Narasi mengenai pembangunan berkelanjutan telah lama menjadi tiang penyangga utama dalam diskursus global mengenai masa depan umat manusia. Sejak definisinya dicetuskan oleh Komisi Brundtland pada Our Common Future, yang menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah upaya memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, konsep ini telah diserap ke dalam setiap lapisan kebijakan, mulai dari tingkat lokal hingga kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun, dalam menghadapi realitas geologis dan ekologis yang semakin mendesak, terutama saat kita secara definitif memasuki periode yang dikenal sebagai Era Antroposen, timbul sebuah keharusan mendalam untuk secara radikal menyoal fondasi filosofis dan praktis dari keberlanjutan yang selama ini kita anut.
Antroposen menandakan suatu zaman di mana aktivitas manusia bukan lagi sekadar faktor lokal atau regional, melainkan kekuatan geofisika dominan yang mampu mengubah sistem Bumi secara keseluruhan, termasuk komposisi atmosfer, siklus biogeokimia, dan keanekaragaman hayati. Dalam konteks baru ini, keberlanjutan—yang seringkali dipahami sebagai jalan tengah yang harmonis antara pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan perlindungan lingkungan—mulai terlihat sebagai sebuah oksimoron yang menyulitkan. Kritik yang diajukan bukan semata-mata mengenai kegagalan implementasi, melainkan kegagalan konseptual yang terkandung dalam paradigma tersebut. Persoalan utamanya berkisar pada apakah mungkin mempertahankan model ekonomi yang didasarkan pada pertumbuhan eksponensial tak terbatas di sebuah planet yang memiliki sumber daya dan kapasitas penyerapan limbah yang sangat terbatas.
I. Fondasi Konseptual yang Ambivalen: Menyoal Definisi Keberlanjutan
A. Ketegangan antara Ekonomi dan Ekologi
Definisi awal keberlanjutan, meskipun mulia dalam semangatnya untuk keadilan intergenerasional, menyimpan benih konflik internal. Ketika Komisi Brundtland merumuskan konsep tersebut, tujuannya adalah menyelaraskan agenda pembangunan global—khususnya di negara-negara berkembang—dengan perlindungan lingkungan. Kritik utama muncul karena konsep tersebut menempatkan tiga pilar (ekonomi, sosial, lingkungan) dalam derajat yang setara, padahal secara ontologis, ekonomi dan sosial adalah subsistem yang sepenuhnya bergantung pada kapasitas dan sumber daya dari biosfer (pilar lingkungan).
Para kritikus, terutama dari kubu ekonomi ekologis, berpendapat bahwa keberlanjutan arus utama (yang dikenal sebagai ‘keberlanjutan lemah’ atau weak sustainability) secara implisit berasumsi bahwa modal alam dapat disubstitusikan oleh modal buatan manusia (teknologi, infrastruktur). Asumsi substitusi ini memungkinkan praktik merusak sumber daya alam asalkan keuntungan finansial atau kemajuan teknologi dapat diukur untuk mengimbanginya. Sebaliknya, pendekatan ‘keberlanjutan kuat’ (strong sustainability) menegaskan bahwa ada modal alam kritis (misalnya, keanekaragaman hayati, kestabilan iklim) yang tidak dapat disubstitusikan. Menyoal keberlanjutan berarti menyoal asumsi substitutabilitas ini dan mengakui bahwa ekonomi adalah entitas yang tertanam (embedded) di dalam batasan ekologis yang ketat.
B. Kritik terhadap Fokus pada ‘Kebutuhan’
Definisi Brundtland berpusat pada pemenuhan ‘kebutuhan’. Namun, di dunia yang ditandai oleh ketidaksetaraan ekstrem, di mana sebagian kecil populasi global mengonsumsi sumber daya secara disproporsional, konsep ‘kebutuhan’ menjadi sangat relatif dan sarat makna. Untuk sebagian besar negara industri, pembangunan tidak lagi didorong oleh kebutuhan mendasar, melainkan oleh keinginan dan akumulasi modal yang didikte oleh siklus konsumsi dan produksi yang tidak berkesudahan. Keberlanjutan gagal menyediakan kerangka yang jelas tentang kapan ‘cukup’ itu tercapai, atau bagaimana mengelola ‘keinginan’ yang didorong oleh kapitalisme kontemporer yang terus menerus mencari pasar baru dan mengikis batasan sosial serta lingkungan.
Oleh karena itu, ketika kita menyoal keberlanjutan, kita secara fundamental menanyakan: Apakah tujuan utama kita adalah melestarikan sistem ekonomi yang ada sambil sedikit mengurangi dampaknya, atau apakah tujuan kita adalah mendesain ulang sistem tersebut agar selaras dengan fungsi ekologis planet ini, bahkan jika itu berarti meninggalkan dogma pertumbuhan ekonomi tradisional?
Visualisasi sederhana mengenai konflik inti dalam paradigma keberlanjutan, di mana subsistem ekonomi dan sosial bergantung pada batasan ekologis.
II. Menyoal Hegemoni Pertumbuhan: Kritik Ekonomi Ekologis
Inti dari krisis keberlanjutan modern adalah keyakinan yang mengakar bahwa pertumbuhan ekonomi—didefinisikan melalui peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB)—adalah prasyarat mutlak bagi kemajuan sosial dan solusi bagi kemiskinan. Namun, pemikiran ini terbukti menjadi rintangan terbesar dalam mencapai keseimbangan ekologis.
A. Konsekuensi PDB sebagai Indikator Utama
PDB adalah matrik yang buta terhadap degradasi lingkungan. Ia menghitung polusi sebagai kontribusi positif (misalnya, biaya pembersihan tumpahan minyak meningkatkan PDB), sementara ia mengabaikan nilai layanan ekosistem yang tidak dikomersialkan (misalnya, penyerbukan oleh lebah, pemurnian air oleh hutan). Konsekuensinya, kebijakan yang didorong oleh PDB secara inheren bias terhadap eksploitasi dan mengabaikan modal alam yang menjadi fondasi kehidupan. Menyoal keberlanjutan memerlukan penggantian PDB dengan indikator yang lebih komprehensif, seperti Indikator Kemajuan Sejati (Genuine Progress Indicator/GPI) atau Metrik Ekologis Lainnya.
Para ekonom ekologis berpendapat bahwa kita telah melewati titik optimum pertumbuhan. Di banyak negara kaya, pertumbuhan PDB kini menghasilkan disutility—yaitu, kerusakan sosial dan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas ekonomi melebihi manfaatnya. Pembangunan berkelanjutan yang masih terikat pada pertumbuhan—sering disebut sebagai ‘pertumbuhan hijau’ atau decoupling—seringkali mengandalkan asumsi bahwa inovasi teknologi dapat sepenuhnya memisahkan pertumbuhan output ekonomi dari penggunaan sumber daya dan dampak lingkungan. Meskipun decoupling relatif (mengurangi intensitas sumber daya per unit PDB) mungkin terjadi, bukti menunjukkan bahwa decoupling absolut (menurunkan total penggunaan sumber daya dan emisi secara keseluruhan, tanpa terkecuali) di tingkat global yang diperlukan untuk memenuhi batasan planet adalah hal yang tidak realistis di bawah sistem ekonomi saat ini yang mengejar efisiensi melalui volume.
B. Post-Growth dan Konsep Degrowth
Sebagai respons radikal terhadap kegagalan paradigma pertumbuhan, muncul perdebatan mengenai Degrowth (Penyusutan Ekonomi Terencana) dan model Post-Growth (Pasca-Pertumbuhan). Model ini menyoal secara langsung narasi kemakmuran yang terikat pada akumulasi modal. Degrowth menyerukan pengurangan terencana dan demokratis dalam produksi dan konsumsi di negara-negara kaya, bertujuan untuk mengurangi jejak ekologis, meningkatkan kebahagiaan manusia, dan mencapai keadilan sosial melalui relokasi sumber daya dan peningkatan layanan publik (misalnya, perawatan kesehatan, pendidikan) yang tidak bergantung pada pertumbuhan materi.
Konsep ini sangat penting dalam Antroposen karena mengakui bahwa jika kita ingin memberi ruang bagi negara-negara miskin untuk meningkatkan standar hidup mereka (menghormati pilar sosial keberlanjutan), negara-negara kaya harus secara sukarela dan terencana menyusutkan ekonomi material mereka untuk mengurangi tekanan global pada biosfer. Menghindari diskusi tentang degrowth sama saja dengan menghindari inti dari kritik keberlanjutan; ini adalah pengakuan bahwa masalahnya bukan hanya bagaimana kita berproduksi, tetapi berapa banyak yang kita produksi secara keseluruhan.
III. Batasan Planet: Menyoal Kemampuan Planet untuk Menopang
Kerangka Batasan Planet (Planetary Boundaries) yang dikembangkan oleh ilmuwan seperti Johan Rockström dan Will Steffen memberikan basis ilmiah yang paling ketat untuk menyoal ambisi pembangunan berkelanjutan. Kerangka ini mengidentifikasi sembilan proses Bumi krusial yang mengatur stabilitas dan ketahanan sistem kehidupan di planet ini. Melebihi batasan-batasan ini meningkatkan risiko perubahan lingkungan yang tiba-tiba dan tidak dapat diubah (titik balik atau tipping points).
A. Melampaui Batas Aman
Saat ini, beberapa batasan telah dilampaui secara signifikan—terutama perubahan iklim (konsentrasi CO2), keanekaragaman hayati (tingkat kepunahan), dan siklus biogeokimia (nitrogen dan fosfor). Keberadaan kita di luar ‘ruang operasi yang aman’ (safe operating space) ini menuntut respons yang jauh lebih radikal daripada sekadar efisiensi atau ‘tiga pilar’ yang seimbang. Ini menuntut restorasi ekosistem skala besar dan pengurangan emisi yang mendekati nol, bukan hanya penyeimbangan antara pembangunan dan lingkungan.
Ketika batas iklim dilampaui, misalnya, dampak kekeringan, gelombang panas, dan kenaikan permukaan air laut tidak hanya merusak lingkungan fisik, tetapi juga menghancurkan struktur sosial dan ekonomi. Hal ini mengungkapkan kelemahan fundamental dari keberlanjutan versi lemah: jika fondasi ekologis runtuh, tidak ada substitusi teknologi atau kekayaan finansial yang dapat mencegah kegagalan sosial secara massal. Keberlanjutan harus didefinisikan ulang sebagai upaya untuk menjaga integritas sistem Bumi, bukan sekadar optimalisasi subsistem manusia.
B. Keadilan Iklim dan Etika Intergenerasional
Antroposen memaksa kita menyoal konsep etika kita. Siapakah yang bertanggung jawab atas pelanggaran batas planet? Secara historis, negara-negara industri global Utara memiliki jejak karbon dan material yang sangat besar. Membicarakan keberlanjutan tanpa mengatasi ketidakadilan historis ini (prinsip Tanggung Jawab Bersama Namun Terdiferensiasi, CBDR) adalah sebuah kemunafikan. Keadilan iklim menuntut agar negara-negara yang memiliki kontribusi historis terbesar harus memimpin pengurangan emisi dan menyediakan dana untuk adaptasi dan mitigasi bagi negara-negara yang paling rentan.
Lebih jauh lagi, etika intergenerasional menjadi pusat perhatian. Setiap keputusan pembangunan yang kita ambil hari ini—mulai dari pembangunan infrastruktur berbasis bahan bakar fosil hingga praktik pertanian intensif—akan membebani masa depan. Generasi mendatang harus menghadapi kondisi hidup yang secara fundamental lebih sulit dan mahal akibat pilihan kita saat ini. Menyoal keberlanjutan adalah menyoal batas moral kita: sejauh mana kita berhak mengorbankan masa depan demi kemakmuran jangka pendek?
Visualisasi kerangka Batasan Planet, menunjukkan bahwa aktivitas manusia telah mendorong sistem Bumi keluar dari Ruang Aman Operasi.
IV. Keberlanjutan dalam Tata Kelola dan Politik Lingkungan
Pembangunan berkelanjutan bukan hanya masalah teknokratis atau ekonomi; ia adalah medan perang politik yang melibatkan alokasi kekuasaan dan sumber daya. Upaya implementasi keberlanjutan sering kali tersandung pada kegagalan tata kelola (governance) dan hambatan politik yang mendalam.
A. Kegagalan Institusional dan Skala Waktu
Sebagian besar sistem politik demokratis modern bekerja dalam siklus pemilihan jangka pendek (empat hingga lima tahun). Para politisi secara inheren termotivasi untuk menghasilkan manfaat jangka pendek yang dapat terlihat—lapangan kerja segera, infrastruktur fisik baru—daripada investasi jangka panjang yang menghasilkan dividen ekologis yang baru terasa dalam beberapa dekade, seperti restorasi ekosistem atau mitigasi iklim yang drastis. Konflik antara skala waktu politik dan skala waktu ekologis adalah hambatan institusional utama dalam mencapai keberlanjutan yang autentik. Kita menyoal, bagaimana sebuah sistem yang terobsesi dengan laporan triwulan dapat merencanakan kelangsungan hidup dalam skala geologis?
Di tingkat internasional, lembaga-lembaga seperti PBB dan perjanjian-perjanjian iklim (misalnya, Perjanjian Paris) beroperasi berdasarkan konsensus sukarela dan tidak memiliki mekanisme penegakan hukum yang memadai. Keputusan yang dibuat sering kali merefleksikan kepentingan ekonomi nasional jangka pendek, bukan kepentingan kolektif planet ini. Kooptasi (co-option) bahasa keberlanjutan oleh korporasi besar, yang melakukan greenwashing (citra ramah lingkungan palsu) sambil mempertahankan model bisnis yang merusak, further melemahkan makna riil dari konsep ini.
B. Menyoal Peran Teknologi dan Techno-Fix
Banyak pembela keberlanjutan bergantung pada keyakinan yang optimis bahwa inovasi teknologi—dari energi terbarukan hingga penangkapan karbon—akan menyelamatkan kita tanpa memerlukan perubahan gaya hidup atau restrukturisasi ekonomi yang fundamental. Kepercayaan pada techno-fix ini adalah bentuk penundaan politik. Meskipun teknologi hijau mutlak diperlukan, bergantung padanya secara eksklusif berisiko menciptakan ‘bahaya moral’ (moral hazard).
Bahaya moral ini muncul ketika janji solusi teknologi di masa depan (misalnya, janji penangkapan karbon berskala besar) mengurangi urgensi untuk mengurangi emisi saat ini. Kritik harus menyoal apakah teknologi dipandang sebagai alat bantu dalam transisi sistemik, atau sebagai alasan untuk menghindari pembahasan tentang konsumsi berlebihan dan ketidakadilan struktural. Transisi keberlanjutan yang sesungguhnya memerlukan kombinasi teknologi, perubahan perilaku, dan yang paling penting, kebijakan struktural yang membatasi penggunaan sumber daya.
V. Dimensi Sosial dan Budaya: Menyoal Gaya Hidup di Antroposen
Pergeseran menuju keberlanjutan tidak akan pernah tercapai tanpa transformasi mendalam dalam norma-norma sosial, nilai-nilai budaya, dan harapan individu mengenai apa artinya ‘hidup yang baik’ atau ‘kemakmuran’.
A. Kemakmuran Tanpa Pertumbuhan
Konsep kemakmuran di banyak masyarakat modern identik dengan kepemilikan material, mobilitas yang tinggi, dan akses tak terbatas terhadap barang-barang konsumsi. Keberlanjutan menuntut kita menyoal resep kemakmuran ini. Ekonom seperti Tim Jackson dalam bukunya Prosperity Without Growth berpendapat bahwa kemakmuran sejati terletak pada kemampuan kita untuk berkembang sebagai manusia—melalui relasi sosial yang kuat, kesehatan yang baik, partisipasi politik, dan kesempatan untuk belajar—semua hal yang memiliki korelasi yang sangat lemah atau bahkan terbalik dengan konsumsi material yang terus meningkat di negara-negara maju.
Transformasi budaya ini adalah bagian yang paling sulit dari teka-teki keberlanjutan. Ini membutuhkan gerakan dari individualisme hiper-konsumtif menuju kolektivisme ekologis, di mana nilai-nilai komunitas, ketahanan (resilience), dan kesederhanaan (frugality) diangkat sebagai norma sosial, bukan pengecualian yang dilakukan oleh sekelompok kecil aktivis.
B. Peran Sistem Pangan dan Energi
Dua sistem global yang paling menantang untuk diselaraskan dengan batasan planet adalah pangan dan energi. Sistem pangan global saat ini adalah penyumbang signifikan terhadap emisi gas rumah kaca (melalui deforestasi, metana dari ternak), hilangnya keanekaragaman hayati (melalui pertanian monokultur), dan polusi air (melalui pupuk kimia). Menyoal keberlanjutan berarti menyoal praktik pertanian industri secara menyeluruh dan mendorong transisi menuju agroekologi dan diet yang lebih berbasis tanaman, yang membutuhkan lebih sedikit energi dan lahan.
Di sisi energi, transisi dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan adalah keharusan, namun transisi ini pun tidak bebas dari isu keberlanjutan. Produksi massal panel surya, turbin angin, dan baterai listrik membutuhkan mineral langka dan memiliki dampak pertambangan yang signifikan, sering kali di Global Selatan. Jika transisi energi hanya berarti mengganti satu bentuk ekstraktivisme dengan bentuk ekstraktivisme baru, kita hanya menggeser masalah lingkungan dari satu sektor ke sektor lain. Oleh karena itu, pengurangan permintaan energi secara keseluruhan (melalui efisiensi dan perubahan perilaku) harus menjadi prioritas yang sama pentingnya dengan peningkatan pasokan energi terbarukan.
VI. Membangun Kerangka Baru: Dari Keberlanjutan ke Ketahanan Ekologis
Jika keberlanjutan tradisional telah gagal menyediakan jalan keluar yang realistis dari krisis Antroposen, maka tugas selanjutnya adalah merumuskan kerangka kerja baru yang secara eksplisit mengakui batasan planet dan berfokus pada ketahanan sistem.
A. Model Doughnut Economics
Salah satu kerangka kerja yang paling menjanjikan yang secara eksplisit menyoal model pertumbuhan PDB adalah Doughnut Economics (Ekonomi Donat) yang dipopulerkan oleh Kate Raworth. Model ini mendefinisikan kemajuan sebagai pencapaian ruang yang adil dan aman (ecologically safe and socially just space) untuk umat manusia.
Bagian tengah donat adalah fondasi sosial (kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender, makanan, air, energi), yang harus dipenuhi. Cincin terluar adalah batas langit-langit ekologis (ecological ceiling), yang mencakup sembilan batasan planet yang tidak boleh dilanggar. Tujuan ekonomi dan pembangunan adalah memastikan semua orang berada di dalam donat—yaitu, memenuhi fondasi sosial tanpa melanggar batas ekologis. Model ini secara fundamental menolak pertumbuhan sebagai tujuan utama dan menggantinya dengan keseimbangan sistem dan regenerasi.
B. Prinsip Sirkularitas dan Regenerasi
Ekonomi linier (take-make-dispose) adalah akar dari krisis Antroposen. Pilihan yang muncul adalah transisi radikal menuju ekonomi sirkular dan, yang lebih penting, ekonomi regeneratif. Ekonomi sirkular berfokus pada perancangan produk agar limbah diminimalkan, dan bahan baku dipertahankan dalam siklus penggunaan selama mungkin.
Namun, ekonomi sirkular saja tidak cukup. Banyak kritik menyoal bahwa sirkularitas masih dapat didorong oleh motif keuntungan yang eksploitatif. Oleh karena itu, kita harus bergerak menuju ekonomi regeneratif, yang bukan hanya mengurangi kerusakan, tetapi secara aktif memulihkan dan meningkatkan modal alam. Ini termasuk praktik pertanian regeneratif, restorasi lahan basah, dan peningkatan keanekaragaman hayati—tindakan yang secara aktif menyembuhkan ekosistem yang rusak, alih-alih hanya memperlambat kehancurannya.
Prinsip sirkularitas, sebuah respons terhadap kelemahan model ekonomi linear yang dominan, menawarkan fondasi bagi keberlanjutan yang lebih kokoh.
VII. Menyoal Kekuatan Struktural: Politik Ekologi dan Transisi Radikal
Pada akhirnya, perdebatan tentang keberlanjutan adalah perdebatan tentang kekuasaan. Siapa yang mendapat manfaat dari sistem saat ini, dan siapa yang harus menanggung biaya transisi menuju sistem yang baru? Kritik yang paling tajam datang dari ekologi politik, yang melihat krisis lingkungan bukan sebagai kegagalan teknis, tetapi sebagai manifestasi dari hubungan kekuasaan yang tidak setara.
A. Ekstraktivisme dan Global Selatan
Model pembangunan berkelanjutan, yang sebagian besar diinisiasi oleh negara-negara maju, sering kali mengabaikan ketergantungan historis mereka pada ekstraksi sumber daya dari Global Selatan. Menyoal keberlanjutan berarti menyoal bagaimana kapitalisme global terus melanggengkan ‘pemindahan beban’ (burden shifting) lingkungan. Misalnya, upaya transisi energi di Global Utara mengarah pada peningkatan permintaan mineral di Global Selatan, sering kali memperburuk konflik lahan, hak asasi manusia, dan kerusakan lingkungan lokal di sana.
Transisi menuju keberlanjutan yang adil tidak bisa hanya bersifat teknis; harus ada restrukturisasi utang, transfer teknologi yang non-eksploitatif, dan pengakuan atas hak kedaulatan masyarakat adat atas wilayah mereka, karena mereka seringkali adalah penjaga keanekaragaman hayati yang paling efektif.
B. Peran Aktor Non-Negara dan Gerakan Sosial
Mengingat kelambatan institusi formal dalam merespons krisis Antroposen, harapan sering dialihkan ke gerakan sosial dan aktor non-negara. Gerakan ini, mulai dari aktivis iklim muda hingga gerakan keadilan lingkungan lokal, secara fundamental menyoal legitimasi sistem yang memprioritaskan keuntungan di atas kehidupan. Mereka menuntut bukan sekadar reformasi inkremental (bertahap), tetapi perubahan sistemik dan radikal.
Contohnya adalah munculnya konsep ‘Buen Vivir’ (Hidup yang Baik) dari Amerika Latin, yang berakar pada filosofi masyarakat adat. Konsep ini menolak gagasan linear tentang pembangunan dan mengadvokasi kehidupan yang harmonis dengan alam, berlawanan dengan individualisme dan konsumsi yang tidak terkendali. Kerangka-kerangka alternatif ini menawarkan cetak biru budaya dan etika yang jauh lebih selaras dengan batasan ekologis daripada konsep pembangunan berkelanjutan yang didominasi oleh ekonomi Barat.
C. Keberanian dalam Keputusan Politik
Keputusan untuk mencapai keberlanjutan sejati harus diiringi dengan keberanian politik untuk melawan kepentingan industri yang kuat dan menghentikan subsidi yang merusak lingkungan (misalnya, subsidi bahan bakar fosil, subsidi pertanian intensif). Ini membutuhkan pengakuan bahwa tidak semua pembangunan itu baik dan tidak semua pertumbuhan itu diinginkan. Bahkan, dalam banyak kasus, menghentikan pembangunan tertentu (misalnya, proyek infrastruktur besar di zona ekologis sensitif) adalah tindakan keberlanjutan yang paling krusial. Ketika kita menyoal, kita menyadari bahwa keberlanjutan bukanlah tentang menemukan cara baru untuk melakukan hal yang sama; ini tentang berani untuk berhenti melakukan hal-hal yang terbukti merusak planet dan prospek masa depan.
Diskusi yang serius mengenai keberlanjutan harus mencakup batasan penggunaan energi, pembatasan penerbangan, pengurangan konsumsi daging secara drastis, dan investasi ulang dalam sistem lokal yang tangguh dan desentralisasi. Ini adalah langkah-langkah yang secara politik tidak populer tetapi secara ekologis mutlak diperlukan. Keberlanjutan harus bergerak dari menjadi pilihan kebijakan yang menyenangkan menjadi sebuah imperatif eksistensial yang mengarahkan setiap keputusan tata kelola, ekonomi, dan sosial.
VIII. Menuju Transformasi Epistemologis: Memahami Keterhubungan
Kritik final terhadap paradigma keberlanjutan yang ada adalah kegagalannya untuk sepenuhnya menginternalisasi sifat sistemik dari krisis Antroposen. Masalah-masalah seperti perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan ketidaksetaraan sosial tidak dapat diselesaikan secara terpisah; mereka adalah gejala dari satu masalah fundamental yang sama: model hubungan manusia-bumi yang terfragmentasi dan ekstraktif. Solusi harus bersifat terintegrasi dan transformatif.
A. Melampaui Pemikiran Sektoral
Keberlanjutan sering dibagi menjadi silo-silo terpisah (energi, air, pangan, pendidikan), mencerminkan birokrasi dan disiplin akademis yang terfragmentasi. Pendekatan ini gagal memahami nexus (keterkaitan) antara sumber daya. Misalnya, produksi pangan membutuhkan air dan energi; air membutuhkan energi untuk pemompaan dan pemurnian; energi membutuhkan air untuk pendinginan. Efisiensi di satu sektor seringkali meningkatkan tekanan di sektor lain (misalnya, biofuel mengurangi ketergantungan pada minyak tetapi meningkatkan tekanan pada lahan dan air). Menyoal keberlanjutan berarti menuntut pendekatan yang holistik dan sistemik, di mana kebijakan dirancang untuk mengoptimalkan kesehatan keseluruhan sistem, bukan hanya salah satu komponennya.
B. Regenerasi dan Keseimbangan Ekologis
Jika Antroposen adalah era di mana manusia menjadi kekuatan geologis, maka etika baru harus mengakui peran kita sebagai pengelola—bukan sebagai penakluk—Bumi. Tugas kita beralih dari sekadar 'berkelanjutan' (mempertahankan status quo) menjadi 'regeneratif' (memperbaiki kerusakan masa lalu). Regenerasi mencakup restorasi ekosistem, penanaman kembali hutan, perbaikan kualitas tanah, dan praktik industri yang dirancang untuk membersihkan, bukan mencemari. Visi keberlanjutan masa depan harus berakar pada prinsip kehati-hatian yang radikal dan komitmen untuk memulihkan kapasitas sistem Bumi. Hal ini membutuhkan kerangka berpikir baru yang menempatkan kesejahteraan ekosistem di atas keuntungan jangka pendek. Ketika kita menyoal status quo, kita membuka pintu untuk membayangkan dan membangun masyarakat yang beroperasi di dalam batas-batas yang ditentukan oleh planet, bukan oleh pasar.
IX. Menyoal Kesimpulan: Refleksi Ulang Atas Tujuan Akhir Pembangunan
Pembangunan berkelanjutan telah menjadi konsep yang sarat ambiguitas, berfungsi ganda sebagai aspirasi moral dan sebagai alat retoris untuk mempertahankan sistem ekonomi yang pada dasarnya tidak berkelanjutan. Pada Era Antroposen, di mana kita menghadapi realitas Batasan Planet dan titik balik ekologis, keberlanjutan tidak bisa lagi menjadi kompromi yang nyaman antara pertumbuhan dan perlindungan lingkungan. Kritik yang tajam terhadap konsep ini, yang diuraikan melalui lensa ekonomi ekologis, etika keadilan, dan tata kelola sistem, menunjukkan perlunya transformasi yang mendasar.
Keberlanjutan sejati tidak dapat dicapai tanpa keberanian untuk menyoal dogma pertumbuhan tak terbatas, dominasi PDB sebagai matrik kemajuan, dan asumsi substitusi modal alam. Solusinya terletak pada adopsi kerangka kerja pasca-pertumbuhan seperti Ekonomi Donat, transisi menuju sistem yang regeneratif dan sirkular, dan komitmen politik yang tak tergoyahkan untuk keadilan iklim dan sosial—baik antar generasi maupun di antara negara-negara di dunia.
Tantangan yang dihadapi umat manusia sangat besar, dan waktu untuk reformasi inkremental telah berakhir. Transformasi yang dibutuhkan adalah epistemologis: kita harus berhenti melihat diri kita sebagai entitas yang terpisah dari alam dan mulai menganggap diri kita sebagai subsistem yang tertanam dalam, dan sepenuhnya bergantung pada, integritas ekosistem Bumi. Hanya melalui kritik radikal dan tindakan transformatif, yang secara kolektif berani menyoal setiap aspek dari cara kita hidup, berproduksi, dan mengonsumsi, kita dapat berharap untuk membangun masa depan yang benar-benar adil dan berkelanjutan di planet yang terbatas ini.
Pekerjaan berat ini menuntut perubahan dalam setiap institusi dan setiap hati nurani. Ia membutuhkan pergeseran dari sekadar mengelola dampak menjadi mendesain ulang tujuan. Ini bukan sekadar tentang menjadi 'kurang buruk'; ini tentang menjadi 'lebih baik'—lebih adil, lebih tangguh, dan lebih terintegrasi dengan jaringan kehidupan yang menopang keberadaan kita. Pembangunan yang berkelanjutan harus diartikan ulang sebagai regenerasi ekologis dan kesejahteraan sosial, bebas dari tirani pertumbuhan ekonomi yang tak berujung.
Oleh karena itu, tindakan menyoal menjadi sebuah keharusan moral dan strategi kelangsungan hidup. Ia adalah langkah pertama menuju rekonstruksi paradigma pembangunan global yang akan memimpin kita keluar dari krisis Antroposen dan menuju era baru kesadaran dan tanggung jawab kolektif. Tanpa kritik yang tajam dan jujur terhadap fondasi konseptual kita, keberlanjutan akan tetap menjadi janji yang tidak terpenuhi, sebuah ilusi di ambang keruntuhan ekologis.