Jagat Raya yang Dirampas: Kajian Mendalam atas Kekuatan, Hak, dan Kehilangan

Kata ‘merampas’ memiliki resonansi yang dalam, melampaui sekadar tindakan fisik pencurian. Ia mengandung esensi pengambilalihan paksa, penyingkiran otoritas, dan penghancuran tatanan yang telah lama diyakini. Perampasan adalah tindakan unilateral yang meniadakan konsensus, mengabaikan hukum, dan menggantikan keadilan dengan kekuasaan mentah. Dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi, fenomena merampas menjadi akar dari banyak ketidakadilan struktural yang membentuk peradaban modern.

Perampasan bukanlah sekadar insiden; ia adalah sebuah sistem, sebuah mekanisme yang bekerja secara diam-diam maupun terbuka untuk memindahkan nilai, kekayaan, atau martabat dari satu kelompok ke kelompok lain. Ia seringkali disamarkan di balik legalitas yang dipaksakan, retorika pembangunan, atau bahkan dalih keamanan nasional. Untuk memahami kedalaman masalah ini, kita harus mengupas lapis demi lapis di mana saja tindakan merampas ini beroperasi, bagaimana ia memanifestasikan dirinya dalam sejarah, dan apa dampak abadi yang ditimbulkannya terhadap korban dan struktur masyarakat secara keseluruhan.

Dalam artikel ini, kita akan menelusuri spektrum perampasan, mulai dari skala personal yang menghancurkan integritas individu, hingga perampasan skala kolosal yang melibatkan teritorial dan kedaulatan sebuah bangsa. Kita akan melihat bagaimana kekuasaan—baik yang bersumber dari modal, militer, maupun legitimasi semu—digunakan sebagai alat utama untuk melanggengkan praktik merampas yang sistematis.

I. Definisi dan Spektrum Moral Perampasan

Secara harfiah, merampas berarti mengambil secara paksa hak atau milik orang lain. Namun, secara filosofis dan sosiologis, perampasan meluas menjadi konsep yang jauh lebih kompleks. Ia melibatkan pemutusan ikatan fundamental antara manusia dan hak-hak dasarnya. Ini adalah pemaksaan kehendak yang secara inheren destruktif terhadap otonomi subjek yang dirampas.

A. Perampasan Fisik versus Struktural

Perampasan fisik, seperti pencurian atau pengambilalihan tanah dengan kekerasan langsung, mudah dikenali dan seringkali dapat ditindak secara hukum. Namun, bentuk perampasan yang paling berbahaya adalah perampasan struktural. Perampasan struktural adalah proses di mana sistem dan institusi diciptakan atau dimanipulasi sedemikian rupa sehingga secara otomatis mentransfer aset atau hak dari kelompok rentan ke kelompok dominan.

Keadilan yang Dirampas
Ilustrasi Timbangan Keadilan yang Patah, melambangkan perampasan hak dan keseimbangan sosial oleh kekuatan yang lebih besar. Alt: Timbangan keadilan yang miring dan patah, menunjukkan ketidakseimbangan.

Beberapa contoh perampasan struktural yang paling mendasar meliputi:

  1. Perampasan Upah (Wage Theft): Ketika kebijakan ekonomi dan pasar tenaga kerja sengaja menekan nilai kerja buruh, memastikan bahwa surplus nilai (keuntungan) selalu berpindah ke pemilik modal, sementara upah buruh stagnan atau tidak mencukupi kebutuhan dasar. Ini merampas hasil kerja dan potensi kesejahteraan mereka.
  2. Perampasan Hukum (Legal Usurpation): Pembentukan undang-undang yang tampak netral tetapi secara de facto memberikan lisensi kepada pihak berkuasa (korporasi atau negara) untuk mengambil alih aset publik atau komunal, misalnya melalui amandemen yang memudahkan izin eksploitasi hutan atau pertambangan di atas tanah adat.
  3. Perampasan Narasi (Narrative Seizure): Tindakan menguasai media dan sistem pendidikan untuk mendikte sejarah, kebenaran, dan identitas kolektif, sehingga membatasi kemampuan kelompok marginal untuk menyuarakan pengalaman dan tuntutan mereka sendiri. Ini merampas hak atas ingatan dan representasi diri.

B. Etika dan Legitimasi

Pertanyaan kunci dalam perampasan adalah masalah legitimasi. Apakah tindakan yang menghasilkan perampasan itu sah? Seringkali, kekuatan yang merampas berupaya keras memberikan mantel legalitas pada tindakannya. Mereka mencari cap resmi, meskipun proses perolehannya dilakukan melalui korupsi, ancaman, atau penafsiran hukum yang sewenang-wenang.

Namun, legitimasi moral—yang lebih tinggi dari legitimasi hukum—selalu terkorbankan. Apa pun undang-undang yang digunakan untuk membenarkannya, sebuah tindakan yang menyebabkan penderitaan, penggusuran, atau penindasan tidak akan pernah memiliki legitimasi moral. Tindakan merampas selalu ditandai dengan:


II. Perampasan Agraria: Luka Abadi di Tubuh Bangsa

Dalam konteks Indonesia dan banyak negara berkembang lainnya, perampasan yang paling mendalam dan berulang adalah perampasan agraria. Tanah bukan hanya komoditas; ia adalah sumber kehidupan, identitas, dan warisan spiritual, terutama bagi masyarakat adat dan petani kecil. Ketika tanah dirampas, yang hilang adalah fondasi eksistensi sebuah komunitas.

A. Jejak Kolonial dan Warisan Hukum yang Bias

Akar perampasan tanah modern dapat dilacak kembali ke era kolonial, di mana doktrin ‘Domeinverklaring’ (Pernyataan Domain) diterapkan, yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya oleh individu Eropa secara otomatis menjadi milik negara kolonial. Doktrin ini secara efektif mengabaikan hak komunal (ulayat) yang telah diakui dan dipraktikkan turun-temurun oleh masyarakat pribumi.

Setelah kemerdekaan, meskipun ada upaya melalui Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), warisan hukum kolonial yang bias ini tidak sepenuhnya hilang. Konsep "dikuasai negara" seringkali disalahgunakan untuk melegitimasi pengambilalihan tanah untuk proyek-proyek besar. Negara, yang seharusnya menjadi pelindung hak rakyat, terkadang bertindak sebagai fasilitator perampasan atas nama pembangunan atau kepentingan publik yang ambigu.

Perampasan Tanah
Visualisasi tangan raksasa yang mencoba merampas tanah yang subur, simbol konflik agraria dan penguasaan sumber daya. Alt: Tangan merah besar merenggut tanah yang hijau.

B. Modus Operandi Perampasan Tanah Kontemporer

Perampasan tanah (land grabbing) hari ini terjadi melalui berbagai cara yang canggih, seringkali melibatkan kolaborasi antara elit politik, birokrat, dan korporasi domestik maupun internasional. Beberapa mekanisme yang digunakan untuk merampas hak komunal antara lain:

  1. Klaim Kawasan Hutan (Forest Area Claims): Pemerintah menetapkan wilayah adat sebagai kawasan hutan negara tanpa konsultasi. Ini secara otomatis membatalkan hak kepemilikan masyarakat adat, yang kemudian dianggap sebagai 'penyerobot' di tanahnya sendiri ketika perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) atau sawit masuk.
  2. Pengadaan Tanah untuk Infrastruktur (Eminent Domain Abuse): Penggunaan hak negara untuk mengambil tanah demi kepentingan umum (misalnya jalan tol, bandara, bendungan). Walaupun kompensasi diberikan, nilainya seringkali jauh di bawah nilai pasar yang sebenarnya, dan tidak memperhitungkan nilai kultural atau sosial tanah tersebut bagi penghuninya.
  3. Monopoli Izin Usaha (Permit Monopolization): Pemberian konsesi skala besar kepada perusahaan tertentu yang tumpang tindih dengan lahan pertanian atau wilayah tangkapan air milik masyarakat. Izin ini, yang dijamin oleh negara, menjadi perisai legal untuk merampas.

Dampak dari perampasan agraria ini sangat masif. Ribuan keluarga terpaksa mengungsi, kehilangan mata pencaharian, dan terjerumus ke dalam kemiskinan kota. Konflik agraria yang terjadi bukan lagi sekadar sengketa perdata, melainkan pertarungan hidup mati antara komunitas rentan melawan kekuasaan negara dan modal yang bersatu.

Tragedi yang ditimbulkan oleh perampasan tanah ini tidak hanya bersifat material. Ada perampasan memori kolektif, perampasan cara hidup (life ways), dan perampasan kemandirian pangan. Masyarakat yang tadinya mampu menghidupi diri sendiri melalui sistem pertanian tradisional, kini dipaksa menjadi buruh upahan di perkebunan yang dulunya adalah ladang mereka sendiri—sebuah ironi pahit dari perampasan nilai dan martabat.


III. Perampasan Kekuasaan dan Demokrasi

Jika perampasan tanah mengambil aset fisik, perampasan kekuasaan menargetkan fondasi tata kelola masyarakat itu sendiri. Merampas kekuasaan berarti mengambil alih otoritas dan hak untuk menentukan nasib kolektif, menggeser legitimasi dari rakyat ke tangan segelintir elite yang tidak akuntabel.

A. Kudeta dan Perampasan Otoritas Terbuka

Bentuk perampasan kekuasaan yang paling dramatis adalah kudeta. Kudeta adalah intervensi tiba-tiba, seringkali militeristik, yang menggulingkan pemerintahan yang sah. Tindakan ini secara eksplisit merampas mandat rakyat, menggantikannya dengan kekuasaan senjata. Sejarah dipenuhi dengan contoh di mana stabilitas dan perkembangan demokrasi terhenti karena segelintir orang memutuskan untuk merampas kursi kekuasaan demi kepentingan mereka sendiri.

Namun, perampasan kekuasaan tidak selalu membutuhkan tank di jalanan. Ada bentuk yang lebih halus, yang disebut sebagai erosi atau kemunduran demokrasi (democratic backsliding).

B. Erosi Demokrasi: Merampas Suara Rakyat secara Diam-diam

Erosi demokrasi adalah proses bertahap di mana institusi dan norma-norma demokrasi dilemahkan dari dalam, sehingga menghasilkan perampasan yang legalistik. Ini adalah strategi yang sering digunakan oleh pemimpin otoriter yang terpilih secara demokratis untuk melanggengkan dominasi mereka. Mereka merampas sistem tanpa melanggar hukum, karena mereka sendiri yang menulis hukum itu.

Perampasan Suara
Kotak suara yang dikendalikan atau ditutupi oleh kekuatan yang otoriter, melambangkan perampasan suara dan otentisitas demokrasi. Alt: Kotak suara yang tertutup oleh tangan besar.

Tindakan yang termasuk dalam perampasan suara dan kekuasaan yang terselubung:

Ketika perampasan kekuasaan terjadi, hasilnya adalah konsentrasi keputusan politik dan ekonomi di tangan yang sangat sedikit. Sumber daya publik, yang seharusnya melayani seluruh rakyat, diarahkan untuk memperkaya segelintir orang. Ini adalah perampasan kekayaan negara yang dilegitimasi oleh kontrol politik.


IV. Kapitalisme Predatori: Perampasan Ekonomi dan Masa Depan

Di bawah naungan sistem ekonomi global yang dominan, perampasan mengambil bentuk yang sangat halus—perampasan nilai, perampasan waktu, dan perampasan kedaulatan ekonomi. Ini adalah perampasan yang tidak selalu didorong oleh militer, tetapi oleh mekanisme pasar, utang, dan inovasi finansial.

A. Merampas melalui Utang dan Neokolonialisme

Salah satu alat perampasan modern yang paling efektif adalah jebakan utang. Negara-negara berkembang didorong untuk mengambil pinjaman besar-besaran, seringkali untuk proyek infrastruktur yang tidak berkelanjutan atau yang berlebihan. Ketika negara tersebut gagal membayar, kreditor—yang seringkali adalah institusi finansial global atau negara donor kuat—menuntut konsesi yang merampas kedaulatan ekonomi.

Konsesi ini dapat berupa:

  1. Penjualan Aset Strategis: Negara terpaksa menjual pelabuhan, jaringan listrik, atau sumber daya alam penting kepada investor asing untuk membayar utang. Ini adalah perampasan aset nasional.
  2. Penerapan Kebijakan Austeritas: Utang mengharuskan pemotongan anggaran layanan publik (kesehatan, pendidikan), merampas hak warga miskin atas jaminan sosial dasar demi membayar bunga kepada pihak luar.
  3. Kontrol Sumber Daya Alam: Penandatanganan kontrak jangka panjang yang sangat menguntungkan pihak asing untuk mengeksploitasi sumber daya tambang atau energi, memberikan kontrol atas kekayaan nasional di luar yurisdiksi negara.

Ini adalah neokolonialisme ekonomi. Kekuatan luar tidak lagi perlu menjajah secara fisik; mereka hanya perlu merampas kemampuan negara untuk menentukan kebijakan ekonomi demi kepentingan rakyatnya sendiri.

B. Perampasan Data dan Kehidupan Digital

Di era digital, terjadi bentuk perampasan baru yang belum pernah terpikirkan sebelumnya: perampasan data. Perusahaan teknologi raksasa mengumpulkan data pribadi dan perilaku miliaran orang. Data ini, yang dihasilkan oleh aktivitas sehari-hari kita, diubah menjadi nilai ekonomi yang luar biasa tanpa adanya kompensasi yang adil kepada individu yang datanya dirampas.

Kita secara sukarela menyerahkan informasi, tetapi kenyataannya, kesepakatan pengguna yang rumit (Terms and Conditions) adalah instrumen perampasan. Mereka merampas privasi kita, merampas hak kita untuk mengontrol narasi diri kita, dan merampas nilai ekonomi yang dihasilkan dari data tersebut. Kekuatan yang terakumulasi melalui monopoli data ini memungkinkan perusahaan-perusahaan tersebut memanipulasi pasar, mengarahkan politik, dan secara efektif merampas otonomi mental dan sosial kita.


V. Konsekuensi Jangka Panjang dari Perampasan Sistemik

Perampasan, baik agraria, politik, maupun ekonomi, tidak berakhir setelah tindakan pengambilalihan selesai. Ia meninggalkan luka yang dalam dan sistemik yang mempengaruhi generasi mendatang. Konsekuensi perampasan adalah spiral kemiskinan dan ketidakpercayaan yang sulit diputuskan.

A. Fragmentasi Sosial dan Trauma Kolektif

Ketika sebuah komunitas dirampas dari tanahnya atau sumber penghidupannya, struktur sosial internalnya hancur. Ikatan komunal, sistem nilai, dan pengetahuan tradisional yang terkait erat dengan wilayah tersebut hilang. Hal ini menimbulkan trauma kolektif—perasaan kehilangan yang meluas dan tidak dapat diperbaiki. Anak-anak yang tumbuh di pengungsian atau di lingkungan yang teralienasi dari sejarah leluhur mereka mengalami perampasan identitas.

Trauma ini termanifestasi dalam:

B. Perampasan Masa Depan melalui Kerusakan Ekologi

Banyak perampasan tanah besar-besaran hari ini didorong oleh industri ekstraktif (pertambangan, perkebunan monokultur). Proses ekstraksi ini seringkali tidak berkelanjutan, menghasilkan perampasan ekologis. Merampas ekologi berarti mengambil hak generasi masa depan untuk hidup di lingkungan yang sehat.

Ketika hutan primer ditebang untuk perkebunan, atau ketika air dicemari oleh limbah tambang, yang dirampas adalah:

  1. Kualitas udara dan air.
  2. Keanekaragaman hayati (biodiversitas) global.
  3. Stabilitas iklim regional.

Pihak yang merampas mendapatkan keuntungan jangka pendek, sementara masyarakat dan lingkungan harus menanggung biaya ekologis yang tidak dapat dihitung selama berabad-abad. Perampasan sumber daya ini adalah bentuk kekerasan trans-generasional.


VI. Mekanisme Perlawanan: Merebut Kembali Apa yang Telah Dirampas

Meskipun kekuatan yang merampas seringkali tampak tak terkalahkan karena didukung oleh modal besar dan aparat negara, sejarah menunjukkan bahwa perlawanan terhadap perampasan adalah inti dari perjuangan kemanusiaan untuk keadilan. Merebut kembali (reclaiming) hak yang dirampas adalah proses yang panjang, berlapis, dan membutuhkan upaya kolektif yang tak kenal lelah.

A. Penguatan Gerakan Sosial dan Solidaritas

Perlawanan terhadap perampasan dimulai dari akar rumput. Komunitas yang terancam harus mengorganisir diri. Gerakan sosial yang efektif memerlukan:

B. Reformasi Hukum dan Restorasi Keadilan

Perjuangan merebut kembali memerlukan reformasi mendasar terhadap kerangka hukum yang memfasilitasi perampasan. Ini mencakup peninjauan ulang undang-undang pertanahan, transparansi dalam pemberian izin konsesi, dan penguatan lembaga anti-korupsi.

Konsep penting dalam upaya restorasi adalah:

  1. Pengembalian Tanah (Restitusi): Proses formal untuk mengembalikan tanah yang dirampas secara tidak sah kepada pemilik aslinya. Ini memerlukan pembentukan komisi keadilan agraria yang independen.
  2. Kompensasi Penuh dan Restoratif: Ketika pengembalian fisik tidak mungkin, kompensasi yang diberikan harus adil, tidak hanya dari segi nilai ekonomi, tetapi juga mencakup ganti rugi atas kehilangan budaya, sosial, dan psikologis.
  3. Akuntabilitas Pelaku: Mereka yang berada di balik perampasan besar-besaran—baik pejabat publik yang korup maupun eksekutif korporasi—harus dimintai pertanggungjawaban pidana. Tanpa akuntabilitas, siklus perampasan akan terus berlanjut.

VII. Menggali Lebih Jauh: Perampasan dalam Konteks Psikososial dan Moralitas Kekuasaan

Untuk benar-benar memahami fenomena merampas, kita harus menengok ke dalam psikologi kekuasaan dan mengapa individu atau kelompok merasa berhak untuk mengambil apa yang bukan milik mereka. Perampasan adalah penyakit moral yang diperkuat oleh anonimitas korporasi dan ketidakmampuan struktural.

A. Dehumanisasi sebagai Pra-Syarat Perampasan

Tidak ada seorang pun yang dapat merampas aset atau hak orang lain tanpa terlebih dahulu melakukan dehumanisasi terhadap korbannya. Kekuatan yang merampas harus meyakinkan dirinya sendiri—atau publik—bahwa korban adalah pihak yang 'primitif', 'tidak produktif', 'menghambat pembangunan', atau 'melanggar hukum'. Begitu label dehumanisasi dilekatkan, rasa bersalah moral dihilangkan, dan perampasan menjadi tindakan yang rasional secara ekonomi atau politik.

Dalam konflik agraria, petani dan masyarakat adat sering dilabeli sebagai 'penghuni ilegal' (ilegal loggers) di tanah yang mereka kelola selama ratusan tahun. Dalam perampasan politik, oposisi dilabeli sebagai 'pengkhianat' atau 'radikal'. Dehumanisasi ini merampas kemanusiaan korban sebelum mereka merampas properti korban.

B. Institusionalisasi Keserakahan

Perampasan adalah hasil akhir dari keserakahan yang terinstitusionalisasi. Ketika sistem ekonomi atau politik diatur sedemikian rupa sehingga memaksimalkan keuntungan dan kekuasaan menjadi tujuan tertinggi, maka segala cara, termasuk perampasan, dianggap sebagai alat yang sah. Kapitalisme ekstrem sering menciptakan insentif yang salah, di mana manajer dihargai karena memeras sumber daya semaksimal mungkin, terlepas dari dampak sosialnya.

Ini menciptakan lingkaran setan:

  1. Keserakahan individu diterjemahkan menjadi kebijakan korporat.
  2. Kebijakan korporat memfasilitasi perampasan aset (tanah, hak, modal).
  3. Keuntungan yang dihasilkan dari perampasan ini memperkuat kekuasaan politik korporat (melalui lobi dan pendanaan kampanye).
  4. Kekuasaan politik kemudian digunakan untuk menciptakan lebih banyak hukum yang melegitimasi perampasan di masa depan.

Siklus ini harus diputus melalui kesadaran publik yang kritis dan intervensi regulasi yang etis, yang menempatkan kesejahteraan manusia dan ekologi di atas laba absolut.

Perjuangan melawan perampasan pada dasarnya adalah perjuangan untuk menegakkan kembali kedaulatan diri, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan moral. Ia menuntut pengakuan bahwa ada batas-batas etis yang tidak boleh dilanggar oleh kekuasaan, dan bahwa hak untuk memiliki, untuk bersuara, dan untuk hidup bermartabat bukanlah anugerah dari penguasa, melainkan hak asasi yang melekat sejak lahir.

Keteguhan melawan kekuatan yang merampas memerlukan lebih dari sekadar keberanian; ia menuntut kesabaran historis dan komitmen untuk membangun kembali apa yang telah dihancurkan, sebidang tanah demi sebidang tanah, satu undang-undang demi satu undang-undang, hingga keadilan yang dirampas dapat direbut kembali dan dipulihkan sepenuhnya. Kegagalan untuk melawan perampasan berarti menerima masyarakat yang dibangun di atas fondasi ketidakadilan abadi.

Fenomena ini akan terus ada selama ada ketimpangan kekuasaan yang memungkinkan satu pihak mendikte nasib pihak lain. Oleh karena itu, refleksi mendalam tentang tindakan merampas tidak hanya relevan sebagai studi kasus historis, tetapi sebagai pengingat konstan akan kewajiban etis kita untuk menjaga batas-batas hak dan martabat. Kita harus terus menggugat legalitas yang menyamarkan imoralitas, dan menuntut transparansi dari setiap klaim kekuasaan yang berpotensi melahirkan perampasan. Perjuangan untuk kemerdekaan sejati adalah perjuangan tanpa akhir melawan tangan-tangan yang berusaha merampas, baik yang kasat mata maupun yang tersembunyi di balik sistem. Masa depan yang adil hanya dapat terwujud ketika setiap orang memiliki jaminan atas apa yang menjadi haknya, tanpa ancaman pengambilalihan paksa oleh siapa pun atau entitas apa pun.

VIII. Analisis Kritis: Instrumentasi Negara dalam Perampasan

Negara, dalam teori ideal, adalah pelindung hak-hak warganya. Namun, dalam realitas praktik, negara sering bertransformasi menjadi instrumen utama yang memfasilitasi tindakan merampas. Transformasi ini terjadi melalui penggunaan aparatur birokrasi, keamanan, dan legislatif untuk melayani kepentingan minoritas elit yang memiliki akses dan pengaruh. Ini adalah perampasan yang paling menyakitkan, karena ia melibatkan pengkhianatan terhadap kontrak sosial.

A. Penggunaan Kekerasan Negara dalam Konflik Agraria

Ketika perusahaan menghadapi perlawanan dari masyarakat lokal atas tanah yang dirampas, seringkali negara campur tangan bukan sebagai mediator yang netral, tetapi sebagai pelindung kepentingan korporasi. Keterlibatan aparat keamanan dalam penggusuran, intimidasi terhadap aktivis, dan kriminalisasi petani adalah bukti nyata instrumentasi ini. Kekuatan represif negara merampas hak warga negara untuk menentang ketidakadilan secara damai.

Kriminalisasi adalah alat perampasan modern yang sangat efektif. Dengan menjerat pemimpin komunitas dengan tuduhan palsu (misalnya pencemaran nama baik, perusakan, atau makar), negara secara efektif merampas kepemimpinan perlawanan. Begitu pemimpin dipenjara, komunitas menjadi terfragmentasi dan lebih mudah untuk dikalahkan dan dirampas tanahnya. Ini adalah strategi merampas ganda: merampas tanah dan merampas kepemimpinan.

B. Perampasan melalui Inklusi dan Eksklusi Ekonomi

Kebijakan ekonomi yang dirancang untuk ‘inklusi’ pasar global seringkali memiliki efek samping yang merampas. Program-program liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi dipromosikan sebagai jalan menuju kemakmuran, namun dalam pelaksanaannya, mereka merampas kontrol lokal atas aset-aset strategis. Misalnya, privatisasi sumber daya air atau energi merampas hak masyarakat miskin untuk mendapatkan akses layanan vital dengan harga terjangkau. Kontrol berpindah dari domain publik yang akuntabel, ke domain korporat yang hanya bertanggung jawab kepada pemegang saham.

Fenomena ini merampas kemandirian. Ketika sebuah negara terlalu bergantung pada investasi asing yang tidak terikat oleh peraturan lingkungan atau sosial yang ketat, negara tersebut secara efektif merampas kemampuannya sendiri untuk menentukan arah pembangunan yang sesuai dengan nilai-nilai lokal. Kedaulatan kebijakan digadaikan demi janji pertumbuhan ekonomi yang seringkali hanya dinikmati oleh segelintir penerima manfaat.

C. Perampasan Melalui Amnesia Sejarah

Untuk melanggengkan perampasan struktural, penting bagi kekuatan dominan untuk merampas ingatan kolektif. Dengan mengontrol kurikulum sejarah, membatasi akses terhadap dokumen-dokumen masa lalu, dan mendiskreditkan saksi mata dari kejahatan masa lalu, narasi resmi dapat membenarkan perampasan masa kini. Jika masyarakat lupa bagaimana tanah leluhur mereka dirampas 50 tahun yang lalu, mereka akan lebih mudah menerima perampasan baru hari ini.

Perampasan sejarah ini adalah perampasan kebenaran, yang merupakan hak fundamental setiap masyarakat. Tanpa ingatan yang utuh, proses rekonsiliasi dan restorasi menjadi mustahil. Trauma tetap terkubur, dan ketidakadilan yang sama akan terus terulang dalam siklus abadi yang merusak fondasi moral bangsa.

Upaya untuk merebut kembali sejarah melalui penelitian independen, kesaksian lisan, dan pendidikan alternatif adalah tindakan perlawanan penting. Mereka adalah upaya untuk merajut kembali fragmen-fragmen ingatan yang sengaja dipecah-pecah oleh kekuatan yang merampas legitimasi mereka sendiri.

Tindakan perampasan tidak pernah berhenti pada kerugian materi. Efeknya berlipat ganda, menyerang lapisan paling dasar dari keberadaan manusia: rasa memiliki, rasa hormat diri, dan harapan akan masa depan yang adil. Menghadapi spektrum perampasan yang begitu luas dan canggih memerlukan kewaspadaan abadi dan komitmen yang teguh terhadap etika, melebihi sekadar kepatuhan pada aturan yang seringkali dibuat oleh para perampas itu sendiri.

Analisis ini menegaskan bahwa setiap individu, setiap komunitas, dan setiap bangsa harus terus meninjau kembali dan merebut kembali apa yang secara sah menjadi milik mereka, melawan narasi dominan yang berusaha membenarkan pengambilalihan paksa. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa fondasi masyarakat kita berdiri di atas keadilan, bukan di atas pasir hisap perampasan.

Dalam konteks globalisasi yang semakin cepat, alat-alat perampasan juga mengalami evolusi. Dulu, perampasan didominasi oleh kekuatan militer atau politik yang jelas. Kini, perampasan sering bersembunyi di balik jargon teknokratis dan perjanjian perdagangan internasional yang kompleks. Misalnya, perjanjian investasi bilateral atau multilateral yang memberikan hak kepada korporasi asing untuk menuntut ganti rugi miliaran dolar dari negara jika undang-undang lingkungan atau sosial negara tersebut dianggap mengurangi keuntungan yang diprediksi oleh perusahaan. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Investor-Negara (ISDS) adalah bentuk perampasan kedaulatan legislatif yang dilegitimasi secara internasional.

Melalui ISDS, korporasi secara efektif merampas hak negara untuk mengatur demi kepentingan publik. Jika pemerintah memutuskan untuk melarang pertambangan yang merusak lingkungan, korporasi dapat menuntut ganti rugi besar, memaksa negara untuk memilih antara melindungi lingkungan atau menghindari kebangkrutan finansial. Dalam situasi ini, negara dipaksa untuk mengorbankan kesejahteraan warganya—sebuah perampasan yang terjadi jauh di ruang sidang arbitrase yang tertutup, jauh dari mata publik.

Perampasan ini juga merambah sektor kesehatan dan hak atas kekayaan intelektual. Ketika perusahaan farmasi merampas hak paten atas obat-obatan penyelamat jiwa, mereka secara efektif merampas akses jutaan orang miskin terhadap perawatan kesehatan. Mereka menggunakan sistem kekayaan intelektual (KI) yang dirancang untuk melindungi inovasi sebagai benteng untuk memonopoli, sehingga merampas potensi kehidupan dan kesehatan bagi mereka yang tidak mampu membayar harga tinggi.

Upaya untuk merampas kembali kedaulatan kesehatan ini memerlukan tekanan global untuk melonggarkan aturan KI, terutama dalam situasi darurat kesehatan masyarakat. Ini adalah pertarungan moral antara hak atas kehidupan melawan hak atas keuntungan finansial. Perlawanan ini menegaskan bahwa beberapa hal, seperti kesehatan dan martabat, tidak boleh menjadi objek yang dapat dirampas demi kepentingan ekonomi semata.

Lebih lanjut, dampak perampasan budaya harus menjadi perhatian serius. Ketika praktik dan artefak budaya masyarakat adat dikomersialkan dan dipatenkan oleh entitas luar tanpa persetujuan atau kompensasi yang adil, terjadi perampasan identitas. Desain tradisional, musik sakral, atau pengetahuan botani yang diturunkan selama ribuan tahun tiba-tiba menjadi "properti" milik korporasi di negara maju. Ini merampas warisan budaya dan nilai ekonomi yang melekat padanya, sementara komunitas asli tidak mendapatkan manfaat apa pun. Proses ini tidak hanya menghilangkan kekayaan material, tetapi juga merusak rasa hormat diri dan kedaulatan kultural.

Penting untuk diakui bahwa perampasan adalah proses yang dinamis dan adaptif. Ia terus menemukan celah baru dalam sistem hukum dan ekonomi kita. Oleh karena itu, strategi perlawanan juga harus adaptif, melibatkan aktivisme digital untuk melawan perampasan data, lobi politik untuk mengubah perjanjian perdagangan yang merugikan, dan gerakan agraria yang terus menuntut reforma yang adil dan sejati.

Intinya, setiap tindakan merampas, sekecil apa pun, adalah pukulan terhadap prinsip keadilan. Dan setiap upaya untuk merebut kembali, sekecil apa pun, adalah penegasan kembali nilai dan hak asasi manusia universal. Perjuangan untuk masyarakat yang adil adalah perjuangan untuk memastikan bahwa tidak ada lagi kekuatan—baik negara, korporasi, maupun individu—yang merasa berhak untuk merampas apa pun dari siapa pun.

Kesadaran kolektif adalah senjata terkuat melawan perampasan. Selama mata publik terbuka terhadap cara-cara tersembunyi kekuasaan beroperasi, dan selama ada kemauan moral untuk berdiri bersama korban perampasan, harapan untuk restorasi keadilan akan tetap menyala. Perampasan mungkin telah merajalela, tetapi semangat untuk merebut kembali hak dan martabat tidak akan pernah padam.

Dalam refleksi akhir, kita harus mengakui bahwa perampasan tidak hanya terjadi pada tingkat makro, seperti perebutan lahan atau politik, tetapi juga meresap ke dalam interaksi sosial sehari-hari. Pelecehan, diskriminasi, dan pengabaian sistematis terhadap minoritas adalah bentuk perampasan hak untuk diperlakukan setara dan bermartabat. Ketika kelompok rentan ditolak aksesnya ke pendidikan berkualitas, perampasan terjadi; ketika wanita dibayar lebih rendah dari pria untuk pekerjaan yang sama, perampasan ekonomi terjadi; ketika orang difabel tidak diberikan fasilitas yang memadai, perampasan mobilitas dan partisipasi sosial terjadi. Semua ini adalah manifestasi dari logika yang sama: menggunakan kekuasaan untuk mengambil atau menahan hak yang seharusnya menjadi milik orang lain.

Maka, tugas kita sebagai masyarakat bukan hanya menuntut ganti rugi atas perampasan masa lalu, melainkan membangun sistem yang secara intrinsik menolak dan mencegah praktik merampas di masa depan. Ini memerlukan revolusi dalam etika kekuasaan, di mana transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi inklusif menjadi norma, bukan pengecualian. Negara harus benar-benar berfungsi sebagai wali, bukan sebagai perampas terbesar. Korporasi harus beroperasi dengan prinsip keberlanjutan dan keadilan distributif, bukan hanya maksimalisasi keuntungan. Dan individu harus memiliki kesadaran kritis untuk menolak menjadi subjek atau agen perampasan.

Hanya dengan keberanian moral untuk mengidentifikasi, melawan, dan membalikkan setiap tindakan merampas, kita dapat berharap membangun tatanan sosial yang benar-benar membebaskan. Keadilan tidak dapat diberikan; keadilan harus direbut kembali. Dan proses merebut kembali ini adalah denyut nadi demokrasi sejati dan kemanusiaan yang utuh. Setiap helai tanah yang dipertahankan, setiap suara yang diangkat, dan setiap hak yang diakui kembali adalah kemenangan kecil namun vital melawan kekuatan yang merampas. Perjuangan ini adalah warisan kita bagi generasi mendatang, memastikan mereka tidak mewarisi dunia yang sudah terlanjur dirampas.

Fenomena perampasan juga erat kaitannya dengan masalah kepemilikan dan kontrol atas informasi dan teknologi. Di era kecerdasan buatan (AI) dan otomatisasi, ada kekhawatiran yang sah mengenai perampasan pekerjaan dan keterampilan. Ketika mesin mengambil alih tugas-tugas yang dulu dilakukan manusia, nilai dari tenaga kerja manusia itu sendiri dirampas. Masyarakat harus menemukan cara untuk meredistribusi nilai yang dihasilkan oleh otomatisasi ini, agar kekayaan tersebut tidak hanya terakumulasi di tangan segelintir pemilik platform dan algoritma, yang secara efektif merampas potensi ekonomi jutaan pekerja.

Kesadaran akan bahaya perampasan harus menjadi fondasi pendidikan kewarganegaraan. Generasi muda perlu diajari untuk mengenali tanda-tanda perampasan, baik itu dalam bentuk kebijakan yang tampak sah, kontrak yang menipu, atau narasi publik yang bias. Kemampuan untuk menganalisis dan membongkar logika perampasan adalah kunci untuk pertahanan hak-hak individual dan kolektif di abad ke-21. Ini adalah pendidikan yang merampas kembali kekuatan dari manipulasi dan ketidaktahuan.

Pada akhirnya, sejarah peradaban dapat dilihat sebagai rangkaian panjang upaya untuk melepaskan diri dari perampasan. Mulai dari perjuangan melawan tirani feodal, perbudakan, kolonialisme, hingga otoritarianisme modern, semuanya adalah pertarungan untuk merebut kembali hak asasi yang telah dicuri atau ditahan. Memahami konsep ‘merampas’ secara menyeluruh memberikan kita peta jalan menuju pembebasan, menuntut kita untuk selalu waspada terhadap kekuatan yang berusaha mengambil tanpa izin, tanpa kompensasi, dan tanpa martabat.

🏠 Kembali ke Homepage