Visualisasi Gema Adzan Solo Siluet menara masjid khas Jawa dengan gelombang suara yang elegan melambangkan Adzan yang menyebar di Surakarta.

*Gema Panggilan Solo: Perpaduan Suara dan Arsitektur Jawa

GEMA PANGGILAN SOLO: SEJARAH, BUDAYA, DAN MAKNA ADZAN DI KOTA SURAKARTA

Adzan di Surakarta bukanlah sekadar penanda waktu salat; ia adalah resonansi sejarah, penjaga tradisi Keraton, dan manifestasi seni suara yang mendalam. Di antara hiruk pikuk pasar Klewer dan ketenangan Pura Mangkunegaran, panggilan suci ini menjalin benang merah spiritual yang mengikat masyarakat Jawa dalam harmoni. Artikel ini menyelami kedalaman Adzan Solo, mengeksplorasi warisan budaya, filosofi waktu, dan estetika seni vokal yang khas.

I. PENANDA WAKTU KERATON: ADZAN SEBAGAI JANTUNG KOTA SURAKARTA

Surakarta Hadiningrat, atau yang lebih dikenal sebagai Solo, adalah kota yang dibangun di atas fondasi tradisi dan spiritualitas Jawa Islam yang kental. Adzan di Solo memiliki peran yang jauh lebih signifikan daripada di banyak wilayah lain; ia berinteraksi langsung dengan sistem penanggalan, seni, dan struktur sosial yang diatur oleh Keraton Kasunanan dan Pura Mangkunegaran. Ketika gema Adzan pertama kali terdengar dari Masjid Agung Surakarta, ia bukan hanya memanggil umat untuk salat, tetapi juga mengumumkan pergantian waktu, sebuah sistem kronologi yang dihormati sejak masa-masa para pendahulu.

Adzan dan Dualisme Budaya Jawa-Islam

Proses Islamisasi di Jawa, khususnya di wilayah Mataram Lama dan penerusnya seperti Solo, adalah proses akulturasi yang halus. Adzan, sebagai ritual murni Islam, diserap dan dimodifikasi sedemikian rupa agar selaras dengan estetika pendengaran (sonar aesthetics) masyarakat Jawa. Hal ini terlihat jelas dari pemilihan maqamat (pola melodi) yang digunakan oleh para muadzin di Masjid-masjid utama Solo. Mereka cenderung memilih nada yang lebih landai, bergetar, dan memiliki durasi yang panjang—suara yang disebut tembang atau cengkok dalam konteks Jawa. Suara ini dimaksudkan untuk ‘menyejukkan’ (ngayomi) bukan ‘mengagetkan’ (nggeget), sejalan dengan filosofi kepemimpinan Keraton yang mengedepankan ketenangan batin dan harmoni universal.

Masjid Agung Surakarta, sebagai masjid negara (Masjid Jami’) yang berfungsi di bawah otoritas Keraton, menjadi pusat utama dari penentuan standardisasi Adzan. Di sinilah tradisi muadzin diwariskan secara turun-temurun, seringkali dari keluarga-keluarga yang memiliki kedekatan dengan abdi dalem Keraton. Praktik Adzan di Keraton tidak hanya melibatkan suara manusia, tetapi juga penempatan fisik menara (panggung) yang strategis, memastikan gema suara dapat mencapai batas-batas kota lama tanpa memerlukan teknologi pengeras suara modern pada awalnya. Kualitas suara (suluk) muadzin menjadi lambang dari kemakmuran spiritual dan ketertiban tata negara, merefleksikan ajaran manunggaling kawula lan Gusti—bersatunya hamba dengan Tuhan—yang diupayakan melalui estetika bunyi yang syahdu.

Peran Adzan dalam Penentuan Waktu Tani dan Dagang

Sebelum dominasi jam modern, waktu salat yang diumumkan melalui Adzan—terutama Dhuhr (Zuhur) dan Ashar—menjadi patokan penting bagi aktivitas ekonomi di Solo. Pasar-pasar tradisional seperti Pasar Klewer, Pasar Gede, dan Pasar Triwindu menggunakan Adzan sebagai penanda dimulainya jeda istirahat (ngaso) atau selesainya sesi dagang utama. Adzan Subuh menandai awal beraktivitas, sementara Adzan Maghrib seringkali menjadi penanda bagi para petani di pinggiran Solo untuk segera kembali ke rumah, karena senja dianggap sebagai waktu peralihan yang sakral dan penuh misteri dalam pandangan kosmologi Jawa. Dengan demikian, suara Adzan mengintegrasikan dimensi spiritual Islam ke dalam siklus kehidupan agraris dan perdagangan masyarakat Solo secara alamiah dan penuh kearifan lokal.

Filosofi Jawa memandang Adzan sebagai Kidung Pameling (Tembang Pengingat). Ia adalah panggilan yang membawa kesadaran kembali, sebuah interupsi kudus dalam rutinitas duniawi, menyeret jiwa dari kesibukan materi menuju keheningan Ilahi. Gema yang dipantulkan oleh arsitektur Masjid Agung yang berat dan megah seolah menjadi simbol dari ‘bobot’ spiritualitas yang harus dipikul oleh setiap individu Solo.

II. MAKNA FILOSOFIS DAN EKSPANSI KULTURAL PADA SETIAP LAFAL ADZAN SOLO

Untuk memahami kedalaman Adzan Solo, kita harus mengurai setiap kalimatnya, tidak hanya sebagai terjemahan literal, tetapi sebagai mantra spiritual yang diresapi kearifan lokal. Muadzin di Solo tidak hanya melafalkan; mereka ‘membaca’ suasana hati kota, mencampur lirik Arab yang universal dengan melodi yang secara spesifik menyentuh jiwa Jawa. Berikut adalah analisis mendalam mengenai setiap bagian Adzan, dengan penekanan pada resonansi kulturalnya di Surakarta.

1. Takbir Pembuka: Puncak Monoteisme dan Getaran Pertama

Lafal Adzan dibuka dengan empat kali seruan pengagungan, sebuah deklarasi fundamental yang mendobrak kesibukan duniawi:

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ

(Allahu Akbar, Allahu Akbar)

Artinya: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar.

Di Solo, bagian ini dilantunkan dengan suara yang paling lantang dan tegas, seringkali menggunakan maqam yang solid seperti Bayati, namun dihiasi sedikit getaran (gregel) yang khas Jawa. Pengulangan ini memiliki fungsi ganda. Secara teologis, ia menetapkan supremasi Tuhan di atas segala hal—kekuatan Keraton, kekayaan saudagar, bahkan kegagahan Gunung Merapi yang tampak. Secara budaya, ia berfungsi sebagai ‘alarm’ spiritual yang lembut namun tak terbantahkan.

Dalam konteks Javanese Islam, Allahu Akbar sering diinterpretasikan melalui lensa konsep Gagah dan Gusti. Gagah merujuk pada kekuatan fisik dan kekuasaan duniawi (seperti kekuasaan Raja), namun Adzan mengingatkan bahwa kebesaran sejati (Akbar) hanya milik Gusti (Tuhan). Intensitas suara muadzin yang biasanya berasal dari panggung kayu di masjid-masjid kuno Solo, memastikan bahwa getaran akustik ini secara fisik mampu menembus dinding dan hati. Pengulangan ganda ini memberikan waktu bagi pendengar, yang mungkin sedang sibuk berdagang batik atau mengurus sawah, untuk menenangkan diri, menarik napas, dan mengakui bahwa ada kekuatan yang lebih besar yang memanggil mereka, sebelum pesan utama disampaikan.

Ekspansi lafal ini, terutama pada Adzan Subuh, sering kali dilakukan dengan penekanan yang sangat lambat, memungkinkan udara Solo yang dingin dan tenang untuk membawa setiap suku kata dengan keagungan. Di lingkungan Keraton, penekanan Allahu Akbar pada waktu-waktu salat dianggap sebagai pengesahan ilahiah terhadap waktu yang telah diukur dan ditetapkan oleh para ahli hisab Keraton. Dengan demikian, muadzin berfungsi sebagai perantara waktu kosmis dan waktu duniawi, memastikan sinkronisasi antara ritual Keraton dan syariat Islam.

2. Syahadat Tauhid: Pondasi Keyakinan dalam Estetika Vokal

Bagian kedua adalah deklarasi monoteisme, inti dari keimanan Islam. Lafal ini diulang dua kali:

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّٰهُ

(Asyhadu an lā ilāha illallāh)

Artinya: Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah.

Dalam tradisi Solo, transisi dari Takbir ke Syahadat Tauhid biasanya melibatkan perubahan nada yang sedikit lebih melankolis atau meratap (ngelangut). Nada ini mencerminkan pengakuan diri yang rendah hati di hadapan keesaan Ilahi. Penggunaan variasi maqam Hijaz atau Shoba di Solo sering kali menciptakan nuansa kesedihan yang indah, yang bagi orang Jawa diinterpretasikan sebagai rasa—perasaan batin yang mendalam dan tulus.

Tafsiran Jawa terhadap lā ilāha illallāh sering kali menghubungkannya dengan konsep sepi ing pamrih (ikhlas tanpa pamrih) dan eling (mengingat). Ketika muadzin melantunkan penolakan terhadap ‘tuhan-tuhan’ lain (termasuk hawa nafsu dan keserakahan duniawi), hal itu sejalan dengan ajaran para wali yang menekankan pentingnya membersihkan hati dari ilusi. Gema Syahadat ini di Solo berfungsi sebagai pengingat etika komunal: bahwa semua orang, baik bangsawan maupun rakyat jelata, tunduk pada satu kebenaran yang sama. Kekuatan ekspresi vokal muadzin di sini sangat ditekankan; ia harus terdengar seperti sebuah pengakuan yang keluar dari kedalaman jiwa, bukan sekadar ucapan lisan.

Pengulangan lafal ini (dua kali) memberikan penekanan bahwa Tauhid adalah poros kehidupan. Di banyak masjid tua Solo, seperti Masjid Laweyan yang kaya sejarah, Syahadat dilantunkan dengan durasi panjang, seolah-olah muadzin ingin memastikan bahwa setiap jengkal ruang di kota tersebut telah diselimuti oleh kesaksian ini. Teknik vokal tahrir (getaran cepat di ujung nada) sering digunakan untuk memberikan efek spiritual yang mendalam, menciptakan sensasi bahwa lafal tersebut benar-benar ‘menghujam’ ke dalam kesadaran pendengar. Syahadat Tauhid adalah titik balik spiritual dalam Adzan; setelah kebesaran Tuhan diakui (Allahu Akbar), kini identitas-Nya yang tunggal dikukuhkan.

3. Syahadat Rasul: Pengakuan Kenabian dan Jalan Spiritual

Setelah pengakuan Tauhid, Adzan melanjutkan dengan pengakuan kenabian Nabi Muhammad, juga diulang dua kali:

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ ٱللَّٰهِ

(Asyhadu anna Muḥammadan rasūlullāh)

Artinya: Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.

Secara musikal, Syahadat Rasul seringkali dilantunkan dengan nada yang sedikit lebih tinggi atau dengan transisi ke maqam yang lebih cerah, seperti Bayati Kurdi, melambangkan optimisme dan bimbingan yang dibawa oleh sang utusan. Bagi masyarakat Jawa, Nabi Muhammad (sering disebut sebagai ‘Kangjeng Nabi’) memiliki kedudukan penting sebagai suri tauladan dan penyempurna ajaran. Lafal ini mengingatkan bahwa jalan menuju Tuhan harus melalui tuntunan yang nyata, bukan sekadar intuisi.

Konteks Solo sangat menghargai konsep Budi Pekerti (akhlak mulia). Pengakuan terhadap kenabian Muhammad dalam Adzan diinterpretasikan sebagai janji untuk mengikuti akhlaknya, sebuah pesan yang sangat relevan di pusat kebudayaan yang menjunjung tinggi etika dan sopan santun (unggah-ungguh). Muadzin di Solo sering melafalkan bagian ini dengan penuh hormat (ajineng), sedikit menurunkan volume atau memperlembut vibrasi, sebagai penghormatan kepada Rasulullah.

Dalam ekspansi tradisi Adzan Solo, para muadzin sering menambahkan elemen wasilah (perantara) dalam pelafalan ini. Meskipun Adzan tetap murni, resonansi kulturalnya mengingatkan umat akan peran penting guru spiritual (kyai atau panutan) dalam membimbing mereka meniru sifat-sifat kenabian. Bagian ini berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan keagungan Ilahi (Tauhid) dengan praktik kemanusiaan yang terwujud dalam sosok Nabi. Pengulangan ganda memastikan bahwa ikrar spiritual dan ikrar praktik (mengikuti sunnah) ditegaskan secara seimbang.

4. Hayya ‘alaṣ-Ṣalāh: Panggilan Menuju Salat—Jeda Suara

Inti praktis dari Adzan, seruan untuk salat. Lafal ini diulang dua kali:

حَيَّ عَلَى ٱلصَّلَاةِ

(Ḥayya ‘alaṣ-ṣalāh)

Artinya: Marilah menunaikan salat.

Secara musikal, ini adalah titik di mana energi vokal muadzin Solo biasanya mencapai klimaksnya. Nada akan dinaikkan (sering ke oktaf yang lebih tinggi) dengan akselerasi ritme, menciptakan rasa urgensi dan panggilan yang bersifat aktif. Di Solo, bagian ini dikenal sebagai ‘Panggilan Agung’ atau Sabda Wiyata (Pesan Pelajaran).

Dalam interpretasi Jawa, Ṣalāh (salat) bukan hanya gerakan ritual, tetapi juga merujuk pada sembah raga dan sembah rasa—penyembahan fisik dan penyembahan batin. Adzan ini memanggil pendengar untuk meninggalkan kekhawatiran duniawi (kedonyan) dan mencari kedamaian batin (katentreman) melalui salat. Gema dari lafal ini dirancang untuk terdengar cepat dan jelas, memotong keramaian dan keheningan, memaksa jeda sesaat dalam aktivitas. Karena posisi Solo sebagai pusat budaya, di mana setiap gerakan dan ucapan memiliki makna, seruan Hayya ‘alaṣ-ṣalāh adalah pengingat bahwa ritual keagamaan harus menjadi prioritas di atas tata krama duniawi, meskipun tata krama tetap penting.

Muadzin Solo, khususnya di Masjid Agung, sering menggunakan teknik tarji’ (mengulang lafal dengan suara yang lebih lembut di tenggorokan) sebelum menyuarakannya dengan lantang, menciptakan efek gema dan kedalaman. Pelafalan ini sangat penting karena ia menandai transisi dari deklarasi teologis (Tauhid dan Risalah) ke tindakan nyata (ritual salat). Panggilan ini adalah penegasan praktis bahwa Islam adalah agama yang memerlukan implementasi fisik dan mental. Durasi pengulangan ini juga memberi waktu yang cukup bagi umat di sekitarnya untuk bersiap, membersihkan diri (berwudu), dan mulai bergerak menuju masjid, menyesuaikan diri dengan ritme Keraton yang disiplin dan terstruktur.

5. Hayya ‘alal-Falāḥ: Panggilan Menuju Kesejahteraan Hakiki

Seruan ini mengikuti Ḥayya ‘alaṣ-ṣalāh dan diulang dua kali:

حَيَّ عَلَى ٱلْفَلَاحِ

(Ḥayya ‘alal-falāḥ)

Artinya: Marilah meraih kemenangan/kesejahteraan.

Secara estetika vokal, lafal ini biasanya sedikit lebih tenang dan memiliki melodi yang menurun dibandingkan seruan salat sebelumnya. Ini melambangkan janji dan hasil dari ibadah. Falāḥ, yang sering diterjemahkan sebagai ‘kemenangan’ atau ‘kejayaan’, di Solo lebih sering dipahami dalam konteks Kamulyan (kemuliaan) dan Karaharjan (kesejahteraan). Kesejahteraan ini bukan hanya materi, tetapi juga spiritual dan komunal.

Dalam pandangan Jawa, salat yang sempurna akan membawa tentrem (ketenangan abadi). Oleh karena itu, panggilan menuju Falāḥ adalah undangan untuk mencari ketenangan batin yang merupakan tujuan tertinggi kehidupan spiritual Jawa. Muadzin di Solo melantunkan bagian ini dengan nada yang penuh harapan, sebuah janji bahwa mengikuti ritual akan menghasilkan tatanan kehidupan yang harmonis. Ia juga memiliki dimensi sosial: salat berjamaah di masjid-masjid Solo tidak hanya membersihkan individu, tetapi juga memperkuat ikatan komunal yang penting dalam struktur masyarakat Keraton.

Kontras antara Ṣalāh (aksi) dan Falāḥ (hasil) sangat ditekankan melalui perubahan dinamika vokal. Setelah seruan yang bersemangat untuk bertindak, muadzin menyampaikan janji dengan nada yang lebih damai dan reflektif. Ini adalah penutup dari seruan praktis, memastikan bahwa pendengar memahami bahwa tujuan ibadah bukan sekadar kewajiban, tetapi gerbang menuju kebahagiaan sejati. Di Surakarta, di mana harmoni sosial sangat dihargai, Falāḥ diartikan sebagai tercapainya keselarasan antara mikrokosmos (hati manusia) dan makrokosmos (tatanan alam dan masyarakat).

6. Tarsib (Penutup): Pengulangan Takbir dan Syahadat Akhir

Adzan ditutup dengan pengulangan Takbir, diikuti oleh Syahadat akhir:

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ

(Allahu Akbar, Allahu Akbar)

Artinya: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar.

لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّٰهُ

(Lā ilāha illallāh)

Artinya: Tiada Tuhan selain Allah.

Penutup Adzan Solo adalah sebuah lingkaran sempurna, mengembalikan pendengar kepada titik awal—deklarasi kebesaran dan keesaan Tuhan. Namun, bagian penutup ini dilantunkan dengan dinamika yang berbeda. Takbir diulang hanya dua kali (bukan empat), dan Syahadat akhir diucapkan tunggal, tanpa pengulangan, seringkali dengan nada yang paling rendah dan menenangkan (nges).

Pengulangan Takbir di akhir berfungsi sebagai konfirmasi final setelah serangkaian panggilan dan janji. Ini menegaskan kembali bahwa terlepas dari respons manusia terhadap panggilan tersebut, kebesaran Tuhan tetap abadi. Muadzin Solo menyuarakan Takbir ini dengan otoritas penuh tetapi tanpa agresivitas, seperti bunyi gong penutup dalam pertunjukan wayang, menandakan selesai tugas dan kembali ke keheningan.

Lafal penutup, Lā ilāha illallāh yang diucapkan tunggal, adalah klimaks spiritual. Dalam konteks Jawa, ini adalah penarikan napas terakhir dari panggilan, sebuah meditasi singkat, topo broto dalam bentuk suara. Muadzin harus menyampaikan satu kebenaran ini dengan suara yang paling murni dan penuh makna, sebuah kesimpulan yang merangkum seluruh pesan Adzan. Ini adalah pengakuan bahwa setelah semua upaya duniawi dan ritual, yang tersisa hanyalah Tauhid. Suara yang melantunkan penutup ini seolah ‘tenggelam’ kembali ke dalam hening Keraton yang damai, meninggalkan bekas gema yang menetap di hati penduduk Solo.

III. TARJI' DAN TATSWIB: VARIASI KHAS ADZAN SOLO

Solo, seperti banyak wilayah Islam Jawa, memiliki praktik Adzan yang kaya dengan variasi vokal dan struktural yang dikenal dalam ilmu Fiqih. Dua elemen penting yang menonjol adalah Tarji’ dan Tatswib.

Tarji’ dalam Gema Surakarta

Tarji’ adalah praktik melafalkan Syahadatain (Asyhadu an lā ilāha illallāh dan Asyhadu anna Muḥammadan rasūlullāh) dua kali, di mana dua yang pertama diucapkan dengan suara yang lebih rendah dan lembut (hampir seperti berbisik atau bergumam di tenggorokan, dikenal juga sebagai sirr), dan dua yang terakhir diucapkan dengan suara keras (jahr). Walaupun praktik ini kadang menjadi perdebatan mazhab, Tarji’ sangat lazim di lingkungan Masjid-masjid tradisional Solo.

Alasan kultural di balik penggunaan Tarji’ di Solo adalah untuk mencapai kedalaman introspeksi. Lafalan sirr yang lembut di awal Syahadat seolah memaksa muadzin—dan pendengar yang sedang fokus—untuk terlebih dahulu mengakui Tauhid di dalam hati sebelum mendeklarasikannya secara publik. Ini sangat cocok dengan nilai-nilai Jawa yang mengedepankan laku batin (perjalanan spiritual internal) sebelum manifestasi eksternal. Tarji’ mengubah Adzan dari sekadar pengumuman menjadi sebuah ritual meditasi yang disuarakan, sebuah pembersihan hati sebelum seruan umum dimulai. Muadzin Solo yang terkemuka dianggap berhasil jika Tarji’nya mampu menciptakan sensasi “getaran internal” pada pendengar.

Tatswib: Tradisi Subuh yang Kental

Tatswib adalah penambahan kalimat khusus pada Adzan Subuh, yaitu:

ٱلصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ ٱلنَّوْمِ

(Aṣ-ṣalātu khayrun mina n-nawm)

Artinya: Salat lebih baik daripada tidur.

Di Solo, Tatswib memiliki resonansi budaya yang sangat kuat. Pagi hari adalah waktu di mana Keraton memulai aktivitas, dan juga waktu di mana energi spiritual dianggap paling murni. Tatswib yang dilantunkan dengan melodi yang tenang namun membangkitkan, berfungsi sebagai sindiran halus (pasemon) terhadap kemalasan dan kelalaian. Ini adalah undangan yang penuh kasih namun tegas untuk meninggalkan kenyamanan fisik demi keuntungan spiritual.

Praktik Tatswib di Solo sering dilantunkan dengan penekanan pada kata khayrun (lebih baik), menggunakan aksentuasi vokal yang menyerupai tembang Jawa, memastikan bahwa pesan perbedaan prioritas antara tidur duniawi dan salat spiritual tersampaikan dengan jelas. Tatswib menjadi ciri khas Adzan Subuh di Solo, membedakannya dari kota-kota lain dan menandai dimulainya hari dengan kesadaran akan keutamaan ibadah di atas segala aktivitas fana. Muadzin di Masjid-masjid Kauman sangat menjaga tradisi Tatswib ini, seringkali melantunkannya dua kali setelah seruan Hayya ‘alal-Falāḥ.

IV. SENI SUARA DAN MAQAMAT JAWA: MELODI KHAS SURAKARTA

Aspek yang paling membedakan Adzan Solo dari Adzan di daerah lain adalah pemilihan dan implementasi maqamat (pola melodi atau tangga nada) yang kental dengan sentuhan vokal Jawa. Muadzin Solo tidak terikat pada satu maqam ketat ala Timur Tengah, melainkan melakukan ‘Jawanisasi’ terhadap melodi tersebut, menghasilkan suara yang unik: nges (menyentuh hati), landai (datar), dan ngelangut (melankolis).

Integrasi Tembang dan Maqam

Secara umum, Adzan di Solo sering mengadopsi struktur dasar dari Maqam Bayati atau Hijaz karena kemampuannya menyampaikan perasaan spiritual yang mendalam. Namun, para muadzin menambahkan ornamentasi vokal yang diambil dari tradisi tembang macapat atau suluk pedalangan. Ornamentasi ini mencakup:

Melalui proses akulturasi ini, Adzan menjadi sebuah seni pertunjukan spiritual (Lakon Swara) yang memanggil bukan hanya telinga, tetapi juga jiwa, membuktikan bahwa ritus Islam dapat bersanding harmonis dengan warisan budaya lokal tanpa kehilangan esensi tauhidnya. Muadzin di Solo adalah seniman sekaligus rohaniwan; mereka harus memiliki kemampuan teknis vokal yang prima sekaligus kedalaman spiritual yang memadai.

Studi Kasus: Gema Masjid Agung Solo

Masjid Agung Surakarta adalah kiblat bagi kualitas Adzan di Solo. Di sana, pemilihan muadzin sangat ketat, tidak hanya berdasarkan suara, tetapi juga silsilah dan akhlak. Muadzin di sini sering dilatih untuk menguasai beberapa variasi melodi, memungkinkan mereka menyesuaikan nada Adzan dengan waktu salat dan kondisi atmosfer. Adzan Dzuhur, misalnya, sering dilantunkan dengan nada yang tegas untuk memotong kebisingan siang hari, sementara Adzan Isya dilantunkan dengan melodi yang lebih dalam dan introspektif, mempersiapkan umat untuk malam yang tenang.

Penggunaan pengeras suara di Masjid Agung juga diatur dengan hati-hati. Meskipun teknologi telah maju, volume dan kualitas suara diatur sedemikian rupa agar gema yang terdengar tetap terasa ‘alami’ dan tidak menyakitkan telinga. Filosofinya adalah bahwa Adzan harus meresap, bukan menyerang. Hal ini merupakan penghormatan terhadap konsep swara pinilih (suara terpilih) yang diyakini membawa berkah.

Kualitas akustik arsitektur Masjid Agung juga berperan besar. Bangunan dengan dinding tebal dan kubah yang besar menciptakan resonansi alami yang memperpanjang gema. Sebelum pengeras suara digunakan secara luas, kemampuan akustik masjid adalah kunci untuk memastikan Adzan dapat didengar sejauh batas Keraton. Bahkan saat ini, meski sudah menggunakan pengeras suara, muadzin masih memanfaatkan akustik internal masjid untuk memperkaya ghunnah (dengungan) dan getaran suara, memberikan lapisan spiritual yang hanya dapat dirasakan di tempat tersebut.

V. DIMENSI TEMPORAL: ADZAN SEBAGAI PENJAGA WAKTU SURAKARTA

Dalam Islam, waktu (waktu) adalah entitas sakral yang harus dihormati. Dalam budaya Jawa, waktu adalah siklus (cakra manggilingan) yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan. Adzan Solo berdiri di persimpangan kedua konsep temporal ini, menjadikannya lebih dari sekadar penanda jam, melainkan poros penentu ritual kehidupan harian dan tahunan.

Adzan dan Ilmu Falak Keraton

Selama berabad-abad, Keraton Surakarta memiliki tim ahli falak (astronomi Islam) yang bertugas menghitung dan memastikan ketepatan waktu salat. Meskipun alat-alat modern kini membantu, penetapan waktu Adzan Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya selalu didasarkan pada perhitungan matahari yang sangat akurat, yang diwariskan dari para pendahulu. Muadzin di Masjid Agung Surakarta diangkat setelah melalui uji ketepatan waktu dan pemahaman ilmu falak yang mendalam.

Ketika Adzan Dzuhur dikumandangkan, itu adalah pengumuman resmi bahwa matahari telah melewati zenitnya, sebuah momen yang secara historis memiliki implikasi hukum dan administratif dalam lingkungan Keraton. Adzan Maghrib, yang menandai akhir dari hari dan awal malam, memiliki kepentingan spiritual ganda karena bertepatan dengan suro (malam tahun baru Jawa-Islam) atau malam-malam sakral lainnya.

Peran muadzin dalam hal ini adalah sebagai ‘penjaga waktu’ (Juru Waktu) Ilahi. Suara mereka memberikan legitimasi spiritual terhadap kalender dan waktu yang ditetapkan secara astronomis. Ketidaktepatan dalam Adzan dianggap sebagai kegagalan bukan hanya ritual, tetapi juga kegagalan menjaga harmoni kosmis kota.

Adzan dan Siklus Upacara Keraton

Beberapa ritual besar Keraton Surakarta sangat tergantung pada waktu salat yang disuarakan Adzan. Misalnya, selama Grebeg Maulud atau peringatan besar lainnya, waktu pengeluaran pusaka atau dimulainya upacara selalu dikaitkan erat dengan Adzan. Adzan berfungsi sebagai ‘pembuka tirai’ spiritual untuk acara-acara penting tersebut. Kehadiran Adzan memastikan bahwa ritual Keraton, meskipun berakar pada tradisi Jawa pra-Islam, tetap diresapi dengan nilai-nilai monoteistik Islam.

Pada saat-saat tertentu, seperti malam Jumat Kliwon atau bulan Ramadhan, Adzan dilantunkan dengan cengkok dan tempo yang lebih khusus, disesuaikan dengan suasana keheningan dan kekhusyukan. Adzan Maghrib selama Ramadhan di Solo, yang menandai saat berbuka (ngabuburit), memiliki nuansa perayaan yang berbeda, menggunakan nada yang lebih riang namun tetap syahdu, mencerminkan kegembiraan umat setelah menahan lapar dan dahaga seharian.

VI. PERAN MUADZIN SOLO: ANTARA TEKNIK VOKAL DAN KEDALAMAN BATIN

Menjadi muadzin di Solo, terutama di Masjid-masjid bersejarah seperti Masjid Agung atau Masjid Tegalsari (pusat pendidikan Islam kuno di Solo), adalah sebuah kehormatan sekaligus beban spiritual. Profesi ini menuntut lebih dari sekadar kemampuan bernyanyi keras; ia menuntut kawicaksanan (kebijaksanaan) dan kasucian (kesucian batin).

Syarat dan Kriteria Muadzin Tradisional

Seorang calon muadzin di Solo harus memenuhi beberapa kriteria yang mencakup aspek syariat dan adat:

Pelatihan muadzin di Solo biasanya dilakukan secara personal (sorogan) dari guru ke murid, menekankan imitasi yang sempurna terhadap tempo dan melodi yang diwariskan. Teknik pernapasan, yang sangat penting untuk mencapai durasi lafal yang panjang dan kuat tanpa jeda, dilatih dengan ketat, terkadang melalui teknik pernapasan yang mirip dengan yang digunakan dalam seni bela diri Jawa atau wirama (irama) pedalangan.

Adzan sebagai Pertarungan Batin

Bagi muadzin Solo, Adzan adalah pertarungan melawan hawa nafsu dan kesombongan. Karena suara mereka didengarkan oleh ribuan orang, ada risiko ‘ujub’ (rasa kagum pada diri sendiri). Oleh karena itu, penekanan dalam pelatihan adalah pada khushu’ (kekhusyukan) dan tawadhu’ (kerendahan hati). Ketika muadzin melantunkan Takbir, mereka diingatkan bahwa kebesaran hanya milik Tuhan, bukan keindahan suara mereka.

Muadzin juga bertanggung jawab untuk menjaga keseragaman Adzan di area sekitarnya, memastikan bahwa pesan spiritual kota tersampaikan secara kohesif. Mereka adalah penjaga tradisi vokal yang langka, sebuah warisan budaya tak benda yang terancam oleh homogenisasi globalisasi dan penggunaan rekaman digital. Dedikasi muadzin Solo untuk mempertahankan cengkok yang otentik adalah kunci kelangsungan identitas spiritual kota tersebut.

VII. ARSITEKTUR DAN AKUSTIK: PANGGUNG ADZAN SOLO

Arsitektur masjid di Solo, yang umumnya mengadopsi gaya atap tumpang khas Jawa, memiliki implikasi signifikan terhadap bagaimana Adzan disebarkan dan didengar. Ini adalah studi tentang bagaimana bentuk fisik mendukung ritual spiritual.

Menara dan Panggung: Transmisi Gema

Masjid Agung Surakarta, dan juga masjid-masjid kuno lainnya di Kauman, pada awalnya menggunakan panggung (semacam menara kayu atau bangunan kecil terpisah, bukan menara tinggi ala Turki atau Persia) sebagai tempat muadzin mengumandangkan Adzan. Panggung ini didesain agar suara tidak hanya terpancar ke luar, tetapi juga beresonansi dengan struktur masjid itu sendiri.

Dinding tebal dan material kayu jati yang digunakan dalam pembangunan masjid Jawa menghasilkan gema yang dalam dan ‘berat’. Hal ini memperkuat efek nges pada suara Adzan, seolah-olah bumi ikut bergetar. Penempatan muadzin di ketinggian yang moderat (panggung, bukan minaret yang sangat tinggi) memastikan bahwa suara terdengar jelas di tingkat jalan dan rumah-rumah penduduk, tanpa harus ‘menghantam’ dari ketinggian yang terlalu jauh.

Solo dan Konsep Ruang Suara (Sonic Space)

Di Solo, Adzan mendefinisikan ‘ruang suara’ komunitas. Wilayah Kauman (permukiman Muslim tradisional) memiliki batas-batas tak kasat mata yang ditentukan oleh seberapa jauh gema Adzan dari Masjid Agung dapat terdengar. Adzan menciptakan suasana akustik yang berbeda dari pasar atau jalanan Keraton, sebuah zona yang dicirikan oleh kekhusyukan dan kesadaran spiritual.

Bahkan dengan adanya polusi suara modern, Adzan Solo masih mempertahankan kekhasannya melalui teknik vokal yang mampu ‘memotong’ kebisingan. Muadzin dilatih untuk memproyeksikan suara dengan frekuensi tertentu yang mampu menembus lapisan-lapisan suara lain, sebuah teknik yang diyakini secara tradisional sebagai ajian swara (kekuatan suara) yang diperoleh melalui latihan spiritual.

VIII. KESINAMBUNGAN DAN TANTANGAN MODERNITAS ADZAN SOLO

Kini, Adzan Solo menghadapi tantangan besar dari modernitas. Penggunaan pengeras suara digital, standardisasi melodi melalui media global, dan berkurangnya minat generasi muda terhadap pelatihan cengkok tradisional mengancam keunikan suara Surakarta.

Upaya Pelestarian Maqam Lokal

Untuk melestarikan warisan ini, beberapa lembaga pendidikan Islam dan pondok pesantren di Solo terus aktif mengadakan pelatihan muadzin yang menekankan pada Maqam Jawa. Upaya ini dilakukan untuk memastikan bahwa estetika vokal yang telah berinteraksi dengan tradisi Keraton selama berabad-abad tidak hilang. Pelatihan ini tidak hanya mengajarkan teknik vokal tetapi juga sejarah dan filosofi Adzan, menjadikan muadzin sebagai penjaga budaya yang hidup.

Di Masjid-masjid kuno Solo, terdapat kebijakan ketat mengenai penggunaan pengeras suara, seringkali hanya mengizinkan penggunaan speaker internal untuk memastikan kualitas akustik tetap terjaga. Ini adalah bentuk perlawanan kultural yang lembut terhadap homogenisasi, sebuah deklarasi bahwa suara spiritual Solo harus tetap otentik dan memiliki identitas lokal yang kuat.

Adzan sebagai Identitas Kota

Pada akhirnya, Adzan Solo adalah cerminan dari identitas kota itu sendiri: sebuah perpaduan yang halus antara keagungan spiritual dan kerendahan hati budaya. Ia adalah pengingat harian akan harmoni yang dikejar oleh masyarakat Surakarta, sebuah panggilan abadi yang melintasi pasar, rumah, dan tembok Keraton.

Gema Adzan dari Masjid Agung Surakarta bukan hanya sekedar seruan untuk salat; ia adalah nyanyian sejarah, filosofi, dan seni vokal yang mendalam, sebuah warisan tak ternilai yang terus beresonansi di jantung Jawa Tengah.

***

IX. RENTANG GEMA: ADZAN DARI KAUMAN HINGGA TEGALSARI

Meskipun Masjid Agung menjadi standar utama, pola Adzan di Solo tidak monolitik. Setiap kawasan memiliki sedikit variasi yang mencerminkan sejarah lokal masjid tersebut, terutama di kawasan yang dulunya merupakan pusat pergerakan santri atau pondok pesantren.

Masjid Agung Kauman: Pusat Standardisasi Vokal

Kawasan Kauman, yang mengelilingi Masjid Agung, adalah tempat muadzin utama Solo dilahirkan dan dilatih. Adzan di sini paling disiplin dan mengikuti pakem Keraton. Penekanannya adalah pada kekuatan resonansi, kejernihan makhraj, dan tempo yang terukur. Adzan dari Kauman ini diibaratkan sebagai Gong Wibawa (Gong Kewibawaan), menetapkan nada bagi seluruh kota.

Di sini, konservasi Maqam Bayati dengan ornamen Hijaz Jawa sangat dijaga. Praktik Tarji’ dilakukan dengan khidmat, menekankan bahwa suara Adzan harus melalui proses pemurnian batin sebelum disuarakan secara eksternal. Muadzin Kauman sering memiliki tanggung jawab ganda sebagai penasihat spiritual bagi masyarakat Kauman, sehingga integritas suara mereka harus sesuai dengan integritas moral mereka.

Ketepatan waktu Adzan di Kauman juga menjadi titik fokus pengawasan publik. Setiap sedikit perbedaan waktu dengan jadwal resmi dapat memicu diskusi di kalangan ulama lokal, menunjukkan betapa sentralnya Adzan Kauman dalam penataan waktu Surakarta. Hal ini menghasilkan sebuah kultur di mana Adzan bukan hanya panggilan, tetapi juga sebuah pernyataan teologis dan administratif yang harus sempurna.

Masjid Laweyan: Gema Perdagangan dan Pesantren

Laweyan, yang merupakan pusat perdagangan batik dan tekstil kuno, memiliki masjid-masjid yang dibangun oleh para saudagar kaya. Adzan di Laweyan seringkali memiliki sedikit pengaruh dari tradisi pesantren, yang mungkin lebih terbuka terhadap variasi Maqam yang lebih berani atau lebih cepat, mencerminkan sifat kawasan yang dinamis dan komersial.

Di Masjid Laweyan, Adzan sering dilantunkan dengan tempo yang sedikit lebih cepat pada bagian Ḥayya ‘alaṣ-ṣalāh dan Ḥayya ‘alal-falāḥ, mungkin sebagai respons terhadap kebutuhan para pedagang yang waktu istirahatnya sangat berharga. Meskipun demikian, elemen cengkok Jawa tetap dipertahankan, memastikan bahwa pesan spiritual tetap disampaikan dengan kelembutan Jawa. Adzan Laweyan sering dianggap sebagai Kidung Panglipur (Tembang Penghibur) bagi para pekerja yang lelah.

Pondok Tegalsari (dan pengaruhnya): Kedalaman Sufistik

Meskipun Tegalsari secara geografis berada di luar Solo (di daerah Ponorogo), pengaruh jaringan ulama dan santri yang berinteraksi dengan Keraton Surakarta sangat besar. Gaya Adzan yang dipengaruhi pesantren-pesantren kuno cenderung menekankan pada khushu’ dan penarikan napas yang sangat dalam (long breath), memberikan efek suara yang sangat ngelangut (sufistik dan meratap).

Di beberapa masjid di pinggiran Solo yang memiliki sejarah erat dengan pondok, Adzan dilantunkan dengan Maqam Shoba yang berat, sebuah maqam yang sering dikaitkan dengan kedukaan spiritual dan kerinduan terhadap Tuhan. Lafal Lā ilāha illallāh di akhir sering diperpanjang hingga batas kemampuan vokal muadzin, seolah-olah seluruh nafas didedikasikan untuk satu kesaksian keesaan. Adzan di wilayah ini berfungsi sebagai Kidung Wirid (Tembang Zikir), lebih fokus pada meditasi daripada sekadar pengumuman.

X. ADZAN DAN KEARIFAN LOKAL JAWA: KONSEP ELING DAN RASA

Esensi dari Adzan Solo tidak terletak pada tekniknya saja, tetapi pada bagaimana ia merangkul dua konsep kunci dalam spiritualitas Jawa: Eling (mengingat/kesadaran) dan Rasa (perasaan batin/intuisi). Adzan adalah media untuk mempraktikkan keduanya.

Eling: Panggilan Kesadaran

Ketika Adzan dikumandangkan, ia secara harfiah berfungsi sebagai pameling (pengingat). Dalam masyarakat Jawa, ‘lupa’ (lali) adalah dosa spiritual terbesar, karena lupa berarti terjerumus dalam nafsu duniawi. Adzan datang lima kali sehari sebagai tameng terhadap kelupaan ini. Suara yang kuat dan melankolis mengingatkan pendengar akan tujuan eksistensial mereka.

Pengulangan Allahu Akbar yang pertama mengingatkan manusia akan kebesaran Ilahi, meniadakan segala kebanggaan diri. Pengingat ini harus meresap tanpa paksaan, itulah sebabnya muadzin Solo menghindari nada yang terlalu agresif. Adzan menjadi ritme sirkadian bagi kesadaran spiritual, memastikan bahwa lima kali dalam sehari, masyarakat Solo ‘tersentak’ dari tidur duniawi menuju Eling.

Rasa: Sentuhan Emosional Melalui Maqam

Adzan yang berhasil di Solo harus ‘menyentuh Rasa’. Ini berarti melodi, vibrasi (gregel), dan tempo harus menghasilkan perasaan batin yang tulus dan mendalam, seringkali melankolis atau syahdu. Jika Adzan hanya terdengar sebagai lafal teknis tanpa Rasa, ia dianggap kurang berhasil secara spiritual, meskipun secara syariat benar.

Pemilihan Maqam Shoba dan Hijaz yang cenderung minor dan meratap sangat disengaja untuk memicu Rasa ini. Rasa yang terpicu oleh Adzan mendorong individu untuk segera berwudu dan salat dengan hati yang bersih, bukan karena paksaan, melainkan karena panggilan emosional. Adzan Solo, oleh karena itu, adalah seni mentransfer kebenaran teologis ke dalam pengalaman emosional yang murni Jawa.

Kesimpulannya, Adzan Solo adalah sebuah mahakarya akulturasi: ritual Islam yang murni disajikan melalui bejana budaya Jawa Keraton yang anggun dan berwibawa. Ia terus berdiri sebagai tiang penyangga spiritual Surakarta, memastikan bahwa di tengah modernisasi, gema panggilan Ilahi tetap berdenyut dengan irama tradisional yang unik dan mendalam.

*** ARTIKEL SELESAI ***

🏠 Kembali ke Homepage