Jagat Rasa: Eksplorasi Mendalam Tentang Tindakan Menyukai
Menyukai adalah salah satu fondasi pengalaman manusia yang paling mendasar, namun paling kompleks. Ia bukan sekadar reaksi sesaat, melainkan sebuah spektrum luas yang mencakup preferensi kognitif, respons emosional, dan ikatan sosial yang membentuk peta diri kita. Jika cinta sering digambarkan sebagai puncak gunung yang jarang dicapai, maka tindakan menyukai adalah dataran luas yang kita jelajahi setiap hari—area tempat kita memilih pakaian, makanan, genre musik, hingga rekan interaksi kita. Pemahaman mendalam tentang apa yang membuat kita menyukai sesuatu atau seseorang membuka pintu ke mekanisme inti dari motivasi, kebahagiaan, dan pembentukan identitas.
Dalam psikologi, menyukai (liking) sering dibedakan dari mencintai (loving). Menyukai adalah penilaian positif yang ditujukan pada objek, ide, atau individu, sering kali didorong oleh penghargaan atas kualitas yang ada atau manfaat yang diperoleh. Sementara cinta melibatkan hasrat, komitmen, dan sering kali kerentanan yang lebih besar. Namun, batas antara keduanya sering kali kabur, dan menyukai sering menjadi benih awal dari afeksi yang lebih dalam. Kekuatan preferensi ini, seiring waktu, dapat menjadi jangkar emosional yang jauh lebih stabil daripada ledakan hasrat sesaat. Kita akan menelusuri bagaimana proses kognitif dan kimiawi di otak berkolaborasi untuk mengukir rasa suka ini, bagaimana masyarakat memengaruhi apa yang kita anggap menyenangkan, dan mengapa beberapa hal yang kita sukai bertahan seumur hidup, sementara yang lain hanya bersifat fana.
I. Arsitektur Kognitif dari Preferensi: Mengapa Kita Menyukai
Untuk memahami mengapa kita menyukai sesuatu, kita harus terlebih kepala memasuki laboratorium otak. Tindakan menyukai bukanlah keputusan rasional murni, melainkan hasil kompleks dari sistem penghargaan (reward system) yang dirancang untuk memastikan kelangsungan hidup dan kebahagiaan kita.
1. Peran Sentral Dopamin dan Sistem Penghargaan
Ketika kita mengalami sesuatu yang menyenangkan—apakah itu gigitan cokelat, senyuman dari orang yang kita kagumi, atau berhasil memecahkan teka-teki—otak melepaskan neurotransmitter kunci: dopamin. Dopamin sering disebut sebagai 'molekul kesenangan', tetapi peran utamanya sebenarnya adalah 'molekul motivasi' atau 'molekul antisipasi'. Dopamin memicu keinginan untuk mencari pengalaman tersebut lagi. Proses menyukai, pada tingkat neurokimia, adalah hasil dari penguatan jalur sinaptik yang menghubungkan stimulus (objek yang disukai) dengan respons menyenangkan (pelepasan dopamin).
Namun, studi lebih lanjut membedakan antara 'Wanting' (keinginan/motivasi yang didorong dopamin) dan 'Liking' (kesenangan aktual yang melibatkan opioid alami). Meskipun dopamin membuat kita terobsesi untuk mencari benda yang kita sukai, opioid endogen (seperti endorfin) yang memberikan sensasi kepuasan sejati. Mekanisme ini penting: jika kita hanya memiliki 'wanting' tanpa 'liking', kita akan terus mengejar tanpa pernah puas (sering terlihat pada kecanduan). Tetapi ketika kita benar-benar menyukai sesuatu, kedua jalur ini bekerja harmonis, memastikan kita termotivasi untuk mengulang pengalaman yang memuaskan.
2. Efek Paparan Sesaat (Mere-Exposure Effect)
Salah satu penemuan paling mendalam dalam psikologi sosial adalah fakta bahwa kita cenderung lebih menyukai hal-hal yang familiar. Efek Paparan Sesaat (Mere-Exposure Effect), yang dipopulerkan oleh Robert Zajonc, menunjukkan bahwa semakin sering kita terpapar pada stimulus tertentu (baik itu wajah, lagu, atau bahkan ide), semakin positif penilaian kita terhadapnya. Familiaritas menciptakan prediktabilitas, dan otak manusia cenderung menyukai apa yang dapat diprediksi karena terasa aman dan membutuhkan lebih sedikit energi kognitif untuk diproses.
Inilah sebabnya mengapa lagu yang awalnya tidak menarik bisa menjadi favorit setelah kita mendengarnya berulang kali, atau mengapa kita merasa nyaman dengan rutinitas harian yang kita sukai. Kebiasaan menyukai ini merupakan respons adaptif, memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan lingkungan secara efisien. Dalam konteks hubungan interpersonal, efek ini menjelaskan mengapa orang yang sering kita temui—rekan kerja atau tetangga—berpotensi besar untuk berkembang menjadi seseorang yang kita sukai, bahkan jika tidak ada daya tarik fisik atau intelektual yang menonjol pada awalnya.
3. Bias Kognitif yang Memperkuat Menyukai
Rasa suka kita tidak selalu objektif; seringkali diperkuat oleh berbagai bias kognitif. Bias Konfirmasi (Confirmation Bias) memainkan peran besar: begitu kita memutuskan untuk menyukai seseorang atau sesuatu, kita secara aktif mencari informasi yang mendukung penilaian positif itu dan mengabaikan bukti yang bertentangan. Jika kita menyukai sebuah merek, kita akan lebih mudah memaafkan kesalahannya. Jika kita menyukai seorang politisi, kita akan membenarkan keputusan kontroversialnya.
Selain itu, Hukum Asosiasi (Associative Learning) sangat kuat. Jika suatu objek hadir pada saat kita sedang mengalami emosi positif (misalnya, mendengarkan lagu saat berlibur), objek tersebut akan diasosiasikan dengan emosi positif tersebut. Setelahnya, setiap kali kita mendengar lagu itu, kita akan secara otomatis menyukai dan merasakan kembali suasana liburan tersebut. Liking bukan hanya tentang objek itu sendiri, tetapi juga tentang konteks emosional di mana kita pertama kali mempertemukannya.
II. Spektrum Afeksi: Bentuk-Bentuk Tindakan Menyukai
Menyukai bukanlah monolitis. Ia terwujud dalam berbagai bentuk dan intensitas, yang masing-masing memiliki implikasi berbeda terhadap kehidupan kita. Membedakan jenis-jenis kesukaan membantu kita mengelola ekspektasi dan memahami kedalaman hubungan kita dengan dunia.
1. Liking Estetika dan Sensori
Ini adalah jenis kesukaan yang paling cepat diakses: respons terhadap indra. Kita menyukai rasa manis, simetri visual, atau kelembutan kain. Kesukaan ini seringkali bersifat instan dan kurang melibatkan proses kognitif mendalam. Namun, preferensi estetika membentuk lanskap budaya kita—dari desain arsitektur hingga tren fesyen. Perdebatan tentang "rasa" (taste) sering berkisar pada jenis kesukaan ini. Apakah menyukai lukisan abstrak adalah tanda kecanggihan, atau hanya respons preferensial terhadap warna dan bentuk tertentu?
Preferensi sensori memiliki akar evolusioner. Kita cenderung menyukai makanan berlemak dan manis karena secara historis, makanan tersebut menjamin kelangsungan hidup. Bahkan dalam konteks modern, kita masih membawa preferensi bawaan ini, meskipun lingkungan kita tidak lagi menuntut kita untuk selalu mencari kalori maksimum. Menyukai hal-hal yang secara instingtif terasa baik adalah bagian tak terpisahkan dari biologi kita.
2. Liking Instrumental (Manfaat)
Kita menyukai hal-hal atau orang karena mereka memberikan manfaat yang jelas bagi kita. Kita menyukai pekerjaan kita karena memberikan gaji yang stabil. Kita menyukai alat tertentu karena meningkatkan efisiensi. Dalam hubungan interpersonal, menyukai instrumental terjadi ketika kita menghargai seseorang karena keahlian, koneksi, atau dukungan praktis yang mereka berikan.
Meskipun jenis kesukaan ini mungkin terdengar transaksional, ia adalah pendorong utama kolaborasi dan masyarakat. Kita cenderung membentuk jaringan dengan orang-orang yang kita sukai dan yang dapat membantu kita mencapai tujuan. Kunci dalam menyukai instrumental adalah timbal balik yang seimbang; jika manfaatnya sepihak, rasa suka itu akan segera berubah menjadi rasa dimanfaatkan.
3. Liking Intim dan Personal
Jenis kesukaan ini adalah dasar dari persahabatan sejati. Ini melibatkan rasa hormat, kekaguman, dan, yang terpenting, rasa saling berbagi. Ahli teori hubungan, seperti Zick Rubin, berpendapat bahwa liking dalam hubungan intim terdiri dari tiga komponen utama:
- Afeksi (Affection): Hangat dan menyenangkan saat berada di dekat orang tersebut.
- Kekaguman (Admiration): Menghormati bakat, prestasi, atau penilaian orang tersebut.
- Rasa Hormat (Respect): Menilai tinggi kepribadian dan karakter mereka.
Ketika kita benar-benar menyukai seseorang secara personal, kita tidak hanya menghargai apa yang mereka lakukan untuk kita (instrumental), tetapi siapa mereka sebagai individu. Ini adalah bentuk kesukaan yang paling dekat dengan cinta, tetapi seringkali tanpa tuntutan komitmen jangka panjang atau hasrat fisik yang mendominasi.
III. Menyukai dan Pembentukan Identitas Diri
Apa yang kita sukai tidak hanya mencerminkan kepribadian kita; itu secara aktif membentuknya. Preferensi kita berfungsi sebagai penanda sosial, mengomunikasikan nilai-nilai kita kepada dunia. Tindakan menyukai adalah sebuah deklarasi identitas.
1. Preferensi sebagai Sinyal Sosial
Ketika seseorang bertanya, "Apa hobi atau film favoritmu?", mereka tidak hanya mencari informasi acak; mereka mencoba menempatkan Anda dalam kategori sosial tertentu. Menyukai genre musik tertentu, tim olahraga, atau ideologi politik berfungsi sebagai lencana identitas. Preferensi ini memungkinkan kita untuk dengan cepat mengidentifikasi anggota kelompok (ingroup) dan orang luar (outgroup).
Dalam konteks sosial, menyukai hal yang sama dengan orang lain adalah jalan tercepat untuk membangun ikatan dan kepercayaan. Ini menciptakan apa yang disebut 'keterikatan homogen' (homophily), di mana kita tertarik pada orang yang paling mirip dengan kita. Jika Anda menyukai kopi artisanal, kemungkinan besar Anda akan lebih mudah berteman dengan orang lain yang juga menyukai kopi artisanal, karena preferensi bersama menjadi topik komunikasi yang kaya dan validasi atas pilihan hidup Anda.
2. Konsumsi sebagai Manifestasi Liking
Ekonomi modern didorong oleh apa yang kita sukai. Pemasaran dan periklanan adalah industri yang didedikasikan untuk membentuk, memanipulasi, dan memperkuat rasa suka kita terhadap produk. Ketika kita membeli barang, kita tidak hanya membeli fungsinya; kita membeli identitas yang diasosiasikan dengan barang tersebut.
Keputusan menyukai sebuah merek tertentu (misalnya, memilih perusahaan teknologi tertentu daripada yang lain) adalah pernyataan halus tentang nilai-nilai yang kita anut—inovasi, status, atau keberlanjutan. Konsumsi, yang berakar pada preferensi pribadi, menjadi ritual sosial yang menopang citra diri kita. Jika kita menyukai buku, kita membeli buku; jika kita menyukai gaya hidup minimalis, kita membeli pengalaman, bukan barang. Intinya, dompet kita adalah catatan fisik dari hal-hal yang kita sukai.
3. Dinamika Perkembangan Liking Sepanjang Hidup
Apa yang kita sukai pada usia 15 tahun sangat berbeda dari apa yang kita sukai pada usia 45 tahun. Perkembangan rasa suka adalah cerminan dari kematangan kognitif dan perubahan nilai-nilai hidup. Selama masa remaja, preferensi seringkali sangat dipengaruhi oleh kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan kelompok sebaya (liking didorong oleh penerimaan). Kita mungkin menyukai band atau mode tertentu hanya karena kelompok kita menyukainya.
Seiring bertambahnya usia, rasa suka kita cenderung menjadi lebih internal dan otentik. Kita mulai menyukai hal-hal yang selaras dengan nilai-nilai inti kita, bukan sekadar yang populer. Preferensi kita menjadi lebih stabil, lebih terinternalisasi, dan kurang rentan terhadap fluktuasi tren sosial. Proses ini adalah bagian dari mencari keaslian diri—mengidentifikasi dan berpegangan pada hal-hal yang benar-benar kita sukai, bukan yang seharusnya kita sukai.
IV. Ketika Menyukai Bertemu Digital: Era 'Like'
Revolusi digital telah mengambil konsep abstrak 'menyukai' dan mengubahnya menjadi unit data yang terukur dan dapat diperdagangkan: tombol 'Like', tanda hati, atau jempol ke atas. Simbol-simbol ini memiliki dampak psikologis, sosial, dan ekonomi yang transformatif.
1. Likability sebagai Mata Uang Sosial
Dalam platform media sosial, rasa suka telah dikuantifikasi. Setiap 'Like' yang kita terima adalah dosis dopamin instan yang memvalidasi keberadaan kita dan kualitas konten kita. Hal ini menciptakan lingkaran umpan balik di mana kita termotivasi untuk memproduksi lebih banyak konten yang 'disukai' oleh orang lain. Validasi digital ini sangat kuat karena menggabungkan kebutuhan manusia akan penerimaan sosial dengan kecepatan dan kepuasan instan dari teknologi.
Fenomena ini telah mengubah arti dari menyukai. Dalam konteks digital, 'menyukai' postingan mungkin tidak berarti Anda benar-benar menyukai isi postingan tersebut (misalnya, berita buruk), tetapi bisa berarti Anda mengakui keberadaan postingan itu, mendukung pengirimnya, atau sekadar berpartisipasi dalam ritual platform. Disparitas antara makna harfiah 'liking' dan fungsi sosialnya menciptakan tekanan psikologis yang signifikan.
2. Algoritma Preferensi dan Gelembung Filter
Algoritma platform dirancang untuk terus memberi kita apa yang kita sukai. Berdasarkan riwayat klik, tontonan, dan 'likes' kita, sistem ini memprediksi preferensi kita di masa depan. Meskipun ini menciptakan pengalaman pengguna yang mulus dan menyenangkan (karena kita terus-menerus terpapar pada hal-hal yang kita yakini akan kita sukai), ini memiliki konsekuensi sosial yang besar.
Kita terperangkap dalam 'gelembung filter' (filter bubble), di mana pandangan, informasi, dan preferensi yang berbeda dari kita disaring. Ini memperkuat bias kita dan membatasi eksposur kita pada keragaman. Ketika kita hanya melihat hal-hal yang kita sukai, kita cenderung menjadi kurang toleran terhadap perbedaan, karena kita kehilangan praktik kognitif untuk berinteraksi dengan ide-ide yang tidak menyenangkan. Digitalisasi rasa suka, ironisnya, dapat mengurangi jangkauan rasa suka kita di dunia nyata.
V. Studi Filosofis Tentang Preferensi: Ketika Menyukai Menjadi Kebajikan
Jauh sebelum neurosains menemukan dopamin, para filsuf telah bergulat dengan sifat selera dan preferensi. Mereka bertanya: Apakah kita harus menyukai apa yang baik, atau apakah yang kita sukai itu baik?
1. Platon dan Apresiasi Keindahan Sejati
Bagi Platon, menyukai hal-hal yang fana dan indrawi adalah kesukaan tingkat rendah. Platon berpendapat bahwa kita harus mengarahkan preferensi kita menuju 'Bentuk' (Forms) yang abadi dan sempurna, seperti Kebenaran, Kebaikan, dan Keindahan. Menyukai sebuah karya seni yang indah hanyalah langkah awal; kita harus belajar menyukai Keindahan itu sendiri, yang merupakan representasi abadi. Dalam pandangan ini, menyukai adalah proses moral dan edukatif; tugas kita adalah mendidik diri sendiri untuk menyukai hal-hal yang secara intrinsik bernilai, yang akan meningkatkan jiwa kita.
2. Hume dan Subjektivitas Total
David Hume, seorang empiris Skotlandia, mengambil pandangan yang lebih radikal. Ia berpendapat bahwa "Keindahan bukanlah kualitas dalam benda itu sendiri: ia hanya ada di dalam pikiran yang merenungkannya." Bagi Hume, semua rasa, termasuk tindakan menyukai, bersifat subjektif. Tidak ada selera yang lebih unggul dari yang lain. Jika Anda menyukai puisi buruk dan saya menyukai epik hebat, tidak ada cara objektif untuk mengatakan bahwa selera saya lebih baik—kedua preferensi tersebut sama-sama valid karena keduanya adalah sentimen yang dirasakan secara subjektif.
Namun, Hume menyadari masalah relativitas total ini dan kemudian memperkenalkan konsep "Juri yang Ideal" (Ideal Judge) yang merupakan individu yang berpengetahuan, bebas dari bias, dan memiliki indra yang halus. Juri ini dapat memandu preferensi publik, meskipun pada akhirnya, rasa suka tetap berakar pada sentimen, bukan logika. Filosofi ini menekankan bahwa meskipun kita bebas menyukai apa pun, kita dapat berusaha memperbaiki selera kita melalui edukasi dan refleksi.
3. Etika Menyukai: Mencintai Kebajikan
Filsuf Stoik dan Aristoteles berfokus pada etika dalam menyukai. Mereka mengajarkan bahwa kita harus belajar menyukai kebajikan (virtues). Aristoteles berpendapat bahwa kebahagiaan sejati (Eudaimonia) adalah hasil dari hidup yang sesuai dengan kebajikan. Jika kita menyukai tindakan yang benar, adil, dan bijaksana, maka tindakan-tindakan tersebut akan datang dengan mudah dan menyenangkan. Dengan kata lain, kebajikan menjadi kebiasaan yang disukai (a liked habit).
Dalam etika ini, menyukai bukan hanya pasif (apa yang terjadi pada kita), tetapi aktif (apa yang kita pilih untuk dibudidayakan). Kita memiliki tanggung jawab untuk membentuk preferensi kita sehingga kita menyukai hal-hal yang membangun karakter kita dan masyarakat. Jika Anda menyukai kemalasan, Anda harus berusaha mendidik diri Anda untuk menyukai kerja keras, demi kebaikan Anda sendiri.
VI. Praktik Pembentukan dan Pengelolaan Rasa Suka
Memahami mekanisme di balik rasa suka memungkinkan kita untuk secara sadar membentuk preferensi kita, sebuah keterampilan penting dalam mengelola motivasi, kebahagiaan, dan hubungan.
1. Strategi Keterlibatan Berulang
Karena kita tahu bahwa efek paparan berulang memperkuat rasa suka, kita dapat menggunakan strategi ini untuk mengembangkan minat baru. Jika Anda ingin menyukai olahraga, jangan berhenti setelah upaya pertama yang canggung. Teruslah mengekspos diri Anda pada kegiatan itu. Awalnya, Anda mungkin hanya mentolerirnya, tetapi seiring waktu, familiaritas akan berubah menjadi penerimaan, dan penerimaan menjadi kesenangan (liking).
Hal yang sama berlaku untuk makanan sehat atau tugas yang menantang. Otak membutuhkan waktu untuk membangun jalur asosiasi positif. Konsistensi, bahkan dalam ketidaksukaan awal, adalah kunci untuk mengubah penolakan menjadi preferensi.
2. Teknik ‘Liking Transfer’ (Pemindahan Suka)
Ini adalah teknik yang didasarkan pada pembelajaran asosiatif. Jika ada aktivitas yang Anda tidak sukai (misalnya, berolahraga di gym), pasangkan aktivitas itu dengan sesuatu yang sudah Anda sukai. Misalnya, hanya izinkan diri Anda mendengarkan podcast favorit atau genre musik tertentu saat Anda berada di gym. Dengan mengasosiasikan emosi positif dari podcast dengan aktivitas fisik, Anda secara bertahap memindahkan rasa suka itu, membuat aktivitas yang semula tidak menyenangkan menjadi dimotivasi oleh janji kesenangan lain.
Mekanisme ini adalah fondasi dari banyak teknik pembentukan kebiasaan, mengubah tugas yang terasa seperti kewajiban menjadi ritual yang dinanti-nantikan karena dikaitkan dengan hal-hal yang sudah kita sukai.
3. Melatih Apresiasi Kompleksitas
Seringkali, kita gagal menyukai hal-hal yang kompleks (seperti musik klasik, anggur berkualitas, atau teori fisika) karena otak kita menyerah pada kesulitan pemrosesan. Namun, kesukaan yang paling memuaskan seringkali datang dari apresiasi terhadap kompleksitas.
Kita dapat melatih diri untuk menyukai hal-hal yang lebih dalam dengan melibatkan diri secara aktif. Alih-alih mendengarkan musik klasik secara pasif, bacalah tentang struktur harmoni atau riwayat komposernya. Peningkatan pengetahuan ini mengubah pengalaman dari yang hanya bersifat sensori (Apakah ini terdengar bagus?) menjadi kognitif (Saya menghargai keahlian di baliknya.). Transformasi ini adalah esensi dari menjadi seorang 'apresiator'—seseorang yang telah mencapai tingkat kesukaan yang lebih tinggi.
VII. Batasan Menyukai: Kapan Preferensi Berubah Menjadi Obsesi
Meskipun menyukai umumnya positif, garis antara preferensi yang sehat dan keterikatan yang tidak sehat bisa menjadi kabur, terutama ketika preferensi itu menguasai keputusan dan emosi kita.
1. Fiksasi dan Ketergantungan
Ketika tindakan menyukai objek atau aktivitas tertentu menjadi fiksasi, kita mungkin mulai mengabaikan aspek penting lain dari kehidupan kita. Dalam kasus ekstrim, jalur dopamin menjadi begitu terfokus pada satu sumber kesukaan sehingga sumber kesenangan lain menjadi terasa hambar. Ini terlihat pada kecanduan, di mana keinginan (wanting) untuk mendapatkan sumber kesukaan mengalahkan manfaat sebenarnya (liking) yang diperoleh.
Perbedaan penting antara hobi yang sehat dan obsesi adalah bahwa hobi yang sehat memperkaya kehidupan kita tanpa menghancurkan keseimbangan. Obsesi, yang berakar pada kesukaan yang berlebihan, justru mengurangi kebahagiaan jangka panjang dengan menciptakan ketergantungan dan kecemasan.
2. Ketakutan Kehilangan (Loss Aversion)
Ketika kita sangat menyukai sesuatu, ketakutan untuk kehilangannya (baik itu harta benda, status, atau hubungan) bisa menjadi sumber penderitaan. Ekonomi perilaku mengajarkan bahwa kita merasa sakit kehilangan dua kali lebih kuat daripada kesenangan mendapatkan. Rasa suka yang kuat dapat mengikat kita pada situasi yang tidak lagi menguntungkan, hanya karena kita takut akan kekosongan yang ditinggalkan oleh objek kesukaan tersebut.
Pengelolaan rasa suka yang bijaksana memerlukan kemampuan untuk melepaskan hal-hal yang kita sukai ketika waktu atau keadaan menuntutnya. Ini adalah inti dari kebijaksanaan emosional: menghargai apa yang kita sukai saat ini, tanpa menjadikan kebahagiaan kita bergantung sepenuhnya padanya.
VIII. Memperluas Cakrawala Menyukai: Empati dan Afeksi Universal
Ketika kita mengaplikasikan mekanisme menyukai pada bidang moral dan sosial, kita mencapai bentuk afeksi yang paling tinggi: empati dan apresiasi terhadap kemanusiaan universal.
1. Menyukai Diri Sendiri: Fondasi Kesejahteraan
Tindakan menyukai diri sendiri (self-liking atau self-esteem yang sehat) adalah prasyarat untuk menyukai orang lain dan menikmati hidup. Ini bukan tentang narsisme, tetapi tentang menerima diri sendiri dengan segala kelemahan dan kekuatan. Ketika seseorang menyukai dirinya, mereka cenderung mengambil risiko yang sehat, mengejar tujuan yang ambisius, dan lebih tahan banting terhadap kegagalan. Preferensi positif terhadap diri sendiri menciptakan basis motivasi yang stabil, yang pada gilirannya memicu lingkungan positif di sekitar kita.
Psikologi humanistik menekankan bahwa proses menyukai diri ini tidak statis; ia membutuhkan praktik berkelanjutan dari belas kasih diri (self-compassion) dan pengakuan terhadap pertumbuhan pribadi. Jika kita tidak menyukai orang yang kita lihat di cermin, sangat sulit untuk benar-benar menyukai apa pun di dunia luar secara tulus.
2. Menyukai dan Toleransi
Dalam masyarakat yang beragam, kita tidak harus 'mencintai' semua orang, tetapi kita harus belajar 'menyukai' keragaman itu sendiri. Toleransi adalah bentuk menyukai yang paling pragmatis. Ini adalah keputusan kognitif untuk menghargai keberadaan orang atau ide yang berbeda, meskipun kita tidak sepenuhnya setuju dengan mereka. Kita menyukai ide bahwa dunia lebih kaya karena adanya perspektif yang berbeda.
Mempelajari untuk menyukai kompleksitas dan ambiguitas, daripada hanya menyukai kepastian dan kesamaan, adalah tanda kematangan sosial. Ini memungkinkan kita untuk berinteraksi dalam dunia di mana preferensi kita tidak selalu universal. Kita menyukai prinsip kebebasan berekspresi, bahkan jika kita membenci konten yang diungkapkan.
3. Mencari Kesenangan Sejati (Hedonia vs. Eudaimonia)
Psikologi positif membedakan antara kesenangan hedonis (hedonia), yang berasal dari kesukaan instan dan sensori (makan makanan enak, menonton TV), dan kesenangan eudaimonik (eudaimonia), yang berasal dari rasa suka yang terkait dengan tujuan dan makna (bekerja keras untuk tujuan yang lebih besar, membantu orang lain).
Ketika kita menyukai hal-hal yang memberikan makna mendalam (seperti mendidik anak, berkontribusi pada komunitas, atau menguasai keterampilan yang sulit), rasa suka itu menghasilkan kebahagiaan yang jauh lebih tahan lama. Pengalaman menyukai eudaimonik melibatkan aliran (flow) dan tantangan yang optimal, menggeser fokus dari konsumsi pasif menuju penciptaan aktif. Kualitas hidup kita seringkali dapat diukur dari seberapa banyak kita menyukai tugas-tugas yang menantang dan bermakna.
IX. Dinamika Kehilangan Rasa Suka: Mengapa Preferensi Berubah
Sama pentingnya dengan memahami mengapa kita mulai menyukai sesuatu, kita juga harus memahami mengapa kita berhenti. Rasa suka tidak abadi; ia adalah entitas dinamis yang merespons perubahan internal dan eksternal.
1. Kebosanan dan Adaptasi Hedonis
Adaptasi hedonis adalah kecenderungan manusia untuk kembali ke tingkat kebahagiaan dasar (baseline), bahkan setelah peristiwa positif yang signifikan. Apa yang kita sukai hari ini, besok akan menjadi normal. Jam tangan baru yang kita suka, mobil baru yang kita kagumi—semua akan kehilangan kilau kesukaan seiring waktu. Kebosanan adalah musuh alami dari rasa suka yang berkelanjutan.
Untuk melawan adaptasi hedonis, kita harus melakukan intervensi aktif. Ini bisa berupa: variasi (mencari variasi dalam hal yang kita sukai), apresiasi (secara sadar menghargai hal yang kita miliki), atau batasan (mengurangi paparan untuk sementara agar rasa suka itu dapat diperbarui).
2. Diskonfirmasi dan Ketidakcocokan Nilai
Kita dapat berhenti menyukai seseorang atau sesuatu ketika terjadi disonansi kognitif yang terlalu besar. Misalnya, Anda mungkin sangat menyukai seorang seniman, tetapi kemudian menemukan bahwa nilai-nilai pribadi mereka sangat bertentangan dengan nilai-nilai Anda. Ketika bukti negatif (diskonfirmasi) menumpuk hingga melampaui kemampuan bias konfirmasi untuk mempertahankannya, rasa suka itu bisa runtuh tiba-tiba.
Dalam hubungan, perubahan preferensi sering terjadi ketika kita menemukan bahwa nilai-nilai inti pasangan tidak cocok dengan nilai-nilai kita. Rasa suka didasarkan pada asumsi positif; jika asumsi tersebut terbukti salah, fondasi afeksi akan retak, dan preferensi bisa berubah menjadi ketidakpedulian, atau bahkan kebencian.
3. Transisi Hidup dan Prioritas Baru
Setiap fase kehidupan membawa serangkaian preferensi baru. Ketika seseorang menjadi orang tua, mereka mungkin berhenti menyukai kegiatan sosial yang ramai, dan mulai menyukai ketenangan di rumah. Ketika seseorang pensiun, mereka mungkin berhenti menyukai rutinitas kerja dan mulai menyukai perjalanan spontan. Perubahan preferensi ini tidaklah negatif; itu hanyalah indikator bahwa prioritas dan sumber nilai telah bergeser.
Menyambut perubahan dalam apa yang kita sukai adalah tanda kedewasaan. Ini menunjukkan bahwa kita fleksibel dan adaptif terhadap tantangan dan peluang baru yang ditawarkan oleh tahapan kehidupan yang berbeda.
X. Kekuatan Sejati dari Menyukai: Menjaga Api Kecil
Pada akhirnya, tindakan menyukai adalah energi penggerak yang lebih lembut namun lebih persisten daripada cinta yang membakar. Ia adalah mesin di balik motivasi sehari-hari dan penentu kualitas pengalaman kita. Mempelajari cara mengelola dan memelihara rasa suka adalah seni hidup yang esensial.
1. Liking sebagai Ketahanan Emosional
Orang yang memiliki beragam hal yang mereka sukai (hobi, buku, teman, makanan, tempat) cenderung lebih tangguh secara emosional. Jika satu sumber kesenangan hilang (misalnya, kehilangan pekerjaan), mereka memiliki jaringan pengaman preferensi lain yang dapat menopang mereka. Keanekaragaman rasa suka melindungi kita dari ketergantungan tunggal dan kerentanan emosional yang menyertainya.
2. Merayakan Kesukaan Sederhana
Di tengah tekanan untuk mencari kesenangan besar (cinta sejati, kekayaan besar), kita sering mengabaikan kesenangan kecil yang kita sukai setiap hari: aroma kopi pagi, sinar matahari di wajah, atau percakapan ringan dengan seorang kenalan. Kesenangan-kesenangan sederhana ini, yang sering disebut 'mikro-kesenangan', adalah sumber kebahagiaan kumulatif yang paling penting.
Latihan kesadaran (mindfulness) dapat membantu kita kembali terhubung dengan hal-hal kecil yang sudah kita sukai. Dengan memperhatikan dan mengakui kesenangan instan ini, kita memperkuat jalur saraf yang terkait dengan kepuasan, mengubah hari-hari biasa menjadi serangkaian momen yang diapresiasi.
3. Warisan dari Preferensi Kita
Warisan terbesar yang kita tinggalkan bukanlah hal-hal yang kita miliki, tetapi hal-hal yang kita sukai dan yang kita ajarkan untuk disukai oleh generasi berikutnya. Preferensi kita membentuk budaya dan nilai-nilai keluarga kita. Apakah kita menyukai pembelajaran? Apakah kita menyukai kebaikan? Apakah kita menyukai kejujuran?
Jika kita berfokus untuk menyukai hal-hal yang etis, mendalam, dan mempromosikan pertumbuhan, kita tidak hanya meningkatkan kualitas hidup kita sendiri, tetapi juga memberikan teladan preferensi yang bijaksana bagi orang-orang di sekitar kita. Tindakan menyukai, dalam bentuknya yang paling murni, adalah kompas menuju kehidupan yang bermakna.
Kekuatan preferensi, atau tindakan menyukai, adalah kekuatan yang senyap, bekerja di latar belakang setiap keputusan, setiap emosi, dan setiap ikatan sosial yang kita bentuk. Dari ledakan dopamin instan hingga filosofi etis yang berabad-abad, spektrum menyukai membentang dari reaksi kimiawi murni hingga pencapaian spiritual tertinggi. Ia adalah inti dari siapa kita, dan kunci untuk menjadi siapa kita bisa menjadi. Dengan memahami dan mengarahkan apa yang kita sukai, kita menguasai seni hidup yang kaya, bermakna, dan, yang terpenting, memuaskan.