Landasan Etika Universal: Tafsir Mendalam QS Al-Isra (17:23-40)

Pendahuluan: Transisi dari Kegaiban menuju Pilar Kebajikan

Surah Al-Isra, yang dinamakan berdasarkan peristiwa monumental Isra’ Mi’raj, membawa kita melintasi dimensi spiritual yang luar biasa. Namun, setelah menetapkan keagungan Allah SWT melalui perjalanan malam Nabi Muhammad SAW, surah ini beralih ke ranah yang sangat pragmatis dan fundamental: pedoman hidup sehari-hari. Mulai dari ayat 23, Allah SWT menyajikan serangkaian perintah moral dan etika yang dikenal sebagai 'Sepuluh Perintah' dalam konteks Islam, yang menjadi fondasi bagi masyarakat yang adil, beradab, dan harmonis. Ayat-ayat ini bukan sekadar larangan atau anjuran, melainkan cetak biru komprehensif untuk membangun hubungan vertikal (dengan Pencipta) dan horizontal (dengan sesama manusia).

Kepaduan antara iman dan amal saleh sangat jelas terpancar dalam rangkaian ayat 17:23 hingga sekitar ayat 40. Dimulai dari perintah tauhid murni, rangkaian ini berlanjut menuju penghormatan tertinggi terhadap orang tua, etika ekonomi dan sosial, pelestarian martabat manusia, hingga integritas dalam bermuamalah. Keistimewaan rangkaian perintah ini terletak pada urutannya yang logis dan menyeluruh, mencakup seluruh spektrum eksistensi manusia, dari hati nurani yang paling dalam hingga interaksi publik di pasar.

Setiap perintah memiliki kedalaman makna yang melampaui literalnya. Misalnya, larangan sederhana untuk tidak mengatakan 'ah' atau 'uf' kepada orang tua (17:23) mencerminkan psikologi penghormatan yang mendalam, menuntut kesabaran dan kelembutan spiritual. Kajian ini bertujuan menggali tafsir, hikmah, dan implikasi sosiologis dari setiap pilar etika yang terangkum dalam Surah Al-Isra ayat 23 dan ayat-ayat berikutnya.

Pilar Pertama: Tauhid dan Ihsan kepada Orang Tua (Ayat 23-24)

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (٢٣)

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra [17]: 23)

1. Keterikatan Tak Terpisahkan antara Tauhid dan Birrul Walidain

Ayat 23 dimulai dengan perintah Tauhid—fondasi mutlak dari seluruh ajaran agama. Segera setelah perintah untuk menyembah hanya kepada Allah (`alā ta'budū illā iyyāh`), Allah menghubungkannya secara langsung dengan perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua (`wa bil-wālidaini iḥsānan`). Penempatan ini bukan kebetulan; ia menegaskan bahwa hak orang tua adalah hak yang paling utama di antara hak-hak makhluk, dan pengabaian terhadapnya hampir setara dengan pengabaian terhadap perintah Allah.

Para mufasir, seperti Imam Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir, menjelaskan bahwa hubungan ini menunjukkan betapa besar penghargaan Allah terhadap peran orang tua sebagai sebab keberadaan manusia di dunia. Kewajiban *Ihsan* (berbuat baik) di sini adalah kewajiban yang berulang dan berkelanjutan, tidak hanya berupa nafkah fisik tetapi juga dukungan emosional dan spiritual. Ini adalah pengakuan bahwa jika Allah adalah Pencipta utama, maka orang tua adalah fasilitator utama dari kehidupan di alam materi ini.

2. Larangan "Uff" dan Kehalusan Bahasa

Puncak dari perintah *birrul walidain* dalam ayat ini adalah larangan yang spesifik dan sangat mendalam: “janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya.” Kata *uff* (أُفٍّ) dalam bahasa Arab adalah ekspresi ketidaksenangan, rasa bosan, atau sedikit frustrasi. Larangan ini sungguh luar biasa karena tidak hanya melarang tindakan kasar atau pengabaian, tetapi melarang bahkan ekspresi verbal atau non-verbal terkecil yang menunjukkan rasa tidak sabar.

Menurut ahli tafsir kontemporer, larangan ini berfungsi sebagai pencegahan etis (sadd adz-dzarī’ah). Jika bahkan kata 'ah' dilarang, maka segala sesuatu yang lebih buruk dari itu—seperti mencaci, membentak, atau memukul—sudah pasti dilarang. Ini menuntut anak untuk memiliki kendali diri yang mutlak, terutama ketika orang tua mencapai usia senja (*al-kibar*), masa ketika mereka paling membutuhkan kesabaran dan bantuan, namun seringkali menjadi paling sulit untuk ditangani karena faktor kesehatan, penurunan memori, atau perubahan temperamen.

3. Perintah Qawlan Kariman (Perkataan Mulia)

Sebagai lawan dari larangan membentak, ayat 23 mengakhiri dengan perintah: “dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia (qawlan kariman).” Perkataan yang mulia bukan hanya berarti kata-kata yang sopan, tetapi kata-kata yang mengandung penghormatan, kehangatan, dan rasa hormat yang mendalam. Imam Ar-Razi menafsirkan *kariman* sebagai perkataan yang menyenangkan, lembut, dan merendahkan diri, seolah-olah sang anak adalah seorang hamba yang melayani rajanya, meskipun secara status sosial sang anak mungkin lebih sukses atau berilmu.

Ayat 24 kemudian melanjutkan perintah ini dengan doa dan sikap: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka telah mendidik aku pada waktu kecil.’” Ini mengajarkan keseimbangan: penghormatan aktif (melalui ucapan) dan penghormatan pasif (melalui kerendahan hati dan doa), mengakui bahwa apa pun yang dapat kita lakukan saat ini tidak akan pernah setara dengan pengorbanan mereka di masa lalu.

Ilustrasi penghormatan kepada orang tua IHSAN

Visualisasi Kerendahan Hati dan Ihsan.

Pilar Kedua: Etika Ekonomi Sosial dan Kedermawanan (Ayat 26-29)

وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (٢٦) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (٢٧)

“Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra [17]: 26-27)

1. Prioritas Hak Sosial (Ayat 26)

Setelah menggariskan tanggung jawab kepada keluarga inti (orang tua), Islam memperluas lingkaran tanggung jawab sosial. Ayat 26 memerintahkan pemberian hak kepada kerabat dekat (dhul qurba), orang miskin (al-miskin), dan ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal). Urutan ini menegaskan prinsip bahwa kedermawanan harus dimulai dari yang terdekat, namun tidak boleh berhenti di situ.

Penting untuk dicatat bahwa perintah ini menggunakan kata "berikanlah haknya" (āti haqqahū), bukan sekadar "berilah sedekah." Ini menunjukkan bahwa dalam sistem ekonomi Islam, kerabat, fakir miskin, dan musafir memiliki hak yang melekat pada kekayaan seseorang, dan mengeluarkan harta untuk mereka adalah kewajiban, bukan sekadar kebaikan opsional. Hal ini bertujuan untuk mencegah stagnasi kekayaan dan memastikan distribusi yang adil dalam masyarakat.

2. Larangan Tabdzir (Pemborosan Ekstrem) (Ayat 27)

Segera setelah perintah untuk memberi, muncul larangan keras terhadap tabdzir (pemborosan). *Tabdzir* sering diterjemahkan sebagai 'boros,' tetapi secara teknis lebih spesifik, yaitu membelanjakan harta pada hal yang sia-sia atau haram, bahkan jika jumlah yang dikeluarkan sedikit. Ibnu Mas’ud menafsirkan *tabdzir* sebagai membelanjakan harta bukan pada tempatnya yang benar (infaq fī ghairil-haqq).

Ayat 27 memberikan peringatan yang sangat mengerikan: “Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan.” Penyamarataan pemboros dengan setan menunjukkan bahwa tindakan pemborosan memiliki dimensi spiritual yang merusak. Setan digambarkan sebagai entitas yang sangat ingkar (kafūran) kepada Tuhannya. Mengapa pemborosan disamakan dengan kekafiran setan? Karena membuang-buang nikmat Allah adalah bentuk tidak berterima kasih atau ingkar terhadap rezeki yang telah Dia berikan. Pemboros tidak menghargai nilai sumber daya dan menggunakannya untuk kesia-siaan, padahal banyak yang membutuhkan.

3. Etika Keseimbangan Finansial (Ayat 29)

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُورًا (٢٩)

“Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir), dan jangan (pula) engkau mengulurkannya secara berlebihan sehingga kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Isra [17]: 29)

Ayat ini menyajikan metafora indah untuk prinsip keseimbangan (al-iqtiṣād) dalam ekonomi pribadi. Tangan yang terbelenggu pada leher adalah gambaran kekikiran ekstrem, di mana seseorang menahan hartanya bahkan dari dirinya sendiri dan keluarganya. Ini adalah kontradiksi terhadap perintah memberi pada ayat 26.

Sebaliknya, mengulurkan tangan secara berlebihan adalah gambaran pemborosan atau pengeluaran tanpa batas, yang mengakibatkan kemiskinan dan penyesalan di kemudian hari. Ayat ini mengajarkan jalan tengah yang adil (wasatiyyah). Tujuannya adalah agar seseorang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, menunaikan hak-hak sosialnya, tanpa jatuh ke dalam dua jurang: menjadi kikir yang tercela (malūmā) oleh masyarakat atau menjadi pemboros yang menyesal (maḥsūrā) karena kehabisan sumber daya.

Keseluruhan perintah etika ekonomi ini membentuk dasar sistem kesejahteraan sosial di mana individu bertanggung jawab atas lingkungannya, dan sumber daya dikelola dengan bijak, jauh dari keserakahan maupun kecerobohan.

Pilar Ketiga: Pelestarian Kehidupan dan Larangan Kebejatan (Ayat 31-33)

1. Larangan Membunuh Anak karena Takut Miskin (Ayat 31)

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا (٣١)

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa besar.” (QS. Al-Isra [17]: 31)

Ayat ini membahas praktik jahiliah yang kejam, yaitu membunuh anak, khususnya bayi perempuan, karena takut akan kemiskinan atau kesulitan ekonomi (*imlaq*). Ayat ini secara tegas menolak rasionalisasi ekonomi di balik tindakan kejahatan tersebut. Inti dari ayat ini adalah pengakuan akan kedaulatan Allah sebagai satu-satunya Pemberi Rezeki (An-Nafiq).

Allah menjamin rezeki bagi anak-anak maupun orang tua mereka. Ini adalah penegasan iman bahwa perencanaan keluarga tidak boleh didasarkan pada ketakutan terhadap kemiskinan, melainkan pada keyakinan akan pertolongan Ilahi. Ayat ini menegaskan bahwa pembunuhan anak, dalam bentuk apa pun, adalah 'dosa besar' (*khith'an kabiran*), menekankan betapa seriusnya pelanggaran terhadap hak fundamental kehidupan yang telah Allah ciptakan.

Para ulama tafsir kontemporer memperluas makna ayat ini untuk mencakup segala bentuk pengabaian terhadap hak hidup anak, termasuk aborsi yang tidak berdasarkan darurat medis yang sah, serta pengabaian nutrisi dan pendidikan yang dapat secara tidak langsung 'membunuh' potensi masa depan anak.

2. Larangan Mendekati Zina (Ayat 32)

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا (٣٢)

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya (zina) itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra [17]: 32)

Ayat ini secara unik tidak hanya melarang zina itu sendiri, tetapi melarang 'mendekati' zina (lā taqrabuz-zinā). Larangan ini adalah contoh lain dari prinsip *sadd adz-dzarī’ah* (menutup jalan menuju kejahatan). Mendekati mencakup semua langkah, sarana, dan kondisi yang dapat memicu terjadinya perzinaan, termasuk pandangan yang dilarang, sentuhan yang tidak pada tempatnya, atau interaksi privat yang tanpa ikatan syar'i.

Alasan larangan ini disebutkan jelas: zina adalah *fāḥishah* (perbuatan keji/cabul) dan *sā’a sabīlā* (jalan yang buruk). Ia merusak moralitas individu, menghancurkan tatanan keluarga, mengacaukan garis keturunan, dan membawa penyakit sosial. Dengan melarang mendekatinya, Islam memproteksi masyarakat pada tahap pencegahan, memastikan kemurnian dan stabilitas sosial tetap terjaga.

3. Kesucian Darah dan Prinsip Keadilan (Ayat 33)

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۗ وَمَن قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنصُورًا (٣٣)

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya (ahli warisnya), tetapi janganlah ia melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS. Al-Isra [17]: 33)

Ayat 33 menetapkan prinsip universal tentang kesucian jiwa manusia. Pembunuhan dilarang keras, kecuali *bil-ḥaqq* (dengan alasan yang benar). Dalam konteks syariat, alasan yang benar ini merujuk pada pelaksanaan hukuman qisas atau hadd yang ditetapkan oleh penguasa yang sah setelah melalui proses peradilan yang adil dan benar. Ini menegaskan bahwa hak untuk mengambil nyawa, meskipun dalam kerangka keadilan, hanya boleh dilakukan oleh otoritas negara, bukan individu.

Paragraf kedua ayat ini mengatur hak wali (ahli waris) korban pembunuhan. Mereka diberi kekuasaan (sulthānā), yang mencakup hak untuk menuntut qisas atau menerima diyat (denda). Namun, ayat ini memberi peringatan penting: “janganlah ia melampaui batas dalam membunuh.” Larangan melampaui batas (lā tusrif) ini mencegah praktik balas dendam berlebihan yang lazim di era Jahiliah, di mana satu nyawa dibalas dengan puluhan nyawa dari kabilah pembunuh. Islam menuntut keadilan proporsional dan mencegah kekerasan berantai.

Pilar Keempat: Integritas dalam Harta dan Muamalah (Ayat 34-36)

1. Perlindungan Harta Anak Yatim (Ayat 34)

وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ۚ وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ ۖ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا (٣٤)

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra [17]: 34)

Anak yatim adalah golongan paling rentan dalam masyarakat. Allah SWT menempatkan larangan mendekati harta mereka kecuali dengan cara yang paling baik (*illā billatī hiya aḥsan*), yaitu dengan cara yang bertujuan untuk mengembangkan dan memelihara harta tersebut. Wali atau pengurus harta yatim dilarang mengkonsumsi harta tersebut untuk kepentingan pribadi atau mengelola dengan cara yang merugikan.

Perintah ini berlaku hingga anak yatim mencapai kedewasaan penuh (yablugha asyuddahū), yang berarti matang secara fisik, mental, dan finansial untuk mengelola hartanya sendiri. Ayat ini menekankan bahwa perlindungan terhadap yang lemah adalah barometer utama keadilan sosial dalam Islam.

2. Kewajiban Menunaikan Janji dan Akuntabilitas (Ayat 34 Lanjutan)

Ayat 34 kemudian beralih ke perintah universal untuk menepati janji (awfū bil-‘ahd). Perintah ini mencakup semua jenis komitmen: janji kepada Allah, janji kepada sesama manusia, kontrak bisnis, dan perjanjian politik. Alasan di baliknya sangat kuat: “sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya (mas’ūlā).”

Penegasan ini menjadikan janji sebagai kewajiban religius yang serius, bukan sekadar kesepakatan sosial biasa. Kegagalan menepati janji merusak kepercayaan, yang merupakan dasar dari semua hubungan manusia yang sehat dan stabil. Di hadapan Allah, setiap janji yang dilanggar akan dipertanyakan.

3. Menepati Timbangan dan Ukuran (Ayat 35)

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (٣٥)

“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan timbangan yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. Al-Isra [17]: 35)

Perintah ini menargetkan integritas dalam perdagangan dan muamalah. Menyempurnakan takaran dan menggunakan timbangan yang lurus (al-qisṭās al-mustaqīm) adalah inti dari keadilan ekonomi. Ketidakjujuran dalam timbangan adalah kejahatan yang merusak pasar dan menghilangkan keberkahan dari transaksi.

Para mufasir menekankan bahwa perintah ini melampaui konteks pasar fisik; ia adalah metafora untuk kejujuran dalam segala bentuk pengukuran, penilaian, dan penetapan nilai. Jujur dalam bekerja, jujur dalam menyampaikan informasi, dan jujur dalam menetapkan harga adalah manifestasi dari penunaian timbangan yang benar. Allah menekankan bahwa kejujuran ini "lebih baik akibatnya (aḥsan ta'wīlā)," menjamin hasil yang berkah dan reputasi yang baik di dunia dan akhirat.

Ilustrasi Timbangan Keadilan KEADILAN

Visualisasi Keadilan dalam Timbangan (Qistas).

4. Larangan Berbicara Tanpa Ilmu (Ayat 36)

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا (٣٦)

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra [17]: 36)

Ayat 36 adalah landasan metodologi ilmiah dan etika berbicara dalam Islam. Perintah *lā taqfu mā laisa laka bihi ‘ilm* (jangan mengikuti apa yang kamu tidak ketahui) adalah larangan terhadap asumsi, spekulasi, menyebarkan rumor, atau bersaksi palsu. Ini adalah perintah untuk berdasarkan segala ucapan dan tindakan pada pengetahuan yang pasti (*‘ilm*).

Konteks pertanggungjawaban sangat ditekankan: pendengaran (apa yang kita dengar dan sebarkan), penglihatan (apa yang kita lihat dan saksikan), dan hati nurani (apa yang kita yakini dan niatkan) semuanya adalah alat yang akan dipertanyakan di Hari Kiamat. Ayat ini mewajibkan umat Islam untuk kritis, verifikatif, dan jujur secara intelektual. Dalam era informasi, perintah ini sangat relevan sebagai peringatan terhadap penyebaran berita bohong atau menjadi juru bicara kebatilan tanpa dasar pengetahuan yang kuat.

Pilar Kelima: Kerendahan Hati dan Penolakan Keangkuhan (Ayat 37-40)

1. Larangan Berjalan dengan Sombong (Ayat 37)

وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَن تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَن تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا (٣٧)

“Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu mencapai setinggi gunung.” (QS. Al-Isra [17]: 37)

Setelah membahas etika interpersonal, ekonomi, dan intelektual, Allah beralih ke etika spiritual: kerendahan hati. Larangan berjalan dengan sombong (*lā tamsyi fil-ardhi maraḥā*) adalah larangan terhadap arogansi fisik dan psikologis.

Sombong (*maraḥ*) adalah sikap merasa diri superior, yang sering diekspresikan melalui cara berjalan, berbicara, atau memandang orang lain. Ayat ini memberikan dua realitas kosmik untuk menghancurkan ilusi kesombongan manusia: (1) manusia tidak akan mampu menembus bumi (kekuatan fisik bumi jauh lebih besar), dan (2) manusia tidak akan mampu mencapai setinggi gunung (kerendahan fisik manusia di hadapan alam semesta).

Intinya, manusia adalah makhluk yang lemah, yang diciptakan dari tanah dan akan kembali ke tanah. Kesombongan adalah penolakan terhadap realitas eksistensial ini dan merupakan penyakit spiritual yang memisahkan individu dari kebenaran Tauhid.

2. Hakikat Keseluruhan Perintah (Ayat 38)

كُلُّ ذَٰلِكَ كَانَ سَيِّئُهُ عِندَ رَبِّكَ مَكْرُوهًا (٣٨)

“Semua kejahatan itu sangat dibenci di sisi Tuhanmu.” (QS. Al-Isra [17]: 38)

Ayat 38 berfungsi sebagai rangkuman dan penutup dari serangkaian perintah moralitas (dari 17:23 hingga 17:37). Kata *sayyi'uhū* (kejahatan atau keburukan) merujuk pada semua tindakan terlarang yang telah disebutkan, seperti membentak orang tua, pemborosan, pembunuhan, zina, menipu timbangan, dan kesombongan. Allah menekankan bahwa semua tindakan buruk ini adalah *makrūhan* (sangat dibenci) di sisi-Nya.

Meskipun beberapa perbuatan dilarang dengan ancaman yang lebih keras (seperti pembunuhan sebagai *khith'an kabiran*), ayat 38 menyatukan semua larangan ini di bawah kategori "yang dibenci oleh Allah," menegaskan bahwa pelanggaran terhadap etika sosial sama seriusnya dengan pelanggaran terhadap etika individu.

3. Hikmah dan Ketetapan Ilahi (Ayat 39)

ذَٰلِكَ مِمَّا أَوْحَىٰ إِلَيْكَ رَبُّكَ مِنَ الْحِكْمَةِ ۗ وَلَا تَجْعَلْ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ فَتُلْقَىٰ فِي جَهَنَّمَ مَلُومًا مَّدْحُورًا (٣٩)

“Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhan kepadamu. Dan janganlah engkau mengadakan tuhan lain di samping Allah, sehingga engkau dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan (dari rahmat Allah).” (QS. Al-Isra [17]: 39)

Ayat 39 menyimpulkan seluruh rangkaian perintah sebagai bagian dari *al-ḥikmah* (kebijaksanaan) yang diwahyukan oleh Allah. Ini adalah penegasan bahwa perintah-perintah ini tidak didasarkan pada keinginan sewenang-wenang, melainkan pada kebenaran universal dan logika yang paling bijaksana untuk mengatur kehidupan manusia. Etika yang diajarkan adalah etika yang memiliki tujuan mulia, yaitu mencapai kebaikan tertinggi.

Ayat ini kembali lagi ke titik awal: Tauhid. Setelah menetapkan semua pilar etika sosial, Allah mengakhirinya dengan peringatan keras terhadap Syirik. Hal ini menegaskan kembali bahwa etika hanya dapat berdiri kokoh jika fondasi Tauhidnya kuat. Jika seseorang melakukan semua kebajikan sosial (seperti menghormati orang tua dan jujur dalam berdagang) tetapi hatinya bersekutu dengan selain Allah, maka semua amalnya berisiko menjadi sia-sia. Syirik adalah dosa terbesar yang menyebabkan seseorang tercela (*malūmā*) dan dijauhkan (*madḥūrā*) dari rahmat Ilahi.

Elaborasi Mendalam: Tafsir Etika Sosial dalam Rangkaian Al-Isra

A. Konteks Sosial Mekah dan Relevansi Ayat-Ayat Etika

Perlu dipahami bahwa ayat-ayat etika dalam Surah Al-Isra diturunkan pada periode Mekah, ketika komunitas Muslim masih kecil dan menghadapi penganiayaan. Pada masa itu, belum ada sistem pemerintahan Islam yang mapan. Oleh karena itu, perintah-perintah ini berfungsi sebagai konstitusi moral bagi individu, membentuk karakter sebelum membentuk negara. Ayat 23 hingga 39 menunjukkan prioritas Islam: revolusi etika harus mendahului revolusi politik atau militer.

Masyarakat Arab Jahiliah saat itu dikenal memiliki banyak praktik yang secara eksplisit dilarang dalam ayat-ayat ini: pembunuhan anak karena kemiskinan (Ayat 31), praktik riba dan kecurangan dalam timbangan (Ayat 35), serta semangat kesombongan kabilah (Ayat 37). Rangkaian ayat Al-Isra ini datang sebagai koreksi total terhadap moralitas yang rusak, menggantinya dengan struktur etika yang berbasis kasih sayang, tanggung jawab, dan keadilan mutlak.

B. Ihsan kepada Orang Tua: Lebih dari Sekadar Nafkah

Perintah *Ihsan* (berbuat baik) dalam Ayat 23 mencakup empat dimensi utama yang harus dipertimbangkan secara mendalam:

  1. Dimensi Emosional: Larangan 'Uff' (Ah) menargetkan reaksi bawah sadar. Seorang anak dituntut untuk mengelola frustrasinya sendiri demi menjaga perasaan orang tua, terutama di usia senja. Ini membutuhkan latihan spiritual yang intens, karena usia tua seringkali disertai penyakit dan kesulitan yang dapat menguji kesabaran.
  2. Dimensi Verbal: Perintah *Qawlan Kariman* (perkataan mulia) bukan hanya sopan, tetapi menyenangkan dan menghibur. Ibnu Katsir menekankan bahwa ini harus mencakup pujian, penghargaan, dan pengakuan atas jasa-jasa mereka di masa lalu.
  3. Dimensi Praktis: Pelayanan fisik, perawatan kesehatan, dan penyediaan kebutuhan adalah kewajiban dasar. Jika orang tua membutuhkan perawatan yang melelahkan, kewajiban ini menjadi prioritas mutlak di atas kewajiban sosial lainnya.
  4. Dimensi Spiritual: Doa pengampunan dan kasih sayang (*irhamhumā kamā rabbayānī ṣaghīrā*) adalah puncak dari *Ihsan*. Karena anak tidak bisa membalas jasa orang tua sepenuhnya, mereka diarahkan untuk memohonkan rahmat Allah, satu-satunya balasan yang setara dengan pengorbanan mereka.

C. Prinsip Keseimbangan (Iqtiṣād) dalam Etika Ekonomi

Ayat 29 melarang kikir dan pemborosan. Para ekonom Muslim menafsirkan ayat ini sebagai landasan filosofi fiskal yang sehat, baik di tingkat individu maupun negara. Jika kekikiran (tangan terbelenggu) menghambat investasi, distribusi, dan pertumbuhan ekonomi, maka pemborosan (tangan terulur) menghancurkan modal dan menciptakan ketidakstabilan. Keseimbangan menuntut pengelolaan aset yang produktif, memenuhi kebutuhan primer, dan secara aktif menunaikan hak-hak sosial tanpa merusak keberlanjutan finansial.

Konsep pemborosan (Tabdzir) dalam Ayat 27 dikaitkan dengan setan karena pemborosan adalah bentuk ketidakpedulian terhadap sumber daya. Dalam konteks modern, ini mencakup penghamburan energi, makanan, atau waktu yang dapat digunakan untuk kepentingan yang lebih baik. Etika Islam menuntut pemanfaatan sumber daya yang efisien dan bertanggung jawab terhadap lingkungan dan generasi mendatang.

D. Perlindungan Martabat Manusia dan Hukum Pidana

Larangan pembunuhan (Ayat 33) dan larangan mendekati zina (Ayat 32) adalah dua pilar penting dalam perlindungan martabat (hifzh an-nafs dan hifzh an-nasl). Larangan pembunuhan menetapkan hak atas hidup sebagai hak asasi tertinggi. Penegasan bahwa pembunuhan hanya boleh dilakukan *bil-ḥaqq* menunjukkan pentingnya supremasi hukum. Dalam Islam, bukan individu yang membalas, melainkan negara (hakim) yang menentukan keadilan setelah proses pembuktian yang ketat. Pelarangan *israf* (melampaui batas) dalam balas dendam memastikan bahwa sistem hukum bertujuan untuk rehabilitasi dan pencegahan, bukan untuk melanggengkan siklus kekerasan.

Sementara itu, larangan mendekati zina memfokuskan perlindungan pada keturunan (*nasl*) dan institusi pernikahan. Perlindungan ini memastikan bahwa identitas anak jelas, garis keturunan terjaga, dan stabilitas emosional serta finansial dalam keluarga dapat dijamin.

E. Integritas Intelektual dan Tanggung Jawab Informasi

Ayat 36, "Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui," adalah perintah terhadap fanatisme buta dan penerimaan informasi secara pasif. Ayat ini mendorong penelitian, verifikasi (tabayyun), dan pemikiran kritis. Dalam tradisi ilmiah Islam, ini menjadi dasar metodologi Hadis (ilmu riwayah) yang menuntut keakuratan sumber. Seseorang tidak boleh berbicara, bersaksi, atau memutuskan suatu hal tanpa bukti yang meyakinkan.

Ancaman pertanggungjawaban bagi pendengaran, penglihatan, dan hati nurani menunjukkan bahwa manusia bertanggung jawab atas input yang mereka terima dan bagaimana mereka memprosesnya. Jika seseorang mendengarkan fitnah dan menyebarkannya tanpa verifikasi, ia melanggar etika ilmu ini, dan ia bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkannya.

F. Kesombongan sebagai Pelanggaran Terhadap Tauhid

Ayat 37 (larangan berjalan sombong) menunjukkan bahwa kesombongan adalah dosa spiritual yang memiliki manifestasi fisik. Dalam pandangan teologis, kesombongan adalah penyakit paling serius karena merupakan tiruan terhadap sifat-sifat Allah (kebesaran dan keagungan hanya milik-Nya). Seorang yang sombong secara efektif menempatkan dirinya setara dengan pencipta alam semesta, sebuah pelanggaran Tauhid yang halus.

Perumpamaan tentang tidak mampu menembus bumi atau mencapai gunung adalah pengingat akan keterbatasan kosmik manusia. Kerendahan hati (tawāḍu’) adalah lawan dari kesombongan, dan ia merupakan prasyarat untuk menerima kebenaran dan rahmat Allah. Seorang hamba yang rendah hati mengakui ketergantungannya pada Sang Pencipta dalam segala aspek kehidupan.

Penutup: Konstitusi Moralitas yang Abadi

Rangkaian ayat Surah Al-Isra, khususnya dari ayat 23 hingga 39, merupakan salah satu dokumen etika paling padat dan komprehensif dalam Al-Qur'an. Ia tidak hanya mengatur ibadah ritual, tetapi juga menyediakan kerangka kerja yang kuat untuk pembangunan karakter, keadilan sosial, dan stabilitas masyarakat.

Kajian mendalam ini menegaskan bahwa perintah-perintah ini bersifat universal dan abadi. Mereka melampaui batas geografis dan zaman, memberikan solusi untuk tantangan kemanusiaan, mulai dari konflik generasi (orang tua), masalah ekonomi (kikir dan boros), hingga isu-isu fundamental seperti perlindungan kehidupan dan integritas dalam berinteraksi.

Dengan meletakkan Tauhid sebagai titik awal dan titik akhir dari semua perintah moral, Al-Qur'an memastikan bahwa seluruh etika ini dijalankan bukan karena paksaan sosial atau hukum semata, melainkan karena kesadaran spiritual dan pengakuan akan kedaulatan Ilahi. Mengamalkan pilar-pilar etika dalam al isra 17 23 dan ayat-ayat berikutnya adalah jalan menuju *al-ḥikmah* (kebijaksanaan) yang dijanjikan, menghasilkan kebaikan di dunia dan keselamatan di akhirat.

Ilustrasi Kitab Suci Al-Qur'an قرآن AL ISRA

Visualisasi Sumber Kebijaksanaan (Hikmah).

Implementasi Praktis dan Resonansi Abadi Perintah Al-Isra

G. Mendalami Konsep *Ihsan* dalam Kebijakan Publik

Prinsip *Ihsan* yang pertama kali ditekankan kepada orang tua (17:23) adalah konsep sentral dalam etika Islam yang dapat diterapkan pada semua interaksi, termasuk kebijakan publik dan tata kelola negara. *Ihsan* berarti melakukan sesuatu melebihi standar minimum kewajiban, atau melakukan segala sesuatu dengan kualitas terbaik. Ketika diterapkan pada perlindungan harta anak yatim (17:34), *Ihsan* menuntut pengelola harta untuk tidak hanya menjaga agar harta tidak berkurang, tetapi juga untuk mengembangkannya melalui investasi yang bijak, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syafi'i.

Dalam konteks tata kelola, *Ihsan* berarti bahwa pemerintah tidak hanya menjalankan hukum (keadilan minimum), tetapi juga melayani rakyat dengan keunggulan, empati, dan efisiensi tertinggi. Kegagalan mencapai *Ihsan* dalam pelayanan publik, meskipun tidak secara langsung melanggar hukum, dapat dianggap sebagai kegagalan moral yang dibenci (makrūhan) oleh Allah, sesuai dengan semangat Ayat 38.

H. Filosofi Rezeki dalam Larangan Pembunuhan Anak

Ayat 31 yang melarang pembunuhan anak karena takut miskin merupakan penegasan teologis yang mendalam tentang hubungan antara manusia dan rezeki. Ketakutan terhadap kemiskinan (*khashyata imlāq*) sering kali didasarkan pada pandangan fatalistik bahwa sumber daya terbatas dan rezeki harus dicari melalui upaya manusia semata. Al-Qur'an membalik pandangan ini dengan pernyataan tegas: "Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu."

Ini bukan hanya janji, melainkan doktrin ekonomi. Hal ini menegaskan bahwa setiap jiwa memiliki jatah rezekinya sendiri yang telah ditetapkan, dan kehadiran anak tidak mengurangi rezeki orang tua, melainkan dapat menjadi sebab datangnya rezeki. Keyakinan ini membebaskan manusia dari rasa cemas yang ekstrem dan mendorong mereka untuk fokus pada kualitas pengasuhan dan pendidikan, bukan pada perhitungan materialistik yang sempit.

Lebih jauh, para ahli tafsir modern, seperti Muhammad Asad, menekankan bahwa konteks ayat ini tidak hanya berlaku untuk pembunuhan fisik, tetapi juga untuk kebijakan populasi yang didasarkan pada ketakutan terhadap keterbatasan sumber daya, yang dapat mengarah pada praktik-praktik yang bertentangan dengan martabat manusia dan keyakinan akan Rahmat Ilahi.

I. Implikasi Larangan Mendekati Zina dalam Media Modern

Larangan mendekati zina (17:32) memiliki resonansi kuat dalam masyarakat yang didominasi oleh media visual dan digital. Kata 'mendekati' mencakup semua bentuk godaan, promosi, dan normalisasi kebejatan seksual. Dalam konteks masa kini, hal ini mencakup:

Oleh karena itu, larangan ini berfungsi sebagai sistem imun moral bagi individu, menuntut mereka untuk menjaga pandangan, pikiran, dan interaksi mereka demi menjaga kesucian batin dan tatanan sosial yang lebih besar. Zina digambarkan sebagai 'jalan yang buruk' karena ia menghasilkan ketidakbahagiaan pribadi, kecemasan, dan konflik sosial, berlawanan dengan kedamaian dan ketenangan yang dijanjikan oleh pernikahan yang sah.

J. Integritas Ekonomi sebagai Fondasi Kebajikan

Ayat 35 tentang timbangan dan takaran (*al-qisṭās al-mustaqīm*) menunjukkan bahwa etika Islam tidak hanya berlaku di masjid atau rumah, tetapi juga di pasar. Integritas ekonomi adalah prasyarat bagi semua kebajikan lainnya. Jika seorang Muslim curang dalam berdagang, bagaimana ia dapat dipercaya dalam hal-hal yang lebih besar (seperti janji, kesaksian, atau ibadah)?

Para sarjana fiqih menafsirkan *al-qisṭās al-mustaqīm* secara luas: ini bukan hanya timbangan fisik. Ini mencakup kontrak yang adil, penetapan harga yang transparan, penyampaian kualitas barang yang sebenarnya, dan pemenuhan hak-hak pekerja. Singkatnya, semua bentuk ketidakadilan transaksional adalah pelanggaran terhadap perintah Ilahi ini, karena merusak kepercayaan dan mengakibatkan akumulasi harta melalui cara yang tidak sah.

Ancaman dari kecurangan dalam muamalah sangat serius, sebagaimana diperingatkan dalam Surah Al-Mutaffifin. Kejujuran dalam bisnis adalah investasi jangka panjang, yang oleh Al-Qur'an disebut sebagai "lebih baik akibatnya (aḥsan ta’wīlā)," yang berarti menghasilkan keberkahan dan ketenangan pikiran yang tidak dapat dibeli dengan keuntungan cepat dari penipuan.

K. Keterkaitan antara Kerendahan Hati dan Penerimaan Kebenaran

Larangan kesombongan (17:37) adalah prasyarat untuk menerima Tauhid dan menerapkan semua perintah etika lainnya. Seseorang yang sombong sulit menerima kebenaran karena merasa dirinya sudah cukup dan tidak membutuhkan petunjuk dari luar, apalagi dari entitas yang lebih tinggi. Kesombongan adalah penghalang utama bagi introspeksi dan pertobatan.

Kerendahan hati, sebaliknya, membuka hati untuk belajar dan memperbaiki diri. Dengan menyadari keterbatasan diri (bahwa kita tidak bisa menembus bumi atau mencapai gunung), seorang hamba akan lebih mudah mengakui keagungan Allah dan menyelaraskan tindakannya dengan kehendak Ilahi yang diwahyukan melalui *al-ḥikmah* (Ayat 39). Oleh karena itu, kerendahan hati adalah fondasi spiritual yang memungkinkan implementasi etika yang konsisten.

L. Penutup Etika: Reintegrasi Tauhid

Sangatlah signifikan bahwa setelah menyampaikan hampir dua puluh perintah dan larangan etis yang sangat rinci, Surah Al-Isra kembali menegaskan larangan syirik (17:39). Rangkaian ini mengajarkan sebuah pelajaran fundamental: etika sosial, seindah apa pun implementasinya, tidak akan bernilai abadi tanpa dasar Tauhid yang kokoh.

Sebaliknya, Tauhid yang murni tanpa manifestasi etika dan sosial juga dianggap tidak lengkap. Islam menuntut keselarasan total: keyakinan yang benar harus menghasilkan perilaku yang benar. Jika seseorang mengklaim menyembah Allah tetapi mengabaikan hak orang tua, memboroskan rezeki, atau curang dalam berdagang, maka ia telah merusak fondasi imannya sendiri. Rangkaian perintah dalam al isra 17 23 hingga penutupnya adalah model ideal dari keterpaduan antara iman (akidah) dan amal (syariah) yang menjadi tujuan utama dari Risalah kenabian.

🏠 Kembali ke Homepage