Menyunggingkan: Seni Pewarnaan dan Filosofi Agung Nusantara

Ilustrasi Tangan Menyunggingkan Detail Motif Tradisional Proses Menyunggingkan (Detailing)

Ilustrasi Tangan Menyunggingkan Detail Motif Tradisional.

I. Pendahuluan: Definisi dan Makna Menyunggingkan

Istilah menyunggingkan merujuk pada sebuah proses artistik yang mendalam dan terperinci, khususnya dalam tradisi seni rupa Nusantara, terutama di Jawa dan Bali. Secara etimologis, kata dasar "sungging" berkaitan erat dengan pewarnaan, pengukiran, atau penyepuhan (gilding), yang bertujuan untuk memberikan nilai estetika, identitas karakter, serta makna filosofis pada sebuah objek seni. Menyunggingkan bukanlah sekadar mewarnai; ia adalah tahapan akhir yang krusial, di mana ruh dan kehidupan diberikan pada sebuah karya—seperti pada boneka Wayang Kulit, topeng ukir, atau ornamen arsitektur keraton.

Aktivitas ini memerlukan keahlian teknis yang luar biasa, kesabaran, dan pemahaman mendalam tentang semiotika warna. Setiap garis, setiap sapuan pigmen, dan setiap taburan prada (emas) harus dilakukan dengan ketelitian spiritual, karena karya yang diwarnai sering kali memiliki fungsi ritualistik, bukan sekadar dekoratif. Kesalahan dalam proses menyunggingkan dapat mengubah makna fundamental dari karakter yang direpresentasikan, misalnya, mengubah sifat heroik menjadi licik, atau sebaliknya.

Seni menyunggingkan berakar kuat dalam sistem kepercayaan Jawa kuna, di mana harmoni kosmik harus dicerminkan dalam komposisi visual. Ini adalah jembatan antara dunia material dan spiritual, di mana seniman (disebut empu sungging) bertindak sebagai perantara yang menanamkan daya magis melalui pigmen-pigmen alami. Pemahaman akan sejarah dan metodologi menyunggingkan adalah kunci untuk mengapresiasi kekayaan budaya visual Indonesia yang sering kali tersembunyi di balik lapisan-lapisan warna yang memukau.

II. Akar Filosofis Pewarnaan dalam Tradisi Nusantara

Sebelum membahas teknik spesifik, penting untuk memahami landasan spiritual yang menaungi setiap pilihan warna dalam proses menyunggingkan. Di Nusantara, warna bukanlah elemen acak, melainkan representasi konkret dari energi kosmik, sifat karakter (watak), dan tingkatan spiritual.

Filosofi Catur Warna dan Nawa Sanga

Konsep pewarnaan seringkali merujuk pada dua sistem utama: Catur Warna (Empat Warna Pokok) dan Nawa Sanga (Sembilan Arah Mata Angin/Warna). Ini memastikan bahwa hasil sunggingan selaras dengan tatanan jagat raya:

  1. Merah (Abang): Melambangkan keberanian, nafsu (Lust/Kama), kekuatan fisik, dan energi Timur. Merah sering digunakan untuk karakter raksasa atau kesatria yang berwatak tegas dan cenderung emosional.
  2. Putih (Pethak): Melambangkan kesucian, kejernihan batin, kemurnian spiritual, dan kekuatan Barat. Digunakan untuk wajah dewa atau kesatria utama yang telah mencapai tingkat kebijaksanaan tinggi.
  3. Hitam (Ireng): Melambangkan keabadian, misteri, kekuatan gaib, konsentrasi, dan kekuatan Utara. Hitam digunakan untuk pigmen rambut, beberapa senjata pusaka, atau karakter yang sangat bijaksana namun pendiam (seperti Semar dalam beberapa interpretasi).
  4. Kuning (Jingga/Emas): Dalam konteks menyunggingkan, kuning sering kali diwujudkan dalam bentuk prada emas. Melambangkan kemuliaan, kekuasaan, kekayaan, dan pencerahan spiritual (Cahya). Ini adalah warna yang paling sakral dan sering ditempatkan pada atribut raja atau dewa.

Pencampuran empat warna dasar ini menghasilkan warna-warna sekunder yang memiliki interpretasi filosofis tersendiri, menciptakan spektrum watak yang tak terbatas. Misalnya, warna hijau (perpaduan biru dan kuning) sering mewakili kemakmuran, kesuburan, atau kedamaian, seringkali melekat pada karakter yang hidup di hutan atau bersekutu dengan alam.

Makna Spiritual Prada (Emas)

Proses menyunggingkan yang melibatkan aplikasi prada emas, dikenal sebagai nyepuhi, adalah ritual paling tinggi. Emas tidak hanya mewakili kekayaan, tetapi juga cahya (cahaya abadi) dan kasampurnan (kesempurnaan). Dengan menyunggingkan prada, seniman meyakini bahwa objek tersebut diberikan perlindungan spiritual dan status yang ditinggikan, memancarkan aura dewa atau pusaka.

Harmoni dan Kontras

Prinsip penting lainnya adalah penggunaan kontras untuk memperkuat karakter. Karakter yang berwatak halus (alus), seperti Arjuna, akan disunggingkan dengan dominasi warna putih, emas, dan coklat muda, dengan sedikit sentuhan merah yang terkontrol. Sementara karakter kasar (gagah), seperti Bima atau Buta Cakil, akan menggunakan pigmen yang lebih pekat dan agresif, seperti merah pekat, hitam, dan biru tua. Teknik menyunggingkan harus mampu menangkap dualisme Rwa Bhineda—keseimbangan antara baik dan buruk, halus dan kasar—dalam satu bingkai visual.

III. Teknik Dasar dan Persiapan Material Sungging

Seni menyunggingkan adalah warisan teknologi kuno yang bergantung pada pigmen alami, ikatan organik, dan alat kerja yang sangat spesifik. Kesempurnaan hasil bergantung pada persiapan material yang memakan waktu berbulan-bulan.

A. Persiapan Pigmen Alam (Warna Dasar)

Pigmen tradisional harus digiling hingga mencapai tingkat kehalusan mikro agar dapat menempel sempurna pada media seperti kulit kerbau (Wayang) atau kayu (Topeng). Proses ini meliputi:

  1. Oker Kuning dan Merah (Tanah Liat Mineral): Oker dicuci, dijemur, kemudian digiling dalam lumpang batu selama berjam-jam. Tingkat kehalusan menentukan kejernihan warna. Oker adalah pigmen dasar untuk warna kulit dan coklat.
  2. Indigo (Warna Biru/Hitam): Diperoleh dari daun tanaman Tarum. Daun difermentasi, diekstrak, dan diendapkan. Untuk sunggingan, pasta indigo harus dicampur dengan larutan alkali khusus untuk menjaga stabilitas warna.
  3. Jelaga (Carbon Black): Diperoleh dari pembakaran damar atau minyak kelapa secara tidak sempurna. Jelaga yang terkumpul adalah pigmen hitam murni yang sangat stabil, digunakan untuk rambut, mata, dan garis tepi (garis tatah sungging).
  4. Binder (Lem Perekat): Pigmen tidak dapat menempel tanpa pengikat. Secara tradisional digunakan getah pohon tertentu (seperti getah Kamboja atau Jati) atau yang paling umum, lem tulang (gelatin) yang dimurnikan, yang harus dipanaskan dan dipertahankan pada suhu yang tepat selama proses menyunggingkan.

B. Alat-alat Khusus Menyunggingkan

Alat-alat yang digunakan sangat sederhana namun presisi, menunjukkan fokus pada keterampilan tangan (kepatuhan) seniman:

IV. Proses Inti Menyunggingkan pada Wayang Kulit

Wayang Kulit adalah media paling ikonik dari seni sungging. Proses ini adalah yang paling panjang dan menuntut, terdiri dari belasan tahapan mikroskopis yang mengubah kulit kerbau yang ditatah menjadi karakter yang hidup.

A. Tahap Pra-Sungging: Persiapan Kulit (Ngerok dan Ngeringkes)

Sebelum pigmen disentuh, kulit kerbau (yang telah dikeringkan dan ditatah/diukir) harus dipersiapkan. Ini melibatkan ngerok (membersihkan sisa lemak) dan ngeringkes (memberikan lapisan dasar putih atau kapur tipis) agar pigmen dapat menempel secara merata dan warna tampak cemerlang. Lapisan dasar ini sangat penting; tanpa itu, warna akan diserap kulit dan tampak kusam.

B. Tahap Pewarnaan Dasar (Plangkan)

Ini adalah pengisian warna di area-area besar. Warna dasar diterapkan berdasarkan watak karakter. Misalnya, Bima mendapatkan warna kulit coklat tua (kopi susu), sementara Srikandi mendapatkan warna kuning muda atau gading. Pekerjaan ini harus rapi, karena ini adalah fondasi visual. Seringkali, diperlukan tiga hingga empat lapisan plangkan untuk mencapai saturasi warna yang diinginkan.

C. Tahap Menyunggingkan Detail Garis (Garis Penentu Watak)

Di sinilah keajaiban menyunggingkan terjadi. Dengan kuas sungging yang sangat halus, seniman mulai menambahkan detail yang menentukan ekspresi, usia, dan temperamen:

  1. Nggaris Rambut dan Alis: Menggunakan pigmen hitam jelaga, garis rambut digambarkan satu per satu. Ketebalan garis alis menunjukkan watak; alis tebal menunjukkan sifat gagah/keras, sementara alis tipis melengkung menunjukkan kehalusan.
  2. Garis Mata (Soca): Garis mata adalah fokus ekspresi. Mata yang melotot (bulat besar) disunggingkan untuk karakter raksasa atau buta, sedangkan mata sipit (gabahan) untuk karakter halus. Garis ini harus tegas dan tanpa cacat.
  3. Garis Bibir (Lathi): Merah cerah untuk karakter yang berbicara lugas, merah gelap (merah hati) untuk karakter yang menahan emosi.
  4. Penciptaan Motif Isen-Isen: Ini adalah detail ornamen pada kain, perhiasan, atau mahkota. Misalnya, motif parang rusak atau kawung harus disunggingkan dengan presisi miniatur. Proses ini dapat memakan waktu puluhan jam per karakter.

D. Proses Menyunggingkan Prada (Penyepuhan Emas)

Penyepuhan adalah puncak dari seni menyunggingkan. Ini dilakukan hanya pada area-area yang memerlukan kemuliaan absolut, seperti mahkota, perhiasan, atau senjata pusaka.

Langkah-Langkah Penyepuhan (Ngadi Prada):

  1. Persiapan Perekat (Bolo atau Olie Prada): Perekat khusus, yang dulunya terbuat dari campuran getah tertentu atau minyak yang sangat lengket (seringkali dicampur dengan bawang putih), dioleskan tipis-tipis hanya pada area yang akan dihias emas.
  2. Pengeringan Semi-Kering: Perekat harus dibiarkan mengering hingga tingkat kekentalan tertentu (agak lengket, tetapi tidak basah). Ini adalah tahap kritis.
  3. Aplikasi Emas (Prada/Pelekat Emas): Lembaran emas tipis (seringkali berupa emas 22 atau 24 karat, atau imitasi berkualitas tinggi) ditekan perlahan menggunakan kapas atau kuas lembut.
  4. Pembersihan dan Penghalusan (Nyikat): Setelah prada menempel, sisa-sisa prada dihilangkan dengan kuas lembut, menghasilkan permukaan emas yang cemerlang dan rata. Proses ini memberikan dimensi kemewahan yang tidak tertandingi oleh pigmen biasa.

Seorang empu sungging sejati dapat menghabiskan waktu hingga enam bulan hanya untuk menyunggingkan dan menyepuh satu tokoh Wayang yang sangat kompleks, seperti Krisna atau Rahwana, karena jumlah detail dan lapisan pigmen yang dibutuhkan.

Dalam konteks modern, pigmen sintetis sering digunakan karena kecepatan dan ketahanannya, namun seniman tradisional bersikeras bahwa hanya pigmen alam yang dapat memberikan tekstur "mati" dan kedalaman spiritual yang sesuai dengan filosofi Wayang. Pigmen alam cenderung memudar dan berubah warna seiring waktu, perubahan yang dianggap sebagai bagian dari perjalanan spiritual objek tersebut.

V. Menyunggingkan pada Media Seni Lain

Meskipun Wayang Kulit adalah fokus utama, seni menyunggingkan diterapkan pada berbagai media lain di Nusantara, masing-masing dengan adaptasi teknik yang unik.

A. Menyunggingkan pada Topeng (Masker)

Topeng, terutama dalam tradisi Cirebon, Malang, atau Bali, memerlukan teknik sungging yang berbeda karena medianya adalah kayu yang tebal dan bertekstur. Warna pada topeng berfungsi untuk menguatkan ekspresi tiga dimensi yang sudah diukir.

  1. Dasar Gesso atau Kapur: Kayu yang berpori harus ditutup dengan lapisan dasar yang tebal (seringkali menggunakan campuran kapur dan lem) agar pigmen tidak terserap habis.
  2. Warna Dasar Intensif: Karena Topeng digunakan dalam tarian panggung, warna harus sangat intens. Karakter Panji (halus) didominasi putih dan emas, sementara Rahwana/Buto (kasar) didominasi merah darah dan hitam.
  3. Teknik Gradasi (Sigung): Untuk memberikan kedalaman visual, seniman menyunggingkan gradasi warna (sigung) pada area pipi, dahi, atau sekitar mata, menciptakan ilusi otot dan ketegangan ekspresi.

B. Menyunggingkan pada Bilah Pusaka (Warangka Keris)

Pada warangka (sarung keris) yang terbuat dari kayu pilihan, proses menyunggingkan seringkali lebih fokus pada penonjolan serat alami kayu sambil menambahkan ornamen emas atau perak halus. Ini disebut sungging prada atau sungging kinatah.

Jika Warangka menggunakan teknik Pulas (penuh warna), sunggingan digunakan untuk menciptakan motif batik atau motif flora dan fauna yang sangat kecil dan rinci, seringkali pada area gandar (batang sarung) atau pendok (lapisan luar logam). Warna-warna yang dipilih melambangkan status dan daerah asal pusaka tersebut.

C. Menyunggingkan pada Ornamen Arsitektur (Praba)

Di keraton atau pura, ornamen kayu pada tiang, langit-langit, atau gerbang sering kali disunggingkan secara besar-besaran, menciptakan Praba (aura suci/kemilau). Di Bali, teknik ini dikenal sebagai prada emas yang diaplikasikan pada ukiran dewa, naga, atau motif padma.

Skala yang lebih besar menuntut adaptasi. Meskipun kuas sungging masih digunakan untuk detail, warna dasar diaplikasikan dengan kuas yang lebih lebar, namun standar ketelitian tetap dijaga, memastikan bahwa setiap lekukan ukiran menerima pigmen dan prada secara merata dan berkilauan di bawah sinar matahari atau pelita.

VI. Tantangan Kontemporer dan Masa Depan Seni Sungging

Seni menyunggingkan adalah cerminan dari peradaban yang sabar dan menghargai detail. Namun, di era modern, praktik ini menghadapi serangkaian tantangan serius, terutama yang berkaitan dengan transmisi pengetahuan, ketersediaan material, dan tekanan ekonomi.

A. Hilangnya Pengetahuan Material Tradisional

Salah satu kendala terbesar adalah hilangnya akses ke pigmen dan binder alami yang otentik. Proses pembuatan pigmen alami sangat memakan waktu dan kini dianggap tidak ekonomis. Generasi muda seniman sering kali beralih ke cat akrilik atau enamel komersial. Meskipun cat modern menawarkan ketahanan yang lebih baik terhadap cuaca dan serangga, mereka gagal mereplikasi kedalaman tekstur dan "ruh" yang dihasilkan oleh pigmen organik yang diikat oleh lem tulang atau getah khusus.

Selain itu, teknik membuat prada tradisional (lembaran emas murni) semakin langka. Banyak seniman kini menggunakan prada imitasi yang berbasis logam murah, yang meskipun visualnya serupa, tidak membawa nilai filosofis atau daya tahan yang sama.

Peran Sanggar dalam Pelestarian

Pelestarian seni menyunggingkan kini bergantung pada sanggar-sanggar kecil yang dikelola oleh empu sungging sepuh. Sanggar ini tidak hanya mengajarkan teknik kuas, tetapi juga filosofi di balik warna dan proses ritualistik, seperti meditasi sebelum memulai sunggingan. Mereka berjuang melawan arus komersialisasi, yang menuntut penyelesaian karya dalam waktu singkat, mengorbankan kualitas dan ketelitian spiritual.

B. Presisi dan Kecepatan Produksi

Permintaan pasar global untuk suvenir atau Wayang produksi massal telah memaksa seniman untuk mengambil jalan pintas. Jika dahulu satu detail isen-isen pada kain bisa dikerjakan selama seminggu, kini harus diselesaikan dalam hitungan jam. Hal ini menyebabkan penurunan kualitas sunggingan, di mana garis-garis menjadi tebal, gradasi kasar, dan prada diterapkan secara ceroboh.

Pentingnya menyunggingkan terletak pada ketidaksempurnaan yang sempurna—garis yang digambar tangan yang merefleksikan usaha manusia. Produksi massal menghilangkan unsur keunikan dan ketulusan ini, mengubah artefak spiritual menjadi komoditas dekoratif belaka.

C. Upaya Revitalisasi Melalui Pendidikan

Di beberapa institusi seni dan keraton, upaya revitalisasi dilakukan dengan mendokumentasikan secara rinci prosedur-prosedur kuno. Program pelatihan spesialis diadakan untuk memastikan bahwa teknik giling pigmen, pencampuran binder, dan penggunaan kuas sungging yang tepat tidak hilang. Fokus pendidikan kini beralih dari sekadar keterampilan meniru (reproduksi) menjadi pemahaman akan filosofi di balik setiap sapuan kuas. Seniman kontemporer yang sukses adalah mereka yang mampu menggabungkan presisi tradisional dengan interpretasi modern tanpa mengorbankan makna esensial dari sunggingan.

VII. Studi Mendalam: Kompleksitas Detail dalam Menyunggingkan

Untuk benar-benar mengapresiasi kompleksitas menyunggingkan, kita harus melihat lebih dalam pada detail-detail spesifik yang sering terlewatkan oleh mata awam. Ini adalah seni mikroskopis yang membentuk identitas visual sebuah karya.

A. Teknik Ukiran Pigmen (Nggaris Blumbangan)

Pada Wayang kulit, area tertentu (seperti mata atau mulut) harus memiliki kedalaman dan kontras. Seniman menggunakan teknik nggaris blumbangan, di mana pigmen diterapkan berulang kali di area cekung atau garis lekuk, menciptakan ilusi kedalaman bayangan. Sebaliknya, area yang menonjol (seperti hidung atau dahi) diwarnai lebih terang untuk menangkap cahaya.

Penciptaan ilusi tiga dimensi pada medium dua dimensi seperti kulit Wayang memerlukan pemahaman yang sangat baik tentang perspektif warna. Misalnya, warna biru kehitaman yang digunakan pada area cekung jubah Raden Gatotkaca akan membuatnya tampak lebih berotot dan kuat, sementara warna cerah pada sayapnya menonjolkan kemampuan terbangnya.

B. Tujuh Lapisan Kehidupan dalam Warna

Dalam tradisi sungging keraton Jawa, pewarnaan dilakukan dalam minimal tujuh lapisan (lapisan tujuh banyu), masing-masing dengan tujuan tertentu. Ini bukan hanya masalah saturasi, tetapi juga ketahanan dan kedalaman optik:

  1. Lapisan 1 (Dasaran): Pengikat kapur tipis untuk daya rekat.
  2. Lapisan 2 (Plangkan Tipis): Warna dasar pertama, sangat encer.
  3. Lapisan 3 (Plangkan Utama): Warna dasar kedua, lebih pekat, menentukan corak utama.
  4. Lapisan 4 (Isen-isen/Garis Tepi): Penambahan garis-garis hitam dan merah pada ukiran kecil.
  5. Lapisan 5 (Sigung): Pewarnaan gradasi untuk memberikan dimensi bayangan.
  6. Lapisan 6 (Soca/Lathi): Pewarnaan detail paling kecil (mata, bibir, kuku).
  7. Lapisan 7 (Penutup atau Emas): Lapisan vernis atau penyepuhan prada yang memberikan kilau akhir dan perlindungan.

Setiap lapisan harus dikeringkan sepenuhnya sebelum lapisan berikutnya diterapkan. Proses pengeringan alami ini bisa memakan waktu berhari-hari, menjelaskan mengapa satu karya sungging membutuhkan waktu yang sangat lama.

C. Semiologi Pewarnaan Kain pada Wayang

Pilihan warna dan motif pada kain (busana) tokoh adalah bagian terpenting dari menyunggingkan. Kain kuning keemasan (Parang Rusak Emas) hanya boleh digunakan oleh bangsawan tinggi. Kain motif Biru Laut (Sidomukti) melambangkan harapan dan kebahagiaan. Penggunaan pigmen tertentu pada kain juga mencerminkan status sosial:

Seniman menyunggingkan harus menjadi ahli semiotika budaya, memastikan bahwa kostum Wayang tidak hanya indah, tetapi juga akurat secara hierarki. Kesalahan dalam menyunggingkan motif batik atau warna busana dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap etika pewayangan.

Dalam konteks kontemporer, seniman dituntut untuk menyeimbangkan antara tradisi yang kaku dan inovasi. Beberapa empu sungging kini bereksperimen dengan pigmen alami yang lebih cerah yang tidak dikenal di masa lalu, selama penambahan warna tersebut masih sejalan dengan watak karakter yang sudah ditetapkan oleh pakem.

VIII. Kontemplasi: Menyunggingkan Sebagai Meditasi Keindahan

Seni menyunggingkan adalah bukti nyata bahwa seni tradisional Nusantara adalah manifestasi dari filsafat hidup yang mendalam. Ia mengajarkan kesabaran, ketelitian, dan pengakuan bahwa kesempurnaan datang melalui proses yang panjang dan bertahap. Setiap titik pigmen yang ditempatkan oleh kuas sungging adalah sebuah tindakan penghormatan terhadap tradisi dan karakter yang dihidupkan.

Ketika kita menatap sebuah Wayang yang telah disunggingkan dengan sempurna, kita tidak hanya melihat kulit dan pigmen; kita melihat ribuan jam kerja hening, proses penggilingan pigmen dari alam, dan pemahaman yang kuat tentang cosmos. Proses ini menuntut seniman untuk memasuki keadaan meditasi, di mana tangan, mata, dan hati bekerja selaras. Hanya dalam keadaan manunggaling kawula lan Gusti (kesatuan hamba dan Tuhan) dalam konteks artistik inilah sentuhan akhir yang magis dapat disalurkan.

Warisan ini harus terus dijaga, bukan hanya sebagai teknik melukis, tetapi sebagai metodologi berpikir yang menghargai kualitas di atas kuantitas. Dengan terus menghidupkan dan mempelajari seni menyunggingkan, kita memastikan bahwa ruh dan filosofi agung Nusantara tetap bercahaya, cemerlang layaknya prada emas yang disepuh oleh tangan seorang empu sejati.

Seni ini adalah pengingat bahwa keindahan sejati terletak pada detail yang tersembunyi, pada pigmen yang dipilih dari bumi, dan pada kesabaran untuk menunggu tujuh lapisan warna mengering, sebelum akhirnya, sebuah karakter legenda bangkit dan siap untuk berbicara melalui bayangan.

IX. Analisis Rinci Bahan Baku Tradisional

Detail teknis mengenai bahan baku sunggingan membutuhkan perhatian khusus. Pigmen yang digunakan dalam sunggingan Jawa dan Bali tidak hanya sekadar pewarna, tetapi substansi yang diproses secara ritual. Kita akan membedah persiapan beberapa pigmen penting.

1. Persiapan Pigmen Merah (Abang Wijen)

Pigmen merah yang berkualitas tinggi seringkali tidak hanya mengandalkan oker. Untuk merah yang pekat dan berdarah (digunakan untuk lidah raksasa atau bibir Baladewa), digunakan campuran vermillion alami (sulfida merkuri) atau, dalam metode yang lebih aman, dari biji kesumba (Bixa orellana) yang direndam dalam larutan alkali panas. Proses penyaringannya dilakukan berulang kali. Larutan biji kesumba ini kemudian diendapkan dengan penambahan kapur halus, menghasilkan bubuk merah bata yang setelah dicampur lem tulang akan menghasilkan warna yang kaya dan tahan lama. Tingkat keasaman air pencampur sangat mempengaruhi kecerahan merah; air hujan yang dikumpulkan pada malam Suro sering dianggap terbaik karena kemurniannya. Menyunggingkan warna merah ini harus dilakukan dengan gerakan cepat karena pigmen berbasis biji cenderung mengering lebih cepat dari pigmen mineral.

2. Proses Pengikatan (Gelatinisasi Lem Balung)

Lem tulang (gelatin) dari kerbau yang digunakan untuk kulit Wayang adalah pengikat yang superior. Tulang kerbau harus direbus berulang kali, dicuci, dan direbus kembali hingga menghasilkan gelatin murni. Gelatin yang baik harus bening, tidak berbau, dan memiliki titik leleh yang rendah. Empu sungging akan mencampur pigmen bubuk dengan gelatin cair yang dihangatkan di atas tungku kecil. Rasio campuran pigmen dan binder (disebut matra) adalah rahasia dapur setiap sanggar. Jika lem terlalu encer, warna akan luntur; jika terlalu kental, warna akan menggumpal dan mudah retak. Seni menyunggingkan memerlukan konsistensi yang tepat: cukup cair untuk mengalir dari kuas halus, tetapi cukup kental untuk menempel permanen pada kulit kerbau yang sudah di-ngerok.

3. Hitam Keabadian (Jelaga Damar)

Hitam terbaik diperoleh dari pembakaran damar atau getah kemenyan di bawah penampung logam (mangkok jelaga). Proses ini menghasilkan jelaga karbon ultra-halus. Jelaga ini kemudian dicuci dengan air perasan daun sirih untuk menghilangkan residu minyak, yang jika tersisa akan membuat pigmen tidak mau menempel. Hitam ini digunakan untuk memberikan kontras dramatis pada Wayang. Menyunggingkan garis tatah (garis tepi) dengan jelaga adalah langkah paling presisi, karena garis tersebut mendefinisikan bentuk akhir dari setiap ornamen. Garis harus ditarik dalam satu tarikan napas panjang untuk menghindari getaran, sebuah praktik yang membutuhkan latihan bertahun-tahun.

X. Etika dan Ritual dalam Menyunggingkan

Karya seni tradisional yang diwarnai secara sunggingan seringkali membawa energi magis. Oleh karena itu, proses menyunggingkan tidak dapat dipisahkan dari ritual spiritual yang mendahuluinya, mencakup etika kerja dan kondisi batin seniman.

A. Kondisi Batin (Laku Prihatin)

Seorang empu sungging harus berada dalam kondisi batin yang bersih (suci lahir batin) saat melakukan sunggingan, terutama untuk karakter dewa atau pusaka. Seringkali, mereka melakukan puasa (mutih) atau mengurangi tidur. Tujuan dari laku prihatin ini adalah untuk memastikan bahwa energi negatif tidak ditransfer ke dalam karya. Pewarnaan adalah penanaman watak, dan jika seniman sedang marah atau tergesa-gesa, watak karakter tersebut diyakini akan menjadi cacat atau tidak harmonis.

B. Waktu dan Siklus Alam

Beberapa empu hanya akan memulai tahap kritis menyunggingkan (seperti aplikasi prada atau pewarnaan mata) pada waktu-waktu tertentu, seringkali setelah matahari terbenam atau pada hari-hari pasaran tertentu (misalnya, Jum’at Kliwon), yang dianggap membawa keberuntungan dan kekuatan spiritual. Keyakinan ini memastikan bahwa karya tersebut diresapi oleh ritme kosmik, menjadikannya lebih dari sekadar benda, melainkan saluran spiritual.

C. Filosofi Kegagalan (Retak dan Luntur)

Dalam seni menyunggingkan tradisional, jika pigmen retak atau warna luntur, itu tidak selalu dianggap kegagalan teknis, melainkan tanda dari semesta bahwa ada ketidaksempurnaan pada pigmen atau pada jiwa seniman. Proses koreksi (ngracik ulang) dilakukan dengan doa dan introspeksi. Hal ini mengajarkan kerendahan hati—bahwa meskipun manusia berupaya mencapai kesempurnaan, hasil akhir dikendalikan oleh kekuatan yang lebih besar.

XI. Kontribusi Regional pada Seni Menyunggingkan

Meskipun istilah menyunggingkan umum di Jawa, variasi regional memberikan kekayaan teknik yang luar biasa.

A. Sunggingan Gaya Surakarta dan Yogyakarta

Di Surakarta (Solo), sunggingan dikenal dengan warna yang cenderung lebih lembut (soga, coklat, gading) dan detail isen-isen yang sangat padat dan miniatur. Ini mencerminkan estetika keraton yang tenang dan halus. Kontrasnya, sunggingan Yogyakarta sering menggunakan warna-warna yang lebih berani dan tegas (merah dan biru yang kuat) serta proporsi yang lebih kaku, merefleksikan karakter militeristik kerajaan tersebut.

B. Sunggingan Bali (Prada Emas dan Poleng)

Di Bali, seni sungging (sering disebut pewarna) sangat didominasi oleh penggunaan prada emas. Hampir semua ornamen dewa, penari, atau arsitektur pura disepuh dengan emas untuk menekankan status ilahi. Selain prada, Bali juga terkenal dengan penggunaan pola poleng (hitam-putih kotak-kotak) yang disunggingkan secara manual, melambangkan keseimbangan Rwa Bhineda, yang diaplikasikan pada kain atau topeng buto. Teknik Bali menuntut kecepatan tinggi karena kelembaban udara yang tinggi mempercepat proses pengeringan pigmen alami.

C. Sunggingan Cirebon (Wayang Kulit Cirebonan)

Sunggingan pada Wayang Cirebonan menunjukkan pengaruh Tiongkok dan pesisir yang kuat. Penggunaan warna lebih cerah dan flamboyan, seperti merah jambu, hijau muda, dan biru langit. Dibandingkan dengan sunggingan Solo yang cenderung naturalistik, Cirebonan lebih berani dan ekspresif. Proses menyunggingkan di sini fokus pada kejelasan simbolisme warna yang terkadang bertabrakan dengan pakem Jawa pedalaman, namun tetap memegang teguh fungsi watak.

Kajian mendalam terhadap seni menyunggingkan mengungkapkan lapisan-lapisan kekayaan budaya yang jauh melampaui pigmen dan kuas. Ia adalah jantung dari seni rupa tradisional, menuntut totalitas spiritual dan teknis dari setiap seniman yang berani menjalaninya.

🏠 Kembali ke Homepage