabkan kerusakan fungsi tubuh, dan ada harapan kesembuhan melalui pengobatan.
4.2. Mubah Menjadi Sunnah (Mandub)
Banyak perbuatan mubah yang dapat naik statusnya menjadi sunnah jika dilakukan dengan niat yang baik dan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah atau meraih kemaslahatan.
- Makan dan minum: Menjadi sunnah jika diniatkan untuk menguatkan badan agar bisa beribadah lebih giat (shalat, puasa, dakwah, dll.), atau mengikuti adab makan Rasulullah SAW (misalnya makan dengan tangan kanan, tidak berlebihan).
- Tidur: Menjadi sunnah jika diniatkan untuk bangun malam (qiyamul lail) dalam keadaan segar, atau tidur siang (qailulah) agar lebih bertenaga untuk shalat Dzuhur dan aktivitas sore.
- Mandi: Mandi sehari-hari adalah mubah, tetapi menjadi sunnah jika diniatkan untuk kebersihan sebelum shalat Jumat atau shalat 'Id.
- Berekreasi/Berolahraga: Menjadi sunnah jika diniatkan untuk menjaga kesehatan tubuh agar mampu beribadah dengan baik, atau untuk mempererat silaturahmi.
4.3. Mubah Menjadi Makruh
Suatu perbuatan mubah dapat bergeser menjadi makruh jika ia dilakukan secara berlebihan, atau cenderung mengarah pada kemaksiatan, atau tidak sesuai dengan adab yang baik.
- Makan berlebihan: Makan adalah mubah, tetapi makan sampai kenyang berlebihan yang dapat menyebabkan kantuk, kemalasan, atau masalah kesehatan, adalah makruh. Rasulullah SAW bersabda bahwa perut hendaknya diisi sepertiga makanan, sepertiga minuman, dan sepertiga untuk udara.
- Bercanda berlebihan: Bercanda adalah mubah, tetapi jika terlalu banyak dan melalaikan dari dzikir kepada Allah, atau mengandung dusta, atau menyakiti perasaan orang lain, maka ia menjadi makruh.
- Mengobrol tentang hal-hal duniawi terlalu lama: Mubah, namun bisa makruh jika menghabiskan banyak waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk ibadah atau pekerjaan yang lebih bermanfaat.
- Mandi pada waktu tertentu: Seperti tidur setelah Ashar, mandi setelah Ashar adalah mubah, namun beberapa ulama memakruhkannya karena alasan kesehatan atau dikhawatirkan mengganggu ibadah Maghrib.
4.4. Mubah Menjadi Haram
Ini adalah transformasi paling serius. Suatu perbuatan mubah dapat menjadi haram jika tujuan atau konsekuensi dari perbuatan tersebut adalah kemaksiatan atau melanggar syariat secara langsung.
- Menggunakan harta yang mubah untuk tujuan haram: Membeli pisau (mubah), tetapi menggunakannya untuk membunuh atau merampok (haram). Membeli kendaraan (mubah), tetapi menggunakannya untuk mengangkut barang haram (haram).
- Berpergian/Jalan-jalan: Mubah, tetapi jika niatnya untuk melakukan maksiat (misalnya pergi ke tempat prostitusi atau judi), maka perjalanan itu menjadi haram.
- Melihat atau mendengarkan sesuatu: Mubah, tetapi jika melihat pornografi, mendengar ghibah, atau mendengarkan musik yang merangsang nafsu haram, maka ia menjadi haram.
- Mencari nafkah: Asalnya wajib, tetapi cara mencari nafkahnya bisa mubah atau haram. Bekerja sebagai karyawan (mubah), tetapi jika pekerjaan tersebut melibatkan riba, penipuan, atau memproduksi barang haram, maka pekerjaan tersebut menjadi haram.
4.5. Niat sebagai Penentu Utama
Dari semua transformasi di atas, niat (niyyah) memainkan peran sentral. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan." (HR. Bukhari dan Muslim).
Niat yang ikhlas karena Allah dapat mengangkat status perbuatan mubah menjadi ibadah yang berpahala. Sebaliknya, niat yang buruk dapat merendahkan perbuatan mubah menjadi dosa. Oleh karena itu, seorang Muslim diajarkan untuk senantiasa meninjau niatnya dalam setiap aktivitas, bahkan dalam hal-hal yang paling sepele sekalipun. Makan, minum, tidur, bekerja, berekreasi, semuanya bisa menjadi ibadah jika diniatkan untuk menguatkan diri dalam beribadah kepada Allah dan mencari ridha-Nya.
5. Hikmah dan Filosofi di Balik Kategori Mubah
Keberadaan kategori mubah dalam syariat Islam bukan tanpa alasan. Ia mengandung hikmah dan filosofi yang mendalam, mencerminkan sifat rahmat, kemudahan, dan kesempurnaan Islam.
5.1. Kelapangan dan Kemudahan (Yusr) dalam Islam
Salah satu hikmah terbesar dari mubah adalah menunjukkan kelapangan dan kemudahan Islam. Allah SWT tidak ingin memberatkan hamba-Nya. Jika semua perbuatan di dunia ini harus wajib, sunnah, makruh, atau haram secara eksplisit, niscaya hidup manusia akan sangat sulit dan terkekang. Dengan adanya mubah, Allah memberikan ruang bagi manusia untuk menjalani hidupnya secara normal, tanpa merasa terbebani dengan tuntutan pahala atau ancaman dosa pada setiap langkah.
Prinsip yusr (kemudahan) ini adalah inti dari ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW diutus untuk membawa agama yang mudah, bukan yang mempersulit. Ini tercermin dalam banyak ayat Al-Qur'an dan Hadis yang menegaskan bahwa Islam adalah agama yang menghendaki kemudahan, bukan kesukaran.
5.2. Menghindari Kesulitan (Haraj)
Terkait dengan kelapangan, mubah juga berfungsi untuk menghindari kesulitan (haraj) bagi umat manusia. Jika setiap detail kehidupan harus diatur dengan hukum yang ketat, maka akan timbul kesulitan besar dalam praktik. Bayangkan jika setiap jenis pakaian, setiap resep makanan, atau setiap jenis rekreasi harus memiliki dalil khusus yang mengharuskan atau melarangnya. Ini akan sangat memberatkan dan tidak praktis. Mubah menghilangkan 'haraj' ini, memungkinkan manusia untuk berinovasi dan menyesuaikan diri dengan kondisi zaman tanpa harus merasa bersalah.
5.3. Memberikan Ruang Kreativitas dan Inovasi
Kategori mubah adalah "kanvas kosong" bagi kreativitas dan inovasi manusia. Dalam batas-batas yang diizinkan syariat, manusia bebas menciptakan, menemukan, dan mengembangkan berbagai hal baru. Baik dalam teknologi, seni, kuliner, maupun aspek kehidupan lainnya. Tanpa kategori mubah, kemajuan peradaban Islam mungkin akan terhambat karena setiap hal baru akan membutuhkan dalil khusus untuk keberadaannya.
Sebagai contoh, penemuan teknologi internet, ponsel pintar, atau media sosial, pada awalnya adalah mubah. Para ulama tidak serta-merta mengharamkannya, melainkan melihat dari sisi kemanfaatannya dan kemudian memberikan batasan-batasan agar penggunaannya tidak keluar dari koridor syariat. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai inovasi yang membawa kemaslahatan.
5.4. Fleksibilitas Syariat
Mubah menegaskan fleksibilitas syariat Islam. Hukum Islam bukanlah kumpulan aturan yang kaku dan tidak bisa berubah. Meskipun prinsip-prinsip dasarnya tetap, namun penerapannya dalam kasus-kasus mubah dapat disesuaikan dengan kondisi, waktu, dan tempat. Fleksibilitas ini memungkinkan Islam relevan sepanjang masa dan di berbagai budaya.
Kaidah-kaidah fiqih yang telah disebutkan sebelumnya, seperti perubahan hukum berdasarkan niat dan kondisi darurat, adalah bukti dari fleksibilitas ini. Ini adalah wujud dari kesempurnaan syariat yang mampu menjawab tantangan zaman tanpa mengorbankan prinsip-prinsip utamanya.
5.5. Peran Mubah dalam Menjaga Keseimbangan Hidup
Mubah membantu menjaga keseimbangan antara urusan duniawi dan ukhrawi. Islam tidak hanya mengatur ibadah mahdhah (ibadah murni seperti shalat, puasa) tetapi juga memberikan panduan untuk kehidupan dunia. Dengan adanya mubah, manusia dapat menikmati karunia Allah di dunia ini, melakukan aktivitas yang menyenangkan, mencari nafkah, dan berinteraksi sosial tanpa harus merasa bersalah, selama semua itu dilakukan dengan niat yang baik dan tidak melanggar batasan. Ini mencegah ekstremisme, baik asketisme yang menolak dunia maupun hedonisme yang melupakan akhirat.
Seorang Muslim dianjurkan untuk tidak melupakan bagiannya di dunia, sebagaimana firman Allah, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi..." (QS. Al-Qashash: 77).
6. Kesalahpahaman Umum tentang Mubah
Meskipun konsep mubah tampak sederhana, seringkali terjadi kesalahpahaman yang dapat mengarah pada praktik beragama yang keliru.
6.1. Anggapan Mubah adalah "Bebas Tanpa Batas"
Salah satu kesalahpahaman terbesar adalah menganggap bahwa "mubah" berarti "bebas sepenuhnya tanpa batasan." Ini tidak benar. Mubah memang memberikan kebebasan, tetapi kebebasan tersebut selalu berada dalam koridor syariat secara umum. Misalnya, seseorang bebas memilih jenis makanan, tetapi tidak boleh makan makanan yang haram (misal babi). Ia bebas berinteraksi sosial, tetapi tidak boleh melakukan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan bukan mahram tanpa keperluan syar'i) yang berpotensi fitnah. Batasan-batasan ini adalah "pagar" yang melindungi seorang Muslim dari terjerumus ke dalam dosa.
6.2. Mengabaikan Potensi Perubahan Hukum
Kesalahpahaman lainnya adalah gagal memahami bahwa perbuatan mubah bisa berubah status hukumnya. Orang mungkin berpikir bahwa karena suatu perbuatan asalnya mubah, maka ia akan selalu mubah dalam kondisi apapun. Padahal, niat, konteks, dan konsekuensi dapat mengubah statusnya menjadi wajib, sunnah, makruh, atau bahkan haram. Misalnya, menggunakan waktu luang (mubah) untuk bermain game secara berlebihan hingga melalaikan shalat atau pekerjaan, ini mengubah status mubah menjadi makruh atau haram.
Pentingnya kesadaran akan potensi perubahan ini adalah agar seorang Muslim senantiasa waspada dan bijaksana dalam setiap tindakannya, tidak hanya berpegang pada status hukum awal perbuatan tersebut.
6.3. Membuat Mubah Menjadi Haram Tanpa Dalil
Di sisi lain, ada juga kecenderungan untuk mengharamkan hal-hal yang sebenarnya mubah tanpa adanya dalil syar'i yang kuat. Ini adalah sikap ekstrem yang dilarang dalam Islam. Allah SWT mencela orang-orang yang mengharamkan apa yang telah Dia halalkan. Contohnya adalah mengharamkan jenis makanan tertentu (selain yang sudah jelas diharamkan), mengharamkan bentuk pakaian tertentu yang masih memenuhi syariat, atau mengharamkan inovasi teknologi yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Sikap ini dapat menyempitkan kelapangan Islam dan membuat umat merasa sulit dalam beragama.
Larangan mengharamkan yang halal ini adalah bagian dari menjaga keaslian syariat dan mencegah praktik bid'ah dalam bentuk larangan. Hanya Allah dan Rasul-Nya yang berhak menentukan status haram atau halal.
6.4. Menganggap Remeh Hal-hal Mubah
Karena tidak ada pahala atau dosa secara langsung, beberapa orang mungkin menganggap remeh perbuatan mubah dan tidak memperhatikannya. Padahal, seperti yang dijelaskan, perbuatan mubah dapat menjadi pintu gerbang menuju kebaikan yang besar (jika diniatkan untuk ibadah) atau keburukan (jika dilakukan tanpa kontrol). Mengabaikan potensi ini berarti kehilangan kesempatan untuk memaksimalkan setiap detik kehidupan menjadi ibadah.
Seorang Muslim yang bijaksana akan berusaha mengubah sebanyak mungkin perbuatan mubahnya menjadi ibadah dengan niat yang benar. Tidur yang mubah bisa menjadi ibadah jika diniatkan untuk menguatkan fisik agar bisa shalat tahajjud. Makan yang mubah bisa menjadi ibadah jika diniatkan untuk menguatkan badan agar bisa berdakwah atau bekerja. Ini adalah seni memaksimalkan ibadah dalam kehidupan sehari-hari.
7. Aplikasi Mubah dalam Konteks Modern
Dalam era modern yang penuh dengan inovasi dan perkembangan pesat, konsep mubah menjadi semakin relevan. Banyak aspek kehidupan modern yang belum ada di zaman Nabi Muhammad SAW, sehingga ulama perlu menerapkan kaidah mubah dan kaidah fiqih lainnya untuk menentukan status hukumnya.
7.1. Teknologi
Penggunaan gadget, internet, media sosial, dan berbagai aplikasi adalah contoh nyata dari perbuatan yang asalnya mubah.
- Ponsel pintar dan internet: Asalnya mubah. Dapat menjadi wajib jika digunakan untuk komunikasi penting atau mencari ilmu yang mendesak. Dapat menjadi sunnah jika digunakan untuk berdakwah, menyebarkan kebaikan, atau mencari informasi yang bermanfaat. Dapat menjadi makruh jika digunakan secara berlebihan hingga melalaikan ibadah atau pekerjaan. Dapat menjadi haram jika digunakan untuk mengakses konten pornografi, menyebarkan fitnah, atau melakukan penipuan.
- Media sosial: Mubah. Menjadi sunnah jika digunakan untuk silaturahmi, berbagi ilmu, atau berdakwah. Menjadi makruh jika terlalu banyak waktu dihabiskan untuk scrolling tanpa tujuan, atau membandingkan diri dengan orang lain. Menjadi haram jika digunakan untuk ghibah, namimah (adu domba), cyberbullying, atau menyebarkan kebohongan.
7.2. Ekonomi dan Keuangan
Bentuk-bentuk transaksi, investasi, dan produk keuangan baru juga banyak yang masuk kategori mubah, selama memenuhi prinsip-prinsip syariah.
- Investasi saham, kripto, atau crowdfunding: Asalnya mubah, selama tidak mengandung unsur riba (bunga), gharar (ketidakjelasan/spekulasi berlebihan), dan maysir (judi). Para ulama dan lembaga keuangan syariah terus mengkaji dan mengeluarkan fatwa untuk memastikan kepatuhan syariah pada produk-produk ini.
- E-commerce atau bisnis online: Mubah, asalkan tidak ada penipuan, barang yang diperjualbelikan halal, dan proses transaksi transparan.
7.3. Kedokteran dan Kesehatan
Banyak prosedur medis dan penemuan kesehatan baru yang juga memerlukan tinjauan hukum.
- Transplantasi organ: Asalnya mubah, dengan batasan-batasan ketat seperti kehalalan organ (tidak dari sumber haram seperti babi), persetujuan donor/keluarga, tidak membahayakan donor, dan tujuan pengobatan. Dalam beberapa kasus, bisa menjadi wajib jika merupakan satu-satunya cara menyelamatkan nyawa.
- Vaksinasi: Mubah, bahkan bisa menjadi sunnah atau wajib jika dibutuhkan untuk mencegah penyebaran penyakit menular yang berbahaya, dengan syarat bahan-bahannya halal atau dalam kondisi darurat (ad-dharurat tubihul mahzhurat) jika tidak ada alternatif halal.
7.4. Seni dan Budaya
Berbagai bentuk seni dan budaya juga berada dalam ranah mubah dengan batasan-batasan tertentu.
- Musik: Asalnya mubah, selama tidak melalaikan dari ibadah, liriknya tidak mengandung unsur kemaksiatan, dan tidak memicu syahwat yang haram. Beberapa ulama mengharamkan alat musik tertentu, namun sebagian besar sepakat bahwa musik yang mendorong kebaikan atau sekadar hiburan yang bersih adalah mubah.
- Film dan drama: Mubah, jika mengandung pesan moral yang baik, tidak menampilkan aurat, tidak mendorong kemaksiatan, dan tidak membuang-buang waktu secara berlebihan.
- Fotografi dan video: Mubah, dengan batasan tidak digunakan untuk memotret/mereka hal-hal haram atau berlebihan dalam menampilkan diri (tabarruj).
8. Peran Ulama dan Fatwa dalam Menentukan Status Mubah
Dalam menghadapi berbagai perkembangan baru, terutama yang tidak secara eksplisit disebut dalam Al-Qur'an dan Sunnah, peran ulama dan fatwa menjadi sangat penting. Merekalah yang bertanggung jawab untuk melakukan ijtihad (penalaran hukum) berdasarkan prinsip-prinsip syariat untuk menentukan status hukum suatu perbuatan, termasuk apakah ia tetap mubah atau bergeser ke kategori lain.
8.1. Sumber-sumber Penentuan Hukum
Ketika suatu hal tidak jelas hukumnya, para ulama akan merujuk pada sumber-sumber hukum Islam secara berjenjang:
- Al-Qur'an: Sumber utama syariat. Jika ada ayat yang jelas, maka itu adalah hukumnya.
- As-Sunnah (Hadis Nabi): Penjelasan dan pelengkap Al-Qur'an.
- Ijma' (Konsensus Ulama): Kesepakatan para ulama mujtahid tentang suatu hukum setelah wafatnya Nabi.
- Qiyas (Analogi): Menyamakan hukum suatu masalah baru dengan masalah yang sudah ada hukumnya karena memiliki 'illah (sebab hukum) yang sama.
- Istihsan (Pilihan Hukum yang Lebih Baik): Menyimpang dari qiyas yang jelas untuk memilih hukum yang lebih baik karena adanya dalil lain yang lebih kuat atau karena kemaslahatan.
- Maslahah Mursalah (Kemaslahatan yang Tidak Ada Dalil Khususnya): Menetapkan hukum berdasarkan kemaslahatan umum yang tidak ada dalil yang memerintahkan atau melarangnya secara spesifik, namun sejalan dengan tujuan syariat.
- Urf (Adat Kebiasaan): Adat yang baik dan tidak bertentangan dengan syariat dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan hukum mubah.
Dalam banyak kasus yang terkait dengan mubah dan hal-hal baru, ulama akan banyak menggunakan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah untuk memberikan fatwa. Kaidah "Al-Ashlu fil-ashya' al-ibahah" menjadi titik awal yang kuat. Namun, mereka akan mencari adakah "dalilu 'ala at-tahrim" (dalil yang mengharamkan) yang mungkin tidak langsung tetapi implisit, atau adakah kerusakan (mafsadah) yang lebih besar dari manfaatnya.
8.2. Pentingnya Kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah
Meskipun ada kelapangan dalam mubah, ulama senantiasa menekankan pentingnya kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah sebagai landasan utama. Ini untuk memastikan bahwa interpretasi dan fatwa yang diberikan tidak menyimpang dari ruh dan tujuan syariat. Mereka tidak hanya melihat pada bentuk luar suatu perbuatan, tetapi juga pada niat, dampak, dan kesesuaiannya dengan nilai-nilai Islam.
Dalam masalah mubah, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan modern, seringkali terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. Ini adalah hal yang wajar dalam fiqih Islam dan merupakan rahmat. Seorang Muslim dianjurkan untuk mengikuti pendapat ulama yang paling ia yakini kebenarannya dan yang sesuai dengan kondisi serta tingkat pemahamannya, dengan tetap menghormati pendapat lain.
Kesimpulan
Mubah adalah kategori hukum yang sangat penting dalam syariat Islam, memberikan kelapangan dan kemudahan bagi umat Muslim dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Ia didefinisikan sebagai perbuatan yang tidak mendatangkan pahala jika dilakukan dan tidak mendatangkan dosa jika ditinggalkan. Prinsip "asal segala sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkan" menjadi landasan utamanya, membedakannya dari kategori hukum lain seperti wajib, sunnah, makruh, dan haram.
Namun, pemahaman tentang mubah tidak boleh berhenti pada definisi dasarnya. Hal-hal yang asalnya mubah memiliki potensi untuk bertransformasi menjadi kategori hukum lain, seperti wajib, sunnah, makruh, atau haram, tergantung pada niat, tujuan, dan konsekuensi perbuatan tersebut. Niat yang tulus karena Allah dapat mengangkat status mubah menjadi ibadah yang berpahala, sementara niat yang buruk atau konsekuensi yang merugikan dapat menjerumuskannya ke dalam dosa.
Hikmah di balik adanya kategori mubah sangatlah banyak, mencerminkan rahmat Allah, kemudahan syariat, menghindari kesulitan, memberikan ruang bagi kreativitas dan inovasi, serta menjaga keseimbangan hidup dunia dan akhirat. Dalam menghadapi tantangan kehidupan modern, konsep mubah menjadi pedoman penting bagi ulama dan umat Muslim dalam menyikapi perkembangan teknologi, ekonomi, kedokteran, seni, dan budaya.
Oleh karena itu, seorang Muslim diharapkan untuk senantiasa memiliki pemahaman yang komprehensif tentang mubah. Tidak terjebak dalam anggapan bahwa mubah berarti bebas tanpa batas, tidak pula mengharamkan sesuatu yang halal tanpa dalil. Sebaliknya, hendaknya ia mengambil manfaat dari kelapangan yang diberikan Allah, seraya berupaya mengubah setiap perbuatan mubah menjadi ibadah dengan niat yang benar, demi meraih ridha-Nya dan kehidupan yang seimbang di dunia dan akhirat.