Menuris: Seni Kuno Menulis Hutan dan Kosmologi Simbolik Nusantara
Menelusuri jejak pengetahuan purba, praktik menuris menawarkan pandangan yang mendalam tentang bagaimana masyarakat tradisional di Nusantara memahami dan berinteraksi dengan dunia alam serta alam metafisik. Ini bukan sekadar penulisan, melainkan ritual pencatatan harmoni kosmik.
Definisi dan Akar Filosofis Menuris
Praktik menuris dapat didefinisikan sebagai seni penulisan simbolik yang berasal dari tradisi masyarakat purba di kawasan kepulauan Nusantara. Istilah ini, yang memiliki akar kata yang merujuk pada "pahat" atau "ukir" dalam konteks benda alam, mencerminkan sifat dasar dari kegiatan ini: mencetak pengetahuan dan filosofi ke dalam media yang disediakan oleh hutan, baik itu kulit kayu, bambu, batu sungai, maupun tulang. Menuris jauh melampaui fungsi komunikasi aksara sehari-hari; ia adalah upaya sakral untuk memelihara memori kolektif, mencatat silsilah spiritual, dan, yang paling penting, memetakan hubungan timbal balik antara manusia, lingkungan, dan entitas spiritual.
Akar filosofis dari menuris sangatlah terikat pada konsep kesatuan alam (monisme ekologis). Dalam pandangan purba, alam semesta tidak terbagi menjadi entitas mati dan hidup, melainkan merupakan satu kesatuan organik yang berdenyut. Pohon, sungai, dan gunung adalah subjek yang memiliki jiwa dan kesadaran, dan oleh karena itu, tindakan menulis—tindakan mengubah materi alam—harus dilakukan dengan rasa hormat dan ritual yang ketat. Menuris menjadi jembatan simbolis yang menghubungkan dunia kasat mata (dunia manusia dan hutan) dengan dunia tak kasat mata (dunia leluhur dan dewa). Setiap garis yang diukir, setiap pigmen yang dioleskan, mengandung beban ontologis yang berfungsi sebagai penguat mantra atau penjaga sumpah.
Salah satu prinsip utama yang mendorong praktik menuris adalah gagasan tentang "Pesan Abadi." Masyarakat yang mempraktikkan menuris percaya bahwa pengetahuan yang paling penting—seperti hukum adat, cara bertani yang berkelanjutan, atau ritual penyembuhan—tidak boleh dicatat pada media yang fana atau mudah rusak. Oleh karena itu, pemilihan media menuris selalu cenderung pada bahan yang memiliki daya tahan alami yang luar biasa, misalnya kayu Ulin yang keras, atau bebatuan sungai yang telah melalui proses erosi panjang. Pemilihan media ini mencerminkan keyakinan bahwa kebijaksanaan leluhur harus melampaui batas waktu dan dapat diwariskan secara utuh kepada generasi mendatang, seolah-olah pesan itu sendiri adalah bagian tak terpisahkan dari struktur alam.
Menuris dan Tri Hita Karana Kosmologi
Meskipun istilah Tri Hita Karana sering dihubungkan dengan budaya tertentu, konsep inti dari tiga harmoni—hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan alam—merupakan fondasi universal bagi banyak praktik tradisional di Asia Tenggara, termasuk menuris. Dalam menuris, konsep ini diterjemahkan melalui tiga aspek utama penulisan:
- Hubungan dengan Dewata/Alam Atas (Parhyangan): Dilambangkan melalui penggunaan aksara yang merujuk pada langit, bintang, dan entitas spiritual. Simbol ini sering diukir pada bagian atas media (pucuk bambu atau bagian atas lempengan kayu) dan berfungsi sebagai permohonan restu atau perlindungan.
- Hubungan dengan Sesama Manusia (Pawongan): Tercermin dalam konten naskah, yang biasanya berisi catatan silsilah, perjanjian pernikahan, batas wilayah, atau undang-undang komunal. Bagian ini dicatat di badan utama naskah dan diukir dengan ketelitian yang memerlukan kesepakatan kolektif.
- Hubungan dengan Alam (Palemahan): Ditunjukkan melalui pemilihan material, penggunaan pewarna alami dari tumbuhan dan mineral, serta ukiran yang meniru bentuk-bentuk alami seperti daun, akar, atau gelombang air. Ini adalah pengakuan bahwa naskah itu sendiri adalah perpanjangan dari hutan.
Melalui integrasi ketiga elemen ini, menuris memastikan bahwa setiap tindakan penulisan adalah tindakan menyeimbangkan diri dalam tatanan kosmik. Jika salah satu elemen diabaikan, naskah dianggap cacat atau tidak memiliki kekuatan magis dan otoritas spiritual yang diperlukan. Oleh karena itu, seorang ahli menuris (sering disebut Punggawa Tulis) harus menguasai tidak hanya teknik aksara, tetapi juga pengetahuan mendalam tentang botani, geologi, dan ritual keagamaan setempat.
Studi Kasus Khusus: Lempengan Menuris Hulu Sungai
Salah satu temuan paleografis yang paling penting dalam beberapa dekade terakhir adalah ditemukannya "Lempengan Menuris Hulu Sungai" di kawasan pedalaman Borneo, sebuah artefak yang menunjukkan puncak kompleksitas menuris. Lempengan ini, terbuat dari kayu Ulin yang sangat padat dan awet, berukuran sekitar 1 meter kali 50 sentimeter dan diyakini telah berumur lebih dari seribu tahun. Kondisi pelestariannya yang sangat baik diyakini berkat proses pengawetan ritual menggunakan resin khusus yang diambil dari pohon damar merah.
Isi dan Struktur Lempengan
Lempengan Menuris Hulu Sungai bukanlah naskah naratif biasa; ia adalah sebuah matriks multisensori. Teks utamanya adalah perjanjian damai antara tujuh komunitas yang berbeda mengenai hak penggunaan air dan jalur perdagangan sungai. Struktur ukirannya terbagi menjadi tiga zona yang jelas, yang masing-masing menggunakan jenis Rajah Hutan yang berbeda:
- Zona Pucuk (Rajah Langit): Di bagian atas, terdapat serangkaian simbol spiral dan titik yang mencatat perjanjian telah disaksikan oleh 13 rasi bintang tertentu, yang menandakan bahwa perjanjian ini berlaku hingga siklus kosmik tersebut berakhir. Ini memberikan perjanjian tersebut validitas yang tak terbatasi oleh usia manusia.
- Zona Tengah (Rajah Bumi dan Pawongan): Ini adalah bagian terpadat. Ukiran di sini mencakup detail batas-batas alam (aliran sungai digambarkan dengan Rajah Air dan pertemuan anak sungai dengan simbol titik simpul), serta daftar nama-nama pemimpin adat yang bersumpah. Yang unik, di bagian tengah ini terdapat aksara yang diukir dengan dua kedalaman berbeda. Ukiran yang dalam adalah janji abadi (tidak boleh dilanggar), sementara ukiran yang lebih dangkal adalah klausul-klausul yang dapat ditinjau ulang (misalnya, besaran pajak barter).
- Zona Akar (Rajah Air dan Leluhur): Bagian bawah lempengan didominasi oleh pola akar dan gelombang, yang secara simbolis 'menambatkan' perjanjian ke dunia bawah. Zona ini mencantumkan kutukan yang akan menimpa pelanggar perjanjian. Kutukan tersebut digambarkan bukan dengan kata-kata, melainkan dengan urutan Rajah Air yang melambangkan kekeringan, banjir, dan penyakit yang menyebar.
Analisis resin yang digunakan pada lempengan ini menunjukkan adanya campuran mineral dan getah yang diyakini berfungsi untuk menyerap dan menyimpan energi ritual. Ketika komunitas mengadakan pertemuan tahunan di tepi sungai, lempengan ini akan diposisikan di tengah upacara. Para ahli menuris percaya bahwa dengan meletakkan tangan di atas ukiran yang dalam, para pemimpin adat dapat "merasakan" bobot janji yang diukir oleh leluhur mereka, memperbarui ikatan mereka pada perjanjian tersebut.
Lempengan Menuris Hulu Sungai menjadi contoh sempurna bagaimana menuris bekerja sebagai sistem hukum yang hidup, terintegrasi dengan alam, dan mampu menegakkan tatanan sosial melalui otoritas spiritual, bukan hanya kekerasan fisik atau birokrasi. Keberadaannya membuktikan tingkat kecanggihan filosofis dan teknis yang tinggi dari peradaban kuno yang mengandalkan hutan sebagai perpustakaan utama mereka.