Dalam lanskap administrasi dan tata kelola pemerintahan modern, interkoneksi antarlembaga menjadi kunci efisiensi dan koordinasi kebijakan. Salah satu mekanisme struktural yang paling vital dan sering diperdebatkan adalah penunjukan atau peran seorang menteri ex officio. Frasa Latin "ex officio" secara harfiah berarti "dari kantor" atau "berdasarkan jabatan". Ini merujuk pada kekuasaan, hak, atau posisi yang secara otomatis melekat pada seseorang karena ia memegang jabatan lain yang telah ditentukan.
Peran menteri ex officio melampaui sekadar delegasi tugas; ia merupakan bentuk integrasi kekuasaan yang dirancang untuk memastikan bahwa pembuat keputusan utama dari satu sektor memiliki suara atau kontrol langsung dalam badan atau komite yang memiliki kepentingan silang. Misalnya, seorang menteri yang bertanggung jawab atas portofolio ekonomi sering kali secara otomatis menjabat sebagai anggota dewan gubernur bank sentral atau ketua komite investasi negara. Integrasi semacam ini bertujuan untuk memuluskan implementasi kebijakan, menghindari konflik yurisdiksi, dan memanfaatkan keahlian eksekutif puncak secara lintas sektoral.
Namun, di balik efisiensi yang ditawarkan, konsep menteri ex officio membawa implikasi serius terhadap prinsip pemisahan kekuasaan (Trias Politika), independensi lembaga, dan mekanisme akuntabilitas. Artikel ini akan mengupas tuntas dasar filosofis, landasan yuridis, keuntungan struktural, serta tantangan etika dan akuntabilitas yang melekat pada peran kunci ini dalam struktur kenegaraan.
Gambar I: Ilustrasi integrasi peran ex officio antara jabatan menteri utama dan keanggotaan badan negara lain.
Dalam kerangka hukum tata negara, peran ex officio tidak muncul secara spontan, melainkan harus diatur secara eksplisit melalui undang-undang, peraturan pemerintah, atau konstitusi. Kewenangan seorang menteri untuk menjabat di luar portofolio utamanya harus memiliki legitimasi formal. Legitimasi ini berfungsi sebagai perlindungan ganda: melindungi menteri dari tuduhan penyalahgunaan wewenang dan melindungi lembaga sekunder dari intervensi yang tidak berdasar.
Terdapat perbedaan mendasar antara wewenang ex officio dengan wewenang yang didelegasikan (delegated authority). Dalam delegasi, pejabat utama menyerahkan sebagian wewenangnya kepada bawahan atau lembaga lain, dan pejabat utama tersebut tetap bertanggung jawab penuh. Sebaliknya, wewenang ex officio melekat pada jabatan itu sendiri, bukan pada individu yang memegangnya. Ketika seorang menteri berhenti menjabat, secara otomatis ia kehilangan kedudukan ex officio tersebut, dan penggantinya langsung memperolehnya.
Pengaturan ini biasanya ditemukan dalam hukum organik yang mengatur pembentukan lembaga sekunder (misalnya, Undang-Undang Bank Sentral, Undang-Undang Komisi Keamanan Pangan). Tujuannya adalah memastikan koordinasi vertikal dan horizontal. Koordinasi vertikal terjadi antara eksekutif pusat dan lembaga otonom. Koordinasi horizontal terjadi antar-kementerian yang berbeda.
Untuk menganalisis dampaknya terhadap administrasi publik, peran ex officio dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis:
Di banyak negara, integrasi peran ex officio harus diuji terhadap prinsip-prinsip konstitusi, terutama yang berkaitan dengan independensi yudikatif dan lembaga quasi-yudikatif, serta prinsip supremasi sipil terhadap militer. Apabila peran ex officio menempatkan pejabat eksekutif ke dalam ranah yang seharusnya independen (seperti komite etik kehakiman atau dewan independensi media), hal ini dapat memicu judicial review karena dianggap melemahkan checks and balances.
Isu krusial lainnya adalah beban tugas. Apabila seorang menteri memegang terlalu banyak posisi ex officio, fokusnya terhadap portofolio utama dapat terdistraksi, yang pada akhirnya merugikan kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Oleh karena itu, hukum administrasi modern seringkali menetapkan batasan kuantitas dan jenis posisi tambahan yang boleh dipegang oleh seorang menteri.
Secara ringkas, landasan yuridis memastikan bahwa peran ex officio merupakan instrumen hukum yang sah untuk mencapai efisiensi administratif, asalkan implementasinya tidak mengancam fondasi tata kelola yang baik, terutama independensi dan akuntabilitas. Hukum harus mendefinisikan batas-batas kekuasaan tersebut dengan jelas dan tegas.
Kehadiran menteri ex officio dalam sebuah struktur kelembagaan sering kali dijustifikasi atas dasar peningkatan efisiensi dan koordinasi. Dalam pemerintahan yang kompleks, risiko kebijakan berjalan secara parsial atau bertentangan satu sama lain sangat tinggi. Peran ex officio bertindak sebagai perekat yang menyatukan berbagai elemen kebijakan.
Fungsi utama menteri ex officio adalah memastikan bahwa kebijakan teknis yang diputuskan oleh lembaga sekunder (misalnya, badan regulasi energi, komite investasi infrastruktur) selaras dengan visi strategis kabinet dan kebijakan fiskal makro pemerintah. Tanpa representasi eksekutif, lembaga teknis mungkin mengambil keputusan yang optimal secara mikro tetapi suboptimal atau bahkan destruktif bagi perekonomian nasional secara keseluruhan.
Sebagai contoh konseptual, jika Menteri Keuangan secara ex officio menjabat sebagai anggota dewan pengawas perusahaan energi milik negara, ia dapat memastikan bahwa rencana investasi modal perusahaan tersebut sesuai dengan batas utang publik dan prioritas fiskal negara. Ini mencegah perusahaan negara menjadi beban fiskal yang tidak terduga atau mengganggu stabilitas anggaran.
Proses komunikasi formal antarlembaga sering kali lambat dan melibatkan banyak lapisan birokrasi. Kehadiran menteri ex officio memotong rantai komando tersebut. Informasi sensitif atau mendesak dapat langsung dibawa dari lembaga sekunder ke rapat kabinet, dan keputusan strategis kabinet dapat dengan cepat diinternalisasi dan diimplementasikan oleh lembaga sekunder.
Dalam konteks penanganan krisis (misalnya, krisis kesehatan atau krisis moneter), kecepatan pengambilan keputusan adalah esensial. Menteri yang menjabat ex officio di komite krisis memiliki wewenang eksekutif yang memungkinkannya menggerakkan sumber daya antar-kementerian tanpa harus menunggu proses koordinasi lintas sektor yang memakan waktu. Mekanisme ini menciptakan pusat komando yang responsif dan terintegrasi.
Menteri dan pejabat setingkat menteri adalah pemegang mandat politik dan seringkali memiliki akses ke data dan analisis strategis tingkat tertinggi. Dengan menempatkan mereka dalam peran ex officio, lembaga sekunder dapat memanfaatkan keahlian dan perspektif strategis tersebut. Hal ini sangat berharga bagi lembaga teknis yang mungkin memiliki keahlian operasional mendalam tetapi kurang memiliki pemahaman tentang dinamika politik atau ekonomi global yang lebih luas.
Selain itu, peran ex officio memberikan legitimasi politik yang kuat terhadap keputusan lembaga sekunder. Ketika keputusan penting disetujui, partisipasi menteri memberikan sinyal kepada pasar dan publik bahwa kebijakan tersebut didukung penuh oleh otoritas eksekutif tertinggi, meningkatkan kepercayaan dan stabilitas implementasi.
Meskipun demikian, peningkatan efisiensi ini bukanlah tanpa biaya. Penggabungan peran dan kekuasaan yang terlalu intensif dapat menyebabkan sentralisasi yang berlebihan, yang pada gilirannya dapat menghambat inovasi di tingkat teknis dan melemahkan fungsi independen lembaga tersebut, seperti yang akan dibahas dalam bagian tantangan akuntabilitas.
Isu akuntabilitas adalah inti dari perdebatan mengenai peran menteri ex officio. Ketika kekuasaan diintegrasikan, garis tanggung jawab seringkali menjadi kabur. Menteri harus menjawab kepada parlemen dan publik untuk portofolio utama mereka, tetapi bagaimana pertanggungjawaban mereka atas keputusan yang diambil dalam kapasitas ex officio di lembaga lain?
Konflik kepentingan adalah risiko inheren dalam peran ex officio. Seorang menteri memiliki loyalitas utama terhadap agenda politik kabinet. Namun, ketika mereka duduk di dewan independen (misalnya, dewan pengawas regulator telekomunikasi), mereka seharusnya bertindak demi kepentingan regulator—yaitu, menjaga pasar yang adil dan melindungi konsumen—terlepas dari agenda politik kabinet.
Ketika agenda kabinet bertentangan dengan kebutuhan independen lembaga sekunder, menteri ex officio dipaksa memilih. Keputusan yang diambil mungkin dipandang sebagai upaya untuk mempolitisasi atau mengintervensi lembaga independen, yang merusak kredibilitas dan independensi lembaga tersebut di mata publik dan pelaku pasar.
Gambar II: Ilustrasi dilema akuntabilitas, di mana bobot kekuasaan eksekutif seringkali mendominasi independensi lembaga sekunder.
Karena menteri ex officio seringkali dibebani dengan terlalu banyak tugas, keterlibatan mereka dalam detail operasional lembaga sekunder mungkin minimal. Mereka mungkin hanya menghadiri rapat penting dan mengandalkan ringkasan cepat. Hal ini berisiko menghasilkan keputusan yang kurang terinformasi. Keputusan strategis yang seharusnya didasarkan pada analisis mendalam lembaga independen malah dipengaruhi oleh pertimbangan politik tingkat tinggi yang mungkin dangkal dalam konteks teknis lembaga tersebut.
Kurangnya waktu juga berarti menteri mungkin tidak mampu melakukan fungsi pengawasan yang memadai. Tugas pengawasan (due diligence) yang seharusnya dilakukan oleh anggota dewan secara penuh justru terabaikan karena sang menteri harus memprioritaskan tugas utamanya di kementerian.
Parlemen bertanggung jawab mengawasi eksekutif. Ketika Parlemen mempertanyakan kebijakan yang diambil oleh komite yang melibatkan menteri ex officio, menteri seringkali menggunakan alasan bahwa keputusan tersebut diambil oleh ‘lembaga independen’ dan bukan murni kebijakan kementerian. Ini menciptakan “lubang hitam akuntabilitas” di mana keputusan penting tidak dapat secara efektif diawasi atau dipertanggungjawabkan kepada badan legislatif.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan kerangka hukum yang mewajibkan menteri ex officio untuk memberikan laporan khusus kepada Parlemen mengenai kegiatan mereka di lembaga sekunder tersebut, memisahkan pertanggungjawaban ex officio dari pertanggungjawaban portofolio utama mereka.
Penerapan peran ex officio sangat bervariasi antar negara, tergantung pada tradisi hukum dan model pemerintahan (parlementer versus presidensial). Namun, terdapat beberapa area kunci di mana peran ini hampir selalu muncul karena kebutuhan koordinasi yang mendesak.
Dalam sebagian besar perekonomian modern, risiko sistemik mengharuskan adanya koordinasi ketat antara otoritas fiskal (Kementerian Keuangan) dan otoritas moneter (Bank Sentral). Untuk mencapai stabilitas keuangan makro, Menteri Keuangan seringkali secara ex officio menjadi anggota, atau setidaknya pengamat resmi, dari Dewan Gubernur Bank Sentral atau Komite Stabilitas Keuangan.
Peran ini adalah salah satu yang paling sensitif. Di satu sisi, kehadiran Menteri Keuangan memastikan bahwa kebijakan suku bunga dan manajemen utang sejalan. Di sisi lain, hal ini berisiko mengancam independensi Bank Sentral. Jika Menteri Keuangan memiliki hak suara penuh, tekanan politik untuk menjaga suku bunga rendah menjelang pemilihan umum dapat mengalahkan kebutuhan Bank Sentral untuk melawan inflasi. Oleh karena itu, hukum sering membatasi peran menteri di badan moneter hanya sebagai penasihat, tanpa hak suara, atau hanya diizinkan untuk memberikan pandangan mengenai kondisi fiskal.
Komite Keamanan Nasional (KKN) atau Dewan Pertahanan adalah arena klasik untuk peran ex officio. Keputusan mengenai penggunaan kekuatan militer, respons terhadap ancaman terorisme, atau diplomasi strategis memerlukan integrasi input dari berbagai kementerian.
Integrasi ini vital untuk memastikan bahwa tindakan keamanan diambil secara komprehensif, memperhitungkan konsekuensi politik, diplomatik, dan hukum. Dalam konteks ini, kecepatan dan kerahasiaan menuntut adanya peran ex officio untuk menghindari kebocoran informasi dan penundaan birokrasi.
Ketika negara memiliki kepentingan strategis dan kepemilikan saham di sektor vital (energi, transportasi, telekomunikasi), menteri terkait, seperti Menteri BUMN atau Menteri Sektor (misalnya, Menteri Perhubungan), seringkali secara ex officio menjabat sebagai Komisaris atau Dewan Pengawas di perusahaan-perusahaan tersebut.
Tujuan utamanya adalah dua: 1) memastikan bahwa BUMN beroperasi sesuai dengan mandat pelayanan publik negara, bukan hanya memaksimalkan keuntungan; dan 2) mengawasi penggunaan aset negara. Tantangannya adalah membedakan antara pengawasan strategis (yang sah) dan intervensi operasional mikro (yang merusak profesionalisme manajemen BUMN).
Gambar III: Struktur yang menunjukkan Menteri X memegang peran ex officio di berbagai badan negara untuk memastikan sinkronisasi.
Seiring meningkatnya kompleksitas tata kelola global dan tuntutan transparansi yang lebih tinggi, banyak negara mulai mengevaluasi ulang sejauh mana integrasi kekuasaan melalui mekanisme ex officio masih relevan dan sehat secara demokratis. Reformasi kontemporer berfokus pada mitigasi risiko akuntabilitas sambil tetap mempertahankan manfaat koordinasi.
Salah satu reformasi yang diusulkan adalah penerapan prinsip subsidiaritas yang lebih ketat. Prinsip ini menyatakan bahwa keputusan harus diambil oleh badan yang paling dekat dan paling kompeten dalam masalah tersebut. Penerapan ini berarti membatasi peran ex officio hanya pada isu-isu yang benar-benar bersifat strategis atau lintas sektoral yang tidak dapat diselesaikan tanpa intervensi menteri.
Untuk isu-isu operasional atau teknis murni, peran menteri ex officio harus digantikan oleh pejabat senior di kementerian yang memiliki keahlian teknis (misalnya, Direktur Jenderal), bukan menteri itu sendiri. Ini mengurangi beban menteri, menjaga fokus, dan meningkatkan kualitas keputusan teknis, sembari memastikan masih ada saluran komunikasi dengan eksekutif.
Untuk mengatasi "lubang hitam akuntabilitas," reformasi menuntut peningkatan transparansi mengenai kontribusi menteri ex officio. Setiap rapat di mana menteri berpartisipasi dalam kapasitas ex officio harus memiliki notulen yang jelas dan spesifik, mencatat pandangan dan keputusan yang diambil oleh menteri tersebut. Laporan kinerja kementerian harus mencantumkan secara eksplisit waktu dan sumber daya yang dicurahkan untuk peran ex officio.
Di beberapa yurisdiksi, diwajibkan bahwa setiap keputusan menteri yang bertentangan dengan rekomendasi profesional badan independen harus disertai dengan justifikasi tertulis yang dipublikasikan. Ini memaksa menteri untuk mempertimbangkan dampak independensi dan mencegah intervensi politik yang sembarangan.
Sebelum seorang menteri ditunjuk untuk peran ex officio tertentu, harus dilakukan uji kepentingan publik yang ketat. Uji ini mengevaluasi apakah manfaat koordinasi yang dihasilkan melebihi risiko terhadap independensi lembaga atau potensi konflik kepentingan. Jika risiko konflik kepentingan sangat tinggi—misalnya, dalam pengawasan media atau anti-korupsi—peran ex officio harus dilarang atau sangat dibatasi, atau menteri harus diwajibkan untuk menjauhi (recuse) diri dari pengambilan keputusan yang melibatkan portofolio utama mereka.
Penguatan peran lembaga audit independen (seperti Badan Pemeriksa Keuangan) juga penting. Lembaga audit harus memiliki mandat yang jelas untuk menilai apakah peran ex officio tersebut telah menghambat efektivitas atau independensi lembaga sekunder, dan hasil audit tersebut harus menjadi dasar bagi parlemen untuk mengevaluasi kinerja menteri.
Peran ex officio bukan hanya masalah teknis administratif; ia menyentuh esensi dari teori politik modern, khususnya tentang bagaimana kekuasaan harus didistribusikan. Prinsip Trias Politika Montesquieu mengadvokasi pemisahan kekuasaan—legislatif, eksekutif, dan yudikatif—untuk mencegah tirani. Namun, dalam sistem pemerintahan modern yang kompleks, pemisahan yang absolut seringkali dianggap tidak praktis, sehingga yang diterapkan adalah sistem "checks and balances" atau saling kontrol.
Peran menteri ex officio mewakili integrasi vertikal dan horizontal kekuasaan eksekutif. Integrasi ini sah, asalkan tidak melanggar batas-batas independensi kehakiman atau hak legislatif. Tantangan filosofisnya adalah: seberapa jauh koordinasi dan efisiensi dapat membenarkan penyimpangan dari ideal pemisahan kekuasaan yang tegas?
Ketika seorang menteri duduk ex officio di dewan direksi lembaga regulator, hal itu dapat dilihat sebagai penetrasi kekuasaan eksekutif ke dalam ranah semi-independen. Para pendukung berpendapat bahwa ini adalah bentuk kontrol demokratis: menteri adalah pejabat terpilih (atau ditunjuk oleh pejabat terpilih), dan kontrolnya memastikan bahwa lembaga teknis tetap responsif terhadap kehendak rakyat yang diwakili oleh eksekutif.
Para kritikus, sebaliknya, melihat ini sebagai erosi independensi. Lembaga regulator dirancang untuk bertindak sebagai penyangga antara kepentingan politik jangka pendek dan kebutuhan kebijakan jangka panjang. Kehadiran menteri, bahkan sebagai anggota tanpa hak suara, dapat menimbulkan pengaruh yang menakutkan (chilling effect) pada anggota dewan lainnya, yang mungkin ragu untuk mengambil keputusan yang bertentangan dengan pandangan eksekutif.
Perdebatan seringkali berkisar pada ketegangan antara otonomi dan akuntabilitas. Lembaga harus memiliki otonomi yang cukup untuk melaksanakan fungsi teknis mereka tanpa campur tangan politik. Namun, jika mereka sepenuhnya otonom, siapa yang bertanggung jawab ketika mereka gagal atau menyalahgunakan dana publik? Peran ex officio adalah upaya untuk menyeimbangkan ketegangan ini—memberikan akuntabilitas melalui kehadiran eksekutif, tetapi dengan risiko mengorbankan otonomi.
Dalam teori administrasi, solusi ideal adalah membuat peran menteri ex officio sefokus mungkin. Mereka harus fokus pada penyelarasan strategis dan pengawasan finansial, dan sama sekali tidak terlibat dalam keputusan operasional, personalia, atau teknis sehari-hari. Pemisahan yang jelas antara ‘pengawasan strategis’ dan ‘manajemen operasional’ adalah kunci untuk menjaga integritas kedua peran tersebut.
Untuk memahami sepenuhnya dampak menteri ex officio, kita harus melampaui kerangka hukum dan melihat kompleksitas implementasi di lapangan. Praktik ex officio tidak selalu berjalan mulus sesuai rancangan undang-undang. Faktor-faktor budaya, kepribadian, dan dinamika internal birokrasi memainkan peran besar.
Di luar hak suara formal, kekuasaan seorang menteri dalam kapasitas ex officio sangat dipengaruhi oleh kekuasaan informal yang dibawanya. Kehadiran menteri di ruang rapat memberikan bobot politik yang sangat besar, bahkan jika ia hanya bertindak sebagai penasihat. Anggota dewan lainnya mungkin secara bawah sadar menyesuaikan pandangan mereka untuk menyenangkan atau menghindari konflik dengan perwakilan eksekutif, terutama jika lembaga tersebut bergantung pada kementerian untuk pendanaan atau dukungan legislatif.
Fenomena ini dikenal sebagai ‘capture by the executive’ atau penangkapan oleh eksekutif. Ini terjadi ketika menteri ex officio, alih-alih mengawasi, justru mendominasi agenda lembaga sekunder, mengubah fungsi lembaga tersebut dari independen menjadi perpanjangan tangan kementerian. Pencegahan fenomena ini memerlukan kode etik yang sangat ketat dan perlindungan hukum bagi anggota dewan independen yang menyuarakan perbedaan pendapat.
Salah satu hambatan praktis terbesar adalah manajemen waktu. Jabatan menteri adalah salah satu yang paling menuntut di pemerintahan. Menambahkan peran ex officio, yang mungkin memerlukan penelaahan dokumen yang tebal dan partisipasi dalam rapat rutin, seringkali menyebabkan menteri mendelegasikan tugas penelaahan kepada staf junior. Akibatnya, pandangan yang disampaikan menteri dalam rapat ex officio mungkin bukan berasal dari pemahaman pribadinya yang mendalam, melainkan ringkasan yang disiapkan oleh birokrat.
Hal ini menciptakan risiko lain: keputusan dewan independen dapat didasarkan pada pandangan birokrat kementerian tingkat menengah, yang tidak memiliki akuntabilitas politik atau keahlian strategis sejati. Jika peran ex officio tidak ditunjang oleh alokasi waktu dan sumber daya yang memadai, ia akan menjadi sekadar formalitas yang justru merusak kredibilitas pengawasan.
Dalam konteks pengelolaan aset publik, seperti dana pensiun negara atau dana investasi kedaulatan (Sovereign Wealth Funds), peran menteri ex officio sangat umum dan kontroversial. Menteri Keuangan seringkali menjadi ketua dewan pengawas dana ini. Tujuannya adalah memastikan bahwa dana dikelola secara bijaksana dan selaras dengan kepentingan ekonomi nasional jangka panjang.
Namun, dana-dana ini memerlukan keputusan investasi yang murni berbasis pasar dan bebas dari tekanan politik. Jika menteri ex officio menggunakan pengaruhnya untuk mengarahkan investasi ke proyek-proyek yang menguntungkan secara politik, tetapi berisiko secara finansial, integritas dana tersebut terancam. Ini membutuhkan regulasi yang membatasi keterlibatan menteri hanya pada penentuan kerangka tata kelola dan kebijakan investasi umum, sementara keputusan investasi individual diserahkan sepenuhnya kepada manajer profesional.
Kehadiran menteri ex officio secara terus-menerus dapat menghambat pengembangan kapasitas institusional di lembaga sekunder. Ketika lembaga merasa bahwa keputusan mereka akan selalu disupervisi dan kemungkinan dibatalkan oleh menteri, motivasi mereka untuk melakukan analisis mendalam atau mengambil inisiatif inovatif dapat berkurang. Mereka mungkin cenderung menjadi reaktif dan menunggu sinyal dari kementerian daripada proaktif dalam regulasi atau kebijakan.
Oleh karena itu, reformasi harus menekankan bahwa peran ex officio adalah jaring pengaman strategis, bukan fungsi manajemen harian. Lembaga sekunder harus didorong untuk mempertahankan otonomi teknis dan intelektual mereka, sementara menteri hanya bertindak sebagai penghubung kebijakan tingkat tinggi.
Peran menteri ex officio adalah salah satu fitur paling kuno namun paling dinamis dalam tata kelola pemerintahan. Ia merupakan solusi struktural yang didesain untuk mengatasi fragmentasi kekuasaan dan meningkatkan efisiensi melalui koordinasi yang mulus. Dalam konteks pemerintahan yang bergerak cepat dan terdesentralisasi, mekanisme ini menawarkan jalur cepat untuk sinkronisasi kebijakan makro, terutama dalam krisis atau saat implementasi reformasi besar-besaran.
Namun, potensi keuntungannya selalu diimbangi dengan risiko erosi independensi dan kaburnya garis akuntabilitas. Sejarah telah menunjukkan bahwa kekuasaan yang terintegrasi tanpa pengawasan yang memadai dapat dengan mudah mengarah pada politisasi administrasi publik dan konflik kepentingan yang merugikan kepentingan umum.
Masa depan peran ex officio dalam administrasi negara akan bergantung pada kemampuan sistem hukum untuk menemukan keseimbangan yang tepat. Hal ini memerlukan penyusunan undang-undang yang menetapkan batas waktu dan batas kewenangan secara ketat, serta penguatan mekanisme pengawasan parlemen yang berfokus pada kinerja menteri dalam kapasitas gandanya. Transparansi maksimal dan wajib rekusasi (penarikan diri) dari kasus-kasus konflik kepentingan harus menjadi norma, bukan pengecualian.
Pada akhirnya, efektivitas menteri ex officio tidak terletak pada jumlah jabatan yang mereka pegang, tetapi pada kualitas intervensi yang mereka lakukan. Ketika digunakan secara bijaksana, peran ini adalah instrumen vital untuk tata kelola yang terpadu. Ketika disalahgunakan, ia menjadi alat untuk sentralisasi kekuasaan yang tidak sehat, mengancam fondasi tata kelola yang baik dan prinsip checks and balances yang dijunjung tinggi oleh sistem demokrasi.