Penarikan pajak merupakan inti dari kemandirian fiskal sebuah negara. Dalam konteks pembangunan nasional, pajak bukan sekadar instrumen pengumpul dana, melainkan cerminan kedaulatan ekonomi dan alat distribusi kekayaan yang paling efektif. Tanpa sistem penarikan pajak yang robust, efisien, dan adil, sebuah negara akan bergantung pada sumber pembiayaan yang tidak berkelanjutan, seperti utang luar negeri atau eksploitasi sumber daya alam yang terbatas. Oleh karena itu, upaya menarik pajak secara optimal adalah prasyarat mutlak untuk membiayai infrastruktur publik, layanan kesehatan, pendidikan, dan jaring pengaman sosial yang berkualitas.
Optimalisasi penarikan pajak memerlukan pendekatan multidimensi yang mencakup aspek hukum, administrasi, teknologi, dan psikologi wajib pajak. Kompleksitas ekonomi global, yang ditandai dengan mobilitas modal lintas batas yang tinggi, perkembangan ekonomi digital, dan praktik penghindaran pajak agresif, menuntut otoritas perpajakan untuk terus mereformasi diri, menyesuaikan regulasi, dan meningkatkan kapasitas pengawasan. Proses penarikan pajak tidak hanya berfokus pada volume penerimaan, tetapi juga pada keadilan vertikal dan horizontal, serta kemudahan bagi wajib pajak untuk memenuhi kewajiban mereka.
Penarikan pajak, atau sering disebut sebagai administrasi perpajakan, mencakup seluruh proses mulai dari penetapan kebijakan tarif dan basis pajak, pendaftaran wajib pajak, penerbitan Surat Pemberitahuan (SPT), proses pembayaran, hingga pelaksanaan audit, penagihan, dan penegakan hukum. Keberhasilan dalam menarik pajak diukur bukan hanya dari capaian target anggaran, tetapi juga dari tingkat kepatuhan sukarela (voluntary compliance) yang dicapai oleh masyarakat. Ketika kepatuhan sukarela tinggi, biaya administrasi penarikan pajak menjadi lebih rendah, dan fokus otoritas dapat dialihkan dari penindakan menuju pelayanan dan edukasi.
Pilar Utama Kemandirian Fiskal: Pajak berfungsi sebagai sumber penerimaan dominan yang membebaskan negara dari ketergantungan sumber eksternal. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sangat ditentukan oleh seberapa efektif pemerintah mampu menarik kembali sebagian dari hasil kegiatan ekonomi masyarakat untuk didistribusikan kembali dalam bentuk layanan publik.
Sebelum membahas strategi operasional penarikan pajak, penting untuk meninjau kembali prinsip-prinsip dasar yang harus menjiwai setiap sistem perpajakan. Prinsip-prinsip ini, yang sebagian besar berakar pada pemikiran Adam Smith (prinsip empat kanon), telah diperluas dan dimodernisasi untuk memenuhi tuntutan keadilan ekonomi kontemporer.
Keadilan adalah landasan etis perpajakan. Keadilan terbagi menjadi dua dimensi yang saling terkait erat: keadilan horizontal dan keadilan vertikal. Keadilan horizontal menggarisbawahi bahwa wajib pajak dengan kemampuan ekonomi yang setara harus dikenakan jumlah pajak yang sama. Keadilan vertikal, yang lebih kompleks, menyatakan bahwa mereka yang memiliki kemampuan ekonomi lebih besar (penghasilan atau kekayaan yang lebih tinggi) harus membayar persentase pajak yang lebih tinggi. Penerapan tarif progresif adalah wujud nyata dari upaya mencapai keadilan vertikal ini. Kegagalan dalam menerapkan prinsip keadilan akan menyebabkan distorsi, ketidakpuasan wajib pajak, dan pada akhirnya, meningkatkan insentif untuk penghindaran atau penggelapan pajak.
Kepastian dalam penarikan pajak sangat krusial bagi stabilitas ekonomi dan investasi. Wajib pajak harus mengetahui secara pasti kapan, bagaimana, dan berapa jumlah pajak yang harus mereka bayar. Regulasi yang ambigu, sering berubah, atau interpretasi yang berbeda-beda oleh otoritas dapat menciptakan ketidakpastian yang merugikan iklim investasi. Kepastian mencakup kepastian hukum (regulasi yang jelas), kepastian administrasi (prosedur yang baku dan terstandardisasi), dan kepastian waktu (tanggal jatuh tempo yang jelas).
Sistem penarikan pajak harus dirancang sedemikian rupa sehingga mudah bagi wajib pajak untuk mematuhinya (kemudahan) dan murah bagi pemerintah untuk mengadministrasikannya (efisiensi). Kemudahan pembayaran, pelaporan digital, dan akses informasi yang transparan adalah contoh dari prinsip kemudahan. Sementara itu, efisiensi administrasi menuntut pemanfaatan teknologi maksimal untuk mengurangi biaya operasional, meminimalkan birokrasi, dan mencegah praktik korupsi di internal otoritas pajak.
Dalam idealnya, sistem pajak harus netral, artinya pajak tidak boleh menjadi faktor utama yang mendistorsi keputusan ekonomi murni. Pilihan investasi, konsumsi, atau lokasi bisnis seharusnya didasarkan pada faktor pasar, bukan semata-mata karena insentif atau hukuman pajak. Meskipun pajak sering digunakan sebagai alat kebijakan (misalnya, insentif pajak untuk energi terbarukan), prinsip netralitas menjadi panduan agar intervensi fiskal tidak menciptakan pasar yang terdistorsi secara permanen.
Visualisasi peningkatan penerimaan pajak melalui reformasi sistem.
Strategi penarikan pajak secara umum terbagi menjadi dua pendekatan utama yang harus dijalankan secara simultan dan terpadu: intensifikasi dan ekstensifikasi. Kedua strategi ini memastikan bahwa penerimaan pajak dapat tumbuh baik secara vertikal (dari wajib pajak yang sudah terdaftar) maupun horizontal (dari basis wajib pajak baru).
Ekstensifikasi bertujuan untuk meningkatkan jumlah Wajib Pajak (WP) yang terdaftar dan memastikan semua potensi ekonomi telah tercakup dalam sistem perpajakan. Indonesia, seperti banyak negara berkembang, menghadapi tantangan besar karena besarnya sektor informal dan rendahnya rasio pendaftaran WP dibandingkan total populasi usia produktif. Strategi ekstensifikasi mencakup:
Otoritas pajak harus memanfaatkan data dari lembaga lain, seperti otoritas perizinan usaha, bank sentral, imigrasi, dan sistem kependudukan (NIK), untuk secara otomatis mengidentifikasi individu atau entitas yang telah memenuhi kriteria sebagai WP tetapi belum terdaftar. Integrasi NIK menjadi NPWP adalah langkah fundamental dalam mempermudah identifikasi dan pendaftaran, menutup celah bagi subjek pajak untuk bersembunyi di balik identitas yang berbeda-beda.
Sektor informal, meskipun memiliki potensi penerimaan yang besar, sulit dijangkau karena sifat transaksional dan ketiadaan pembukuan formal. Strategi yang efektif melibatkan pengenalan rezim pajak yang disederhanakan dan tarif final yang rendah, seperti Pajak Penghasilan (PPh) Final bagi UMKM tertentu. Pendekatan ini memprioritaskan kemudahan administrasi daripada kompleksitas perhitungan, mendorong UMKM untuk masuk ke dalam sistem formal.
Ekonomi digital global menciptakan tantangan penarikan pajak baru, terutama terkait kehadiran fisik (nexus) dan tempat terutangnya pajak. Ekstensifikasi di bidang ini memerlukan regulasi yang menargetkan penyedia layanan digital asing (seperti PPN atas produk digital) dan penerapan prinsip perpajakan berbasis lokasi konsumen, bukan hanya lokasi produsen. Ini sejalan dengan upaya global untuk mengatasi masalah Basis Erosi dan Penggeseran Laba (BEPS).
Intensifikasi fokus pada peningkatan penerimaan dari wajib pajak yang sudah terdaftar, memastikan kepatuhan yang akurat, dan menindak praktik penghindaran pajak. Strategi ini sangat bergantung pada teknologi dan penegakan hukum yang tegas.
Sumber daya audit terbatas. Intensifikasi menuntut bahwa audit dilakukan berdasarkan analisis risiko yang canggih (risk-based audit). Dengan menggunakan big data dan Kecerdasan Buatan (AI), otoritas pajak dapat mengidentifikasi wajib pajak yang memiliki probabilitas tinggi melakukan penyimpangan. Indikator risiko bisa mencakup rasio keuangan yang anomali, transaksi besar yang tidak wajar, atau perbedaan signifikan antara data internal dan data eksternal (pihak ketiga).
Kunci intensifikasi adalah integrasi data. UU Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan memungkinkan otoritas pajak mengakses data perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Selain itu, keikutsertaan dalam pertukaran informasi otomatis global (Automatic Exchange of Information - AEoI) dan implementasi standar Common Reporting Standard (CRS) memastikan bahwa aset dan pendapatan warga negara di luar negeri dapat terlacak, menutup celah bagi praktik tax haven.
Perusahaan multinasional sering menggunakan skema Transfer Pricing (harga transfer) untuk menggeser laba dari yurisdiksi dengan tarif pajak tinggi ke yurisdiksi rendah. Intensifikasi melibatkan peningkatan kapasitas analis pajak yang mengkhususkan diri dalam pemeriksaan transaksi afiliasi, memastikan bahwa transaksi antar pihak berelasi dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (Arm’s Length Principle - ALP).
Penarikan pajak tidak akan efektif tanpa reformasi administrasi yang berkelanjutan. Reformasi ini mencakup modernisasi struktur kelembagaan, digitalisasi total proses bisnis, dan peningkatan integritas aparatur.
Otoritas pajak modern harus memiliki spesialisasi fungsional. Reformasi harus mencakup peningkatan kapabilitas sumber daya manusia (SDM) melalui pelatihan intensif di bidang teknologi, akuntansi forensik, dan hukum perpajakan internasional. Integritas aparatur pajak adalah fundamental; sistem pengawasan internal dan sanksi yang tegas harus diterapkan untuk menghilangkan praktik korupsi yang merusak kepercayaan publik.
Untuk mengatasi skema penghindaran pajak yang kompleks dan dirancang secara legal, banyak negara mengadopsi aturan anti-penyalahgunaan umum (GAAR). GAAR memberikan otoritas pajak kewenangan untuk mengabaikan transaksi yang secara teknis legal, tetapi dilakukan semata-mata untuk tujuan menghindari pajak tanpa substansi ekonomi yang nyata. Penerapan GAAR memerlukan kehati-hatian agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, namun merupakan alat vital dalam menghadapi perencanaan pajak agresif.
Meskipun strategi telah dirancang, otoritas pajak dihadapkan pada sejumlah tantangan struktural dan perilaku yang menghambat pencapaian target penerimaan. Memahami hambatan ini adalah langkah awal untuk merumuskan solusi yang tepat sasaran.
Ini adalah tantangan global paling signifikan. Perusahaan multinasional (MNE) memanfaatkan perbedaan tarif pajak antar negara, perjanjian pajak ganda, dan celah hukum untuk meminimalkan beban pajak mereka. Praktik BEPS menyebabkan kerugian triliunan dolar bagi negara-negara di seluruh dunia. Respons terhadap tantangan ini diwujudkan melalui inisiatif OECD/G20 BEPS, yang bertujuan menciptakan sistem pajak internasional yang koheren, transparan, dan memastikan laba dikenakan pajak di tempat nilai ekonomi diciptakan.
Implementasi pilar-pilar BEPS, termasuk dokumentasi Transfer Pricing yang lebih ketat (Country-by-Country Reporting atau CbCR), dan penyesuaian terkait ekonomi digital (Pilar Satu dan Pilar Dua), menuntut adaptasi cepat dari regulasi domestik dan peningkatan keahlian teknis otoritas pajak untuk menganalisis laporan kompleks perusahaan global.
Regulasi pajak yang terlalu kompleks atau sering diubah dapat secara paradoksal mengurangi penerimaan. Wajib pajak, terutama UMKM, sering kesulitan memahami kewajiban mereka, yang mengakibatkan kesalahan pelaporan atau ketidakpatuhan. Beban administrasi (compliance burden) yang tinggi, termasuk waktu dan biaya yang dihabiskan untuk memenuhi kewajiban, dapat mendorong subjek pajak untuk mencari cara meminimalkan interaksi dengan sistem, bahkan jika itu berarti melanggar aturan.
Oleh karena itu, penyederhanaan sistem pajak, seperti unifikasi tarif, pengurangan jenis pajak, dan pemanfaatan sistem pemotongan otomatis (withholding tax), adalah solusi yang tidak hanya memudahkan wajib pajak tetapi juga meningkatkan efisiensi administrasi otoritas.
Kesenjangan kepatuhan adalah selisih antara pajak yang seharusnya terkumpul (potensi teoretis) dengan pajak yang benar-benar dibayarkan. Kesenjangan ini dapat disebabkan oleh tiga faktor utama:
Menarik pajak secara optimal membutuhkan strategi spesifik untuk menutup setiap kesenjangan ini. Misalnya, kesenjangan registrasi ditangani melalui ekstensifikasi data, sementara kesenjangan pelaporan ditangani melalui audit berbasis data dan penegakan hukum.
Keberhasilan penarikan pajak sangat bergantung pada kualitas aparatur pajak. Kurangnya SDM yang terlatih, terutama di bidang analisis data, forensik digital, dan hukum pajak internasional, menjadi hambatan serius. Lebih jauh lagi, masalah integritas dan korupsi di internal otoritas dapat merusak moral wajib pajak yang patuh dan menciptakan lingkungan ketidakpercayaan publik. Reformasi sistem penggajian dan pengawasan internal yang ketat harus menjadi prioritas utama untuk mengatasi hambatan ini.
Era digital telah mengubah fundamental cara otoritas pajak beroperasi. Teknologi bukan lagi sekadar alat pendukung, melainkan tulang punggung utama dari strategi penarikan pajak yang efisien dan modern. Digitalisasi membantu mengatasi hambatan geografis, mengurangi kontak fisik antara WP dan petugas, dan secara dramatis meningkatkan kemampuan pengawasan.
Modernisasi sistem informasi inti (Core Tax System) adalah investasi wajib bagi otoritas pajak. Sistem terintegrasi ini harus mampu mengelola seluruh siklus pajak dari pendaftaran, pelaporan, pembayaran, hingga penegakan hukum dalam satu platform tunggal. Integrasi ini menghilangkan redundansi data, memastikan konsistensi, dan memberikan pandangan 360 derajat terhadap profil kepatuhan setiap wajib pajak.
Fitur kunci dari Core Tax System mencakup pelaporan mandiri (self-assessment) yang mudah, otomatisasi validasi data, dan kemampuan untuk memproses volume transaksi yang masif secara real-time. Otomatisasi ini sangat penting untuk mengurangi peluang intervensi manusia yang dapat membuka celah korupsi.
Volume data yang dihasilkan dari transaksi keuangan, e-Faktur, dan pertukaran informasi global adalah aset yang luar biasa. Otoritas pajak harus beralih dari sekadar mengumpulkan data menjadi menganalisisnya secara prediktif.
Salah satu terobosan besar dalam mempromosikan kemudahan dan kepatuhan sukarela adalah sistem pre-filled tax returns. Dengan sistem ini, otoritas pajak menggunakan data yang sudah mereka miliki (bukti potong, bukti pungut, data bank) untuk mengisi sebagian besar formulir SPT wajib pajak secara otomatis. Wajib pajak hanya perlu meninjau, memverifikasi, dan menyetujui. Sistem ini mengurangi kesalahan, menghemat waktu WP, dan secara halus mendorong kejujuran karena WP tahu otoritas sudah memiliki gambaran penghasilan mereka.
Pemanfaatan teknologi untuk administrasi pajak yang aman dan terintegrasi.
Pada akhirnya, efektivitas penarikan pajak sangat dipengaruhi oleh kemauan wajib pajak untuk mematuhinya. Strategi penarikan pajak yang hanya berfokus pada penegakan hukum (sticks) tanpa insentif (carrots) dan membangun kepercayaan akan menemui resistensi yang besar. Kepatuhan sukarela adalah tujuan akhir dari setiap sistem pajak modern, dan ini berakar pada dimensi sosial dan psikologis.
Wajib pajak lebih cenderung patuh jika mereka yakin bahwa uang pajak mereka digunakan secara efektif, efisien, dan tanpa korupsi. Otoritas pajak harus bekerja sama dengan otoritas anggaran untuk memastikan transparansi penggunaan dana publik. Publikasi laporan berkala mengenai alokasi penerimaan pajak untuk sektor-sektor kunci (pendidikan, kesehatan, infrastruktur) dapat membangun narasi positif bahwa membayar pajak adalah investasi langsung pada masa depan negara, bukan sekadar kewajiban tanpa timbal balik yang jelas.
Membangun budaya kepatuhan adalah proses jangka panjang yang dimulai dari edukasi sejak dini. Program edukasi harus menyasar berbagai segmen masyarakat, mulai dari sekolah dasar (menanamkan kesadaran fiskal) hingga pelatihan khusus bagi profesional dan pelaku usaha. Edukasi harus menekankan peran pajak dalam kontrak sosial antara warga negara dan negara.
Selain edukasi, otoritas harus menyederhanakan komunikasi. Terminologi pajak sering kali rumit dan intimidatif. Penggunaan bahasa yang sederhana dan platform digital yang interaktif dapat mengubah persepsi wajib pajak dari musuh menjadi mitra pembangunan.
Birokrasi yang berbelit-belit dan pelayanan yang tidak responsif adalah penghambat utama kepatuhan. Otoritas pajak modern harus mengadopsi prinsip customer relationship management (CRM) untuk melayani wajib pajak. Pelayanan prima mencakup:
Peningkatan pelayanan tidak hanya meningkatkan kepuasan, tetapi juga mengurangi insentif wajib pajak untuk mencari jalan pintas atau menggunakan jasa perantara yang tidak perlu.
Meskipun fokus utama adalah kepatuhan sukarela, penegakan hukum yang kuat dan adil tetap diperlukan untuk menciptakan efek jera (deterrence). Ketegasan harus ditunjukkan terhadap pelaku penggelapan pajak berskala besar dan terorganisir. Jika masyarakat melihat bahwa hanya wajib pajak kecil yang ditindak, sementara korporasi besar yang melakukan skema penghindaran pajak lolos tanpa hukuman, kepercayaan pada sistem akan runtuh.
Penegakan hukum harus dilakukan dengan sangat transparan. Hasil penuntutan dan sanksi yang dikenakan harus diumumkan (tanpa melanggar kerahasiaan wajib pajak) untuk menunjukkan bahwa sistem bekerja, dan risiko ketidakpatuhan lebih besar daripada manfaatnya.
Strategi penarikan pajak tidak bersifat statis, melainkan terus berkembang seiring dengan dinamika ekonomi global. Otoritas pajak harus siap mengadopsi solusi-solusi internasional yang dirancang untuk mengatasi tantangan yurisdiksi ganda dan ekonomi tanpa batas.
Dalam konteks keadilan vertikal, diskusi mengenai Pajak Kekayaan menjadi semakin relevan, terutama di tengah peningkatan ketidaksetaraan global. Meskipun penerapannya rumit (terutama terkait valuasi aset), Pajak Kekayaan dapat menjadi instrumen penting untuk memperluas basis pajak melampaui pendapatan dan konsumsi, menargetkan akumulasi modal besar yang sering kali hanya dikenakan pajak minimal. Penerapannya memerlukan basis data properti dan aset keuangan yang sangat solid serta sistem penegakan yang ketat untuk mencegah pelarian modal.
Inisiatif BEPS 2.0 yang dikembangkan oleh OECD dan G20 memperkenalkan dua pilar utama untuk mereformasi pajak korporasi global:
Partisipasi dan implementasi kedua pilar ini menjadi krusial untuk melindungi basis pajak domestik dari erosi lebih lanjut dan memastikan bahwa perusahaan global membayar porsi pajak yang adil. Ini adalah salah satu strategi penarikan pajak terpenting di tingkat makro yang memerlukan perubahan undang-undang pajak secara mendasar.
Efisiensi penarikan pajak juga diukur dari seberapa cepat tunggakan pajak dapat ditagih dan seberapa adil serta cepat sengketa pajak diselesaikan. Reformasi harus mencakup:
Penguatan fungsi penagihan ini harus didukung oleh data terintegrasi yang akurat. Otoritas penagihan harus memiliki akses real-time ke aset-aset Wajib Pajak di berbagai institusi keuangan untuk memastikan tindakan penagihan dapat dilakukan segera setelah jatuh tempo dan sanksi penagihan diproses.
Strategi penarikan pajak tidak hanya tentang memungut, tetapi juga tentang memberikan insentif. Insentif pajak, seperti libur pajak (tax holiday), pengurangan tarif, atau diskon investasi, adalah alat penting untuk mendorong investasi di sektor prioritas atau daerah terpencil. Namun, insentif ini harus dikelola dengan hati-hati. Insentif yang terlalu luas atau tidak diukur efektivitasnya dapat mengikis basis pajak tanpa memberikan manfaat ekonomi yang signifikan. Insentif yang ideal bersifat temporer, terukur, dan terkait langsung dengan kinerja ekonomi tertentu (misalnya, penciptaan lapangan kerja atau investasi riset dan pengembangan).
Menarik pajak secara optimal adalah tugas kompleks yang membutuhkan komitmen politik yang kuat, reformasi kelembagaan yang berkelanjutan, dan adaptasi teknologi yang masif. Dalam jangka panjang, visi sistem perpajakan yang kuat adalah sistem yang berbasis pada kepatuhan sukarela yang tinggi, didukung oleh administrasi yang efisien, transparan, dan adil.
Pajak adalah wujud nyata dari partisipasi publik dalam pembangunan. Dengan menerapkan strategi intensifikasi melalui audit berbasis risiko dan ekstensifikasi melalui integrasi data, serta mengatasi tantangan global seperti BEPS, sebuah negara dapat memperkuat kemandirian fiskalnya. Keberhasilan dalam menarik pajak tidak hanya memastikan sumber daya yang cukup untuk pembangunan, tetapi juga mencerminkan tata kelola pemerintahan yang baik, di mana setiap warga negara dan entitas bisnis menyadari tanggung jawabnya dan merasakan manfaat dari kontribusi kolektif mereka.
Masa depan penarikan pajak akan semakin bergantung pada data dan digitalisasi. Otoritas pajak harus terus bergerak menuju sistem yang bersifat prediktif, proaktif, dan sepenuhnya terintegrasi, yang pada akhirnya akan meminimalkan kontak fisik, memangkas biaya kepatuhan, dan memastikan setiap potensi penerimaan dapat diamankan untuk kepentingan nasional.
Upaya masif ini merupakan investasi jangka panjang dalam kapasitas negara, yang menjanjikan hasil berupa stabilitas fiskal dan kemampuan untuk merespons tantangan ekonomi masa depan tanpa harus selalu bergantung pada utang. Transformasi sistem penarikan pajak adalah perjalanan tanpa akhir yang memerlukan evaluasi konstan dan penyesuaian terhadap lanskap ekonomi yang terus berubah.
Langkah-langkah strategis yang harus terus ditingkatkan meliputi investasi berkelanjutan dalam infrastruktur teknologi informasi, pengembangan sumber daya manusia yang menguasai akuntansi forensik dan hukum pajak internasional, serta penguatan mekanisme pengawasan internal untuk menjaga integritas. Hanya dengan sinergi antara regulasi yang adil, administrasi yang modern, dan kesadaran publik yang tinggi, target optimalisasi penerimaan pajak dapat dicapai secara berkelanjutan. Reformasi ini memastikan bahwa fondasi keuangan negara tetap kokoh dalam menghadapi berbagai gejolak ekonomi, baik di tingkat domestik maupun global.
Selain itu, aspek komunikasi strategis tidak boleh diabaikan. Narasi bahwa pajak adalah kontribusi wajib yang bernilai harus diperkuat. Setiap keberhasilan proyek infrastruktur, peningkatan kualitas layanan publik, atau bantuan sosial yang didanai oleh pajak harus dikomunikasikan secara efektif kepada publik. Siklus positif ini – dari membayar pajak, melihat hasilnya, hingga meningkatkan kepercayaan – adalah pendorong utama yang akan mendongkrak rasio pajak di masa mendatang.
Penarikan pajak yang efektif bukan hanya tanggung jawab otoritas fiskal, tetapi merupakan proyek nasional yang melibatkan kementerian/lembaga lain dalam menyediakan data, lembaga penegak hukum dalam memastikan sanksi ditegakkan, dan seluruh masyarakat dalam menjunjung tinggi kepatuhan. Dengan kolaborasi yang erat dan penerapan teknologi canggih, potensi pajak yang tersembunyi dapat diangkat ke permukaan, menjamin ketersediaan dana abadi bagi pembangunan bangsa.