Sebuah Perjalanan Kuliner Melalui Sejarah dan Rasa Cumi Kering
Mi Juhi, sebuah nama yang mungkin terdengar eksotis bagi telinga yang tidak familiar dengan khazanah kuliner Betawi, sejatinya merupakan salah satu representasi paling otentik dari hidangan persilangan budaya yang berkembang pesat di Batavia lama. Lebih dari sekadar sepiring mie, Mi Juhi adalah perpaduan harmonis antara tekstur kenyal mie kuning, kesegaran aneka sayuran, keunikan rasa gurih cumi kering (juhi), dan yang paling fundamental, bumbu kacang yang kaya rasa, diperkaya dengan sentuhan cuka yang tajam dan menyegarkan. Inilah yang membedakannya dari varian mie lainnya di Nusantara.
Penting untuk memahami bahwa Mi Juhi bukanlah mie berkuah, juga bukan sepenuhnya mie goreng. Ia adalah hidangan yang disajikan dingin atau suhu ruang, mirip salad mie, di mana setiap komponennya dicampur secara merata, memungkinkan bumbu kacang cuka meresap ke dalam setiap serat mie dan sayuran. Rasa yang dihasilkan adalah kompleks: manis dari gula dan kacang, asam menusuk dari cuka, gurih umami dari juhi, dan segar dari sayuran. Keseimbangan rasa inilah yang menjadi kunci identitas Mi Juhi, menjadikannya penganan yang ideal untuk cuaca tropis Jakarta yang cenderung panas.
Mi Juhi adalah perpaduan tekstur mie, sayuran segar, juhi, dan saus kacang cuka yang menjadi ciri khas Betawi.
Seiring waktu, popularitas Mi Juhi mungkin sedikit tenggelam di tengah gempuran kuliner modern dan varian mie lainnya. Namun, bagi para pecinta kuliner tradisional Jakarta, Mi Juhi tetap menjadi ikon yang tak tergantikan, sebuah memori rasa yang menghubungkan masa kini dengan masa lalu pelabuhan Batavia yang ramai. Eksplorasi mendalam ini bertujuan untuk menghidupkan kembali apresiasi terhadap kompleksitas dan sejarah di balik sepiring Mi Juhi yang sederhana namun kaya makna.
Untuk memahami Mi Juhi, kita harus melihat konteks historis Jakarta (Batavia) sebagai kota pelabuhan multikultural. Mi Juhi bukan sekadar kreasi tunggal, melainkan hasil akulturasi yang rumit, terutama antara tradisi kuliner Betawi asli dan pengaruh Tionghoa yang kuat, khususnya dari komunitas Tionghoa Peranakan yang telah menetap berabad-abad.
Penggunaan mie kuning (mi telor atau mi basah) dalam masakan Indonesia hampir pasti berakar dari migrasi Tionghoa. Di Tiongkok, mie adalah makanan pokok. Namun, Mi Juhi mengambil langkah berbeda dari mi goreng atau bakmi kuah Tionghoa. Alih-alih menyajikannya panas atau dengan bumbu minyak babi (yang dihindari oleh mayoritas penduduk Muslim Betawi), Mi Juhi diolah menjadi hidangan yang lebih ‘dingin’ dan menggunakan bumbu berbasis kacang. Ini adalah adaptasi lokal yang brilian.
Kata kunci dalam hidangan ini adalah "Juhi," yang berasal dari dialek Hokkien yang berarti cumi kering atau sotong kering. Penggunaan makanan laut yang dikeringkan adalah praktik umum di negara-negara yang memiliki sejarah perdagangan maritim yang panjang. Di Batavia, pelabuhan Sunda Kelapa menjadi pusat impor dan ekspor, termasuk komoditas laut kering. Juhi menjadi bahan yang berharga karena daya tahannya dan kemampuannya memberikan rasa umami yang mendalam tanpa memerlukan daging segar yang mahal.
Mi Juhi berkembang di kawasan yang memiliki interaksi kuat antara masyarakat pesisir Betawi dan permukiman Tionghoa, seperti Glodok dan Petak Sembilan. Pada awalnya, Juhi mungkin merupakan bahan premium. Namun, seiring waktu dan ketersediaan yang meningkat, hidangan ini menjadi lebih merakyat, dijumpai di gerobak-gerobak pinggir jalan. Juhi memberikan tekstur kenyal yang khas, yang tidak bisa digantikan oleh daging atau seafood segar lainnya.
Jika mie datang dari Tionghoa dan juhi datang dari jalur perdagangan maritim Asia, maka bumbu kacang adalah identitas Nusantara sejati. Bumbu kacang adalah basis saus yang ditemukan di gado-gado, ketoprak, dan sate. Namun, bumbu kacang pada Mi Juhi memiliki kekhasan tersendiri: dominasi rasa asam cuka yang kuat. Kehadiran cuka (seringkali cuka aren atau cuka dapur yang diolah) berfungsi sebagai penyeimbang sempurna untuk kegurihan juhi dan kekentalan kacang, sekaligus memberikan efek menyegarkan di lidah. Inilah sintesis kuliner yang sempurna: mie ala Tionghoa bertemu saus salad ala Betawi.
Mi Juhi adalah dokumentasi hidup dari akulturasi Betawi: menggabungkan teknik pembuatan mie dari Tiongkok, bahan baku cumi kering dari jalur perdagangan laut, dan penggunaan bumbu dasar kacang yang merupakan ciri khas Indonesia.
Sebuah hidangan Mi Juhi yang autentik terdiri dari lima komponen utama yang harus hadir dan berinteraksi secara seimbang. Kegagalan pada salah satu komponen dapat merusak keseluruhan profil rasa dan tekstur yang diidamkan.
Juhi adalah jantung dari hidangan ini. Juhi yang digunakan bukanlah cumi segar, melainkan cumi atau sotong yang telah dijemur hingga keras. Proses pengeringan ini mengkonsentrasikan rasa umami dan memberikan tekstur yang sangat liat dan kenyal.
Juhi, cumi kering yang menjadi penentu rasa umami dan tekstur kenyal dalam hidangan ini.
Mie yang ideal untuk Mi Juhi adalah mie kuning basah yang tebal dan memiliki kadar gluten tinggi, sehingga tetap kenyal dan tidak mudah hancur saat dicampur dengan saus kental. Mie ini harus dicelupkan sebentar (blanched) dalam air panas dan segera didinginkan. Penyajian dingin atau suhu ruang adalah mutlak; mie yang terlalu panas akan merusak kesegaran sayuran.
Mi Juhi sering disebut 'salad' mie karena proporsi sayurannya yang signifikan. Komponen ini memberikan dimensi renyah (crunchy) dan kesegaran yang kontras dengan kelembutan mie dan kekenyalan juhi.
Inilah roh dari Mi Juhi. Saus ini harus lebih cair dan lebih asam dibandingkan saus kacang pada gado-gado. Proses pembuatannya memerlukan ketelitian dalam menyeimbangkan rasa.
Mi Juhi adalah studi kasus sempurna mengenai bagaimana kontras dapat menciptakan harmoni dalam kuliner. Keberhasilan hidangan ini terletak pada lima lapisan sensorik yang berinteraksi dalam setiap suapan, menjadikannya pengalaman yang unik dan memuaskan.
Disajikan pada suhu ruang atau dingin, Mi Juhi secara otomatis berfungsi sebagai ‘pendingin’ alami. Mie yang dingin, timun yang segar, dan saus cuka yang menyegarkan secara kolektif memberikan efek mendinginkan, sangat sesuai dengan iklim tropis. Ini membedakannya dari mie panas yang meningkatkan suhu tubuh.
Saus Mi Juhi tidak pernah netral; ia selalu berada di ujung spektrum rasa yang intens.
Tekstur adalah inti visual dan struktural dari Mi Juhi. Hidangan ini menuntut kombinasi:
Ketika semua komponen ini dicampur dan dimakan dalam satu suapan, mulut menerima kejutan tekstur yang terus berubah—dari lembut, padat, renyah, hingga liat. Ini adalah salah satu aspek yang membuat Mi Juhi sangat adiktif bagi penikmatnya.
Pembuatan Mi Juhi, terutama di tangan penjual Betawi tradisional, melibatkan serangkaian langkah yang tampak sederhana namun memerlukan keahlian timing dan komposisi. Teknik pencampuran (meracik) adalah kunci.
Pengolahan juhi membutuhkan waktu terlama. Juhi kering harus direndam minimal 12 hingga 24 jam. Beberapa resep tradisional merekomendasikan penggantian air rendaman beberapa kali untuk menghilangkan bau amis yang terlalu kuat. Setelah lembut, juhi dikukus sebentar (sekitar 15-20 menit) untuk memastikan kematangannya, kemudian didinginkan. Juhi yang sudah dingin kemudian diiris sangat tipis—ini penting agar teksturnya tidak mendominasi dan dapat berbaur dengan mie.
Saus kacang Mi Juhi dibuat dengan cara digiling (tradisional menggunakan cobek) atau diblender hingga halus, tetapi tetap mempertahankan sedikit tekstur kacang yang kasar. Kuantitas cuka dan gula harus diukur secara hati-hati. Jika saus kacang gado-gado cenderung kental seperti pasta, saus Mi Juhi dibuat lebih cair, seringkali ditambahkan sedikit air hangat atau air rebusan mie. Konsistensi ini memungkinkan saus benar-benar meresap ke dalam mie, bukan hanya melapisi permukaannya.
Mi Juhi jarang disiapkan dalam jumlah besar dan disimpan. Ia diracik porsi demi porsi untuk menjaga kesegaran. Urutan penataan biasanya dimulai dari sayuran segar (selada, timun) sebagai lapisan dasar, diikuti mie di atasnya. Kemudian kentang dan irisan juhi ditambahkan. Saus kacang cuka disiramkan melimpah di atas tumpukan bahan. Sebelum disajikan, penjual biasanya akan mengaduk semua komponen di dalam piring atau mangkuk saji, memastikan setiap helai mie terlumuri saus, menghasilkan warna cokelat muda yang merata.
Tradisi penjual Mi Juhi seringkali melibatkan "cobek" kecil di samping gerobak, di mana bumbu kacang akan diolah segar untuk beberapa porsi. Metode ini memastikan bahwa aroma cuka yang tajam tetap menyengat dan daya tarik saus tetap maksimal, berbeda dengan saus kacang yang sudah disimpan lama.
Tips Keberhasilan: Kunci kelezatan Mi Juhi terletak pada saus yang harus dibuat *terlalu* asam di lidah saat dicicipi sendiri. Keasaman ini akan dinetralkan secara sempurna oleh pati kentang, rasa manis gula, dan kegurihan juhi, menghasilkan harmoni saat bersatu.
Meskipun Mi Juhi adalah hidangan tradisional dengan resep yang relatif baku, lingkungan kuliner Jakarta yang dinamis telah mendorong munculnya beberapa variasi dan modifikasi, baik yang bersifat regional maupun modern.
Di luar Jakarta, terutama di daerah yang sulit mendapatkan Juhi kering berkualitas, hidangan ini terkadang disajikan dengan modifikasi. Beberapa pedagang mengganti juhi dengan irisan cumi segar yang direbus, atau bahkan udang. Namun, ini mengurangi esensi tekstur liat dan aroma umami yang sangat khas dari juhi kering. Penamaan "Mi Juhi" tanpa adanya juhi kering yang diolah dengan tepat sering dianggap mengurangi keasliannya, karena menghilangkan komponen nama sekaligus komponen rasa paling penting.
Dalam konteks peningkatan kesadaran akan pola makan nabati, beberapa koki modern mencoba menciptakan versi vegan Mi Juhi. Tantangan terbesar adalah mengganti Juhi. Pengganti yang paling umum adalah irisan jamur shitake kering atau jamur kuping yang direhidrasi. Meskipun jamur memberikan tekstur kenyal dan umami, sulit untuk meniru aroma laut yang khas. Versi ini berfokus lebih pada keseimbangan saus asam manis cuka dan kesegaran sayuran.
Masyarakat Indonesia umumnya menyukai rasa pedas. Mi Juhi tradisional kadang disajikan tanpa cabai dalam bumbu kacangnya, dan kepedasan ditambahkan melalui sambal terpisah, seringkali sambal rebus sederhana. Namun, beberapa penjual telah mengintegrasikan cabai rawit langsung ke dalam adonan bumbu kacang, menghasilkan saus yang lebih gelap dan lebih intens. Tingkat kepedasan ini harus dikontrol agar tidak menghilangkan karakter asam cuka yang menjadi ciri khas.
Di restoran-restoran modern yang menyajikan hidangan Betawi, Mi Juhi seringkali disajikan dengan estetika yang lebih tinggi. Alih-alih dicampur dalam mangkuk, komponen-komponennya ditata secara berlapis dan saus diletakkan di samping atau disiramkan secara artistik, mirip seperti menyajikan salad gourmet. Hal ini bertujuan untuk menonjolkan tekstur dan warna setiap bahan, meskipun secara tradisional, Mi Juhi haruslah diaduk rata sebelum dimakan.
Variasi ini menunjukkan ketahanan dan adaptabilitas Mi Juhi. Meskipun resep inti tetap dipertahankan oleh penjual tradisional, hidangan ini mampu berinteraksi dengan tren kuliner baru tanpa kehilangan akarnya sebagai salad mie Betawi yang unik.
Mi Juhi, seperti halnya kerak telor atau gado-gado, adalah bagian tak terpisahkan dari identitas kuliner Betawi. Ia melambangkan kemudahan akses, akulturasi, dan kecerdasan dalam menggunakan bahan lokal yang tersedia.
Mi Juhi utamanya dikenal sebagai makanan kaki lima (street food). Penjual Mi Juhi tradisional seringkali menjajakannya dengan gerobak dorong atau pikulan. Sifat hidangan yang disajikan dingin memudahkannya untuk dijual secara mobil tanpa memerlukan fasilitas memasak yang kompleks. Ini menjadikan Mi Juhi sebagai pilihan cepat dan menyegarkan bagi pekerja dan masyarakat yang sibuk di kawasan Jakarta lama.
Kehadiran Mi Juhi di ruang publik menciptakan interaksi sosial. Gerobak Mi Juhi sering menjadi titik pertemuan, tempat orang-orang berbagi cerita sambil menikmati kontras rasa yang ditawarkan. Ini adalah makanan yang demokratis, dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.
Meskipun sering dijual sehari-hari, Mi Juhi juga memiliki tempat khusus dalam perayaan tertentu di masyarakat Betawi, terutama yang memiliki latar belakang Peranakan. Kadang-kadang, ia disajikan di acara keluarga besar atau selamatan, seringkali berdampingan dengan hidangan akulturasi lainnya seperti Laksa Betawi atau Nasi Uduk. Dalam konteks ini, Mi Juhi tidak hanya berfungsi sebagai makanan, tetapi juga sebagai penanda budaya yang diwariskan turun-temurun.
Saat ini, para penjual Mi Juhi tradisional menghadapi tantangan besar. Ketersediaan Juhi berkualitas mulai berkurang, dan biaya bahan baku yang meningkat. Selain itu, regenerasi penjual muda juga menjadi isu. Dibutuhkan keahlian khusus untuk mengolah Juhi agar teksturnya pas dan membuat saus kacang dengan keseimbangan cuka yang tepat—keahlian yang kini sulit ditemukan di kalangan generasi baru.
Upaya pelestarian Mi Juhi memerlukan dokumentasi resep yang akurat dan dukungan terhadap pedagang kecil yang masih mempertahankan metode tradisional. Memasukkan Mi Juhi ke dalam kurikulum sekolah kuliner atau mempromosikannya sebagai warisan budaya dapat memastikan hidangan ini terus dikenal dan diapresiasi, tidak hanya sebagai makanan pinggir jalan, tetapi sebagai artefak sejarah rasa Jakarta.
Penggunaan juhi dalam Mi Juhi adalah sebuah keputusan kuliner yang jenius dan efisien secara ekonomi pada masanya. Untuk memahami kedalaman rasa hidangan ini, kita harus fokus pada aspek Juhi itu sendiri—mengapa cumi dikeringkan dan bagaimana proses ini meningkatkan profil rasanya.
Ketika cumi segar dikeringkan, airnya dihilangkan. Hilangnya air secara drastis meningkatkan konsentrasi komponen rasa non-volatil, terutama asam amino bebas. Asam glutamat, yang merupakan dasar dari rasa umami, menjadi jauh lebih pekat. Inilah mengapa Juhi, meskipun hanya diiris tipis, mampu memberikan dorongan rasa yang signifikan pada keseluruhan hidangan yang didominasi oleh mie tawar dan sayuran netral.
Proses pengeringan juga memecah beberapa protein menjadi peptida dan asam amino yang lebih kecil, yang memberikan kekayaan rasa kompleks yang berbeda dari cumi segar. Aroma khas Juhi—yang sedikit asin, manis, dan sangat laut—adalah hasil dari degradasi protein dan lemak selama proses penjemuran.
Tekstur Juhi kering sangat keras dan liat. Rehidrasi adalah proses yang kritis. Jika direndam terlalu sebentar, juhi akan sulit dikunyah; jika terlalu lama, ia akan kehilangan kekenyalannya dan menjadi lembek. Tekstur yang diinginkan dalam Mi Juhi adalah ‘al dente’ versi Juhi: cukup lembut untuk dikunyah, tetapi masih memberikan perlawanan yang menyenangkan di gigi. Tekstur ini menciptakan kontras yang esensial dengan kelembutan mie dan renyahnya timun.
Dalam beberapa teknik kuno, Juhi direndam dalam air yang diberi sedikit kapur sirih atau abu gosok, yang membantu memecah serat-seratnya lebih cepat, memastikan tekstur akhir yang lebih lembut namun tetap kenyal. Namun, praktik modern umumnya mengandalkan perendaman lama dan pengukusan ringan.
Juhi bukan hanya tentang rasa, tetapi juga merupakan cara untuk menyimpan kekayaan laut. Cumi kering kaya akan protein dan mineral. Di masa lalu, ketika penyimpanan dingin tidak tersedia, pengeringan adalah satu-satunya cara untuk membawa makanan laut dari pesisir ke pedalaman, atau menyimpannya selama musim paceklik. Penggunaan Juhi dalam Mi Juhi mencerminkan sejarah pangan yang menghargai keberlanjutan dan ketahanan bahan makanan.
Kekuatan Mi Juhi terletak pada sausnya, yang berani dan tegas. Saus ini harus jauh lebih dominan dalam hal keasaman daripada saus kacang manapun yang digunakan pada hidangan Betawi lainnya.
Dalam kuliner tradisional Betawi, cuka seringkali berasal dari fermentasi alami, seperti cuka aren atau cuka kelapa. Cuka jenis ini memberikan keasaman yang lebih lembut dan kompleks dibandingkan cuka sintetik. Kehadiran cuka dalam jumlah besar berfungsi sebagai penetralisir alami terhadap rasa 'berat' yang ditimbulkan oleh kacang dan potensi amis dari juhi.
Secara ilmiah, cuka (asam asetat) juga membantu dalam proses penyerapan mineral oleh tubuh, dan secara sensorik, ia meningkatkan persepsi rasa manis dan umami. Ketika cuka dicampur dengan gula merah, tercipta rasa asam-manis yang melingkupi, berbeda dengan rasa pedas-manis yang umum ditemukan di sate atau pecel.
Penggunaan gula merah (gula aren) daripada gula pasir murni memberikan dimensi rasa karamel yang kaya dan sedikit rasa tanah (earthy). Gula merah adalah pemadat rasa yang mengikat semua elemen lain. Saus yang hanya menggunakan gula pasir cenderung terasa manis datar, sedangkan gula merah menambahkan lapisan rasa yang kompleks dan hangat.
Konsistensi saus Mi Juhi harus tipis namun cukup kental untuk melapisi. Jika terlalu kental, ia akan menggumpal dan sulit bercampur dengan mie dan sayuran. Jika terlalu encer, rasanya akan hilang. Konsistensi yang ideal didapat dari perbandingan kacang tanah sangrai yang pas dan penambahan cairan (air hangat atau kaldu sederhana). Saus harus mampu "berenang" di antara mie dan potongan juhi, memastikan setiap gigitan terasa intens. Penjual ulung tahu persis kapan harus berhenti menuangkan saus sehingga hidangan tidak menjadi kering tetapi juga tidak becek.
Mi Juhi adalah lebih dari sekadar resep; ia adalah kapsul waktu yang menyimpan narasi sejarah kuliner Jakarta. Dalam setiap komponennya terdapat kisah perdagangan, akulturasi, dan adaptasi cerdas masyarakat yang hidup di persimpangan budaya.
Keunikan Mi Juhi terletak pada keberaniannya untuk menonjolkan rasa asam yang seringkali dihindari dalam hidangan utama. Keasaman yang tajam, dipadukan dengan tekstur cumi yang liat dan kesegaran sayuran, menciptakan pengalaman kuliner yang berbeda dari mie manapun di Indonesia. Hidangan ini menantang lidah, menawarkan kompleksitas yang hanya dapat dicapai melalui sintesis bahan-bahan yang tampaknya tidak berkaitan.
Sebagai hidangan yang membutuhkan pengolahan Juhi yang rumit dan keahlian dalam menyeimbangkan bumbu kacang cuka, Mi Juhi berdiri sebagai monumen bagi keahlian kuliner tradisional. Kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa warisan rasa yang unik ini—pertemuan antara laut, bumi, dan cuka—tetap hidup dan diapresiasi oleh generasi mendatang. Menikmati Mi Juhi adalah merayakan keindahan kontras dan kekayaan sejarah kuliner Nusantara.
Mari kita terus mencari dan mendukung para peracik Mi Juhi tradisional yang menjaga nyala api resep autentik ini, memastikan bahwa setiap suapan memberikan penghormatan kepada Batavia lama dan keragaman budaya Betawi yang tak ternilai harganya. Mi Juhi adalah bukti bahwa hidangan paling sederhana sekalipun dapat mengandung kedalaman rasa dan makna yang luar biasa.