Kata "merungus" mungkin terdengar spesifik, namun ia menggambarkan sebuah fenomena universal dalam perilaku manusia: kecenderungan untuk menggerutu, bersungut-sungut, atau menunjukkan ketidakpuasan secara berkelanjutan dan seringkali non-konstruktif. Sifat ini bukan sekadar luapan emosi sesaat, melainkan sebuah pola respons yang terpatri dalam psikologi individu, memengaruhi tidak hanya kesehatan mental si pelaku, tetapi juga kualitas interaksi dan lingkungan sosial di sekitarnya. Memahami akar dari sifat merungus adalah langkah awal yang krusial untuk mengubah pola pikir yang cenderung negatif menjadi energi yang lebih positif dan produktif.
Ilustrasi wajah yang sedang merungus atau mengeluh, menunjukkan ekspresi ketidakpuasan mendalam.
Merungus, dalam konteks kebahasaan, sering diartikan sebagai mengeluarkan suara keluhan yang tidak jelas, bersungut-sungut, atau menunjukkan sikap yang muram dan tidak ramah karena merasa kesal atau tidak puas. Meskipun terdengar sederhana, sifat ini memiliki spektrum yang luas, mulai dari keluhan minor sehari-hari tentang cuaca atau kemacetan, hingga ketidakpuasan fundamental terhadap keadaan hidup, karier, atau hubungan interpersonal. Membedah merungus memerlukan pemahaman bahwa ini adalah lebih dari sekadar emosi; ini adalah cara adaptasi atau respons yang sudah menjadi kebiasaan.
Penting untuk membedakan antara merungus (menggerutu yang pasif dan berulang) dengan keluhan yang konstruktif (umpan balik yang bertujuan menghasilkan solusi). Keluhan konstruktif memiliki target yang jelas, disampaikan kepada pihak yang tepat, dan disertai harapan perbaikan. Sebaliknya, sifat merungus adalah sebuah loop tertutup. Ia bersifat repetitif, sering kali ditujukan kepada audiens yang tidak mampu memberikan solusi, dan tujuannya bukan untuk memecahkan masalah, melainkan untuk melepaskan tekanan internal atau mendapatkan validasi atas penderitaan yang dirasakan. Merungus seringkali adalah keluhan yang sudah kehilangan tujuannya, hanya menyisakan residu kekesalan yang terus menerus. Ini adalah energi negatif yang terus berputar tanpa menghasilkan output yang positif.
Perbedaan mendasar ini terletak pada orientasi waktu dan tindakan. Keluhan konstruktif berorientasi ke masa depan dan tindakan; ia bertanya, "Bagaimana kita bisa memperbaiki ini?" Sementara sifat merungus berorientasi pada masa kini yang terasa buruk atau masa lalu yang mengecewakan; ia hanya menyatakan, "Betapa buruknya ini." Orang yang memiliki kecenderungan merungus tinggi sering kali menolak solusi yang ditawarkan karena solusi tersebut akan menghilangkan "hak" mereka untuk merasa menjadi korban, sebuah posisi psikologis yang terkadang terasa aman bagi mereka.
Sifat merungus tidak selalu terwujud dalam kata-kata yang eksplisit. Seringkali, ia termanifestasi dalam bahasa non-verbal yang kuat: desahan berat yang berulang, tatapan mata yang suram, postur tubuh yang membungkuk, atau intonasi suara yang selalu terdengar mengeluh bahkan saat membicarakan hal netral. Manifestasi linguistiknya sering kali dipenuhi dengan hiperbola, generalisasi yang berlebihan (misalnya, "Semua orang selalu..." atau "Tidak ada yang pernah..."), dan penggunaan kata-kata negatif yang intens. Penggunaan bahasa yang demikian berfungsi untuk memperkuat narasi internal bahwa dunia adalah tempat yang sulit dan tidak adil, yang pada gilirannya membenarkan sikap merungus yang berkelanjutan.
Psikolog melihat pola linguistik ini sebagai indikasi dari bias kognitif yang disebut ‘pemikiran bencana’ (catastrophizing) atau ‘filter mental’ (mental filtering), di mana individu secara selektif hanya memperhatikan aspek-aspek negatif dari suatu situasi. Kecenderungan untuk merungus adalah cerminan dari filter mental yang sangat aktif, yang secara otomatis menyaring semua yang positif dan hanya menyisakan material yang cocok untuk dikeluhkan. Siklus ini sangat adiktif secara neurologis, karena mengeluh (merungus) melepaskan sejumlah kecil hormon stres yang, ironisnya, dapat memberikan rasa lega instan sebelum kemudian memperburuk kondisi stres jangka panjang.
Pola komunikasi ini menciptakan lingkungan yang membebani. Ketika seseorang secara konsisten merungus, mereka memaksa orang-orang di sekitar mereka untuk menjadi wadah emosional, sebuah beban yang perlahan mengikis hubungan dan menciptakan jarak. Dalam jangka panjang, individu yang merungus akan mendapati bahwa orang lain mulai menghindarinya, yang ironisnya, sering kali mereka keluhkan lagi sebagai bukti bahwa "tidak ada yang peduli" atau "semua orang menjauhi saya."
Untuk mengatasi sifat merungus, kita harus menelusuri sumbernya di dalam pikiran dan kimia otak. Kebiasaan ini bukan bawaan lahir; ia dipelajari, diperkuat, dan pada akhirnya menjadi sebuah jalur saraf yang otomatis. Memahami mengapa otak memilih jalur keluhan (merungus) daripada jalur solusi (aksi) adalah kunci.
Konsep neuroplastisitas menjelaskan bahwa otak kita terus berubah berdasarkan apa yang kita lakukan dan pikirkan. Ketika seseorang sering merungus, mereka secara harfiah sedang melatih dan memperkuat jalur saraf yang terkait dengan pemikiran negatif, reaksi stres, dan ekspresi ketidakpuasan. Ibarat sebuah jalan setapak di hutan, semakin sering dilewati, semakin lebar dan mudah diakses jalan tersebut. Dalam konteks otak, semakin sering kita mengeluh, semakin mudah otak memilih respons keluhan (merungus) sebagai respons default terhadap tantangan atau ketidaknyamanan sekecil apa pun.
Penelitian menunjukkan bahwa paparan berkelanjutan terhadap keluhan, baik sebagai pelaku maupun pendengar, dapat meningkatkan kadar kortisol, hormon stres. Ketika seseorang merungus, sistem limbik—pusat emosi di otak—menjadi terlalu aktif. Meskipun pelepasan keluhan sesaat dapat memberikan rasa katarsis yang salah, efek jangka panjangnya adalah menjaga tubuh dalam keadaan waspada tinggi dan stres kronis. Otak yang terbiasa merungus adalah otak yang selalu mencari ancaman dan ketidaksempurnaan, sehingga memicu reaksi berantai yang sulit dihentikan tanpa intervensi sadar.
Inti dari banyak keluhan adalah kesenjangan antara realitas dan ekspektasi. Individu yang cenderung merungus sering kali memegang ekspektasi yang kaku, tidak realistis, atau tidak terkomunikasikan tentang bagaimana dunia, orang lain, atau bahkan diri mereka sendiri, seharusnya berfungsi. Ketika realitas gagal memenuhi standar internal ini—misalnya, saat rekan kerja terlambat 5 menit, atau kopi tidak sepanas yang diharapkan—otak mendaftarkannya sebagai sebuah kegagalan atau ketidakadilan.
Dalam beberapa kasus, kebiasaan merungus dapat ditelusuri kembali ke pengalaman masa kanak-kanak. Jika seseorang dibesarkan di lingkungan di mana mengeluh adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan perhatian atau respons, pola tersebut akan terbawa hingga dewasa. Merungus menjadi mekanisme pertahanan, sebuah cara yang dipelajari untuk menarik perhatian atau mendapatkan simpati, bahkan jika perhatian yang didapatkan bersifat negatif.
Selain itu, lingkungan yang dipenuhi keluhan (misalnya, orang tua yang selalu mengeluh tentang pekerjaan atau keuangan) mengajarkan anak bahwa dunia adalah tempat yang penuh kekurangan. Anak tersebut menginternalisasi pola pikir ini, sehingga kecenderungan untuk merungus menjadi respons otomatis yang ditiru dari model perilaku utama. Oleh karena itu, sifat merungus seringkali bukan kegagalan moral, melainkan hasil dari pola komunikasi yang tidak sehat yang dipelajari sejak dini.
Analisis mendalam ini memperkuat bahwa perilaku merungus bukan sekadar kebiasaan sepele; ia adalah gejala dari struktur kognitif dan emosional yang kompleks. Pemahaman ini penting karena intervensi yang efektif harus mengatasi akar struktural, bukan hanya manifestasi permukaan dari sungutan tersebut. Ini memerlukan restrukturisasi kognitif dan pembentukan jalur saraf baru yang berorientasi pada syukur dan solusi, bukan hanya pada identifikasi masalah.
Lebih lanjut, dalam konteks psikologi kelompok, orang yang merungus seringkali berperan sebagai 'pemain peran' yang secara tidak sadar mencari validasi status korban. Mereka menciptakan dinamika di mana orang lain diharapkan untuk menenangkan atau menyetujui penderitaan mereka. Jika orang lain gagal memberikan validasi ini, tingkat merungus justru meningkat, menciptakan siklus yang semakin mengisolasi individu tersebut dari dukungan nyata yang dibutuhkan.
Meskipun individu yang merungus mungkin merasa lega sesaat setelah melampiaskan kekesalan, dampak kumulatif dari perilaku ini terhadap lingkungan sosial dan profesional sangat merusak. Sifat merungus bertindak seperti polusi emosional; ia menyebar, menginfeksi, dan menurunkan moral kolektif.
Tidak ada yang suka berada di sekitar orang yang terus-menerus mengeluh. Dalam hubungan pertemanan, keluarga, atau romantis, sifat merungus mengikis kedekatan dengan cara yang halus namun pasti. Awalnya, pasangan atau teman mungkin menunjukkan empati, tetapi jika keluhan tersebut tidak pernah berhenti atau mengarah pada tindakan, empati akan berubah menjadi kelelahan emosional (empathy fatigue).
Ketika seseorang selalu merungus, mereka mengubah interaksi sosial menjadi sesi terapi yang tidak diminta. Ini membebani orang lain karena mereka merasa bertanggung jawab atas suasana hati si perungus tanpa memiliki kekuatan untuk memperbaikinya. Hasilnya adalah penghindaran. Orang mulai membatasi waktu yang mereka habiskan dengan si perungus. Sifat merungus menciptakan reputasi yang menarik: reputasi sebagai orang yang selalu negatif, yang membuat orang enggan berbagi kabar baik dengannya karena takut kabar baik itu akan segera diwarnai oleh perspektif suram si pengeluh.
Dalam konteks keluarga, sifat merungus yang kronis dapat menciptakan rumah tangga yang tegang. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan ini belajar bahwa ekspresi emosi yang paling lazim adalah ketidakpuasan, yang dapat menghambat perkembangan resiliensi dan optimisme mereka sendiri. Mereka mungkin meniru perilaku merungus, atau sebaliknya, mereka mungkin menarik diri secara emosional untuk melindungi diri dari gelombang energi negatif yang konstan.
Di tempat kerja, seorang individu yang suka merungus (sering disebut sebagai ‘toxic complainer’) dapat menyebabkan dampak yang signifikan pada kinerja tim. Sifat merungus menghambat inovasi dan inisiatif. Ketika ide baru diutarakan, reaksi pertama si perungus adalah mencari kelemahan, menyatakan bahwa itu tidak akan berhasil, atau mengeluh tentang sumber daya yang tidak memadai. Sikap ini menghambat apa yang disebut psikolog organisasi sebagai ‘keamanan psikologis’—lingkungan di mana anggota tim merasa nyaman mengambil risiko dan membuat kesalahan.
Beberapa dampak spesifik di lingkungan profesional meliputi:
Ironisnya, individu yang merungus sering kali adalah mereka yang paling bersemangat dalam pekerjaannya, tetapi frustrasi mereka diungkapkan melalui keluhan yang tidak efektif. Mereka memiliki potensi untuk menjadi penggerak perubahan, tetapi pola pikir yang terpatri untuk hanya melihat hambatan mengubah potensi tersebut menjadi sumber daya yang terkuras.
Dampak merungus yang paling signifikan mungkin adalah pada kesehatan fisik dan mental individu itu sendiri. Seperti yang dibahas di bagian neurobiologis, sifat merungus menjaga tubuh dalam keadaan stres kronis. Tingkat kortisol yang tinggi secara berkelanjutan dapat menyebabkan:
Dengan kata lain, ketika seseorang secara konsisten merungus, mereka tidak hanya membuat orang lain menderita; mereka secara aktif meracuni diri mereka sendiri. Mereka menggunakan energi vital mereka untuk mempertahankan cerita internal tentang penderitaan, yang seharusnya bisa digunakan untuk mengatasi masalah yang dikeluhkan tersebut. Merungus adalah penolakan energi yang aktif; ia adalah aktivitas yang memakan banyak sumber daya mental tanpa memberikan hasil positif yang sepadan.
Kebiasaan merungus tidak hanya fenomena psikologis; ia juga mencerminkan sikap filosofis terhadap kehidupan dan dipengaruhi oleh norma-norma budaya.
Dalam sejarah filsafat, khususnya Stoikisme (misalnya, Marcus Aurelius dan Epictetus), keluhan dianggap sebagai bentuk kebodohan moral. Inti dari Stoikisme adalah membedakan antara hal-hal yang dapat kita kendalikan (pikiran, penilaian, tindakan kita) dan hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan (cuaca, tindakan orang lain, nasib). Merungus, dalam pandangan Stoik, adalah membuang energi pada hal-hal yang berada di luar kendali kita.
Orang yang merungus secara fundamental menentang prinsip Stoikisme: penerimaan rasional terhadap apa yang terjadi. Ketika Stoik menghadapi hujan, mereka menerimanya sebagai fakta alam dan menyesuaikan diri (ambil payung). Ketika si perungus menghadapi hujan, mereka mengeluh tentang ketidakadilan alam semesta atau buruknya perencanaan cuaca. Merungus adalah kegagalan untuk menerima realitas apa adanya, sebuah perlawanan konstan terhadap kenyataan.
Pendekatan filosofis yang kontras ini menawarkan kerangka kerja yang kuat: alih-alih bertanya, "Mengapa ini terjadi pada saya?" (pertanyaan yang memicu merungus), kita harus bertanya, "Karena ini terjadi, bagaimana cara terbaik saya merespons?" (pertanyaan yang memicu tindakan). Transformasi dari sifat merungus ke responsif membutuhkan pergeseran dari identifikasi diri sebagai korban menjadi identifikasi diri sebagai agen perubahan yang bertanggung jawab atas reaksinya sendiri.
Tingkat toleransi terhadap sifat merungus sangat bervariasi antar budaya. Dalam beberapa masyarakat yang menjunjung tinggi individualisme dan kebebasan berekspresi, mengeluh mungkin dilihat sebagai hak atau cara untuk menunjukkan keautentikan. Di budaya lain yang lebih kolektif atau yang sangat menghargai harmoni sosial dan ketahanan (resilience), keluhan yang terus-menerus atau merungus dapat dipandang sebagai tanda kelemahan, kurangnya rasa syukur, atau bahkan perilaku yang merusak kelompok.
Di tempat-tempat di mana budaya merungus dominan—seperti dalam lingkungan kerja yang sangat kompetitif dan stres—mengeluh bisa menjadi cara untuk membangun ikatan sosial. Dua rekan kerja yang saling mengeluh tentang atasan atau sistem mungkin merasa dekat, membentuk "aliansi penderitaan." Meskipun ikatan ini terasa nyaman, ia bersifat toksik karena memperkuat perilaku negatif alih-alih mendorong solusi atau perubahan yang sehat. Budaya ini menciptakan zona nyaman bagi ketidakpuasan, menjadikan upaya untuk menjadi positif sebagai tindakan yang dianggap aneh atau tidak tulus.
Fenomena ini dikenal sebagai ‘Keluhan sebagai Olahraga Rekreasi’ (Recreational Complaining). Dalam skenario ini, keluhan atau sungutan (merungus) tidak lagi ditujukan untuk menyelesaikan masalah, tetapi telah berubah menjadi kegiatan sosial itu sendiri. Orang berpartisipasi dalam sesi keluhan kolektif untuk merasa divalidasi dan untuk memastikan bahwa orang lain juga merasakan tingkat ketidakbahagiaan yang sama. Ini adalah bentuk penyesuaian sosial yang menghambat pertumbuhan individu dan kelompok.
Secara filosofis dan psikologis, penawar paling ampuh terhadap sifat merungus adalah praktik rasa syukur (gratitude). Rasa syukur secara aktif mengalihkan fokus kognitif dari apa yang hilang atau tidak sempurna (sumber keluhan) ke apa yang dimiliki atau berhasil. Rasa syukur tidak berarti menolak adanya masalah, tetapi menempatkan masalah tersebut dalam perspektif yang lebih luas.
Praktik syukur—seperti mencatat tiga hal baik yang terjadi setiap hari—memaksa otak untuk melatih jalur saraf yang berlawanan dengan jalur yang diperkuat oleh sifat merungus. Dalam jangka waktu lama, latihan ini dapat memprogram ulang otak untuk secara otomatis mencari hal-hal positif daripada secara otomatis mencari kekurangan. Ini mengubah filter mental dari yang selektif negatif menjadi selektif positif.
Mengintegrasikan rasa syukur memerlukan usaha sadar, terutama bagi mereka yang sudah lama terbiasa merungus. Rasa syukur melawan fatalisme yang sering menyertai kebiasaan menggerutu; ia menegaskan bahwa meskipun ada kesulitan, masih ada nilai dan kebaikan dalam hidup yang patut dihargai, meruntuhkan narasi korban yang selama ini dipegang teguh.
Mengubah kebiasaan merungus adalah proses yang membutuhkan kesadaran, disiplin, dan penerapan strategi restrukturisasi kognitif.
Langkah pertama untuk mengatasi merungus adalah menjadi sadar akan seberapa sering hal itu dilakukan. Bagi banyak orang, sungutan telah menjadi begitu otomatis sehingga mereka melakukannya tanpa menyadarinya. Latihan kesadaran (mindfulness) membantu individu mengamati pikiran dan ucapan mereka tanpa menghakimi.
Latihan "Stop Merungus" Tiga Langkah:
Tujuan dari latihan ini bukanlah menjadi robot yang tidak pernah mengeluh, tetapi untuk mengurangi persentase keluhan non-konstruktif dan meningkatkan kesadaran akan pilihan respons. Dengan berulang kali memilih opsi 2 atau 3, individu secara fisik membangun jalur saraf yang baru, melemahkan kebiasaan merungus yang lama.
Reframing adalah proses melihat suatu situasi dari perspektif yang berbeda, yang mengubah makna emosionalnya. Ini adalah teknik yang sangat efektif melawan sifat merungus karena ia langsung menyerang bias kognitif yang mendukung keluhan.
Contoh Reframing:
| Pernyataan Merungus Asli | Reframing Konstruktif | Fokus Perubahan |
|---|---|---|
| "Proyek ini terlalu berat dan tidak mungkin diselesaikan tepat waktu." | "Proyek ini menantang, yang berarti saya akan belajar keterampilan baru yang berharga." | Dari Kesulitan menjadi Kesempatan Belajar |
| "Saya terjebak macet lagi. Hidup ini tidak adil." | "Kemacetan ini memberi saya 20 menit untuk mendengarkan buku audio yang saya sukai." | Dari Korban menjadi Pengelola Waktu |
| "Rekan kerja saya selalu membuat kesalahan konyol." | "Kesalahan ini menunjukkan area di mana kita perlu meningkatkan sistem pelatihan atau komunikasi tim." | Dari Pengalihan Kesalahan menjadi Analisis Sistem |
Teknik reframing tidak menyangkal kesulitan, tetapi mengubah lensa emosional melalui mana kesulitan itu dipandang. Dengan secara sadar memaksakan diri untuk mencari interpretasi alternatif, seseorang dapat menghentikan spiral negatif yang memicu perilaku merungus.
Proses reframing kognitif harus dilakukan secara berulang-ulang hingga menjadi otomatis. Ini mirip dengan membangun otot mental. Otot merungus telah lama dilatih; otot reframing masih lemah dan memerlukan repetisi yang konsisten. Keberhasilan dalam reframing seringkali terletak pada kemampuan individu untuk melihat peristiwa netral sebagai tantangan yang harus diatasi, bukan sebagai serangan pribadi dari alam semesta.
Banyak ahli perilaku menyarankan "diet keluhan" sebagai metode radikal untuk memutus kebiasaan merungus. Premisnya adalah mencoba untuk tidak mengeluh, bersungut-sungut, atau bergosip selama 21 hari berturut-turut. Jika seseorang mengeluh, hitungan hari dimulai dari nol.
Tantangan ini memaksa individu untuk sadar penuh pada setiap kata yang keluar dari mulut mereka. Hal ini mengungkapkan betapa seringnya kata-kata negatif mengisi kekosongan percakapan sehari-hari. Diet keluhan ini sangat efektif karena ia menargetkan aspek kebiasaan dari merungus; ia memaksa otak untuk mencari alternatif verbal yang positif atau netral ketika keinginan untuk menggerutu muncul. Pada awalnya, banyak orang merasa hampir tidak mungkin untuk berbicara tanpa mengeluh, yang merupakan indikasi seberapa dalam kebiasaan ini telah mengakar.
Dalam konteks yang lebih lembut, individu dapat mencoba Aturan "Jeda 5 Menit": Ketika ada dorongan untuk merungus, tunda selama lima menit. Gunakan lima menit itu untuk bernapas dalam-dalam, menganalisis emosi, dan memutuskan apakah keluhan yang akan disampaikan akan konstruktif. Seringkali, penundaan singkat ini menghilangkan kebutuhan untuk mengeluh sama sekali, karena intensitas emosi awal telah mereda.
Meskipun sebagian besar sifat merungus bersifat destruktif, penting untuk menyadari bahwa di balik setiap sungutan terdapat kebutuhan yang tidak terpenuhi atau masalah yang belum terselesaikan. Jika dianalisis dengan benar, keluhan dapat diubah menjadi data berharga yang mendorong perubahan positif.
Proses ini melibatkan konversi struktur keluhan. Keluhan yang pasif dan merungus berfokus pada apa yang salah (fokus pada masalah). Masukan yang aktif berfokus pada solusi dan tanggung jawab pribadi (fokus pada tindakan).
Transformasi Pola Pikir:
Kunci dari transformasi ini adalah mengganti kata-kata yang menyatakan ketidakberdayaan (misalnya, 'selalu', 'tidak pernah', 'mustahil') dengan kata-kata yang menyatakan agensi (misalnya, 'saya akan', 'bagaimana jika', 'saya memilih'). Transformasi ini mengubah identitas dari seseorang yang hanya mengamati kegagalan menjadi seseorang yang aktif mencari perbaikan.
Ketika berhadapan dengan orang lain yang merungus, penting untuk tidak terseret ke dalam spiral negatif mereka. Ada beberapa strategi yang bisa diterapkan untuk menanggapi perilaku merungus tanpa memvalidasinya:
Mengelola sifat merungus pada diri sendiri memerlukan pengakuan bahwa setiap kali kita mengeluh, kita sedang memperkuat keyakinan bahwa kita adalah korban dari keadaan. Mengubah hal ini adalah keputusan harian untuk fokus pada kontrol internal, mempraktikkan penerimaan, dan mengarahkan energi ke hal-hal yang dapat diubah. Ini adalah proses berkelanjutan untuk memilih respons yang memberdayakan daripada respons yang menguras energi.
Proses melawan sifat merungus adalah manifestasi dari kematangan emosional. Ini menunjukkan kemampuan untuk mengelola frustrasi tanpa perlu melampiaskannya secara merusak atau pasif-agresif kepada orang lain. Ini adalah pengakuan bahwa kepositifan yang sejati bukanlah tentang berpura-pura bahagia, tetapi tentang memilih perjuangan yang layak dan melepaskan perjuangan yang hanya membuang-buang waktu dan energi.
Era digital telah memberikan platform baru dan lebih luas untuk sifat merungus, yaitu melalui media sosial, kolom komentar, dan forum daring. Keluhan yang tadinya bersifat pribadi kini dapat menjadi sungutan kolektif yang viral, menciptakan apa yang disebut sebagai 'echo chamber' dari negativitas.
Media sosial memberikan validasi instan untuk keluhan. Ketika seseorang merungus tentang layanan pelanggan yang buruk, penerbangan yang tertunda, atau kebijakan pemerintah, mereka sering kali menerima ‘likes’, komentar, dan dukungan dari pengguna lain yang merasa memiliki pengalaman serupa. Validasi ini, meskipun dangkal, memberikan dorongan dopamin kecil yang memperkuat perilaku mengeluh. Individu belajar bahwa merungus adalah cara yang cepat dan mudah untuk mendapatkan perhatian dan rasa koneksi.
Namun, validasi digital ini bersifat semu. Keluhan di media sosial jarang menghasilkan solusi nyata, tetapi lebih sering berfungsi sebagai ventilasi kolektif. Keluhan yang berulang-ulang menciptakan sebuah identitas daring yang berpusat pada kritik dan ketidakpuasan, yang kemudian mempengaruhi bagaimana individu tersebut memandang dirinya sendiri dan dunia di luar layar.
Dalam ruang daring, keluhan yang spesifik dapat dengan mudah berubah menjadi generalisasi yang merusak. Sifat merungus digital berkontribusi pada budaya ketidakpercayaan dan sinisme yang meluas. Ketika setiap peristiwa, dari yang sepele hingga yang signifikan, direspons dengan sungutan dan kritik, standar optimisme dan apresiasi kolektif menurun.
Dampaknya, media sosial dapat menjadi tempat yang menguras energi, di mana pengguna yang mencoba mencari koneksi atau informasi justru dibanjiri oleh gelombang merungus yang teramplifikasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa di tengah kelimpahan komunikasi modern, kualitas emosional dari interaksi sering kali menurun, digantikan oleh persaingan untuk mendapatkan perhatian melalui ekspresi ketidakpuasan yang paling dramatis.
Untuk mengatasi sifat merungus dalam ranah digital, individu perlu menerapkan filter informasi yang ketat. Ini berarti secara sadar memilih untuk mengikuti akun-akun yang berorientasi solusi, membatasi paparan terhadap ‘doomscrolling’ (kebiasaan membaca berita negatif tanpa henti), dan menerapkan "Jeda 21 Hari" bukan hanya pada ucapan, tetapi juga pada unggahan atau komentar yang bersifat keluhan non-konstruktif.
Sifat merungus adalah kebiasaan yang mudah terbentuk dan sulit dipatahkan. Ia menawarkan kenyamanan sesaat dari pembebasan emosional, tetapi menuntut harga yang mahal dalam bentuk kesehatan mental, kualitas hubungan, dan produktivitas. Ia adalah respons reaktif terhadap ketidaknyamanan, sebuah penolakan untuk menerima realitas yang tidak sempurna. Sikap ini memposisikan individu sebagai korban pasif daripada peserta aktif dalam kehidupan mereka sendiri.
Perubahan dari kebiasaan merungus menuju resiliensi dan kepositifan bukanlah tentang menghilangkan semua keluhan—karena keluhan adalah sinyal penting—tetapi tentang mengelola sinyal tersebut secara dewasa. Ini adalah proses sadar untuk mengubah filter mental, melatih neuroplastisitas untuk memilih jalur respons yang lebih sehat, dan mengubah energi sungutan menjadi masukan yang terarah dan konstruktif.
Mengatasi sifat merungus pada akhirnya adalah tindakan pemberdayaan diri. Ini adalah pengakuan bahwa meskipun kita tidak dapat mengontrol setiap kejadian eksternal, kita memiliki kendali penuh atas bagaimana kita memilih untuk meresponsnya. Dengan memilih syukur di atas sungutan, penerimaan di atas penolakan, dan tindakan di atas kelumpuhan analisis, individu dapat memutus rantai negativitas dan menciptakan lingkungan internal dan eksternal yang jauh lebih kaya, produktif, dan bahagia.
Perjalanan ini memerlukan komitmen harian untuk observasi diri dan koreksi, namun imbalannya adalah kebebasan dari beban mental yang diciptakan oleh sifat merungus yang berlebihan. Ini adalah langkah menuju versi diri yang lebih tangguh dan berorientasi pada masa depan.
Setiap kali dorongan untuk merungus muncul, kita memiliki kesempatan untuk mengajukan pertanyaan mendasar: Apakah ini akan memecahkan masalah, atau hanya akan memperkuat identitas saya sebagai seseorang yang tidak puas? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan kualitas sisa hari, dan akhirnya, kualitas seluruh hidup kita.
Kapasitas untuk menerima ketidaksempurnaan dunia, sambil tetap berjuang untuk perbaikan, adalah tanda tertinggi dari kematangan karakter. Ini adalah warisan yang jauh lebih berharga daripada keluhan yang diulang-ulang.
Jika kita menganalisis sifat merungus melalui lensa Hierarki Kebutuhan Maslow, kita dapat melihat bahwa keluhan yang paling sering muncul adalah indikasi dari kegagalan dalam memenuhi kebutuhan di tingkat yang lebih rendah. Misalnya, keluhan tentang kurangnya uang atau keamanan kerja mencerminkan kegagalan memenuhi kebutuhan dasar Keamanan. Keluhan tentang kesepian atau konflik dalam hubungan mengindikasikan kebutuhan Cinta dan Rasa Memiliki yang belum terpenuhi. Bahkan, keluhan tentang kurangnya pengakuan di tempat kerja atau penghinaan menunjukkan kebutuhan Harga Diri yang terancam.
Namun, yang menarik adalah bagaimana sifat merungus bisa menjadi penghalang bagi pemenuhan kebutuhan di tingkat yang lebih tinggi, yaitu Aktualisasi Diri. Aktualisasi Diri, menurut Maslow, adalah dorongan untuk menjadi yang terbaik yang kita bisa, yang memerlukan penerimaan diri dan fokus pada tujuan di luar diri sendiri (transcendence). Sifat merungus yang kronis justru mengunci individu dalam fokus diri yang negatif dan sempit, menghabiskan energi yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan. Mereka yang terlalu sibuk mengeluh tentang hambatan eksternal tidak akan pernah memiliki sumber daya mental untuk melihat potensi internal mereka.
Dalam pandangan ini, merungus bukan hanya masalah perilaku, tetapi masalah keberadaan (existential). Ini adalah penolakan terhadap tanggung jawab untuk mencari makna di tengah kesulitan. Keluhan adalah jalan termudah untuk menghindari tugas berat pencarian makna dan pemenuhan diri.
Psikologi transpersonal dan beberapa pendekatan spiritual memandang sifat merungus sebagai bentuk resistensi terhadap aliran kehidupan atau perubahan yang tak terhindarkan. Kehidupan adalah proses dinamis yang penuh dengan ketidakpastian; merungus adalah upaya sia-sia untuk menstabilkan dan mengontrol yang tidak dapat dikontrol. Ketika kenyamanan kita terganggu, reaksi pertama kita adalah perlawanan—dan perlawanan itu seringkali diungkapkan sebagai keluhan.
Resistensi ini muncul karena otak manusia secara fundamental lebih memilih kepastian, bahkan jika kepastian itu negatif. Keluhan yang familiar memberikan rasa struktur dan prediksi. Ini adalah paradoks: meskipun individu yang merungus mengeluhkan keadaan mereka, mereka secara tidak sadar menolak perubahan karena perubahan membawa risiko dan ketidakpastian. Mereka lebih memilih ketidakbahagiaan yang dapat diprediksi daripada usaha yang diperlukan untuk mencapai kebahagiaan yang tidak pasti.
Dalam teori psikologi analitik Carl Jung, sifat merungus bisa dianalisis sebagai proyeksi dari 'bayangan' (shadow) individu. Bayangan adalah aspek-aspek diri yang tidak disukai atau ditolak—misalnya, kelemahan, kemarahan, atau rasa tidak mampu. Ketika seseorang tidak mampu menghadapi kegagalan atau kekurangan diri sendiri, mereka cenderung memproyeksikannya ke dunia luar. Jadi, keluhan tentang 'ketidakadilan sistem' atau 'kegagalan orang lain' seringkali adalah cara yang aman untuk menghindari pengakuan terhadap kekurangan atau kegagalan yang ada di dalam diri.
Misalnya, seseorang yang merungus tentang bagaimana rekan kerja selalu ceroboh mungkin sebenarnya memendam rasa frustrasi karena ia sendiri takut membuat kesalahan. Dengan memproyeksikan kecerobohan ke luar, ia menjaga citra dirinya tetap utuh. Mengatasi sifat merungus memerlukan proses integrasi bayangan, yaitu keberanian untuk menghadapi dan menerima kekurangan pribadi, sehingga kebutuhan untuk mengeluh tentang dunia luar berkurang drastis. Ketika individu mengambil kembali proyeksi mereka, keluhan (merungus) berubah menjadi introspeksi: "Apa yang dikatakan keluhan ini tentang diri saya, bukan tentang orang lain?"
Di era modern, perhatian (attention) adalah komoditas yang langka dan berharga. Fenomena sifat merungus mendapatkan relevansi baru dalam konteks ekonomi perhatian. Keluhan yang dramatis dan emosional sering kali lebih efektif menarik perhatian daripada pernyataan rasa syukur yang tenang atau analisis yang rasional. Orang yang merungus telah belajar, baik secara sadar maupun tidak, bahwa negativitas dan dramatisasi adalah strategi yang berhasil untuk menarik perhatian—suatu kebutuhan dasar manusia.
Hal ini menciptakan insentif yang salah: semakin dramatis dan merungut, semakin banyak perhatian yang didapatkan. Siklus ini sangat berbahaya karena ia mengajarkan individu untuk memperkuat emosi negatif demi keuntungan sosial. Budaya yang memprioritaskan drama dan krisis, baik di media berita maupun di media sosial, secara tidak langsung mensponsori kebiasaan merungus karena ia adalah bahan bakar yang mudah terbakar untuk konten yang menarik perhatian.
Ketika sifat merungus menjadi kebiasaan lingkungan, orang-orang di sekitarnya menderita Kelelahan Empati. Kelelahan ini adalah kondisi kelelahan emosional yang dialami ketika seseorang terus-menerus terpapar penderitaan atau keluhan orang lain tanpa adanya solusi atau perubahan. Kelelahan empati menyebabkan orang mulai menarik diri dan menjadi tidak responsif terhadap keluhan, bahkan yang valid.
Reaksi defensif ini menciptakan efek umpan balik negatif bagi si perungus. Semakin orang lain menarik diri, si perungus merasa semakin tidak divalidasi, yang justru meningkatkan intensitas dan frekuensi sungutan mereka dalam upaya putus asa untuk mendapatkan kembali perhatian. Untuk melindungi diri, orang yang cerdas secara emosional belajar membuat batasan ketat dengan orang yang merungus, yang dapat mencakup mengurangi waktu interaksi atau secara tegas menolak berpartisipasi dalam percakapan yang hanya berfokus pada masalah tanpa mencari solusi.
Kunci dalam mengatasi kelelahan empati yang disebabkan oleh lingkungan yang merungus adalah mempraktikkan empati tanpa asimilasi. Berempati berarti memahami perasaan orang lain ("Saya mengerti kamu kesal"), tetapi asimilasi berarti mengambil alih beban emosi mereka ("Sekarang saya juga kesal dan terbebani"). Batasan yang sehat memungkinkan seseorang untuk mendengarkan tanpa harus meresap dalam negativitas yang tidak produktif.
Sifat merungus adalah sebuah panggilan yang salah arah; alih-alih menarik bantuan, ia sering menarik jarak. Transformasi dimulai ketika si perungus menyadari bahwa keheningan yang tenang, dan fokus yang konstruktif, jauh lebih menarik perhatian yang positif dan bantuan nyata daripada seruan terus-menerus melalui keluhan.
Dalam sebuah perusahaan teknologi, tim pengembangan produk seringkali mengalami stagnasi. Masalah utamanya adalah seorang insinyur senior, sebut saja Bima, yang memiliki kecenderungan merungus ekstrem. Setiap kali ada ide baru, Bima akan mengeluh tentang kekurangan anggaran, kurangnya sumber daya, atau kebodohan manajemen. Keluhannya seringkali logis, tetapi disajikan dengan energi yang merusak moral tim.
Intervensi yang Dilakukan: Manajer proyek menerapkan aturan "3-A" (Acknowledge, Analyze, Act) pada setiap keluhan Bima. Setiap kali Bima mulai merungus, manajer akan menginterupsi dan berkata, "Bima, saya akui ini adalah masalah serius [Acknowledge]. Mari kita analisis akar masalahnya secara objektif [Analyze]. Sekarang, sebutkan tiga langkah kecil yang bisa kita ambil minggu ini untuk bergerak maju, terlepas dari masalah anggaran [Act]."
Hasil: Awalnya Bima resisten, karena ia dipaksa keluar dari zona nyamannya sebagai pengkritik pasif. Namun, karena manajer secara konsisten menolak untuk membiarkan keluhan berakhir pada ventilasi pasif, Bima mulai mengubah kebiasaannya. Ia belajar bahwa satu-satunya cara keluhannya didengarkan hingga akhir adalah jika ia menyertakan proposal solusi yang konkret. Sifat merungus Bima tidak hilang, tetapi diubah menjadi kritik teknis yang produktif, yang akhirnya meningkatkan kualitas perencanaan proyek.
Seorang individu, bernama Citra, menyadari bahwa ia sering merungus tentang pasangannya dan pekerjaannya, yang menyebabkan kecemasan kronis. Ia memutuskan untuk mencoba metode Jurnal Refleksi yang bertujuan mengubah keluhan menjadi data.
Metode Jurnal: Setiap malam, Citra mencatat lima keluhan yang ia ucapkan hari itu. Kemudian, untuk setiap keluhan, ia harus menjawab dua pertanyaan:
Hasil: Dalam beberapa minggu, Citra menemukan bahwa sekitar 80% dari keluhannya adalah tentang hal-hal yang tidak dapat ia kendalikan (misalnya, sifat pasangannya atau cuaca). Dengan memaksa dirinya untuk beralih dari merungus ke penerimaan ("Saya tidak bisa mengubah sifatnya, saya hanya bisa mengubah respons saya"), tingkat stresnya menurun drastis. Untuk 20% keluhan yang dapat dikendalikan, ia mulai mengambil tindakan kecil, misalnya, alih-alih mengeluh tentang rumah yang berantakan, ia menjadwalkan 15 menit bersih-bersih setiap hari. Jurnal itu memecah kebiasaan merungus dengan menuntut tanggung jawab dan klarifikasi.
Studi kasus ini menegaskan bahwa sifat merungus adalah kebiasaan yang rapuh. Ia hanya bertahan jika diberi ruang untuk menjadi pasif. Dengan memasukkan struktur, akuntabilitas, dan orientasi tindakan ke dalam respons terhadap keluhan, kebiasaan tersebut dapat diubah dari sumber racun menjadi katalisator pertumbuhan pribadi dan profesional.