Merampus: Telaah Mendalam Nafsu Akuisisi dan Kekuatan Paksa

Gema Kekuatan yang Mencekam: Mendefinisikan Merampus

Dalam khazanah bahasa, terdapat kata-kata yang membawa bobot sejarah, etika, dan kekuatan destruktif yang mendalam. Salah satunya adalah merampus. Kata ini, meskipun mungkin terasa kuno bagi telinga modern, merangkum sebuah konsep universal yang terus berulang dalam sejarah manusia: tindakan merebut, menyita, atau mengakuisisi sesuatu secara paksa, seringkali dengan kekerasan dan tanpa memperhatikan hak atau moralitas subjek yang dirampas.

Merampus bukan sekadar mengambil. Ia adalah manifestasi dari nafsu akuisisi yang tak terkendali, ditopang oleh asumsi kekuasaan atau superioritas. Ia mencakup spektrum tindakan yang luas, mulai dari perampokan harta benda fisik oleh entitas individu hingga perampasan sumber daya alam dan bahkan ranah digital oleh kekuatan korporat atau negara. Memahami merampus adalah memahami akar dari ketidakadilan struktural dan konflik abadi yang membentuk peradaban.

Ilustrasi Merampus: Tangan Raksasa Menggenggam Sumber Daya HARTA & SUMBER DAYA PAKSAAN

Kajian ini akan menelusuri bagaimana tindakan merampus telah berevolusi, mulai dari praktik penjarahan kuno hingga strategi akuisisi korporat global yang jauh lebih terselubung. Kita akan melihat dorongan psikologis di baliknya, dampak etis dan lingkungan, serta upaya komunitas internasional untuk membendung arus kekuatan yang selalu ingin mengklaim apa yang bukan haknya.

Bagian I: Merampus dalam Lintasan Sejarah Peradaban

A. Plunder dan Ekspansi Kekaisaran

Sejarah peradaban adalah sejarah perebutan wilayah dan sumber daya. Tindakan merampus telah menjadi fondasi utama bagi kebangkitan dan keruntuhan kekaisaran besar. Di zaman kuno, merampus adalah hak prerogatif pemenang perang. Roma, melalui legiunnya yang efisien, tidak hanya menaklukkan wilayah tetapi juga secara sistematis merampas kekayaan, budak, dan seni dari kota-kota yang ditaklukkan, mengisi kas kekaisaran dan membiayai kemewahan di pusat.

Namun, merampus pada era ini memiliki dua dimensi. Pertama, dimensi fisik: perampasan emas, gandum, dan manusia. Kedua, dimensi simbolis: perampasan kehormatan, identitas, dan kedaulatan. Kota yang dirampas tidak hanya kehilangan harta, tetapi kehilangan jiwa kolektifnya. Para penjarah, dalam mentalitas mereka, menganggap bahwa kemenangan telah memberikan legitimasi penuh untuk mengambil apa pun yang diinginkan, sebuah mentalitas yang terus diwariskan dalam konflik-konflik kontemporer.

Jauh di timur, ekspansi Mongol pada abad ke-13 menunjukkan skala merampus yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kekuatan militer yang brutal digunakan untuk menyapu bersih kota demi kota, bukan hanya untuk memperoleh wilayah tetapi untuk mengakumulasi kekayaan yang luar biasa—sutera, rempah-rempah, teknologi, dan ahli waris. Di sini, merampus berfungsi sebagai alat konsolidasi kekuasaan, menanamkan ketakutan yang memastikan kepatuhan di wilayah yang jauh. Sisa-sisa dari tindakan merampus ini seringkali menentukan peta kekayaan global hingga hari ini, menciptakan ketimpangan yang berakar pada transfer kekayaan paksa berabad-abad yang lalu.

B. Kolonialisme: Merampus yang Dilegitimasi

Puncak institusionalisasi merampus terjadi selama era kolonialisme, terutama sejak abad ke-16 hingga ke-20. Di sini, tindakan merampas dilegitimasi oleh sistem hukum, teologi, dan filsafat yang menyatakan superioritas ras atau budaya penjajah. Ini bukan lagi sekadar penjarahan tunggal setelah pertempuran, melainkan ekstraksi sumber daya yang berkelanjutan, terstruktur, dan berskala benua.

Di wilayah Nusantara, istilah merampus sangat relevan dengan praktik kompeni dagang. Tanah, hasil bumi (rempah-rempah, kopi, timah), dan tenaga kerja dirampas melalui sistem tanam paksa dan monopoli yang kejam. Proses ini melibatkan penciptaan birokrasi yang rumit yang tujuannya tunggal adalah memindahkan kekayaan dari periferi ke pusat imperial. Merampus dalam konteks ini adalah pengambilalihan kedaulatan ekonomi, di mana penduduk lokal dipaksa untuk menghasilkan dan menyerahkan tanpa kompensasi yang adil, atau dengan kompensasi yang diatur sedemikian rupa sehingga hanya memperkaya pihak pengambil.

Dampak jangka panjang dari merampus kolonial sangatlah dahsyat. Hal ini tidak hanya menguras kekayaan fisik, tetapi juga merusak struktur sosial, sistem pengetahuan lokal, dan kemampuan masyarakat untuk menentukan nasib ekonomi mereka sendiri. Negara-negara pasca-kolonial hingga kini masih bergumul dengan warisan struktur ekonomi yang sengaja dirancang untuk memfasilitasi merampus, menjebak mereka dalam ketergantungan dan defisit pembangunan yang persisten.

Telaah lebih lanjut menunjukkan bahwa narasi kolonial seringkali berusaha menetralkan istilah merampus dengan menggunakan kata-kata seperti "eksploitasi," "pembangunan," atau "hak penemuan." Namun, inti dari tindakan tersebut tetaplah sama: penggunaan kekuatan asimetris untuk mengambil apa yang bukan milik mereka tanpa persetujuan yang bermakna. Penggalian mendalam terhadap arsip sejarah menunjukkan bukti transaksi yang dipaksakan, perjanjian yang curang, dan pemindahan hak milik yang semena-mena, semua berujung pada akumulasi modal yang fenomenal di Eropa, seringkali dengan mengorbankan jutaan nyawa dan generasi yang terhambat perkembangannya di negara-negara yang dirampas.

Kasus perampasan budaya (cultural appropriation) juga merupakan bagian integral dari sejarah kolonial. Artefak berharga, manuskrip kuno, dan benda-benda ritual dijarah dan dipindahkan ke museum-museum di Barat. Meskipun saat ini ada gerakan untuk restitusi, tindakan merampus ini telah menyebabkan kerugian tak ternilai bagi warisan spiritual dan identitas kolektif masyarakat asal. Koleksi museum-museum besar di dunia seringkali menjadi saksi bisu atas tindakan merampus yang dilakukan di masa lalu, menunjukkan bagaimana kekuatan tidak hanya menginginkan harta benda, tetapi juga ingin menguasai narasi sejarah dan identitas yang mendefinisikannya.

C. Pergeseran Moralitas dan Legitimasi

Di masa kini, merampus secara terang-terangan (seperti penjarahan massal setelah bencana atau konflik) masih terjadi, namun yang lebih berbahaya adalah bentuk merampus yang terselubung. Pertanyaan etis yang muncul adalah: kapan akuisisi menjadi merampus? Batasan ini seringkali kabur ketika kekuatan hukum dan politik disalahgunakan. Misalnya, melalui proses yang dikenal sebagai ‘pembagian paksa’ atau penggusuran massal, di mana tanah rakyat dirampas atas nama pembangunan atau kepentingan publik, namun pada akhirnya menguntungkan segelintir elit atau korporasi tertentu. Mekanisme ini menggunakan legalitas sebagai topeng untuk menyembunyikan tindakan merampus yang sebenarnya, menjadikannya 'beradab' di mata hukum tetapi tetap brutal bagi korban.

Dalam konteks modern, merampus juga terjadi melalui manipulasi pasar dan sistem keuangan. Skandal keuangan besar yang melibatkan manipulasi harga saham, penipuan obligasi, atau penggunaan informasi internal secara ilegal, semuanya adalah bentuk merampus kekayaan dari investor kecil dan publik secara umum. Ini adalah tindakan mengambil nilai tanpa memberikan imbalan yang setara, melanggar prinsip keadilan komutatif. Pelaku merampus jenis ini seringkali adalah individu berkuasa yang bersembunyi di balik lapisan kompleksitas keuangan, sehingga sulit dijangkau oleh keadilan. Keberadaan fenomena ini menunjukkan bahwa teknologi dan globalisasi tidak menghilangkan naluri merampus, melainkan menyediakannya saluran baru yang lebih canggih dan sulit dilacak.

Bagian II: Psikologi dan Arketipe Pelaku Merampus

A. Anatomi Nafsu Akuisisi (The Greed Spectrum)

Apa yang mendorong individu, kelompok, atau negara untuk merampus? Jawabannya terletak pada perpotongan antara kebutuhan psikologis dan struktur kesempatan. Di tingkat individu, merampus seringkali didorong oleh ketakutan akan kelangkaan (fear of scarcity) dan keinginan patologis untuk kekuasaan. Bagi pelaku, akuisisi paksa adalah cara tercepat dan paling efisien untuk mengisi kekosongan emosional atau mengamankan status sosial yang dianggap rentan.

Greed (keserakahan) bukan sekadar keinginan memiliki banyak, tetapi keinginan untuk memiliki *lebih dari* orang lain, seringkali dengan mengorbankan orang lain. Dalam psikologi kekuasaan, keserakahan yang memicu merampus sering dikaitkan dengan narsisme dan kurangnya empati. Pelaku meyakini bahwa mereka berhak atas apa yang mereka ambil, dan korban dianggap sebagai objek yang dapat dieksploitasi atau dimanfaatkan. Dehumanisasi korban adalah mekanisme pertahanan utama yang memungkinkan tindakan merampus skala besar, seperti genosida sumber daya atau perbudakan, untuk dilakukan tanpa rasa bersalah.

Namun, merampus tidak selalu didorong oleh individu yang sadar akan kejahatannya. Seringkali, ia adalah produk dari budaya korporat atau sistem politik yang secara inheren menghargai pertumbuhan yang agresif di atas keberlanjutan atau etika. Ketika struktur memberikan penghargaan tertinggi kepada mereka yang paling banyak mengakuisisi—tidak peduli bagaimana caranya—maka merampus menjadi perilaku adaptif yang dilembagakan. Dalam lingkungan ini, pejabat atau eksekutif yang menolak merampus dianggap lemah atau kurang kompeten, menciptakan tekanan internal untuk terus memperluas dominasi dan akuisisi.

B. Justifikasi Moral dan Rasionalisasi Kekerasan

Setiap tindakan merampus skala besar membutuhkan narasi pembenaran yang kuat. Justifikasi ini bisa bersifat ideologis, agama, atau pseudo-ilmiah. Selama era kolonial, merampus dibenarkan melalui ‘Misi Peradaban’ atau konsep ‘Takdir Manifest’ (Manifest Destiny), yang menyatakan bahwa penakluk memiliki tugas moral untuk membawa peradaban kepada yang dianggap ‘terbelakang’. Dalam konteks modern, justifikasi seringkali adalah ‘efisiensi ekonomi,’ ‘penciptaan lapangan kerja,’ atau ‘keamanan nasional.’

Narasi pembenaran ini penting karena mengubah tindakan merampus dari kejahatan menjadi pengorbanan yang diperlukan demi tujuan yang lebih besar. Ini memungkinkan masyarakat luas untuk menutup mata terhadap penderitaan yang dihasilkan. Contoh paling gamblang adalah perampasan tanah adat; seringkali dibenarkan dengan alasan bahwa masyarakat adat tidak ‘memanfaatkan’ tanah tersebut secara ‘produktif’ menurut standar ekonomi modern, sehingga membenarkan pengambilalihan paksa oleh korporasi yang akan ‘mengembangkan’ wilayah tersebut. Rasionalisasi ini adalah mekanisme kognitif yang melindungi para pelaku dan sistem dari kritik moral, menjadikannya seolah-olah tindakan merampus adalah sebuah keniscayaan progresif.

Dampak psikologis bagi korban merampus seringkali jauh lebih dalam daripada kerugian material. Merampus menciptakan trauma hilangnya kendali, pelanggaran privasi, dan kehancuran rasa aman. Dalam masyarakat yang telah berulang kali menjadi korban perampasan, muncul kondisi yang disebut ‘keterpaksaan warisan’ (inherited coercion), di mana generasi berikutnya tumbuh dengan keraguan fundamental terhadap keadilan dan kepercayaan terhadap institusi. Trauma ini dapat memanifestasikan dirinya dalam bentuk keputusasaan ekonomi, migrasi paksa, atau konflik internal yang berlarut-larut.

Analisis psiko-sosial lebih lanjut terhadap pola merampus menunjukkan adanya korelasi kuat antara praktik ini dan struktur patriarki atau otoritarianisme. Dalam sistem yang sangat terpusat dan hierarkis, mekanisme akuntabilitas seringkali lemah atau sama sekali tidak ada, memungkinkan individu di puncak kekuasaan untuk merampas sumber daya tanpa takut konsekuensi. Budaya 'impunitas' yang dihasilkan dari praktik merampus yang berhasil ini menciptakan lingkaran setan: semakin banyak mereka merampas, semakin kuat posisi mereka, dan semakin kecil kemungkinan mereka dihukum.

Merampus juga terkait erat dengan fenomena 'obyektifikasi' sumber daya dan manusia. Ketika hutan, sungai, atau masyarakat dilihat hanya sebagai komoditas atau sarana untuk mencapai tujuan, hambatan etis untuk mengambilnya secara paksa akan menghilang. Pengurangan nilai intrinsik alam atau manusia menjadi nilai instrumental (hanya berguna sebagai alat) adalah langkah psikologis krusial yang harus dicapai sebelum tindakan merampus massal dapat terjadi.

Bagian III: Merampus di Abad Kontemporer—Ekstraksi Gaya Baru

Jika merampus di masa lalu sering melibatkan pedang dan kapal, merampus di era modern menggunakan kode, kontrak, dan kebijakan deregulasi. Meskipun metodenya telah berubah, inti dari tindakan tersebut—pengambilan paksa kekayaan dan nilai dari yang lemah oleh yang kuat—tetap sama.

A. Merampus Sumber Daya Alam (Resource Grabbing)

Pengambilalihan tanah dan sumber daya alam skala besar (land grabbing) adalah bentuk merampus yang paling mencolok saat ini. Ini didorong oleh peningkatan permintaan global akan pangan, biofuel, dan mineral. Pemerintah dan korporasi multinasional membeli atau menyewa jutaan hektar lahan di negara-negara berkembang, seringkali mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang telah mendiami wilayah tersebut selama berabad-abad. Walaupun transaksi ini mungkin didukung oleh dokumen legal, prosesnya seringkali ditandai dengan kurangnya transparansi, intimidasi, dan penggantian rugi yang tidak memadai.

Merampus sumber daya tidak hanya terbatas pada tanah. Kita menyaksikan "merampus air" (water grabbing), di mana perusahaan air minum atau agribisnis mengakuisisi hak eksklusif atas sumber daya air penting, mengorbankan akses air bagi komunitas lokal. Demikian pula, penangkapan ikan skala industri yang tidak berkelanjutan di perairan negara-negara miskin adalah bentuk merampus sumber daya laut, merampas mata pencaharian nelayan tradisional dan merusak ekosistem vital. Proses-proses ini memperlihatkan bagaimana logika pasar, ketika dibiarkan tanpa kendali etis dan sosial yang kuat, akan selalu cenderung menuju ekstraksi maksimal dan merampus demi profit.

Isu perubahan iklim memperburuk praktik merampus ini. Ketika negara-negara maju yang kaya sumber daya mulai merasa terancam oleh kenaikan permukaan laut dan kekeringan, mereka cenderung beralih ke negara-negara berkembang yang masih memiliki hutan dan lahan basah, memperparah tekanan untuk merampas sisa-sisa sumber daya alam global. Mekanisme karbon kredit, meskipun bertujuan mulia, kadang-kadang disalahgunakan menjadi alat merampus baru, di mana komunitas lokal dipaksa keluar dari hutan mereka sendiri atas nama konservasi global, sementara korporasi di utara terus mencemari.

Analisis mendalam mengenai rantai pasok global mengungkap bahwa banyak barang konsumsi yang kita gunakan sehari-hari berakar pada praktik merampus di tingkat hulu. Misalnya, komoditas mineral yang diperlukan untuk teknologi tinggi (seperti kobalt atau coltan) seringkali ditambang di zona konflik dengan menggunakan tenaga kerja paksa atau anak-anak, yang secara efektif adalah perampasan nilai kehidupan dan martabat manusia. Konsumen di ujung rantai seringkali tidak menyadari bahwa kenyamanan mereka dibayar dengan penderitaan dan perampasan di belahan dunia lain.

B. Merampus Data dan Digital (Cyber-Rampus)

Abad ke-21 memperkenalkan bentuk merampus yang tidak berwujud: merampus data. Dalam ekonomi digital, data adalah minyak baru, dan platform teknologi besar telah membangun kekayaan luar biasa mereka dengan secara efektif merampas data pribadi dan perilaku penggunanya. Meskipun pengguna "menyetujui" persyaratan layanan, persetujuan ini seringkali didapatkan melalui bahasa hukum yang rumit, bersifat paksaan (jika tidak setuju, layanan tidak dapat digunakan), dan tidak adil (asimetri informasi antara perusahaan dan pengguna).

Perampasan data ini meliputi berbagai aspek: riwayat penelusuran, lokasi fisik, interaksi sosial, hingga data biometrik. Data ini kemudian diolah, dikemas, dan dijual kembali—menciptakan nilai yang sangat besar yang sepenuhnya diekstraksi dari pengguna tanpa kompensasi yang berarti. Ini adalah bentuk merampus nilai sosial dan pribadi yang baru, di mana aset paling intim seseorang—identitasnya—diambil, dianalisis, dan dimonetisasi oleh pihak ketiga.

Selain data pribadi, merampus juga meluas ke ranah kekayaan intelektual (KI) dan inovasi. Perusahaan-perusahaan besar seringkali menggunakan kekuatan hukum dan sumber daya finansial mereka untuk menekan inovator kecil, mengakuisisi paten mereka dengan harga murah, atau bahkan mencuri ide dan mengklaimnya sebagai milik mereka. Proses akuisisi ini seringkali bersifat predatoris, menggunakan ancaman litigasi yang mahal sebagai alat paksa untuk merampas kepemilikan. Dalam skala yang lebih luas, peretasan siber yang disponsori negara untuk mencuri rahasia dagang dan teknologi adalah bentuk merampus industri yang dapat mengubah keseimbangan kekuatan ekonomi global dalam semalam.

Tingkat kompleksitas merampus digital menuntut pendekatan regulasi yang berbeda. Karena data tidak bersifat fisik, kerugian akibat perampasan seringkali tidak terlihat hingga dampaknya menjadi sistemik—seperti manipulasi politik melalui data atau kerugian finansial akibat kebocoran informasi sensitif. Upaya regulasi seperti GDPR di Eropa merupakan tanggapan terhadap merampus digital, berusaha mengembalikan hak kepemilikan data kepada individu, namun implementasinya masih menjadi tantangan besar di tengah laju inovasi dan ekstraksi data yang tak terbatas.

C. Merampus Waktu dan Perhatian (The Attention Economy)

Bentuk merampus yang paling halus dan paling sering terabaikan adalah perampasan waktu dan perhatian. Dalam ekonomi modern yang didorong oleh informasi, waktu yang kita habiskan di platform digital adalah komoditas utama. Perusahaan-perusahaan telah menginvestasikan sumber daya yang luar biasa untuk merancang antarmuka dan algoritma yang memaksimalkan ‘waktu tinggal’ (dwell time), merampas perhatian kita dari pekerjaan produktif, interaksi sosial, atau refleksi pribadi.

Waktu dan perhatian yang dirampas ini tidak hanya dijual kepada pengiklan, tetapi juga secara fundamental mengubah kapasitas kognitif manusia. Kecanduan digital dan peningkatan kecemasan adalah produk sampingan dari sistem yang dirancang untuk merampus sumber daya mental kita. Tindakan merampus ini memiliki implikasi sosial yang luas, mengikis kemampuan masyarakat untuk fokus pada isu-isu kompleks yang memerlukan perhatian mendalam, dan sebaliknya mengarahkan energi kolektif ke arah konsumsi informasi yang cepat dan dangkal.

Selain itu, merampus waktu terjadi dalam struktur ketenagakerjaan global. Praktik "upah minimum" yang tidak realistis dan jam kerja yang berlebihan di banyak sektor adalah perampasan waktu hidup pekerja, merampas kesempatan mereka untuk istirahat, pendidikan, atau keterlibatan sosial. Kerja gig economy, meskipun menawarkan fleksibilitas, seringkali merampas jaminan sosial dan hak-hak pekerja, mentransfer risiko ekonomi sepenuhnya kepada individu sementara platform mengambil keuntungan besar dari layanan yang mereka fasilitasi. Ini adalah bentuk merampus nilai kerja yang dihasilkan oleh manusia tanpa memberikan jaminan keberlangsungan hidup yang layak.

Fenomena ini menunjukkan bahwa merampus telah bermetamorfosis menjadi sebuah seni ekstraksi nilai yang sangat canggih. Tidak lagi hanya tentang mengambil emas atau rempah-rempah, tetapi tentang mengambil esensi dari pengalaman manusia: privasi, kognisi, dan waktu itu sendiri. Keberhasilan ekonomi modern seringkali diukur dari seberapa efektif suatu entitas dapat merampas dan memonopoli sumber daya non-fisik ini.

Dalam konteks Merampus Waktu, perhatian harus ditekankan pada struktur hiper-kapitalis yang mendorong kecepatan dan efisiensi di atas segalanya. Pekerja, bahkan di negara-negara maju, seringkali merasa tertekan untuk terus-menerus ‘selalu aktif’ (always on), merespons email di luar jam kerja, atau bahkan bekerja saat sedang liburan. Perampasan waktu luang ini merupakan erosi batas antara kehidupan pribadi dan profesional. Ini adalah perampasan otonomi individu yang dilakukan secara perlahan melalui norma-norma sosial dan teknologi yang terus-menerus menuntut ketersediaan.

Lebih lanjut, merampus pengetahuan (epistemic grabbing) juga muncul sebagai ancaman kontemporer. Ini terjadi ketika pengetahuan tradisional, obat-obatan herbal, atau praktik pertanian leluhur dari komunitas adat diambil oleh perusahaan farmasi atau agribisnis, dipatenkan, dan kemudian dijual kembali dengan harga premium, tanpa mengakui atau memberikan kompensasi kepada pencipta asli pengetahuan tersebut. Ini adalah perampasan warisan intelektual yang berpotensi merusak ekonomi subsisten komunitas dan menghambat upaya mereka untuk mempertahankan kearifan lokal mereka.

Merampus Pengetahuan juga dapat dilihat dalam konteks akademik, di mana peneliti dari negara-negara maju seringkali melakukan ‘penelitian parasitis’ di negara-negara berkembang, mengambil data dan temuan, menerbitkannya di jurnal-jurnal bergengsi, dan mendapatkan kehormatan tanpa memberikan manfaat atau mempromosikan kapasitas penelitian di negara tempat data itu dirampas. Fenomena ini memperkuat ketidakseimbangan global dalam produksi pengetahuan, di mana narasi dan interpretasi dunia didominasi oleh segelintir pusat kekuasaan.

Bagian IV: Membendung Arus Merampus: Hukum, Etika, dan Restitusi

A. Peran Hukum Internasional dan Nasional

Menghadapi praktik merampus yang semakin kompleks dan terselubung, komunitas global telah berupaya mengembangkan kerangka hukum untuk menegakkan keadilan dan melindungi hak milik. Hukum properti tradisional, yang fokus pada entitas fisik, kini harus diperluas untuk mencakup hak-hak kolektif, hak-hak adat, dan hak-hak digital.

Di tingkat internasional, konvensi hak asasi manusia, seperti Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), berusaha membendung merampus tanah dengan menuntut Persetujuan Bebas, Didahulukan, dan Diinformasikan (FPIC) sebelum proyek ekstraktif dapat dimulai. Meskipun kerangka ini ada, penegakan hukum di tingkat nasional seringkali lemah, terutama di negara-negara di mana lembaga-lembaga pemerintahan rentan terhadap korupsi atau dominasi kepentingan korporasi.

Hukum anti-korupsi juga merupakan garis pertahanan krusial melawan merampus. Banyak praktik perampasan sumber daya besar-besaran difasilitasi oleh suap dan kolusi antara pejabat publik dan pelaku swasta. Penegakan hukum yang ketat terhadap pencucian uang dan penghindaran pajak (yang seringkali menjadi cara untuk menyembunyikan hasil rampasan) adalah penting untuk menghancurkan infrastruktur finansial yang mendukung merampus.

Selain itu, konsep ‘tanggung jawab perusahaan’ (Corporate Social Responsibility – CSR) dan ‘uji tuntas hak asasi manusia’ (Human Rights Due Diligence) mulai diwajibkan, setidaknya dalam teori, untuk mencegah perusahaan beroperasi di wilayah yang melibatkan merampus. Namun, banyak inisiatif ini bersifat sukarela dan seringkali kurang memiliki mekanisme sanksi yang memadai, membuat praktik merampus yang dilakukan oleh perusahaan raksasa tetap sulit dihentikan secara efektif. Diperlukan peraturan lintas batas yang mengikat secara hukum agar perusahaan dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian yang mereka sebabkan di negara lain.

B. Restitusi dan Keadilan Restoratif

Salah satu respons paling penting terhadap sejarah panjang merampus adalah tuntutan untuk restitusi. Restitusi bukan hanya pengembalian fisik aset (seperti artefak budaya), tetapi juga upaya untuk memulihkan kerusakan sosial, lingkungan, dan ekonomi yang disebabkan oleh perampasan di masa lalu. Gerakan restitusi di banyak negara, terutama yang menargetkan pengembalian tanah adat atau kompensasi bagi keturunan korban perbudakan, adalah pengakuan bahwa ketidakadilan historis memiliki konsekuensi kontemporer yang nyata.

Keadilan restoratif berfokus pada perbaikan kerugian dan rekonsiliasi daripada hanya hukuman. Dalam konteks merampus, ini berarti membantu masyarakat korban membangun kembali sistem ekonomi dan sosial mereka yang hancur, memberikan mereka kontrol kembali atas sumber daya mereka, dan mengakui secara publik trauma yang ditimbulkan oleh perampasan. Namun, proses ini sangat menantang karena kekayaan yang diperoleh melalui merampus telah terintegrasi begitu dalam ke dalam struktur ekonomi global sehingga mengembalikannya akan memerlukan perombakan mendasar terhadap sistem kapitalis yang berlaku saat ini.

Untuk mencapai restitusi yang berarti, diperlukan transparansi penuh mengenai asal-usul kekayaan dan aset. Museum-museum, universitas, dan institusi keuangan harus secara proaktif mengungkap bagaimana koleksi atau modal mereka terbentuk, dan mengidentifikasi aset mana yang diperoleh melalui tindakan merampus. Tanpa transparansi dan kemauan politik yang serius, diskusi tentang restitusi hanya akan menjadi retorika tanpa dampak nyata.

C. Etika Kolektif dan Perlawanan Akar Rumput

Merampus seringkali berhenti bukan karena hukum, tetapi karena perlawanan yang gigih dari mereka yang terancam. Gerakan akar rumput, aktivis lingkungan, dan pembela hak asasi manusia di garis depan perampasan sumber daya memainkan peran vital dalam mendokumentasikan, menentang, dan menghambat tindakan merampus. Mereka mempertaruhkan nyawa mereka untuk mempertahankan kedaulatan atas tanah dan sumber daya, menantang narasi legalistik yang digunakan oleh kekuatan perampas.

Di tingkat kolektif, diperlukan pergeseran etika yang mendasar. Masyarakat global harus bergerak menjauh dari mentalitas ‘ekstraksi tak terbatas’ dan menuju etika ‘stewardship’ atau kepenjagaan—pengakuan bahwa sumber daya alam dan bahkan data pribadi adalah warisan yang harus dikelola untuk generasi mendatang, bukan dihabiskan atau dirampas untuk keuntungan jangka pendek. Etika kolektif ini menuntut konsumen untuk menjadi lebih kritis terhadap produk yang mereka beli, menuntut transparansi rantai pasok, dan mendukung model bisnis yang bersifat regeneratif, bukan ekstraktif.

Pendidikan juga memegang kunci untuk melawan merampus. Dengan mengajarkan generasi muda tentang sejarah eksploitasi dan mekanisme merampus modern, kita dapat menumbuhkan kesadaran kritis terhadap kekuatan-kekuatan yang berusaha merampas nilai dari kehidupan mereka. Pengetahuan adalah pertahanan pertama; tanpa pemahaman yang jelas tentang bagaimana merampus beroperasi—baik dalam bentuk perampasan tanah maupun melalui algoritma yang merampas perhatian—korban akan terus tidak berdaya.

Pada akhirnya, melawan merampus memerlukan pengakuan bahwa setiap tindakan akuisisi paksa adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, baik ia dilakukan oleh prajurit bersenjata atau oleh direktur yang mengenakan jas mahal. Ini membutuhkan komitmen global untuk membangun sistem ekonomi yang menghargai keadilan, keberlanjutan, dan martabat, di atas profit yang diperoleh dari perampasan.

Diskursus tentang merampus harus memasukkan upaya untuk merevitalisasi kearifan lokal yang selama ini menjadi korban. Banyak masyarakat adat memiliki sistem manajemen sumber daya yang bersifat komunal dan berkelanjutan, yang secara inheren anti-merampus. Model-model ini menekankan pada pertukaran timbal balik, penghargaan terhadap alam, dan penolakan terhadap konsep kepemilikan absolut yang seringkali menjadi pemicu utama perampasan. Mengintegrasikan kembali filosofi-filosofi ini ke dalam kerangka tata kelola modern dapat memberikan solusi struktural untuk membendung nafsu akuisisi yang destruktif.

Merampus juga harus dilihat melalui lensa keadilan antargenerasi. Tindakan merampas hutan, air, dan mineral saat ini secara efektif merampas hak-hak generasi mendatang atas sumber daya yang terbatas. Kerangka hukum dan etika harus diperluas untuk mencakup perlindungan yang kuat terhadap hak-hak generasi yang belum lahir, memaksa pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari setiap keputusan ekstraktif. Ini menuntut adopsi prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam semua proyek pembangunan besar yang berpotensi menyebabkan perampasan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki.

Selain itu, peran teknologi dalam melawan merampus juga semakin penting. Teknologi blockchain dan alat digital lainnya kini digunakan untuk menciptakan catatan kepemilikan tanah yang transparan dan tidak dapat diubah (immutable), yang dapat membantu melindungi masyarakat miskin dari pengambilalihan tanah ilegal. Data satelit dan kecerdasan buatan digunakan oleh aktivis untuk memantau deforestasi dan penambangan ilegal secara real-time. Meskipun teknologi juga merupakan sarana merampus (seperti dalam kasus data digital), ia juga menawarkan alat yang kuat untuk akuntabilitas dan pencegahan.

Perlawanan terhadap merampus adalah sebuah perjuangan yang berkelanjutan dan multidimensi, menuntut baik reformasi institusional dari atas ke bawah maupun mobilisasi etika dari bawah ke atas. Hanya dengan pemahaman kolektif tentang kerusakan yang ditimbulkannya—baik pada lingkungan, sosial, maupun psikologis—kita dapat berharap untuk membatasi ruang gerak bagi kekuatan yang terus mencari keuntungan melalui cara-cara yang merampas.

Kesimpulan: Membangun Komitmen Anti-Merampus

Kata merampus berfungsi sebagai lensa tajam untuk melihat sejarah konflik dan ketidakadilan manusia. Ia mengingatkan kita bahwa kekuatan—baik itu militer, ekonomi, maupun digital—selalu memiliki kecenderungan bawaan untuk mengambil apa yang bukan haknya. Dari penjarahan kuno di medan perang hingga ekstraksi senyap data pribadi di jaringan global, inti dari tindakan merampus tetaplah sama: akuisisi yang didasarkan pada kekuatan dan bukan pada persetujuan atau keadilan.

Tantangan terbesar di masa depan adalah mengatasi bentuk-bentuk merampus yang semakin terselubung dan dilegalkan. Ini membutuhkan kewaspadaan yang konstan terhadap narasi yang membenarkan ekstraksi tak terbatas, entah itu atas nama 'pertumbuhan' atau 'efisiensi'. Perlawanan terhadap merampus bukan hanya tentang melindungi aset fisik, tetapi tentang menegakkan hak fundamental manusia dan alam untuk menentukan nasib mereka sendiri dan mempertahankan nilai intrinsik mereka.

Menciptakan dunia yang bebas dari praktik merampus berarti membangun kembali sistem di atas fondasi keadilan restoratif dan etika kepenjagaan. Hal ini menuntut bahwa kita, sebagai warga dunia, menolak untuk menjadi penerima manfaat pasif dari rampasan yang dihasilkan di belahan bumi lain. Dengan mengakui sejarah dan manifestasi merampus, kita mengambil langkah pertama menuju pembangunan masyarakat yang menghargai keberadaan di atas kepemilikan, dan keadilan di atas keuntungan paksa.

Transisi menuju ekonomi yang adil dan berkelanjutan harus melibatkan reformasi radikal dalam kebijakan kepemilikan, pajak, dan perdagangan internasional. Tanpa reformasi ini, kekuatan pasar akan selalu mencari titik lemah untuk mengeksploitasi dan merampas. Langkah kolektif ini, yang didorong oleh kesadaran etis global, adalah satu-satunya cara untuk meredam gema kekuasaan yang mencekam dan menghentikan siklus merampus yang telah mendominasi sejarah peradaban.

🏠 Kembali ke Homepage