Pengantar: Jejak Tradisi di Jantung Rimba
Merimbas adalah sebuah istilah yang melampaui sekadar aktivitas penebangan pohon. Ia merupakan sebuah kearifan lokal yang terjalin erat dengan siklus hidup masyarakat adat di Nusantara, khususnya yang bergantung pada ekosistem hutan hujan tropis. Dalam konteks budaya Dayak, Melayu, dan suku-suku pedalaman lainnya, merimbas adalah tahap awal yang sakral dalam sistem pertanian berkelanjutan, seringkali berwujud ladang berpindah yang diatur oleh hukum adat yang ketat. Aktivitas ini melibatkan proses seleksi, pembersihan lahan, dan persiapan untuk musim tanam, dilakukan dengan penuh perhitungan agar keseimbangan alam tetap terjaga. Ini adalah sebuah dialog kuno antara manusia dan hutan, sebuah praktik yang menuntut penghormatan tinggi terhadap entitas alam yang menjadi sumber kehidupan.
Filosofi yang mendasari merimbas sangat berbeda dengan konsep penebangan komersial modern. Merimbas dilakukan dengan skala terbatas, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan subsisten keluarga atau komunitas kecil. Keputusan untuk 'membuka' atau 'merimbas' sebidang tanah didasarkan pada pengetahuan ekologis mendalam, mencakup kesuburan tanah, topografi, hingga sejarah penggunaan lahan tersebut oleh generasi sebelumnya. Pengetahuan ini diwariskan secara lisan, membentuk sistem navigasi dan manajemen sumber daya yang kompleks dan sangat spesifik pada setiap mikro-ekosistem di kepulauan Indonesia yang luas. Seiring berjalannya waktu, menghadapi tekanan modernisasi dan perubahan iklim, esensi dan praktik merimbas terus diuji, menempatkannya di persimpangan antara konservasi dan perkembangan.
Kajian mendalam mengenai tradisi merimbas membuka wawasan mengenai bagaimana masyarakat tradisional mengelola konflik antara kebutuhan pangan dan kelestarian lingkungan. Mereka tidak melihat hutan sebagai sumber daya tak terbatas yang harus dieksploitasi, melainkan sebagai anggota keluarga yang harus dipelihara. Ritme merimbas yang selaras dengan musim, siklus tanam, dan fase bulan menunjukkan betapa kompleksnya sistem pengetahuan yang terintegrasi di dalamnya. Pemahaman ini penting, terutama ketika kita membahas isu-isu kontemporer seperti deforestasi dan perubahan fungsi lahan. Merimbas, dalam bentuk aslinya, sesungguhnya adalah antitesis dari perusakan lingkungan yang dilakukan secara masif dan tanpa pertimbangan ekologis.
Dalam konteks sosiologi pedesaan, merimbas juga mencerminkan struktur sosial yang egaliter dan kooperatif. Proses ini seringkali melibatkan kerja sama komunal yang disebut gugur gunung atau istilah sejenisnya di berbagai daerah. Pembagian tugas, pembagian hasil, dan penetapan batas lahan yang akan dibuka didiskusikan secara kolektif di bawah pengawasan tokoh adat. Dengan demikian, merimbas bukan hanya kegiatan fisik, tetapi juga kegiatan sosial yang memperkuat ikatan komunal. Tanpa kerjasama yang solid, pekerjaan berat membersihkan rimba mustahil dapat diselesaikan dengan efisien dan aman. Struktur ini memastikan bahwa sumber daya dibagi adil dan keputusan yang diambil mencerminkan kepentingan seluruh komunitas.
Gambar 1: Kapak Perimbas Tradisional, alat utama dalam kegiatan merimbas.
Filosofi dan Ontologi Hutan: Memilih, Bukan Menghancurkan
Inti dari merimbas terletak pada pemahaman ontologis masyarakat adat terhadap hutan. Hutan (atau rimba) bukan hanya materi; ia adalah tempat bersemayam roh leluhur, penjaga ekologi, dan penentu nasib manusia. Oleh karena itu, merimbas harus diawali dengan serangkaian ritual permisi dan permohonan. Ritual ini seringkali melibatkan persembahan kepada roh penunggu hutan (disebut penunggu rimba atau istilah lokal lainnya) agar proses pembukaan lahan berjalan lancar dan tidak mendatangkan musibah, baik bagi pekerja maupun tanaman yang akan ditanam.
Proses pemilihan lokasi, yang disebut sebagai nanda, adalah tahap yang paling kritis. Para perimbas tidak sembarangan memilih hutan primer yang memiliki kanopi tebal dan pohon-pohon raksasa. Mereka cenderung memilih hutan sekunder (belukar atau rimba muda) yang telah ditinggalkan beberapa siklus tanam sebelumnya. Pemilihan ini didasarkan pada prinsip regenerasi alam. Mereka tahu betul bahwa hutan primer adalah jantung ekosistem yang tidak boleh diganggu, sementara hutan sekunder telah memiliki kemampuan pulih yang lebih cepat. Penggunaan lahan ini memastikan bahwa hutan primer tetap utuh sebagai benteng keanekaragaman hayati.
Etika Penebangan dalam Merimbas
Merimbas memiliki etika penebangan yang sangat ketat. Berbeda dengan tebang habis (clear-cutting) modern, merimbas selalu menyisakan beberapa pohon penting. Pohon-pohon ini, yang disebut pohon induk atau pohon keramat, dibiarkan berdiri karena beberapa alasan: pertama, sebagai tempat bernaung roh atau dewa pelindung; kedua, sebagai penyedia benih alami untuk mempercepat proses suksesi ekologis ketika ladang ditinggalkan; dan ketiga, sebagai penanda batas alami ladang. Tindakan meninggalkan pohon-pohon besar ini menjadi indikator utama bahwa merimbas adalah praktik yang terintegrasi dengan konservasi, bukan eksploitasi murni.
Kearifan lokal mengajarkan bahwa sumber daya hutan harus digunakan secukupnya. Slogan 'ambil seperlunya, sisakan untuk anak cucu' bukan sekadar pepatah, melainkan panduan operasional harian. Ketika kayu ditebang, setiap bagiannya harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Ranting dan daun digunakan untuk pembakaran (teknik slash-and-burn terkontrol) yang berfungsi sebagai pupuk alami, sementara batang kayu yang besar digunakan untuk membangun rumah adat, lumbung, atau perahu. Tidak ada pemborosan yang diperbolehkan, karena pemborosan dianggap sebagai penghinaan terhadap semangat hutan.
Penggunaan api dalam merimbas juga memerlukan keahlian tinggi. Teknik membakar sisa-sisa tebangan harus dilakukan pada waktu yang tepat, biasanya saat kondisi kering optimal, namun harus dikontrol secara ketat agar api tidak menjalar ke hutan primer di sekitarnya. Pengendalian api adalah tanggung jawab komunal yang besar, melibatkan pembangunan parit pembatas api (sekat bakar) dan pengawasan konstan. Kegagalan mengontrol api dapat dihukum berat oleh hukum adat, mencerminkan risiko ekologis yang disadari sepenuhnya oleh masyarakat perimbas.
Teknik dan Alat Tradisional: Kapak Perimbas dan Ritme Kerja
Alat utama dalam merimbas adalah kapak perimbas atau sering disebut beliung. Beliung tradisional biasanya terbuat dari batu yang diasah atau, setelah masuknya teknologi metalurgi, dari besi yang ditempa secara lokal. Desain beliung sangat ergonomis, disesuaikan untuk pekerjaan berat seperti menebang pohon berdiameter sedang dan membersihkan semak belukar. Efisiensi alat ini, meskipun terlihat sederhana, bergantung sepenuhnya pada keahlian dan kekuatan fisik penggunanya.
Tahapan Praktis Merimbas
Merimbas adalah proses bertahap yang membutuhkan perencanaan berbulan-bulan, bahkan setahun sebelumnya. Tahap-tahap ini harus diikuti secara berurutan sesuai dengan kalender adat dan fase bulan:
- Nanda (Penandaan dan Pemilihan): Dilakukan pada musim kemarau kecil, para tetua mencari lokasi yang ideal, ditandai dengan kualitas tanah (biasanya dilihat dari jenis vegetasi tertentu) dan kemiringan yang tepat.
- Menebang Pohon Kecil (Merabas/Membersihkan Belukar): Ini adalah tahap pertama, fokus pada vegetasi bawah dan semak-semak. Menggunakan parang atau golok yang tajam. Pekerjaan ini umumnya ringan, memungkinkan partisipasi seluruh anggota keluarga.
- Merimbas Pohon Besar (Numbang): Tahap utama yang melibatkan penggunaan beliung. Pohon besar ditebang secara sistematis, diatur sedemikian rupa agar jatuhnya pohon (tumbang) membantu merobohkan pohon-pohon lain yang lebih kecil di sekitarnya. Ini memaksimalkan energi dan meminimalisir risiko. Arah jatuhan pohon diperhitungkan dengan sangat hati-hati untuk menghindari kerusakan pada batas hutan atau ladang tetangga.
- Mengeringkan (Jemur): Setelah penebangan selesai, seluruh material yang telah tumbang dibiarkan mengering di bawah sinar matahari selama beberapa minggu atau bulan, tergantung kelembaban musim.
- Membakar (Nugal/Membabak): Pembakaran dilakukan untuk menghilangkan material sisa dan menghasilkan abu kaya mineral yang berfungsi sebagai pupuk alami. Kunci sukses tahap ini adalah kontrol yang presisi.
- Menanam (Nanam): Setelah pembakaran, lahan siap untuk ditanami, biasanya padi ladang atau tanaman pangan lainnya, dilakukan segera setelah hujan pertama tiba.
Ritme kerja merimbas dipengaruhi oleh mitologi dan kepercayaan. Misalnya, di beberapa suku, penebangan besar hanya boleh dilakukan pada hari-hari tertentu dalam seminggu atau bulan yang dianggap baik. Pelanggaran terhadap ritme ini diyakini akan mendatangkan hama, kegagalan panen, atau penyakit. Sistem kepercayaan ini secara efektif menjadi mekanisme kontrol sosial yang memastikan bahwa proses merimbas dilakukan dengan hati-hati dan tidak terburu-buru.
Merimbas juga mencakup penggunaan pengetahuan mendalam tentang struktur kayu. Para perimbas harus tahu jenis kayu mana yang mudah tumbang, mana yang bergetah banyak, dan mana yang memiliki kekuatan struktural untuk dibangun. Pengetahuan tentang titik tumbang (engsel) pohon dan teknik membuat sayatan (notch) yang aman adalah keterampilan yang memakan waktu bertahun-tahun untuk dikuasai. Seorang perimbas sejati adalah insinyur alam yang mampu memanipulasi gaya gravitasi dan kekuatan alam dengan alat yang sangat primitif.
Gambar 2: Representasi visual hutan rimba, sumber kehidupan dan subjek merimbas.
Siklus Ekologis dan Ladang Berpindah
Merimbas adalah komponen vital dari sistem ladang berpindah (shifting cultivation) yang diterapkan di banyak wilayah tropis. Sistem ini, jika dilaksanakan sesuai hukum adat, adalah model agrikultur yang jauh lebih lestari daripada yang sering dituduhkan oleh kritik modern. Ladang berpindah bergantung pada siklus alami hutan untuk memulihkan kesuburan tanah. Lahan hanya digunakan selama satu atau dua musim tanam (fase intensif), setelah itu ditinggalkan (fase bera atau fallow) untuk pulih, memungkinkan vegetasi sekunder tumbuh kembali (disebut belukar muda).
Lama waktu bera adalah indikator kesehatan ekologis yang paling penting. Masyarakat perimbas tradisional memahami bahwa waktu bera yang ideal bisa mencapai 10 hingga 20 tahun. Jeda panjang ini memastikan bahwa unsur hara kembali terkumpul, struktur tanah diperbaiki oleh akar tanaman, dan patogen yang menumpuk selama masa tanam berkurang. Hanya setelah periode bera ini, lahan yang sama akan di-'rimbas' kembali. Jika tekanan populasi memaksa siklus dipercepat, maka tradisi merimbas yang lestari akan runtuh, berakibat pada degradasi tanah permanen.
Merimbas dalam Konteks Pertanian Pangan
Dalam konteks pangan, merimbas menyediakan lahan yang sangat subur dalam waktu singkat. Abu dari pembakaran (biochar) mengandung kalium dan fosfor yang tinggi, memberikan nutrisi yang cukup untuk panen padi pertama tanpa memerlukan pupuk kimia. Selain padi ladang (padi gogo), lahan rimba yang baru dibuka juga sering ditanami palawija dan tanaman tumpang sari lainnya, menciptakan sistem polikultur yang meniru keanekaragaman hutan itu sendiri.
Keberhasilan merimbas dalam sistem ladang berpindah juga bergantung pada pengamatan terhadap indikator alam. Misalnya, munculnya jenis jamur tertentu, perilaku hewan, atau bahkan arah angin tertentu dapat menjadi sinyal bagi perimbas mengenai kapan waktu terbaik untuk menanam atau membakar. Pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan ekologis yang sangat canggih, seringkali lebih akurat daripada prediksi cuaca modern di wilayah-wilayah yang terisolasi. Mereka adalah ahli meteorologi, ahli tanah, dan ahli botani sekaligus.
Tantangan terbesar bagi ladang berpindah dan merimbas saat ini adalah keterbatasan lahan. Ketika populasi meningkat atau ketika hutan dikonversi menjadi perkebunan monokultur (sawit atau akasia) berskala besar, lahan bera yang tersedia untuk masyarakat adat menyempit. Akibatnya, mereka terpaksa mempercepat siklus merimbas. Ketika siklus menjadi terlalu cepat (misalnya, hanya 3-5 tahun bera), tanah kehilangan kemampuannya untuk pulih, yang pada akhirnya memaksa masyarakat tersebut untuk meninggalkan tradisi mereka atau menghadapi kemiskinan dan kelaparan.
Dimensi Sosial, Spiritual, dan Hukum Adat
Merimbas tidak dapat dipisahkan dari struktur hukum adat (adat) yang mengikat komunitas. Hukum adat berfungsi sebagai payung regulasi yang mengontrol siapa yang boleh merimbas, kapan, dan berapa luas. Pelanggaran terhadap aturan merimbas dapat berujung pada sanksi sosial yang berat, termasuk denda berupa hewan ternak, atau bahkan pengucilan dari komunitas. Kontrol adat inilah yang menjaga agar praktik merimbas tetap berada dalam batas-batas yang lestari secara ekologis.
Kepemilikan Komunal (Ulayat)
Konsep tanah ulayat atau kepemilikan komunal adalah fundamental dalam tradisi merimbas. Hutan dan lahan rimba dianggap milik bersama, di bawah otoritas kepala adat atau dewan tetua. Meskipun individu atau keluarga memiliki hak untuk mengolah sebidang lahan setelah merimbas, kepemilikan definitif atas tanah tersebut seringkali kembali kepada komunal setelah periode bera. Hal ini mencegah privatisasi lahan hutan secara permanen dan memastikan bahwa sumber daya alam tetap dapat diakses oleh semua anggota komunitas, serta generasi mendatang.
Keputusan untuk merimbas lahan baru seringkali diputuskan dalam musyawarah adat. Proses ini memastikan transparansi dan keadilan dalam pembagian sumber daya. Konflik batas, meskipun jarang terjadi dalam masyarakat yang padat, diselesaikan melalui mediasi oleh tetua adat yang memiliki pengetahuan detail tentang sejarah penggunaan lahan. Pengetahuan historis ini, yang sering kali ditandai dengan monumen alam seperti batu besar, pohon tertentu, atau jalur sungai, menjadi bukti kepemilikan non-formal yang diakui oleh komunitas.
Ritual dan Perlindungan Spiritual
Aspek spiritual merimbas sering diwujudkan dalam ritual-ritual spesifik. Sebelum kapak pertama mengenai batang pohon, biasanya diadakan upacara pemanggilan roh atau selamatan rimba. Tujuannya adalah meminta izin agar tanah yang dibuka memberikan hasil yang melimpah dan melindungi para pekerja dari bahaya yang tersembunyi di dalam hutan. Perlindungan spiritual ini dianggap sama pentingnya dengan keahlian fisik dalam menebang. Di beberapa daerah, mantra atau doa khusus harus diucapkan setiap kali pohon besar tumbang, sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada 'jiwa' pohon tersebut.
Kepercayaan ini juga mencerminkan sistem peringatan dini ekologis. Jika dalam proses merimbas terjadi hal-hal aneh, seperti penemuan sarang burung yang langka atau pertemuan dengan hewan yang dianggap suci, proses merimbas dapat dihentikan atau dialihkan ke lokasi lain. Hal ini menunjukkan kesediaan masyarakat adat untuk menyesuaikan rencana mereka demi menghormati kehidupan liar dan menjaga keanekaragaman hayati, sebuah tindakan fleksibel yang jarang ditemukan dalam perencanaan pertanian modern yang kaku.
Gambar 3: Skema siklus lestari dalam konteks ladang berpindah yang melibatkan merimbas.
Tantangan Kontemporer: Hilangnya Konteks dan Regulasi
Saat ini, tradisi merimbas menghadapi tekanan yang luar biasa dari berbagai sisi, mengancam kelangsungan praktik yang telah bertahan selama ratusan tahun. Tekanan utama datang dari dua arah: regulasi negara yang seringkali mengabaikan hak-hak adat, dan ekspansi industri yang merampas lahan ulayat.
Konflik Hukum dan Kriminalisasi
Di mata hukum modern, merimbas—terutama yang melibatkan pembakaran terkontrol—sering diklasifikasikan sebagai tindakan ilegal yang berkontribusi terhadap deforestasi dan kabut asap. Masyarakat adat seringkali dikriminalisasi karena menerapkan teknik yang merupakan bagian dari identitas budaya dan sistem pangan mereka. Undang-undang kehutanan dan lingkungan yang bersifat seragam di tingkat nasional sering gagal membedakan antara pembukaan lahan oleh korporasi besar (yang merusak) dan merimbas tradisional untuk subsisten (yang lestari).
Masalahnya terletak pada hilangnya konteks. Bagi pemerintah, hutan adalah aset negara yang harus diatur dengan ketat. Bagi masyarakat adat, hutan adalah rumah dan lumbung. Konflik interpretasi ini menyebabkan banyak perimbas, yang sejatinya adalah penjaga hutan, dituduh sebagai perusak lingkungan. Diperlukan pengakuan hukum yang lebih kuat terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat dan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan, sebagaimana ditegaskan oleh beberapa putusan Mahkamah Konstitusi terkait Hutan Adat.
Deforestasi dan Invasi Monokultur
Ekspansi perkebunan monokultur, terutama kelapa sawit dan industri pulp & kertas, telah menjadi ancaman eksistensial bagi praktik merimbas. Ketika hutan primer dan sekunder dibuka secara masif untuk perkebunan, lahan bera yang menjadi prasyarat merimbas yang lestari menghilang. Masyarakat adat didorong ke area yang semakin terpinggirkan atau dipaksa untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan yang dulunya adalah tanah mereka sendiri.
Perbedaan skala adalah kuncinya. Merimbas tradisional hanya membuka lahan seluas 1-2 hektar per keluarga dalam siklus panjang; penebangan industri dapat menghabiskan ribuan hektar dalam hitungan bulan. Meskipun demikian, seringkali kerusakan lingkungan yang parah akibat industri ini luput dari pengawasan, sementara kegiatan merimbas yang skalanya jauh lebih kecil menjadi fokus penindakan hukum.
Masa Depan Merimbas: Revitalisasi dan Adaptasi Ekologis
Untuk memastikan bahwa kearifan merimbas tidak hilang, diperlukan upaya revitalisasi yang menempatkan tradisi ini dalam konteks modern tanpa menghilangkan esensi kelestariannya. Revitalisasi ini melibatkan dokumentasi, pengakuan hukum, dan integrasi pengetahuan tradisional dengan ilmu pengetahuan modern.
Dokumentasi dan Transmisi Pengetahuan
Pengetahuan tentang merimbas, mulai dari teknik menebang, pemilihan lokasi, hingga ritual, sebagian besar bersifat lisan dan rentan hilang seiring dengan meninggalnya para tetua adat. Program dokumentasi yang komprehensif, melibatkan antropolog, ahli botani, dan anggota komunitas muda, sangat penting. Dokumentasi ini harus mencakup pemetaan spasial wilayah ulayat, identifikasi jenis-jenis pohon yang ditinggalkan sebagai pohon induk, dan pencatatan kalender adat yang mengatur waktu merimbas.
Transmisi pengetahuan juga harus diperkuat. Generasi muda seringkali lebih tertarik pada pekerjaan perkotaan atau industri, meninggalkan keahlian merimbas yang dianggap kuno. Sekolah adat atau program magang yang difokuskan pada kearifan ekologis dapat menjembatani kesenjangan generasi ini, memastikan bahwa keterampilan yang sangat spesifik seperti mengendalikan api dan membaca tanda-tanda tanah tidak punah.
Adaptasi terhadap Perubahan Iklim
Perubahan iklim telah membuat pola musim menjadi tidak terduga, mempersulit penentuan waktu ideal untuk merimbas dan membakar. Kekeringan ekstrem meningkatkan risiko kebakaran hutan yang tidak terkontrol, sementara musim hujan yang tidak menentu dapat merusak panen. Masyarakat perimbas kini harus beradaptasi, mungkin dengan mengurangi penggunaan api atau mengadopsi teknik tanpa bakar (zero burning) yang dikembangkan dari pengetahuan lokal mereka sendiri, namun tetap mempertahankan prinsip rotasi lahan.
Integrasi teknologi sederhana, seperti sensor kelembaban tanah atau aplikasi prakiraan cuaca lokal yang dimodifikasi berdasarkan indikator adat, dapat membantu para perimbas membuat keputusan yang lebih tepat di tengah ketidakpastian iklim. Adaptasi ini bukanlah penolakan terhadap tradisi, melainkan evolusi yang diperlukan untuk menjaga kesinambungan hidup di tengah tantangan global.
Pengakuan merimbas sebagai sistem pengelolaan lahan yang sah dan lestari juga memerlukan dukungan dari pihak luar. Organisasi non-pemerintah dan peneliti harus bekerja sama dengan masyarakat adat untuk mengadvokasi kebijakan yang membedakan praktik subsisten dari eksploitasi industri, serta mendorong kebijakan yang memberikan insentif bagi komunitas yang berhasil menjaga hutan primer mereka di sekitar area merimbas. Model insentif ini bisa berupa program pembayaran jasa lingkungan yang diadministrasikan secara lokal oleh dewan adat.
Tradisi merimbas adalah warisan tak ternilai yang mengajarkan kita tentang kerendahan hati di hadapan alam. Ia menunjukkan bahwa manusia dapat mengambil kebutuhan dari hutan tanpa menghancurkannya, asalkan praktik tersebut diatur oleh kearifan, ritual, dan penghormatan mendalam. Melindungi dan merevitalisasi merimbas berarti melindungi tidak hanya hutan itu sendiri, tetapi juga identitas budaya yang terjalin erat di dalamnya.
Meskipun tantangan yang dihadapi sangat besar, masih ada harapan melalui gerakan pengakuan hak-hak masyarakat adat. Ketika hak ulayat diakui secara definitif, maka kontrol atas kapan dan bagaimana merimbas dilakukan akan kembali ke tangan para penjaga tradisional hutan. Hal ini adalah kunci untuk memastikan bahwa praktik merimbas kembali ke esensinya: sebuah dialog ekologis yang hati-hati, yang memungkinkan kehidupan hutan dan kehidupan manusia untuk berkembang secara harmonis, jauh dari bayang-bayang eksploitasi yang merusak. Kesinambungan merimbas adalah cerminan dari kesinambungan peradaban yang menghargai alam di atas segalanya.
Merimbas dalam Perspektif Sejarah Jauh: Prasejarah dan Migrasi
Aktivitas merimbas bukanlah fenomena baru yang muncul seiring dengan perkembangan pertanian padi. Jejak-jejak arkeologis menunjukkan bahwa praktik pembukaan lahan hutan telah dilakukan sejak era Neolitikum, ketika populasi Austronesia bermigrasi ke kepulauan Nusantara. Perpindahan dari gaya hidup berburu-meramu ke pertanian menetap atau semi-menetap memerlukan adaptasi teknik pembukaan lahan yang efisien. Merimbas, dalam bentuk awalnya menggunakan kapak batu yang diasah (beliung), menjadi teknologi revolusioner yang memungkinkan transisi ini.
Kapak batu persegi yang ditemukan di berbagai situs di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan menjadi bukti fisik dari penggunaan alat perimbas prasejarah. Alat-alat ini dirancang khusus untuk memotong kayu, menunjukkan bahwa nenek moyang kita telah mengembangkan teknik penebangan yang sistematis jauh sebelum ditemukannya metalurgi. Penelitian paleobotani yang menganalisis serbuk sari purba di lapisan tanah gambut dan sedimen danau sering menunjukkan lonjakan jumlah arang (charcoal) yang signifikan, yang diinterpretasikan sebagai bukti adanya pembakaran lahan secara periodik, sesuai dengan siklus ladang berpindah yang melibatkan merimbas.
Hubungan antara merimbas dan migrasi penduduk juga sangat kuat. Kelompok-kelompok migran yang mencari lahan baru di pedalaman harus memiliki keahlian merimbas yang mumpuni untuk bertahan hidup. Keterampilan ini tidak hanya mencakup penebangan, tetapi juga kemampuan untuk membedakan tanah yang subur dari tanah yang miskin nutrisi, sebuah kemampuan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Proses merimbas secara efektif menjadi mekanisme penjelajahan dan penaklukan ekologis yang lembut, memungkinkan penyebaran populasi di wilayah-wilayah yang sebelumnya didominasi oleh hutan lebat.
Peran Merimbas dalam Kebudayaan Maritim dan Pedalaman
Meskipun sering dikaitkan dengan pertanian pedalaman, merimbas juga memiliki kaitan erat dengan kebudayaan maritim. Kayu yang dihasilkan dari merimbas tidak hanya digunakan untuk lumbung, tetapi juga untuk membangun perahu dan kapal. Di beberapa komunitas pesisir di Kalimantan dan Sumatera, merimbas pohon-pohon tertentu di hutan dataran rendah merupakan tahap awal dalam pembuatan kapal tradisional (misalnya, perahu pinisi atau perahu kajang). Kayu yang dipilih harus memiliki kualitas spesifik: tahan air, ringan, dan kuat.
Dalam konteks maritim, aspek spiritual merimbas bahkan lebih kental. Pohon yang akan ditebang untuk dijadikan lambung kapal seringkali dianggap memiliki roh pelindung yang akan menjaga keselamatan pelayaran. Sebelum penebangan, ritual khusus dilakukan, melibatkan pemanggilan roh air dan roh darat. Kegagalan melakukan ritual ini diyakini akan mengakibatkan kapal tenggelam atau membawa nasib buruk bagi pelaut. Dengan demikian, tradisi merimbas memperluas cakupannya, menghubungkan rimba yang tersembunyi dengan samudera yang terbuka.
Terminologi dan Variasi Regional
Istilah "merimbas" sendiri memiliki variasi yang kaya di berbagai suku bangsa, mencerminkan kekhasan teknik dan ritual setempat. Di beberapa wilayah Dayak, proses ini mungkin disebut ngahuma (mencakup seluruh siklus ladang), sementara penebangan kerasnya disebut numbang. Di Minangkabau, pembukaan lahan sering disebut manaruko. Meskipun terminologinya berbeda, prinsip intinya tetap sama: pembukaan lahan yang terukur, diikuti oleh penggunaan api terkontrol, dan penanaman padi, semuanya diatur oleh kalender adat.
Di Jawa, di mana pertanian sawah telah mendominasi, tradisi merimbas hutan primer hampir hilang, digantikan oleh pembukaan lahan untuk perkebunan di masa kolonial. Namun, jejak-jejak merimbas kuno masih dapat ditemukan dalam mitologi dan cerita rakyat tentang pembukaan desa-desa pertama (babat alas), di mana para pendiri desa harus meminta izin dan berinteraksi secara spiritual dengan roh penunggu hutan sebelum kapak pertama digunakan. Kisah-kisah ini menegaskan bahwa merimbas selalu menuntut interaksi yang penuh hormat, bukan invasi.
Ancaman Modernisasi dan Krisis Identitas
Tekanan modernisasi tidak hanya bersifat fisik (kehilangan lahan), tetapi juga psikologis dan sosial. Generasi muda yang terekspos pada pendidikan formal seringkali diajarkan bahwa ladang berpindah dan merimbas adalah praktik primitif dan merusak, bertentangan dengan konsep pertanian menetap yang dianggap 'beradab'. Hal ini menimbulkan krisis identitas di kalangan masyarakat adat, di mana tradisi yang diwarisi leluhur mereka kini dianggap sebagai penghambat kemajuan ekonomi.
Krisis ini diperparah dengan masuknya komoditas dan gaya hidup modern. Ketergantungan pada uang tunai untuk membeli barang-barang konsumsi membuat masyarakat adat terdorong untuk mencari pekerjaan di luar siklus pertanian subsisten. Mereka mungkin menjual hak tebang kayu di lahan bera mereka, atau mengkonversi lahan merimbas menjadi perkebunan komersial berskala kecil. Perubahan ini mengganggu siklus panjang bera, memicu degradasi tanah, dan akhirnya, merusak struktur sosial yang bergantung pada kerja sama komunal yang diwujudkan melalui merimbas.
Merimbas membutuhkan waktu, ketekunan, dan kerja sama. Gaya hidup modern menuntut hasil instan dan individualisme. Perbedaan filosofi ini adalah celah besar yang harus diatasi. Jika nilai-nilai luhur di balik merimbas—seperti kesabaran, keadilan pembagian hasil, dan penghormatan terhadap alam—dapat diintegrasikan kembali ke dalam sistem pendidikan lokal, maka tradisi ini memiliki peluang untuk bertahan dan dihormati sebagai ilmu ekologi yang valid.
Perlindungan Keragaman Hayati melalui Merimbas
Secara ekologis, merimbas dalam batas-batas adat justru dapat meningkatkan keanekaragaman hayati lansekap. Sistem ladang berpindah menciptakan mosaik habitat: hutan primer yang dilindungi, ladang yang baru dibuka, dan hutan sekunder (belukar) dalam berbagai tahap suksesi. Mosaik ini menyediakan ceruk ekologis yang beragam bagi spesies tumbuhan dan hewan, jauh lebih baik daripada monokultur yang seragam.
Ketika merimbas dilakukan secara lestari, ia tidak hanya mempertahankan keragaman genetik tanaman pangan lokal (padi adat), tetapi juga menjaga jalur migrasi fauna. Pohon-pohon induk yang ditinggalkan berfungsi sebagai jembatan ekologis, memastikan bahwa hutan sekunder dapat pulih dengan cepat dan memiliki keanekaragaman spesies pohon yang tinggi, mempersiapkan lahan tersebut untuk siklus bera berikutnya.
Keterkaitan Merimbas dengan Mitigasi Bencana
Merimbas tradisional juga memainkan peran dalam mitigasi bencana alam, khususnya banjir dan tanah longsor. Metode penebangan yang selektif dan skala kecil memastikan bahwa lapisan atas tanah (topsoil) tidak hilang secara keseluruhan. Akar-akar dari pohon induk dan vegetasi yang baru tumbuh segera menahan tanah, mencegah erosi besar-besaran, terutama di wilayah perbukitan.
Sebaliknya, praktik penebangan komersial yang melibatkan alat berat dan tebang habis merusak struktur tanah, membuat tanah menjadi padat dan rentan terhadap longsor ketika hujan deras tiba. Perbedaan ini menunjukkan bahwa merimbas tradisional, meskipun tampak 'primitif', sesungguhnya adalah teknik rekayasa sipil ekologis yang sangat canggih dan sesuai dengan topografi kepulauan tropis yang rentan terhadap bencana hidrometeorologi.
Pemanfaatan abu hasil pembakaran yang terkontrol juga membantu memperbaiki permeabilitas tanah dan mengurangi keasaman, meningkatkan daya serap air di lahan yang dibuka. Ini adalah fitur penting yang kontras dengan lahan yang ditinggalkan setelah eksploitasi industri, yang seringkali menjadi gersang dan tidak mampu menyerap air hujan, menyebabkan limpasan permukaan (runoff) yang memicu banjir di dataran rendah.
Keseluruhan praktik merimbas, mulai dari ritual, pemilihan alat, hingga penetapan waktu bera, adalah sebuah manifestasi dari pemahaman yang mendalam mengenai keterbatasan alam. Masyarakat perimbas memahami bahwa hutan adalah entitas yang hidup dan bernapas, yang hanya akan memberi hasil jika diperlakukan dengan penuh perhitungan. Keahlian ini, yang diturunkan melalui praktik nyata, adalah harta karun ekologis yang harus dipertahankan. Merimbas adalah cara hidup, bukan sekadar teknik bertani. Ia adalah pilar bagi keberlanjutan hidup di tengah hutan tropis.
Tingginya kadar kerumitan dalam proses pengambilan keputusan saat merimbas menunjukkan bahwa ini adalah ilmu yang matang. Keputusan kapan waktu yang tepat untuk menebang, yang mana yang harus ditinggalkan, dan bagaimana cara memadamkan api, semuanya merupakan variabel yang harus dikalkulasi dengan presisi tanpa bantuan teknologi canggih. Keakuratan para perimbas dalam membaca tanda-tanda alam seringkali menjadi penentu antara panen yang sukses dan kelaparan komunal. Ini adalah sains yang berbasis observasi, sebuah epik ekologis yang terus ditulis di lembaran-lembaran hijau Nusantara.
Oleh karena itu, setiap diskusi mengenai pengelolaan hutan di Indonesia harus kembali kepada akar tradisi ini. Merimbas, ketika dipraktikkan sesuai adat, bukan masalah; ia adalah solusi. Ia menawarkan model di mana kebutuhan manusia dipenuhi tanpa mengorbankan kapasitas pemulihan alam. Ketika kita mendengar kata "merimbas", kita seharusnya tidak membayangkan kehancuran, melainkan awal dari siklus kehidupan baru yang penuh harapan dan keseimbangan. Menyelamatkan tradisi merimbas adalah investasi jangka panjang untuk masa depan ekologi dan budaya bangsa.
Upaya konservasi modern seringkali berfokus pada pendekatan berbasis larangan (fences and fines), yang seringkali justru mengalienasi masyarakat adat dari hutan mereka. Pendekatan yang lebih efektif harus berbasis pada pengakuan dan pemberdayaan, menjadikan masyarakat perimbas sebagai mitra utama dalam konservasi. Pengalaman mereka dalam mengelola mosaik hutan sekunder dan mempertahankan hutan primer adalah modal sosial dan ekologis yang tak tertandingi. Merimbas, sebagai praktik yang diatur oleh hukum adat, harus diakui sebagai bentuk konservasi berbasis budaya yang paling efektif di wilayah tropis yang rentan.
Tujuan akhir dari revitalisasi merimbas adalah untuk mencapai titik di mana keseimbangan yang diajarkan oleh leluhur dapat diterapkan kembali di tengah tekanan modern. Ini berarti memastikan bahwa hutan memiliki waktu yang cukup untuk beristirahat (fase bera yang panjang), memastikan bahwa pembakaran dilakukan dengan ilmu pengetahuan dan ritual yang memadai, dan memastikan bahwa setiap keputusan penebangan didasarkan pada kebutuhan subsisten, bukan pada keuntungan komersial. Ketika prinsip-prinsip ini ditegakkan, merimbas akan tetap menjadi ikon keberlanjutan di Nusantara, sebuah kisah tentang ketahanan manusia yang hidup berdampingan dengan keagungan rimba raya.
Kekuatan tradisi merimbas juga terletak pada sistem penyebarannya yang egaliter. Setiap keluarga memiliki hak yang sama untuk merimbas, dan tidak ada satu pun individu yang boleh memonopoli sumber daya hutan. Mekanisme ini memastikan bahwa kelaparan komunal jarang terjadi, karena sumber pangan didistribusikan secara merata melalui akses ke lahan yang baru dibuka. Hal ini kontras dengan sistem pertanian modern yang seringkali menciptakan kesenjangan ekonomi yang tajam antara pemilik lahan dan buruh tani.
Analisis mendalam terhadap struktur tanah di bekas lahan merimbas yang telah melewati fase bera menunjukkan peningkatan kualitas tanah yang signifikan dibandingkan dengan lahan yang ditinggalkan setelah pertanian monokultur. Hal ini membuktikan efektivitas sistem slash-and-burn terkontrol yang secara alami menambahkan karbon dan mineral ke dalam tanah, sebuah proses yang kini ditiru oleh ilmuwan melalui teknologi biochar modern. Masyarakat adat telah menggunakan 'biochar' ini selama ribuan tahun, jauh sebelum ilmuwan Barat menyadari potensinya.
Ketika hutan sekunder kembali tumbuh, flora dan fauna lokal segera kembali menempati area tersebut. Merimbas, dengan demikian, berfungsi sebagai pemicu (trigger) dalam proses regenerasi hutan, memastikan bahwa ekosistem tidak mengalami stagnasi. Sebaliknya, penebangan habis dan konversi lahan yang masif menciptakan 'padang rumput' yang miskin keanekaragaman dan membutuhkan waktu pemulihan yang jauh lebih lama, bahkan puluhan hingga ratusan tahun. Kecepatan pemulihan adalah metrik utama yang membedakan merimbas lestari dari deforestasi destruktif.
Bagi para ahli bahasa, istilah 'merimbas' juga menarik karena akar katanya merujuk pada 'rimba', yang menyiratkan hutan yang belum terjamah atau hutan yang masih tebal. Penggunaan istilah ini menyiratkan bahwa aktivitas tersebut secara inheren melibatkan negosiasi dengan bagian hutan yang paling liar dan berharga. Proses ini menuntut kehati-hatian maksimal, pengakuan akan kekuatan alam yang tidak terbatas, dan kesadaran bahwa mengambil dari rimba adalah sebuah hak istimewa, bukan hak yang mutlak.
Dalam banyak narasi adat, merimbas selalu dikaitkan dengan perjuangan heroik melawan kerasnya alam, tetapi perjuangan ini diimbangi dengan doa dan janji untuk menjaga sisanya. Cerita-cerita tentang pahlawan pembuka hutan (seperti Patih Gajah Mada dalam konteks Jawa, atau tokoh-tokoh Dayak yang membuka lebu atau desa) selalu mencakup momen spiritual di mana mereka harus berdamai dengan roh penunggu sebelum penebangan dimulai. Momen-momen ini adalah pengingat bahwa kekerasan terhadap alam akan dibalas setimpal, sebuah etika yang kini mulai kita pahami kembali di tengah krisis iklim global.
Pengakuan terhadap merimbas sebagai sistem agraria yang cerdas juga memerlukan perubahan paradigma di tingkat kebijakan publik. Alih-alih melihat masyarakat adat sebagai penghalang pembangunan, mereka harus dilihat sebagai penjaga pengetahuan yang dapat memberikan solusi adaptif terhadap tantangan pangan dan iklim. Memberikan otoritas penuh kepada komunitas adat untuk mengelola siklus merimbas mereka sendiri, di bawah pengawasan adat yang ketat, adalah langkah paling efektif menuju tata kelola hutan yang inklusif dan lestari.
Sejauh ini, tekanan pasar dan kebutuhan komoditas telah mendistorsi esensi merimbas. Ketika hasil panen ladang berpindah tidak lagi hanya untuk keluarga tetapi juga untuk dijual ke pasar luar, skala merimbas seringkali meningkat melampaui batas kemampuan pemulihan tanah. Oleh karena itu, menjaga integritas ekonomi subsisten adalah kunci untuk menjaga integritas ekologis tradisi merimbas itu sendiri. Merimbas yang otentik adalah merimbas yang tidak dikendalikan oleh fluktuasi harga komoditas global, melainkan oleh kebutuhan perut dan hukum adat setempat.
Tradisi merimbas adalah cermin yang memantulkan hubungan rumit dan abadi antara manusia Nusantara dan hutan hujan tropis. Ia adalah warisan yang harus dijaga tidak hanya karena nilai historisnya, tetapi karena relevansinya yang tak lekang oleh waktu dalam mengajarkan kita bagaimana hidup seimbang di planet yang semakin panas dan sumber daya yang semakin terbatas. Merimbas adalah pelajaran hidup yang terukir di setiap batang pohon yang tumbang dan di setiap bulir padi yang tumbuh dari abu.
Kita perlu memahami bahwa merimbas, dengan segala kompleksitas ritual, teknik, dan hukumnya, adalah sebuah teknologi ekologis yang teruji oleh waktu. Dibandingkan dengan sistem pertanian modern yang seringkali bersifat merusak dan memerlukan input kimiawi yang besar, merimbas menawarkan jalur menuju kedaulatan pangan berbasis ekologi yang tahan lama. Di sinilah letak harapan bagi masa depan hutan dan masyarakat adat Indonesia: di dalam pelestarian dan penghormatan terhadap kebijaksanaan kuno merimbas.
Pada akhirnya, merimbas adalah kisah tentang ketahanan. Ketahanan hutan untuk pulih, ketahanan tanah untuk memberi, dan ketahanan masyarakat untuk hidup selaras dengan irama alam. Ini adalah sebuah pengingat bahwa pembangunan yang berkelanjutan harus dibangun di atas fondasi kearifan lokal, bukan di atas penolakan terhadapnya. Mendengarkan suara kapak perimbas yang sesekali terdengar dari pedalaman hutan bukan lagi suara ancaman, melainkan melodi pelestarian budaya dan ekologi Nusantara yang tak terpisahkan.